- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#32
Chapter 6 : Angin Musim Semi di Malam Nostalgia
Sekitar pukul sepuluh siang, kami berempat akhirnya sampai dirumah kontrakannya bang Tedi. Kali ini kami kedatangan satu orang lagi, Ardan. Dia baru saja tiba di Malang dengan sepeda motornya, dia berangkat pagi-pagi sekali. Sempat ia marah-marah di whatsapp karena dia bingung alamat rumahnya bang Tedi, dan tak ada respon sama sekali dari kami waktu itu, berhubung masing-masing sibuk mencari tempat tesnya sendiri.
Aku kemudian menuju ruang belakang untuk menemuinya. Disitu dia tengah asik ngobrol dengan Eru, lalu aku menjabat tangannya sambil ngobrol-ngobrol sedikit. Setelah itu aku pergi ke kamarnya bang Tedi, tempat teman-temanku yang lain beristirahat. Kuambil sekaleng minuman bersoda dari tasku, lalu kuteguk dan kunikmati segarnya minuman tersebut. Tubuhku begitu lelah berjalan sejauh itu. Aku pun menrebahkan tubuhku ke kasur yang tak terlalu tebal namun lumayan empuk.
Beberapa menit aku merebahkan tubuhku, kudengar dari ruang belakang Eru sedang bermain gitar. Aku pun tertarik bergabung dengan dia. Mungkin dengan bernyanyi akan sedikit menghilangkan stres dan rasa lelahku.
“Er, gantian dong. Biar gue yang main gitar!” Seruku, menghentikan alunan petikan gitarnya.
“Nih Megg.” Jawab dia, lalu menyerahkan gitar dengan warna hitam metalik milik temannya bang Edi.
“Ayo Megg, nyanyi apa gitu. I Don’t Wanna Miss A Thing, Aerosmith. Bisa nggak lo ?” Ardan me-request sebuah lagu di pagi yang setengah siang itu.
“Bentar bro, gue carikan kuncinya dulu.” Aku menjawab halus sambil browsing di smartphone-ku, mencari chord lagu tersebut.
Setelah chord-nya kutemukan, aku mulai memainkan gitar tersebut. Ardan perlahan menyanyikan lagu tersebut, aku pun mengikutinya.
Lagu itu merupakan lagu yang cukup hits, liriknya dapat dikatakan romantis. Namun aku kurang begitu suka dengan lagu itu.
Kunikmati setiap alunan dari gitar tersebut, walaupun suara kita tak sebagus Steven Tyler, tapi yang terpenting adalah suasana seru-seruan bareng yang mampu menghilangkan penat serta stress kala itu.
Setelah lagu dari Aerosmith selesai dibawakan. Aku kemudian membawakan sebuah lagu dari Bad English. Lagu yang nggak kalah keren dan romantis dari lagu yang tadi, judulnya yaitu When I See You Smile. Jujur, aku cukup suka dengan lagu ini, meskipun nggak terlalu mellow lagu ini pas banget didengerin kalau sedang ingat seseorang.
“When I see you smile, I can face the world…oh oh you know I can do anything.” Suara kami yang bertimbre berbeda sedikit fals memenuhi langit-langit di ruang belakang itu.
Terkadang musik mampu mengungkapkan apa yang ada didalam hati kita. Musik terkadang mampu menghilangkan rasa stres meskipun itu hanya sebentar. Musik mampu menghinotis setiap pendengarnya untuk menghayati dan masuk kedalam nuansa lagu tersebut.
“Eh bro, udah gantian lo aja yang main gitar, gue mau istirahat dulu.” Aku mengembalikan gitar tersebut kepada Eru untuk ia mainkan. Aku beringsut pergi meninggalkan ruang belakang itu menuju kamar temannya bang Tedi untuk tidur siang.
Teman-temanku terlihat lesu karena kelelahan. Kebanyakan mereka ketiduran di siang itu. Cuaca siang itu berubah mendung. Ruangan kamar itu cukup sempit, kami harus tidur berdesak-desakan.
Seperti yang kuduga hari itu akan turun hujan didaerah Malang. Hujan yang menenangkan, membuatku terlelap dalam ketenangan. Meski tak jarang sepotong kenangan demi kenangan melintas dalam ingatan.
