- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
...
TS
bunbun.orenz
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
Spoiler for Credit Cover (THANK YOU SO MUCH):
And I know
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
- Famous Last Words by MCR -
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 90% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahyang dituangkan oleh suami ku tercinta Agatha
Quote:
Spoiler for Special Thanks:
***
Spoiler for From Me:
Versi PDF Thread Sebelumnya:
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/05/02/9605475_201705020801290527.jpg)
Foto diatas hanyalah sebagai ilustrasi tokoh dalam cerita ini
Quote:
Polling
0 suara
SIAPAKAH YANG AKAN MENJADI NYONYA AGATHA ?
Diubah oleh bunbun.orenz 04-07-2017 12:31
ugalugalih dan 27 lainnya memberi reputasi
26
1.5M
7.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7
#4778
PART 74
End of Chapter III
Quote:
Tak pernah terbayangkan sedikitpun bahwa perjalanan hidup Gua akan sampai ke titik ini, bukan Gua tidak mengerti arti dari kata hidup dan mati, tapi bagi Gua semuanya terlalu cepat, terlalu cepat untuk Gua hadapi di saat Gua baru memulai membangun sebuah keluarga, di saat Gua baru akan menginjak usia dua puluh tahun. Benar memang, kita semua akan berpulang, entah esok, lusa, atau nanti, yang jelas cepat atau lambat kita semua akan kembali kepada-Nya.
Berat hati ini menerima apa yang sudah terjadi, dan sepertinya Gua gagal untuk ujian kali ini.
Berat hati ini menerima apa yang sudah terjadi, dan sepertinya Gua gagal untuk ujian kali ini.
***
Dalam heningnya ruangan ini dan rasa sakit yang menggerogoti hati ini... Gua telah hancur.
Hancur sudah iman dalam diri ini.
Sesosok bayi cantik yang sudah tak bergerak masih berada dalam pelukkan Gua. Gua belai rambutnya yang tipis, membelai tiap luka yang menggores wajahnya. Tidak seperti ini, ya tidak seperti ini seharusnya, goresan sialan itu tidak seharusnya berani melukai wajah anak Gua.
Oh Tuhan ku, kembalikan ruh ke jasad anakku... Aku memohon Ya Tuhan.
Gua masih memeluknya dan menciumi wajahnya, menciumi lentik jari mungilnya, dan menciumi sekujur tubuhnya yang membiru karena luka lebam.
Dia, gadis kecil ini, tidak layak menghadapi ajal dengan cara seperti ini. Tidak... Gua menolak menerima semua ini. Gua menyangkal bahwa anak Gua telah meninggal.
"Jingga.. Buka matamu sayang...
Buka matamu dan menangislah Nak, Ayah akan membuatkan susu untuk kamu..
Nak.. Buka matamu, ayo bukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!"
Gua berteriak seraya menggoyangkan tubuhnya dalam pelukkan ini...
Tapi apa lacur, semuanya sia-sia belaka.
...
Gua terbangun karena aroma wewangian yang menusuk indra penciuman ini, Gua mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya putih yang terasa menyilaukan.
"Udah bangun Za ? Gimana sekarang ? Masih pusing ?", tanya Kinanti yang berada di sisi ranjang.
"Aku dimana ?", Gua bertanya seraya mencoba duduk dan menyandarkan punggung.
Kinan membantu Gua untuk bangun. "Ini masih di rumah sakit.. Tadi kamu pingsan..", jawabnya sambil memijat pundak Gua.
Gua mengangguk pelan lalu memijat kening yang terasa pusing.
"Za..".
Gua menengok ke kanan, kearah suara wanita separuh baya yang memanggil nama Gua tadi.
"Mamah ?", ucap Gua memandangi Mamah mertua.
Beliau tampak pucat, kantung matanya sembab, jelas tampak kesedihan dari raut wajahnya itu.
"Za, maafin Mamah dan Papah Nak..", Mamah mertua Gua seketika itu langsung memeluk Gua, menyandarkan kepalanya ke dada ini. "Maafkan kami Nak, maafkan... Hiks.. Hiks.. Hiks..", ucapnya sambil menangis pilu.
Gua mengusap punggung beliau sebentar, lalu mendorong kedua bahunya perlahan. Gua tatap wajahnya lalu tersenyum. "Kenapa kalian ambil Jingga dari aku ?".
"Maafkan Za, maafkan Papah..",
"Mamah sudah mengingatkan Papah bahwa apa yang kami perbuat adalah kesalahan... Tapi dia bersi keras untuk mengasuh Jingga... Maafkan kami Nak..", beliau menyeuka airmatanya lalu kembali duduk di sisi ranjang rumah sakit ini,
"Papah mertua mu... Berfikir pendek...", lanjutnya.
Gua menaikkan satu alis lalu tersenyum kecut. "Maksudnya ?".
"Dia.. Dia menganggap kamu tidak pernah mencintai Echa.. Dan ketika Echa meninggal, dia yakin kalau kamu akan menelantarkan anak kalian.. Apalagi dia melihat ada sosok wanita lain yang dekat dengan kamu setelah Echa tidak ada. Dia takut, takut kalau kamu tidak..".
Gua memotong ucapan beliau. "Tidak mengurus Jingga dengan baik ?", tembak Gua.
Mamah mertua Gua hanya bisa menundukkan kepala sambil terus menangis pelan.
"Mah, apa Eza seburuk itu di mata kalian ? Apa kalian tidak melihat betapa hancurnya Eza ketika ditinggal Echa pergi ?", Gua menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit di belakang Gua, lalu menatap nanar keatas langit-langit ruangan ini. "Aku mengakui kalo aku memang belum mencintai Echa sepenuhnya.. Tapi itu dulu, saat awal kami menikah.. Dan ketika dia mengandung Jingga, semuanya berubah, aku mencintainya tulus dan kehadiran Jingga adalah pelipur lara ku Mah dari kepergian Echa...", lanjut Gua tanpa menoleh sedikit pun.