***
Setengah sadar aku mendengar suara temanku berbisik-bisik hendak pergi mencari makan. Aku masih mengantuk, kuteruskan lagi tidurku. Hingga beberapa menit kemudian aku terbangun karena perut yang mulai keroncongan. Krisisi mulai melanda.
“Eh udah pada makan semua ya?” Tanyaku kepada Pras.
“Gue belum Megg.” Pertanyaanku justru dijawab oleh Saad yang kebetulan belum makan, berbeda dengan temanku yang lain yang mayoritas sudah makan.
“Kalian cari makan dimana?” Tanyaku penasaran, sesekali menepuk-nepuk perutku untuk sedikit bersabar.
“Didepan sana, deket mushola.” Kali ini Pras yang menjawab.
“Menunya apa saja?” Sekali lagi aku bertanya untuk memastikan.
Mereka menjelaskan dengan detail berbagai menu dan juga harganya. Menunya ada bermacam-macam, contoh saja rujak, lontong tahu, nasi pecel, dll. Aku pun menyeret Ubed yang masih rebahan dikasur, bergegas mencari makan menuju lokasi yang dijelaskan temanku tadi.
Kita berlari menerobos gerimis yang belum juga reda. Pakaianku setengah basah terkena air hujan.
Didekat mushola aku melihat seorang bapak tua yang sedang istirahat diteras mushola. Disampingnya ada semacam botol minuman, kulihat botol itu masih utuh jumlahnya belum berkurang, aku mengerti itu karena tak ada slot kosong diantara deretan botol tersebut. Pikirku, mungkin dagangannya tersebut belum laku hari itu, aku merasa prihatin betapa susahnya sekarang mencari nafkah. Tuhan mengajarkanku arti dari bersyukur saat itu.
Kami berdua akhirnya sampai diwarung yang dimaksud oleh teman-temanku tadi. Kita berdua lalu memesan dua porsi tahu lontong, aku tidak memakai cabe sedangkan Ubed meminta dikasih cabe tapi tak terlalu banyak. Tak lupa kami juga memesan dua gelas teh hangat sebagai penghangat tubuh. Dari kecil aku tidak suka makanan yang pedas, menurutku sendiri rasa pedas itu merusak cita rasa makanan, karena yang terasa dilidah adalah pedas itu sendiri, bumbu-bumbu yang lain menjadi hambar. It’s just my opinion.
Aku menikmati makanan tersebut pelan-pelan. Tiba-tiba bapak yang istirahat didekat mushola tadi menghampiri warung tempatku berada. Sambil menyerahkan uang beberapa ribu. ia membeli sebungkus kerupuk. Aku merasa tambah prihatin, tak sebanding dengan makanan yang ada didepanku. Hanya dengan sebungkus kerupuk itulah ia mengisi perutnya di siang itu. Aku yakin dia juga memiliki keluarga, dan darisitu aku tahu bahwa betapa hebatnya perjuangan seorang ayah demi menafkahi keluarganya. Aku tahu, tentunya masih banyak orang yang senasib dengan bapak tersebut.
Segera kuhabiskan makanan tadi lalu kuminum teh hangat itu sedikit demi sedikit untuk menghangatkan tubuhku. Sambil menunggu Ubed menghabiskan makanannya, aku diam tak banyak bicara. Aku menunggunya hingga didetik terakhir ia menghabiskan makanannya tersebut. Setelah itu kami membayar makanan tersebut lalu kembali lagi ke rumah kontrakkannya bang Edi. Entah mengapa sore itu suasananya adem banget, menenangkan hati.
Besok adalah hari penentuan, itu bukan sekedar permainan. Itu adalah perjuangan yang berat. Melihat hal itu, seluruh teman-temanku membuka pusakanya masing-masing. Ada yang membaca buku SBMPTN, buku-buku bimbingan belajar, soal-soal ujian, catatan-catatan kecil, dan juga materi dari internet. Aku pun sedikit berdiskusi dengan temanku perihal soal matematika yang menurutku lumayan sulit.
“Megg, soal yang ini bagaimana penyelesaiannya ?” Ardan bertanya kepadaku.
“Ini bukannya seperti ini ya, kalau menurutku sih begitu.” Jawabku meragukan, menjawab soal tentang persamaan kuadrat dan tugas kami untuk menyerdehanakan. Bagiku itu bukan hal yang mudah, tapi juga tidak terlalu sulit dipahami.
“Eh zam, ini gimana?” Aku bertanya kepada Izam, dia yang lebih pintar di antara kami tentang matematika.