"Maafkan Papah mertua mu Za, maafkan mamah, maafkan kami..".
Gua menggeleng pelan, lalu memegang dagu beliau, Gua angkat wajahnya perlahan dan menatapnya lekat-lekat. "Semuanya udah percuma Mah, percuma... Enggak ada lagi yang bisa dirubah. Dan sekarang... Kita yang masih berdiri diatas dunia ini yang harus merasakan semua duka".
Kinan mengusap dada Gua dari sisi kiri, Gua menengok kepadanya.
"Ikhlas Za, ikhlasin", ucap Kinan.
Gua tersenyum tipis, lalu menurunkan kaki dari atas ranjang, dan berdiri di samping Kinan. Gua pegang sisi kiri wajahnya dengan tangan kanan, lalu Gua dekatkan wajah Gua hingga hidung kami bertemu.
"Simpan kalimat itu untuk kamu sendiri Kak, dan aku yang akan mengulang kalimat tersebut ketika nanti kamu harus menghadapi kehilangan", Gua menatap matanya lekat-lekat dan sedetik kemudian dia langsung menangis.
Gua berjalan kearah pintu lalu Mamah mertua Gua memanggil lagi.
"Za..".
Gua menengok kepadanya.
"Jangan biarkan emosi menguasai hati kamu Nak..", ucapnya lirih.
...
Gua tutup pintu ruangan itu setelah berada di luar, seorang wanita menghampiri Gua dan langsung memeluk tubuh Gua dari samping.
"Luna ? Kamu udah siuman ?", Gua mendorong pelan tubuhnya.
"Kamu enggak apa-apa kan Za ? Kamu juga pingsan kata Mba Laras ya ?", Luna malah bertanya balik sambil memegangi wajah Gua.
"Udah gak apa-apa Lun..", jawab Gua lalu Gua melihat ke sisi belakang Luna, di ujung sana, Gua melihat Mba Laras dan Nenek yang sedang berbicara dengan dua orang tua yang tidak Gua kenali.
"Lun, itu siapa ?", tanya Gua masih memandang jauh ke depan sana.
Luna menengok ke belakang, lalu menengok lagi kepada Gua. Dia memeluk Gua lagi dan menyandarkan wajahnya ke dada ini. "Udah Za, lebih baik kita ke bagian administrasi untuk urus anak kamu ya.. Biarin mereka jadi urusan Mba Laras", jawab Luna.
"Lun.. Siapa dua orang itu ?", tanya Gua sambil mencengkram lengan kanan Luna.
"Aaah.. Aw.. Sakit Za", Luna meringis dan menepis tangan Gua.
"Jawab Lun...".
Luna menggelengkan kepala pelan dan airmatanya kembali menetes.
"Aku yang akan tanya mereka kalau gitu..", Gua berjalan melewati Luna.
"Za.. Za.. Tunggu, tunggu Za..", Luna menahan langkah Gua dengan memegangi tangan kiri ini.
"Oke oke aku kasih tau.. Tapi kamu janji enggak ada amarah..", lanjutnya yang sudah berdiri di depan dan menghalangi jalan Gua.
"Ya..", jawab Gua.
"Aku diminta Mba Laras nungguin kamu disini, nunggu siuman, dan biarkan Mba Laras yang mengurus kejadian ini Za..".
"Bukan itu jawaban yang aku mau".
"Za, mereka berdua keluarga korban juga, sama seperti kita.. Udah ya Za, gak perlu kamu nemuin mereka, biar Mba Laras yang urus...".
Gua terkekeh pelan. "Okey okey... Aku ngerti..", Gua mendorong Luna dengan kasar ke sisi kiri dan berjalan lagi.
"Reza... Tunggu! Kamu gak usah nemuin mereka! Ezaaa!!".
Gua tidak memperdulikan Luna yang berteriak dan berlari lagi menghalangi jalan Gua, berapa kali dia menahan tubuh ini, berapa kali juga Gua mendorongnya dengan kasar, hingga ia menangis dan menyandarkan tubuh di sisi dinding lorong rumah sakit ini.
Sebuah lorong Gua telusuri dengan langkah yang berat, airmata ini sudah mengering, habis tak bersisa. Namun deru nafas ini masih memburu. Tangan kanan Gua terkepal.
Sementara itu, seorang wanita berlari menghampiri dari arah depan.
Bruk...Tubuhnya memeluk Gua.
"Sabar...",
"Sabar...",
"Sabar Zaa..", ucapnya yang kini sudah memeluk Gua.
Pandangan ini hanya tertuju kepada seorang lelaki tua yang sedang duduk disebuah bangku besi, kedua tangannya menutupi wajahnya. Disebelahnya ada seorang Ibu-ibu yang baru saja diangkat oleh beberapa perawat rumah sakit untuk dibawa ke ruangan lain.
"Za...",
"Istigfar...",
"Istigfaar Zaaa..", ucapnya lagi yang masih memeluk tubuh ini.
"Mereka...",
"Mereka...",
"Mereka...",
"Harus membayar apa yang sudah mereka lakukan pada keluarga kecil ku Mba....",
"Harus!!!!", balas Gua sambil mendesis lirih memandang tangan yang kian memutih terkepal.
Mba Laras langsung memegangi wajah Gua dan menundukkan kepala ini, dia menatap mata Gua lekat-lekat.
"Za, sayang, istigfar.. Mereka berdua juga kehilangan anak mereka Za.. Semua ini sudah takdir Tuhan sayang.. Istigfar Za..", Mba Laras berbicara dengan suara lirih dan sedikit tercekat.
"Mereka kehilangan siapa ? Hah ?!".
"Mereka berdua orangtua supir truck itu Za, anak mereka juga meninggal.. Supir yang menabrak taxi itu meninggal Za, meninggal juga... Istigfar sayang", Mba Laras menggelang pelan sambil menangis.
"Satu anak hah ? Dan anak mereka yang menyebabkan kematiannya sendiri Mba, bukan takdir! Dan aku harus kehilangan anak ku, sedangkan Mamah, harus kehilangan suaminya..", jawab Gua menatap mata Mba Laras.
Gua mendorong tubuh Mba Laras ke sisi kanan, lalu sedetik kemudian Gua berlari mengambil sebuah alat pemadam api yang berukuran kecil pada dinding lorong ini. Lalu kembali menghampiri lekaki tua itu dengan berlari lagi.
Lelaki tua itu bangun dari duduknya, berdiri di samping seorang lelaki muda.
Lelaki tua tadi menatap Gua dengan ekspresi ketakutan, dia mundur beberapa langkah ketika Gua sudah mengangkat alat pemadam api ini.
Gua melayangkan tangan yang masih memegang alat tersebut ke arah kepalanya.
Bruukk...
Tubuh Gua terhempas ke kiri menabrak dinding, sedangkan alat itu sudah terjatuh dan menggelinding di lantai lorong.
"Istigfar Mas! Sabar sabar!", ucap seorang lelaki muda dengan seragam berwarna coklat dan menindih tubuh Gua dari atas.
"Lepas! Lepas!", teriak Gua seraya mendorong tubuhnya.
"Mas! biar hukum yang meyelesaikan kasus ini! Anda tidak bisa main hakim sendiri, tersangkanya juga sudah menjadi korban tewas...", ucapnya lagi dengan tangan yang semakin kuat menahan tubuh Gua agar tetap terlentang di atas lantai.
Gua mendorong tubuhnya dengan lutut dan mengenai punggungnya, hingga dia terjatuh ke samping. Gua bangun dan hendak menghampiri lelaki tua itu.
"Tahan dia!".
Dua orang perawat laki-laki yang daritadi hanya melihat kami sekarang berlari menghampiri Gua. Satu orang sudah berada di depan Gua dan menghalangi jalan, Gua mengelak ke sisi kirinya lalu menyikut wajahnya dengan tangan kanan, seorang lagi yang berada di belakangnya Gua hantam dengan tangan kiri kearah pelipisnya.
Dua orang tumbang dan kini hanya ada seorang lelaki tua. Lelaki tua yang memang Gua incar sedari tadi. Dengan cepat Gua mencekik lehernya dengan satu tangan kiri dan sedetik kemudian kepalan tangan kanan Gua mendarat telak ke hidungnya.
bugh
bugh
bugh
bugh
Hanya empat pukulan yang bisa Gua layangkan ke lelaki tua itu. Dan ternyata cukup membuatnya terjatuh dengan hidung yang sudah bersimbah darah.
"Cukup! Cukup! Cukup Mas!", teriak pria muda berbaju coklat yang kini sudah mengunci tubuh dan lengan Gua dari belakang.
Gua bersimpuh dengan kedua lutut dilorong ini, kedua tangan Gua terkunci olehnya dari belakang. Gua menatap lekat-lekat kepada lelaki tua yang berguling mengaduh di depan.
"Ini belum berakhir... Belum...", ucap Gua pelan.
...
...
...
Gua duduk di atas rerumputan, di sebelah kiri ada Mba Laras bersama Nenek, dan di sebelah kanan ada Mamah mertua Gua dan Luna, sedangkan di sebrang depan telah berkumpul Kinanti, Mba Yu, Mba Siska, Om serta Tante Gua, Rekti cs, dan Dosen kampus Gua, Pak Boy.
Selesai memanjatkan do'a, satu persatu dari kami semua meninggalkan halaman belakang rumah ini untuk kembali masuk ke dalam rumah, kembali berkumpul di ruang tamu dan teras depan bersama pelayat lainnya. Dan di sini, di halaman belakang ini, tinggal Gua, Mba Laras, Luna dan Mamah mertua yang masih duduk di hadapan dua gundukan tanah.
"Maafkan semua kesalahan Papah mertua mu Za, mamah memohon maaf..", ucap Mamah mertua seraya memegangi bahu kanan Gua sambil menangis.
Gua menghela nafas pelan, lalu memejamkan mata dan mengusap linangan air yang sudah mulai mengering di pipi ini.
"Mungkin, kejadian kemarin adalah ego terakhir almarhum Za, maafkan beliau, maafkan beliau ya Za.. Mamah mohon kamu bisa memaafkan beliau agar..", ucapannya tertahan karena Mamah mertua Gua kembali terisak.
Luna yang berada di sisi kanan Mamah mertua Gua, langsung memeluknya, mengusap punggung Mamah mertua Gua itu.
Hancur sudah iman dalam diri ini.
Sesosok bayi cantik yang sudah tak bergerak masih berada dalam pelukkan Gua. Gua belai rambutnya yang tipis, membelai tiap luka yang menggores wajahnya. Tidak seperti ini, ya tidak seperti ini seharusnya, goresan sialan itu tidak seharusnya berani melukai wajah anak Gua.
Oh Tuhan ku, kembalikan ruh ke jasad anakku... Aku memohon Ya Tuhan.
Gua masih memeluknya dan menciumi wajahnya, menciumi lentik jari mungilnya, dan menciumi sekujur tubuhnya yang membiru karena luka lebam.