Dengan lihai dan sesederhana mungkin ia mengolah persamaan itu, mengutak-atik angka tersebut menjadi lebih simple dan akhirnya berhasil menemukan jawaban tersebut. Detik itu aku hum tapi mungkin nanti mendadak nge-blank jika dihadapkan dengan soal itu lagi. Kurasa Ardan juga sudah puas dengan jawaban Izam.
Sore itu suasana begitu serius, tanpa sadar malam pun datang menjemput. Hari masih mendung, senja tak terlihat.
Malam itu adalah malam yang begitu tenang, setenang sore tadi namun tak seramai malam-malam kemarin. Rengga, meskipun gayanya kurang menyakinkan tapi dia begitu serius membaca materi-materi untuk ujian besok. Temanku yang lain pun demikian, begitu serius malam itu. Aku ingin melupakan segala hal tentang pelajaran malam itu, aku ingin merefresh pikiranku, agar besok bisa digunakan lebih maksimal.
“Nggak ada yang pengen cari makan?” Suara Ilham memecah keheningan, suasana seketika berubah. Fokus mereka teralihkan, mengatasi krisis kelaparan lebih penting saat itu.
“Gue laper nih bro, cari makan aja yuk.” Aku menjawab pertanyaan Ilham, dari sorot mata teman-temanku yang lain sepertinya mereka setuju.
Buku-buku, soal-soal, mereka tinggalkan sejenak. Semua beringsut meninggalkan kamar sempit itu. Gerimis telah reda, kami berjalan melewati gang-gang sempit dibawah lampu-lampu remang. Tetes-tetes air terkadang terjatuh pelan, sisa air hujan tadi siang.
Mata-mata kami melihat sekeliling, menatap warung demi warung, mencocokkan menu. Hanya beberapa meter kami berjalan, kami berhenti.
“Gimana nih? Apa kita makan bakso didekat pertigaan tadi?” Ilham membuka pembicaraan. Sejauh kami berjalan, hanya tukang bakso itu yang kami lihat.
Semua mengangguk, tak banyak berkomentar. Seporsi bakso sepertinya cocok untuk menghangatkan tubuh sekaligus mengatasi krisis didalam perut. Kami pun kembali berjalan.
“Pak….Haloo…Pak.” Beberapa dari kami memanggil-manggil abang tukang bakso. Gerobak itu dibiarkan tanpa ada penjagaan. Mungkin abang tukang bakso masih sibuk.
“Mau beli bakso dek?” Mendengar suara kami, Abang bakso itu bergegas meninggalkan perbincangannya dengan seseorang yang tak jauh dari kami.
“Iya pak, delapan porsi ya.” Ilham menjawab ramah pertanyaan abang tukang bakso yang merupakan bapak setengah baya dengan mengenakan peci.
Sambil menunggu pesanan kami datang, kami semua duduk disalah satu bangku dekat gerobak bakso itu. Letaknya persis dibawah pohon mangga. Sesekali berbicara hal-hal yang tak terlalu penting. Pembicaraan yang serius rasanya tak terlalu pantas dibicarakan saat itu.
“Lo ngapain Ham? Serius banget?” Aku mencoba membuka pertanyaan dengan Ilham yang tengah sibuk dengan smartphone-nya.
“Nih pacar gue, dia besok ujian kayak kita. Cuman, dia nggak dapet tiket kereta, mau naik bis juga nggak cukup waktunya nanti.” Dengan sedikit risau, Ilham menjawab. Matanya masih terfokus dengan smartphone-nya.
Aku berkomentar sedikit, mengutarakan pendapatku. Teman-temanku yang lain sibuk bercanda tak jelas ditengah perbincanganku dengna Ilham.
Abang bakso mengantarkan delapan porsi bakso ke meja kami. Sebagai pelengkap sebotol saus dan kecap diletakkan dimeja kami.
Semangkuk bakso hangat itu sekali lagi menambah kerekatan diantara kami semua. Meski pada dasarnya kita berbeda latar, jarang sekali bertutur sapa disekolah. Malam ini semuanya berbeda.
***
Pukul 19.30 WIB, Aku membuka smartphone-ku sambil melihat-lihat pesan masuk di Blackberry Mesengasr. Aku membuka obrolan dengan Dinda karena ada sedikit rasa kangen.