Dia, gadis kecil ini, tidak layak menghadapi ajal dengan cara seperti ini. Tidak... Gua menolak menerima semua ini. Gua menyangkal bahwa anak Gua telah meninggal.
"Jingga.. Buka matamu sayang...
Buka matamu dan menangislah Nak, Ayah akan membuatkan susu untuk kamu..
Nak.. Buka matamu, ayo bukaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!"
Gua berteriak seraya menggoyangkan tubuhnya dalam pelukkan ini...
Tapi apa lacur, semuanya sia-sia belaka.
...
Gua terbangun karena aroma wewangian yang menusuk indra penciuman ini, Gua mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya putih yang terasa menyilaukan.
"Udah bangun Za ? Gimana sekarang ? Masih pusing ?", tanya Kinanti yang berada di sisi ranjang.
"Aku dimana ?", Gua bertanya seraya mencoba duduk dan menyandarkan punggung.
Kinan membantu Gua untuk bangun. "Ini masih di rumah sakit.. Tadi kamu pingsan..", jawabnya sambil memijat pundak Gua.
Gua mengangguk pelan lalu memijat kening yang terasa pusing.
"Za..".
Gua menengok ke kanan, kearah suara wanita separuh baya yang memanggil nama Gua tadi.
"Mamah ?", ucap Gua memandangi Mamah mertua.
Beliau tampak pucat, kantung matanya sembab, jelas tampak kesedihan dari raut wajahnya itu.
"Za, maafin Mamah dan Papah Nak..", Mamah mertua Gua seketika itu langsung memeluk Gua, menyandarkan kepalanya ke dada ini. "Maafkan kami Nak, maafkan... Hiks.. Hiks.. Hiks..", ucapnya sambil menangis pilu.
Gua mengusap punggung beliau sebentar, lalu mendorong kedua bahunya perlahan. Gua tatap wajahnya lalu tersenyum. "Kenapa kalian ambil Jingga dari aku ?".
"Maafkan Za, maafkan Papah..",
"Mamah sudah mengingatkan Papah bahwa apa yang kami perbuat adalah kesalahan... Tapi dia bersi keras untuk mengasuh Jingga... Maafkan kami Nak..", beliau menyeuka airmatanya lalu kembali duduk di sisi ranjang rumah sakit ini,
"Papah mertua mu... Berfikir pendek...", lanjutnya.
Gua menaikkan satu alis lalu tersenyum kecut. "Maksudnya ?".
"Dia.. Dia menganggap kamu tidak pernah mencintai Echa.. Dan ketika Echa meninggal, dia yakin kalau kamu akan menelantarkan anak kalian.. Apalagi dia melihat ada sosok wanita lain yang dekat dengan kamu setelah Echa tidak ada. Dia takut, takut kalau kamu tidak..".
Gua memotong ucapan beliau. "Tidak mengurus Jingga dengan baik ?", tembak Gua.
Mamah mertua Gua hanya bisa menundukkan kepala sambil terus menangis pelan.
"Mah, apa Eza seburuk itu di mata kalian ? Apa kalian tidak melihat betapa hancurnya Eza ketika ditinggal Echa pergi ?", Gua menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit di belakang Gua, lalu menatap nanar keatas langit-langit ruangan ini. "Aku mengakui kalo aku memang belum mencintai Echa sepenuhnya.. Tapi itu dulu, saat awal kami menikah.. Dan ketika dia mengandung Jingga, semuanya berubah, aku mencintainya tulus dan kehadiran Jingga adalah pelipur lara ku Mah dari kepergian Echa...", lanjut Gua tanpa menoleh sedikit pun.
"Maafkan Papah mertua mu Za, maafkan mamah, maafkan kami..".
Gua menggeleng pelan, lalu memegang dagu beliau, Gua angkat wajahnya perlahan dan menatapnya lekat-lekat. "Semuanya udah percuma Mah, percuma... Enggak ada lagi yang bisa dirubah. Dan sekarang... Kita yang masih berdiri diatas dunia ini yang harus merasakan semua duka".
Kinan mengusap dada Gua dari sisi kiri, Gua menengok kepadanya.
"Ikhlas Za, ikhlasin", ucap Kinan.
Gua tersenyum tipis, lalu menurunkan kaki dari atas ranjang, dan berdiri di samping Kinan. Gua pegang sisi kiri wajahnya dengan tangan kanan, lalu Gua dekatkan wajah Gua hingga hidung kami bertemu.
"Simpan kalimat itu untuk kamu sendiri Kak, dan aku yang akan mengulang kalimat tersebut ketika nanti kamu harus menghadapi kehilangan", Gua menatap matanya lekat-lekat dan sedetik kemudian dia langsung menangis.
Gua berjalan kearah pintu lalu Mamah mertua Gua memanggil lagi.
"Za..".
Gua menengok kepadanya.
"Jangan biarkan emosi menguasai hati kamu Nak..", ucapnya lirih.
...
Gua tutup pintu ruangan itu setelah berada di luar, seorang wanita menghampiri Gua dan langsung memeluk tubuh Gua dari samping.
"Luna ? Kamu udah siuman ?", Gua mendorong pelan tubuhnya.
"Kamu enggak apa-apa kan Za ? Kamu juga pingsan kata Mba Laras ya ?", Luna malah bertanya balik sambil memegangi wajah Gua.
"Udah gak apa-apa Lun..", jawab Gua lalu Gua melihat ke sisi belakang Luna, di ujung sana, Gua melihat Mba Laras dan Nenek yang sedang berbicara dengan dua orang tua yang tidak Gua kenali.
"Lun, itu siapa ?", tanya Gua masih memandang jauh ke depan sana.
Luna menengok ke belakang, lalu menengok lagi kepada Gua. Dia memeluk Gua lagi dan menyandarkan wajahnya ke dada ini. "Udah Za, lebih baik kita ke bagian administrasi untuk urus anak kamu ya.. Biarin mereka jadi urusan Mba Laras", jawab Luna.
"Lun.. Siapa dua orang itu ?", tanya Gua sambil mencengkram lengan kanan Luna.
"Aaah.. Aw.. Sakit Za", Luna meringis dan menepis tangan Gua.
"Jawab Lun...".
Luna menggelengkan kepala pelan dan airmatanya kembali menetes.
"Aku yang akan tanya mereka kalau gitu..", Gua berjalan melewati Luna.
"Za.. Za.. Tunggu, tunggu Za..", Luna menahan langkah Gua dengan memegangi tangan kiri ini.
"Oke oke aku kasih tau.. Tapi kamu janji enggak ada amarah..", lanjutnya yang sudah berdiri di depan dan menghalangi jalan Gua.
"Ya..", jawab Gua.
"Aku diminta Mba Laras nungguin kamu disini, nunggu siuman, dan biarkan Mba Laras yang mengurus kejadian ini Za..".
"Bukan itu jawaban yang aku mau".
"Za, mereka berdua keluarga korban juga, sama seperti kita.. Udah ya Za, gak perlu kamu nemuin mereka, biar Mba Laras yang urus...".
Gua terkekeh pelan. "Okey okey... Aku ngerti..", Gua mendorong Luna dengan kasar ke sisi kiri dan berjalan lagi.
"Reza... Tunggu! Kamu gak usah nemuin mereka! Ezaaa!!".
Gua tidak memperdulikan Luna yang berteriak dan berlari lagi menghalangi jalan Gua, berapa kali dia menahan tubuh ini, berapa kali juga Gua mendorongnya dengan kasar, hingga ia menangis dan menyandarkan tubuh di sisi dinding lorong rumah sakit ini.
Sebuah lorong Gua telusuri dengan langkah yang berat, airmata ini sudah mengering, habis tak bersisa. Namun deru nafas ini masih memburu. Tangan kanan Gua terkepal.
Sementara itu, seorang wanita berlari menghampiri dari arah depan.
Bruk...Tubuhnya memeluk Gua.
"Sabar...",
"Sabar...",
"Sabar Zaa..", ucapnya yang kini sudah memeluk Gua.
Pandangan ini hanya tertuju kepada seorang lelaki tua yang sedang duduk disebuah bangku besi, kedua tangannya menutupi wajahnya. Disebelahnya ada seorang Ibu-ibu yang baru saja diangkat oleh beberapa perawat rumah sakit untuk dibawa ke ruangan lain.
"Za...",
"Istigfar...",
"Istigfaar Zaaa..", ucapnya lagi yang masih memeluk tubuh ini.
"Mereka...",
"Mereka...",
"Mereka...",
"Harus membayar apa yang sudah mereka lakukan pada keluarga kecil ku Mba....",
"Harus!!!!", balas Gua sambil mendesis lirih memandang tangan yang kian memutih terkepal.
Mba Laras langsung memegangi wajah Gua dan menundukkan kepala ini, dia menatap mata Gua lekat-lekat.
"Za, sayang, istigfar.. Mereka berdua juga kehilangan anak mereka Za.. Semua ini sudah takdir Tuhan sayang.. Istigfar Za..", Mba Laras berbicara dengan suara lirih dan sedikit tercekat.
"Mereka kehilangan siapa ? Hah ?!".
"Mereka berdua orangtua supir truck itu Za, anak mereka juga meninggal.. Supir yang menabrak taxi itu meninggal Za, meninggal juga... Istigfar sayang", Mba Laras menggelang pelan sambil menangis.
"Satu anak hah ? Dan anak mereka yang menyebabkan kematiannya sendiri Mba, bukan takdir! Dan aku harus kehilangan anak ku, sedangkan Mamah, harus kehilangan suaminya..", jawab Gua menatap mata Mba Laras.
Gua mendorong tubuh Mba Laras ke sisi kanan, lalu sedetik kemudian Gua berlari mengambil sebuah alat pemadam api yang berukuran kecil pada dinding lorong ini. Lalu kembali menghampiri lekaki tua itu dengan berlari lagi.
Lelaki tua itu bangun dari duduknya, berdiri di samping seorang lelaki muda.
Lelaki tua tadi menatap Gua dengan ekspresi ketakutan, dia mundur beberapa langkah ketika Gua sudah mengangkat alat pemadam api ini.
Gua melayangkan tangan yang masih memegang alat tersebut ke arah kepalanya.
Bruukk...
Tubuh Gua terhempas ke kiri menabrak dinding, sedangkan alat itu sudah terjatuh dan menggelinding di lantai lorong.
"Istigfar Mas! Sabar sabar!", ucap seorang lelaki muda dengan seragam berwarna coklat dan menindih tubuh Gua dari atas.
"Lepas! Lepas!", teriak Gua seraya mendorong tubuhnya.
"Mas! biar hukum yang meyelesaikan kasus ini! Anda tidak bisa main hakim sendiri, tersangkanya juga sudah menjadi korban tewas...", ucapnya lagi dengan tangan yang semakin kuat menahan tubuh Gua agar tetap terlentang di atas lantai.
Gua mendorong tubuhnya dengan lutut dan mengenai punggungnya, hingga dia terjatuh ke samping. Gua bangun dan hendak menghampiri lelaki tua itu.
"Tahan dia!".
Dua orang perawat laki-laki yang daritadi hanya melihat kami sekarang berlari menghampiri Gua. Satu orang sudah berada di depan Gua dan menghalangi jalan, Gua mengelak ke sisi kirinya lalu menyikut wajahnya dengan tangan kanan, seorang lagi yang berada di belakangnya Gua hantam dengan tangan kiri kearah pelipisnya.