Pembicaraan kami berhenti, karena tak ada balasan dari Dinda. Kupikir dia sedang sebuk jadi bukan masalah. Saat chatting-an dengannya, sesekali dalam ingatanku terlintas kilas balik tentang kejadian pada malam itu, tepatnya setahun yang lalu. Detik inipun aku merasa bernostalgia dengan Dinda. Sesekali rasa sakit itu membuka kembali, tapi aku sudah berdamai dengan keadaan. Aku telah memaafkan dia.
Sejak malam menyakitkan itu, aku tertatih-tatih menjalani hari-hariku. Dunia memang belum berakhir, aku percaya itu. Tapi sia-sia, aku tetap luruh. Wajah polos itu menghatuiku berpuluh-puluh malam. Sampai saat ini aku terjebak dalam satu ruang yang kusebut itu cinta. Entah itu cinta sungguhan atau cinta sesaat, yang jelas aku tidak bisa keluar dari ruangan tersebut, aku terkunci didalamnya. Semua masih untuk Dinda.
Waktu sudah hampir larut malam, aku memutuskan untuk beristirahat. Tiba-tiba ada pesan masuk di smartphone-ku, ketika kulihat pertama kali aku sedikit tersentak. Aku tak menyangka bahwa pesan itu dari dia.
Percakapan singkat itu berakhir.
Tiara adalah teman seangkatanku. Aku tahu dia, tapi kupikir dia tak tahu apa-apa tentangku. Seringkali aku berpapasan dengannya dikantin atau diparkiran sekolah. Layaknya orang asing. Aku tak tahu ada angin apa sehingga ia hadir dalam kehidupanku. Ah, pikiran aneh itu tiba-tiba mengusik kembali.
Ada sedikit rasa senang yang muncul dalam hatiku. Bunga itu bersemai lagi, musim perlahan namun pasti. Anginnya berhembus mesra seakan berbisik bahwa aku harus membiarkan masa laluku tertinggal dibelakang, ada sosok baru yang menantimu dimasa depan.
Kegiatanku segera kuakhiri malam itu, aku tak ingin berlama-lama lagi berhubung besok aku harus benar-benar dalam kondisi yang fresh agar bisa semaksimal mungkin dalam ujian. Setelah sholat Isya’ aku bergegas tidur, tak lama kemudian teman-temanku juga ikut tidur. Tak lupa aku memanjatkan doa kepada Tuhan. Semoga tidurku lelap, hariku besok menyenangkan.
Sekitar pukul sepuluh siang, kami berempat akhirnya sampai dirumah kontrakannya bang Tedi. Kali ini kami kedatangan satu orang lagi, Ardan. Dia baru saja tiba di Malang dengan sepeda motornya, dia berangkat pagi-pagi sekali. Sempat ia marah-marah di whatsapp karena dia bingung alamat rumahnya bang Tedi, dan tak ada respon sama sekali dari kami waktu itu, berhubung masing-masing sibuk mencari tempat tesnya sendiri.
Aku kemudian menuju ruang belakang untuk menemuinya. Disitu dia tengah asik ngobrol dengan Eru, lalu aku menjabat tangannya sambil ngobrol-ngobrol sedikit. Setelah itu aku pergi ke kamarnya bang Tedi, tempat teman-temanku yang lain beristirahat. Kuambil sekaleng minuman bersoda dari tasku, lalu kuteguk dan kunikmati segarnya minuman tersebut. Tubuhku begitu lelah berjalan sejauh itu. Aku pun menrebahkan tubuhku ke kasur yang tak terlalu tebal namun lumayan empuk.
Beberapa menit aku merebahkan tubuhku, kudengar dari ruang belakang Eru sedang bermain gitar. Aku pun tertarik bergabung dengan dia. Mungkin dengan bernyanyi akan sedikit menghilangkan stres dan rasa lelahku.
“Er, gantian dong. Biar gue yang main gitar!” Seruku, menghentikan alunan petikan gitarnya.
“Nih Megg.” Jawab dia, lalu menyerahkan gitar dengan warna hitam metalik milik temannya bang Edi.
“Ayo Megg, nyanyi apa gitu. I Don’t Wanna Miss A Thing, Aerosmith. Bisa nggak lo ?” Ardan me-request sebuah lagu di pagi yang setengah siang itu.
“Bentar bro, gue carikan kuncinya dulu.” Aku menjawab halus sambil browsing di smartphone-ku, mencari chord lagu tersebut.
Setelah chord-nya kutemukan, aku mulai memainkan gitar tersebut. Ardan perlahan menyanyikan lagu tersebut, aku pun mengikutinya.
Lagu itu merupakan lagu yang cukup hits, liriknya dapat dikatakan romantis. Namun aku kurang begitu suka dengan lagu itu.
Kunikmati setiap alunan dari gitar tersebut, walaupun suara kita tak sebagus Steven Tyler, tapi yang terpenting adalah suasana seru-seruan bareng yang mampu menghilangkan penat serta stress kala itu.
Setelah lagu dari Aerosmith selesai dibawakan. Aku kemudian membawakan sebuah lagu dari Bad English. Lagu yang nggak kalah keren dan romantis dari lagu yang tadi, judulnya yaitu When I See You Smile. Jujur, aku cukup suka dengan lagu ini, meskipun nggak terlalu mellow lagu ini pas banget didengerin kalau sedang ingat seseorang.
“When I see you smile, I can face the world…oh oh you know I can do anything.” Suara kami yang bertimbre berbeda sedikit fals memenuhi langit-langit di ruang belakang itu.
Terkadang musik mampu mengungkapkan apa yang ada didalam hati kita. Musik terkadang mampu menghilangkan rasa stres meskipun itu hanya sebentar. Musik mampu menghinotis setiap pendengarnya untuk menghayati dan masuk kedalam nuansa lagu tersebut.
“Eh bro, udah gantian lo aja yang main gitar, gue mau istirahat dulu.” Aku mengembalikan gitar tersebut kepada Eru untuk ia mainkan. Aku beringsut pergi meninggalkan ruang belakang itu menuju kamar temannya bang Tedi untuk tidur siang.
Teman-temanku terlihat lesu karena kelelahan. Kebanyakan mereka ketiduran di siang itu. Cuaca siang itu berubah mendung. Ruangan kamar itu cukup sempit, kami harus tidur berdesak-desakan.
Seperti yang kuduga hari itu akan turun hujan didaerah Malang. Hujan yang menenangkan, membuatku terlelap dalam ketenangan. Meski tak jarang sepotong kenangan demi kenangan melintas dalam ingatan.
***
Setengah sadar aku mendengar suara temanku berbisik-bisik hendak pergi mencari makan. Aku masih mengantuk, kuteruskan lagi tidurku. Hingga beberapa menit kemudian aku terbangun karena perut yang mulai keroncongan. Krisisi mulai melanda.
“Eh udah pada makan semua ya?” Tanyaku kepada Pras.
“Gue belum Megg.” Pertanyaanku justru dijawab oleh Saad yang kebetulan belum makan, berbeda dengan temanku yang lain yang mayoritas sudah makan.
“Kalian cari makan dimana?” Tanyaku penasaran, sesekali menepuk-nepuk perutku untuk sedikit bersabar.
“Didepan sana, deket mushola.” Kali ini Pras yang menjawab.
“Menunya apa saja?” Sekali lagi aku bertanya untuk memastikan.
Mereka menjelaskan dengan detail berbagai menu dan juga harganya. Menunya ada bermacam-macam, contoh saja rujak, lontong tahu, nasi pecel, dll. Aku pun menyeret Ubed yang masih rebahan dikasur, bergegas mencari makan menuju lokasi yang dijelaskan temanku tadi.
Kita berlari menerobos gerimis yang belum juga reda. Pakaianku setengah basah terkena air hujan.
Didekat mushola aku melihat seorang bapak tua yang sedang istirahat diteras mushola. Disampingnya ada semacam botol minuman, kulihat botol itu masih utuh jumlahnya belum berkurang, aku mengerti itu karena tak ada slot kosong diantara deretan botol tersebut. Pikirku, mungkin dagangannya tersebut belum laku hari itu, aku merasa prihatin betapa susahnya sekarang mencari nafkah. Tuhan mengajarkanku arti dari bersyukur saat itu.
Kami berdua akhirnya sampai diwarung yang dimaksud oleh teman-temanku tadi. Kita berdua lalu memesan dua porsi tahu lontong, aku tidak memakai cabe sedangkan Ubed meminta dikasih cabe tapi tak terlalu banyak. Tak lupa kami juga memesan dua gelas teh hangat sebagai penghangat tubuh. Dari kecil aku tidak suka makanan yang pedas, menurutku sendiri rasa pedas itu merusak cita rasa makanan, karena yang terasa dilidah adalah pedas itu sendiri, bumbu-bumbu yang lain menjadi hambar. It’s just my opinion.