Dua orang tumbang dan kini hanya ada seorang lelaki tua. Lelaki tua yang memang Gua incar sedari tadi. Dengan cepat Gua mencekik lehernya dengan satu tangan kiri dan sedetik kemudian kepalan tangan kanan Gua mendarat telak ke hidungnya.
bugh
bugh
bugh
bugh
Hanya empat pukulan yang bisa Gua layangkan ke lelaki tua itu. Dan ternyata cukup membuatnya terjatuh dengan hidung yang sudah bersimbah darah.
"Cukup! Cukup! Cukup Mas!", teriak pria muda berbaju coklat yang kini sudah mengunci tubuh dan lengan Gua dari belakang.
Gua bersimpuh dengan kedua lutut dilorong ini, kedua tangan Gua terkunci olehnya dari belakang. Gua menatap lekat-lekat kepada lelaki tua yang berguling mengaduh di depan.
"Ini belum berakhir... Belum...", ucap Gua pelan.
...
...
...
Gua duduk di atas rerumputan, di sebelah kiri ada Mba Laras bersama Nenek, dan di sebelah kanan ada Mamah mertua Gua dan Luna, sedangkan di sebrang depan telah berkumpul Kinanti, Mba Yu, Mba Siska, Om serta Tante Gua, Rekti cs, dan Dosen kampus Gua, Pak Boy.
Selesai memanjatkan do'a, satu persatu dari kami semua meninggalkan halaman belakang rumah ini untuk kembali masuk ke dalam rumah, kembali berkumpul di ruang tamu dan teras depan bersama pelayat lainnya. Dan di sini, di halaman belakang ini, tinggal Gua, Mba Laras, Luna dan Mamah mertua yang masih duduk di hadapan dua gundukan tanah.
"Maafkan semua kesalahan Papah mertua mu Za, mamah memohon maaf..", ucap Mamah mertua seraya memegangi bahu kanan Gua sambil menangis.
Gua menghela nafas pelan, lalu memejamkan mata dan mengusap linangan air yang sudah mulai mengering di pipi ini.
"Mungkin, kejadian kemarin adalah ego terakhir almarhum Za, maafkan beliau, maafkan beliau ya Za.. Mamah mohon kamu bisa memaafkan beliau agar..", ucapannya tertahan karena Mamah mertua Gua kembali terisak.
Luna yang berada di sisi kanan Mamah mertua Gua, langsung memeluknya, mengusap punggung Mamah mertua Gua itu.
Gua tidak menanggapi ucapannya, Gua berdiri lalu pergi ke dalam rumah, Gua menaiki tangga ke lantai dua, mengacuhkan suara-suara yang memangil nama Gua dari mereka yang sedang berukumpul di ruang tamu.
Gua masuk ke dalam kamar, lalu mengambil dua frame foto yang berukuran besar dan kecil. Lalu Gua duduk di atas kasur, menaruh kedua frame foto tersebut di atas kedua paha ini. Gua tersenyum kelu memandangi kedua wajah yang nyaris serupa, membelai wajah itu, wajah yang sudah diabadikan dalam kertas foto.
Tidak ada lagi sinar jingga yang biasanya menyeruak menembus jendela kamar ini. Sore ini mendung, langit gelap, rintikan air turun dari atas sana dengan perlahan, dan suasana dalam kamar terasa sangat sendu, hanya lampu tidur yang menyala di atas meja kecil samping kasur ini menjadi penerang untuk Gua.
Gua menengadah, memejamkan mata sejenak, jejak airmata yang sudah mengering kembali basah, jantung Gua berdegup kencang. Jemari Gua bergetar dengan sendirinya, tanpa bisa Gua tahan. Suara rintikan hujan di luar sana cukup mengaburkan suara isak tangis yang keluar dari mulut Gua.
Gua menarik nafas pelan karena sulit rasanya menghirup udara masuk ke dalam dada yang terasa sesak. Tangan Gua bergetar. Satu demi satu tetesan air membasahi kedua frame foto itu, Gua menggertakan gigi dan menahan perih ini.
"Sekarang kamu sudah ditemani oleh anak kita kan Cha ? Dia udah di sana kan Cha ? Ya kan ?", Gua berbicara seolah-olah fotonya menanggapi ucapan Gua ini.
"Cha.. Huuufttt...", Gua menghela nafas agar dada ini tidak terasa sesak.
"Aku udah gak punya lagi cahaya di dunia ini Cha.. Gak ada Cha.. Kamu lah satu cahaya itu.. Lalu kamu pergi.. Pergi ke dimensi lain, dan cahaya itupun sirna Cha..", tetes demi tetes airmata ini semakin deras tertumpah.
"Dan ada dia, dia yang menerangi aku setelah kamu pergi.. Dia cahaya baru untuk aku Cha.. Tapi sekarang...", Gua menggelengkan kepala dalam tangis ini.
"Maafkan aku Cha.. Maafkan aku... Maaf atas segala apa yang sudah kamu terima selama hidup.. Maaf Cha".
"Hai cantik.. Hai permata hidup ku yang hilang..", ucap Gua kali ini kepada frame foto yang berukuran lebih kecil.
"Temani Bunda di sana ya.. Temani Bunda kamu.. Ajak dia bermain disana, buat dia tersenyum... Karena... Karena.. Haaaah.. Hah.. Huufttt...", Gua menghirup udara sejenak. "Karena Ayah udah gak bisa bahagiain Bunda dan kamu Nak!", Suara ini bergetar bercampur isak tangis dan mata Gua terpejam kuat, kening Gua berkerut dan cengkraman tangan pada kedua frame foto itu semakin kencang.