Aku menikmati makanan tersebut pelan-pelan. Tiba-tiba bapak yang istirahat didekat mushola tadi menghampiri warung tempatku berada. Sambil menyerahkan uang beberapa ribu. ia membeli sebungkus kerupuk. Aku merasa tambah prihatin, tak sebanding dengan makanan yang ada didepanku. Hanya dengan sebungkus kerupuk itulah ia mengisi perutnya di siang itu. Aku yakin dia juga memiliki keluarga, dan darisitu aku tahu bahwa betapa hebatnya perjuangan seorang ayah demi menafkahi keluarganya. Aku tahu, tentunya masih banyak orang yang senasib dengan bapak tersebut.
Quote:
Segera kuhabiskan makanan tadi lalu kuminum teh hangat itu sedikit demi sedikit untuk menghangatkan tubuhku. Sambil menunggu Ubed menghabiskan makanannya, aku diam tak banyak bicara. Aku menunggunya hingga didetik terakhir ia menghabiskan makanannya tersebut. Setelah itu kami membayar makanan tersebut lalu kembali lagi ke rumah kontrakkannya bang Edi. Entah mengapa sore itu suasananya adem banget, menenangkan hati.
Besok adalah hari penentuan, itu bukan sekedar permainan. Itu adalah perjuangan yang berat. Melihat hal itu, seluruh teman-temanku membuka pusakanya masing-masing. Ada yang membaca buku SBMPTN, buku-buku bimbingan belajar, soal-soal ujian, catatan-catatan kecil, dan juga materi dari internet. Aku pun sedikit berdiskusi dengan temanku perihal soal matematika yang menurutku lumayan sulit.
“Megg, soal yang ini bagaimana penyelesaiannya ?” Ardan bertanya kepadaku.
“Ini bukannya seperti ini ya, kalau menurutku sih begitu.” Jawabku meragukan, menjawab soal tentang persamaan kuadrat dan tugas kami untuk menyerdehanakan. Bagiku itu bukan hal yang mudah, tapi juga tidak terlalu sulit dipahami.
“Eh zam, ini gimana?” Aku bertanya kepada Izam, dia yang lebih pintar di antara kami tentang matematika.
Dengan lihai dan sesederhana mungkin ia mengolah persamaan itu, mengutak-atik angka tersebut menjadi lebih simple dan akhirnya berhasil menemukan jawaban tersebut. Detik itu aku hum tapi mungkin nanti mendadak nge-blank jika dihadapkan dengan soal itu lagi. Kurasa Ardan juga sudah puas dengan jawaban Izam.
Sore itu suasana begitu serius, tanpa sadar malam pun datang menjemput. Hari masih mendung, senja tak terlihat.
Malam itu adalah malam yang begitu tenang, setenang sore tadi namun tak seramai malam-malam kemarin. Rengga, meskipun gayanya kurang menyakinkan tapi dia begitu serius membaca materi-materi untuk ujian besok. Temanku yang lain pun demikian, begitu serius malam itu. Aku ingin melupakan segala hal tentang pelajaran malam itu, aku ingin merefresh pikiranku, agar besok bisa digunakan lebih maksimal.
“Nggak ada yang pengen cari makan?” Suara Ilham memecah keheningan, suasana seketika berubah. Fokus mereka teralihkan, mengatasi krisis kelaparan lebih penting saat itu.
“Gue laper nih bro, cari makan aja yuk.” Aku menjawab pertanyaan Ilham, dari sorot mata teman-temanku yang lain sepertinya mereka setuju.
Buku-buku, soal-soal, mereka tinggalkan sejenak. Semua beringsut meninggalkan kamar sempit itu. Gerimis telah reda, kami berjalan melewati gang-gang sempit dibawah lampu-lampu remang. Tetes-tetes air terkadang terjatuh pelan, sisa air hujan tadi siang.
Mata-mata kami melihat sekeliling, menatap warung demi warung, mencocokkan menu. Hanya beberapa meter kami berjalan, kami berhenti.
“Gimana nih? Apa kita makan bakso didekat pertigaan tadi?” Ilham membuka pembicaraan. Sejauh kami berjalan, hanya tukang bakso itu yang kami lihat.