Gua memeluk frame foto yang besar, mendekapnya ke dada ini. Gua menangis tanpa suara. Lalu Gua mencium frame foto yang lebih kecil, foto itu menampakkan sosok bayi yang sedang tertidur menyamping, wajahnya damai, tanpa luka, pipinya chubby dan mulus, bersih... Sangat bersih. Kemudian Gua peluk kedua frame itu, mendekapnya lagi di depan dada. Tubuh Gua membungkuk dan terus menangis, sakit rasanya dada ini. Dan Gua sudah tidak bisa lagi membendung sakitnya serta sesaknya semua perasaan yang sudah hancur lebur dalam diri ini....
"AAAAAAAARRRRRRRGGGGGHHHHH.....!!!!"
Gua masuk ke dalam kamar, lalu mengambil dua frame foto yang berukuran besar dan kecil. Lalu Gua duduk di atas kasur, menaruh kedua frame foto tersebut di atas kedua paha ini. Gua tersenyum kelu memandangi kedua wajah yang nyaris serupa, membelai wajah itu, wajah yang sudah diabadikan dalam kertas foto.
Tidak ada lagi sinar jingga yang biasanya menyeruak menembus jendela kamar ini. Sore ini mendung, langit gelap, rintikan air turun dari atas sana dengan perlahan, dan suasana dalam kamar terasa sangat sendu, hanya lampu tidur yang menyala di atas meja kecil samping kasur ini menjadi penerang untuk Gua.
Gua menengadah, memejamkan mata sejenak, jejak airmata yang sudah mengering kembali basah, jantung Gua berdegup kencang. Jemari Gua bergetar dengan sendirinya, tanpa bisa Gua tahan. Suara rintikan hujan di luar sana cukup mengaburkan suara isak tangis yang keluar dari mulut Gua.
Gua menarik nafas pelan karena sulit rasanya menghirup udara masuk ke dalam dada yang terasa sesak. Tangan Gua bergetar. Satu demi satu tetesan air membasahi kedua frame foto itu, Gua menggertakan gigi dan menahan perih ini.
"Sekarang kamu sudah ditemani oleh anak kita kan Cha ? Dia udah di sana kan Cha ? Ya kan ?", Gua berbicara seolah-olah fotonya menanggapi ucapan Gua ini.
"Cha.. Huuufttt...", Gua menghela nafas agar dada ini tidak terasa sesak.
"Aku udah gak punya lagi cahaya di dunia ini Cha.. Gak ada Cha.. Kamu lah satu cahaya itu.. Lalu kamu pergi.. Pergi ke dimensi lain, dan cahaya itupun sirna Cha..", tetes demi tetes airmata ini semakin deras tertumpah.
"Dan ada dia, dia yang menerangi aku setelah kamu pergi.. Dia cahaya baru untuk aku Cha.. Tapi sekarang...", Gua menggelengkan kepala dalam tangis ini.
"Maafkan aku Cha.. Maafkan aku... Maaf atas segala apa yang sudah kamu terima selama hidup.. Maaf Cha".
"Hai cantik.. Hai permata hidup ku yang hilang..", ucap Gua kali ini kepada frame foto yang berukuran lebih kecil.
"Temani Bunda di sana ya.. Temani Bunda kamu.. Ajak dia bermain disana, buat dia tersenyum... Karena... Karena.. Haaaah.. Hah.. Huufttt...", Gua menghirup udara sejenak. "Karena Ayah udah gak bisa bahagiain Bunda dan kamu Nak!", Suara ini bergetar bercampur isak tangis dan mata Gua terpejam kuat, kening Gua berkerut dan cengkraman tangan pada kedua frame foto itu semakin kencang.
Gua memeluk frame foto yang besar, mendekapnya ke dada ini. Gua menangis tanpa suara. Lalu Gua mencium frame foto yang lebih kecil, foto itu menampakkan sosok bayi yang sedang tertidur menyamping, wajahnya damai, tanpa luka, pipinya chubby dan mulus, bersih... Sangat bersih. Kemudian Gua peluk kedua frame itu, mendekapnya lagi di depan dada. Tubuh Gua membungkuk dan terus menangis, sakit rasanya dada ini. Dan Gua sudah tidak bisa lagi membendung sakitnya serta sesaknya semua perasaan yang sudah hancur lebur dalam diri ini....
"AAAAAAAARRRRRRRGGGGGHHHHH.....!!!!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***
Januari 2009
"Pihak kampus menyetujui usulan aku dan Pak Boy Za, mereka kasih kamu izin untuk ambil cuti lagi, sesuai yang kamu mau... Mereka mengerti akan kondisi kamu, tapi ya untuk kewajiban biaya semester dan lainnya tetap harus sesuai aturan", ucap Kinanti yang sedang duduk bersama Gua di gazebo halaman belakang.
Gua mengangguk pelan tanpa memandanginya. "Kamu minta urus Mba Laras aja Kak, soal biaya kuliah udah aku serahin ke dia. Aku gak mau sebenarnya lanjutin kuliah ku..", jawab Gua.
"Kamu udah berkali-kali bilang gitu Za, tapi kan sayang, udah masuk semester empat, dan dua semester lagi kamu selesai, jangan sampai mengulang dari awal, dan pilihan cuti ini udah solusi terbaik", lanjutnya seraya memegang tangan kanan Gua.
"Terserah..".
"Maaf Za, kami gak mau kamu terus begini, kamu harus lanjutin hidup kamu Za, kamu masih punya keluarga, ada Nenek, Mba Laras, Om, Tante dan aku.. Kamu gak sendirian Za... Enggak".
Gua menengok kepadanya lalu memegang sisi wajahnya. "Kamu gak tau apa-apa soal hidup ku Kak..".
"Za, kita semua sedih, kehilangan, dan sakit atas apa yang udah terjadi.. Aku memang bukan kamu yang ngalamin ini semua, tapi aku dan yang lain tau gimana sakitnya kenyataan yang harus kamu jalanin.. Dan inilah gunanya keluarga Za, merangkul satu sama lain, agar kita bisa bersama-sama melewati semuanya".
Gua menggelengkan kepala lalu mengeluarkan lintingan dan membakarnya.
"Za! Udah ih! Apaan sih kamu konsumsi barang terla..", ucapan Kinan terhenti ketika Gua menempelkan jari telunjuk tepat di bibirnya.
"Sssttt.. You better get out.. Aku gak mau denger suara teriakan kamu karena pipi kamu yang mulus ini kena tampar..", bisik Gua pelan sambil terkekeh dan memicingkan mata menatapnya.
Kedua bola mata Kinan berkaca-kaca, lalu dia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Gua sendirian di gazebo ini. Gua kembali menghisap dalam-dalam lintingan ini, lalu Gua berteriak memanggil art rumah.
"Mbaaa!!! Mbaaa!!".
"Iya Mass.. Iya ada apa Mas ?", ucap art rumah sambil berlari dan tertunduk ketika sudah berada di depan Gua.
"Bikinin saya es teh manis sana! Jangan lama!", ucap Gua lalu berdiri dan duduk di sisi kolam renang.
Art rumah kembali masuk ke dalam rumah. Sekarang Gua memasukkan kedua kaki ini kedalam kolam renang hingga sebatas lutut, Gua duduk disisinya. Lalu memandang ke depan, ke sebrang kolam, dimana dua orang wanita yang Gua cintai berada dalam gundukan tanah.
Gua tersenyum kearah sana, lalu kembali menghisap lintingan ini. Seketika itu juga Gua tertawa pelan sambil memainkan kaki yang berada di dalam air. Tertawa dan meneteskan airmata...
"Pihak kampus menyetujui usulan aku dan Pak Boy Za, mereka kasih kamu izin untuk ambil cuti lagi, sesuai yang kamu mau... Mereka mengerti akan kondisi kamu, tapi ya untuk kewajiban biaya semester dan lainnya tetap harus sesuai aturan", ucap Kinanti yang sedang duduk bersama Gua di gazebo halaman belakang.
Gua mengangguk pelan tanpa memandanginya. "Kamu minta urus Mba Laras aja Kak, soal biaya kuliah udah aku serahin ke dia. Aku gak mau sebenarnya lanjutin kuliah ku..", jawab Gua.
"Kamu udah berkali-kali bilang gitu Za, tapi kan sayang, udah masuk semester empat, dan dua semester lagi kamu selesai, jangan sampai mengulang dari awal, dan pilihan cuti ini udah solusi terbaik", lanjutnya seraya memegang tangan kanan Gua.
"Terserah..".
"Maaf Za, kami gak mau kamu terus begini, kamu harus lanjutin hidup kamu Za, kamu masih punya keluarga, ada Nenek, Mba Laras, Om, Tante dan aku.. Kamu gak sendirian Za... Enggak".
Gua menengok kepadanya lalu memegang sisi wajahnya. "Kamu gak tau apa-apa soal hidup ku Kak..".
"Za, kita semua sedih, kehilangan, dan sakit atas apa yang udah terjadi.. Aku memang bukan kamu yang ngalamin ini semua, tapi aku dan yang lain tau gimana sakitnya kenyataan yang harus kamu jalanin.. Dan inilah gunanya keluarga Za, merangkul satu sama lain, agar kita bisa bersama-sama melewati semuanya".
Gua menggelengkan kepala lalu mengeluarkan lintingan dan membakarnya.
"Za! Udah ih! Apaan sih kamu konsumsi barang terla..", ucapan Kinan terhenti ketika Gua menempelkan jari telunjuk tepat di bibirnya.
"Sssttt.. You better get out.. Aku gak mau denger suara teriakan kamu karena pipi kamu yang mulus ini kena tampar..", bisik Gua pelan sambil terkekeh dan memicingkan mata menatapnya.
Kedua bola mata Kinan berkaca-kaca, lalu dia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Gua sendirian di gazebo ini. Gua kembali menghisap dalam-dalam lintingan ini, lalu Gua berteriak memanggil art rumah.
"Mbaaa!!! Mbaaa!!".
"Iya Mass.. Iya ada apa Mas ?", ucap art rumah sambil berlari dan tertunduk ketika sudah berada di depan Gua.
"Bikinin saya es teh manis sana! Jangan lama!", ucap Gua lalu berdiri dan duduk di sisi kolam renang.
Art rumah kembali masuk ke dalam rumah. Sekarang Gua memasukkan kedua kaki ini kedalam kolam renang hingga sebatas lutut, Gua duduk disisinya. Lalu memandang ke depan, ke sebrang kolam, dimana dua orang wanita yang Gua cintai berada dalam gundukan tanah.
Gua tersenyum kearah sana, lalu kembali menghisap lintingan ini. Seketika itu juga Gua tertawa pelan sambil memainkan kaki yang berada di dalam air. Tertawa dan meneteskan airmata...
Quote:
"Just a dead man, walking through the dead of night"
Diubah oleh glitch.7 25-05-2017 21:14
fatqurr dan dany.agus memberi reputasi
2
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/18/9605475_20170318104940.jpg)
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/19/9605475_20170319120710.jpg)



love u too bun...ahaha..

). 
(Jangan lupa tempura seminggu sekali ya Yah) 