Semua mengangguk, tak banyak berkomentar. Seporsi bakso sepertinya cocok untuk menghangatkan tubuh sekaligus mengatasi krisis didalam perut. Kami pun kembali berjalan.
“Pak….Haloo…Pak.” Beberapa dari kami memanggil-manggil abang tukang bakso. Gerobak itu dibiarkan tanpa ada penjagaan. Mungkin abang tukang bakso masih sibuk.
“Mau beli bakso dek?” Mendengar suara kami, Abang bakso itu bergegas meninggalkan perbincangannya dengan seseorang yang tak jauh dari kami.
“Iya pak, delapan porsi ya.” Ilham menjawab ramah pertanyaan abang tukang bakso yang merupakan bapak setengah baya dengan mengenakan peci.
Sambil menunggu pesanan kami datang, kami semua duduk disalah satu bangku dekat gerobak bakso itu. Letaknya persis dibawah pohon mangga. Sesekali berbicara hal-hal yang tak terlalu penting. Pembicaraan yang serius rasanya tak terlalu pantas dibicarakan saat itu.
“Lo ngapain Ham? Serius banget?” Aku mencoba membuka pertanyaan dengan Ilham yang tengah sibuk dengan smartphone-nya.
“Nih pacar gue, dia besok ujian kayak kita. Cuman, dia nggak dapet tiket kereta, mau naik bis juga nggak cukup waktunya nanti.” Dengan sedikit risau, Ilham menjawab. Matanya masih terfokus dengan smartphone-nya.
Aku berkomentar sedikit, mengutarakan pendapatku. Teman-temanku yang lain sibuk bercanda tak jelas ditengah perbincanganku dengna Ilham.
Abang bakso mengantarkan delapan porsi bakso ke meja kami. Sebagai pelengkap sebotol saus dan kecap diletakkan dimeja kami.
Semangkuk bakso hangat itu sekali lagi menambah kerekatan diantara kami semua. Meski pada dasarnya kita berbeda latar, jarang sekali bertutur sapa disekolah. Malam ini semuanya berbeda.
***
Pukul 19.30 WIB, Aku membuka smartphone-ku sambil melihat-lihat pesan masuk di Blackberry Mesengasr. Aku membuka obrolan dengan Dinda karena ada sedikit rasa kangen.
Spoiler for Chat:
Pembicaraan kami berhenti, karena tak ada balasan dari Dinda. Kupikir dia sedang sebuk jadi bukan masalah. Saat chatting-an dengannya, sesekali dalam ingatanku terlintas kilas balik tentang kejadian pada malam itu, tepatnya setahun yang lalu. Detik inipun aku merasa bernostalgia dengan Dinda. Sesekali rasa sakit itu membuka kembali, tapi aku sudah berdamai dengan keadaan. Aku telah memaafkan dia.
Sejak malam menyakitkan itu, aku tertatih-tatih menjalani hari-hariku. Dunia memang belum berakhir, aku percaya itu. Tapi sia-sia, aku tetap luruh. Wajah polos itu menghatuiku berpuluh-puluh malam. Sampai saat ini aku terjebak dalam satu ruang yang kusebut itu cinta. Entah itu cinta sungguhan atau cinta sesaat, yang jelas aku tidak bisa keluar dari ruangan tersebut, aku terkunci didalamnya. Semua masih untuk Dinda.
Waktu sudah hampir larut malam, aku memutuskan untuk beristirahat. Tiba-tiba ada pesan masuk di smartphone-ku, ketika kulihat pertama kali aku sedikit tersentak. Aku tak menyangka bahwa pesan itu dari dia.
Spoiler for Chat:
Percakapan singkat itu berakhir.
Tiara adalah teman seangkatanku. Aku tahu dia, tapi kupikir dia tak tahu apa-apa tentangku. Seringkali aku berpapasan dengannya dikantin atau diparkiran sekolah. Layaknya orang asing. Aku tak tahu ada angin apa sehingga ia hadir dalam kehidupanku. Ah, pikiran aneh itu tiba-tiba mengusik kembali.
Ada sedikit rasa senang yang muncul dalam hatiku. Bunga itu bersemai lagi, musim perlahan namun pasti. Anginnya berhembus mesra seakan berbisik bahwa aku harus membiarkan masa laluku tertinggal dibelakang, ada sosok baru yang menantimu dimasa depan.
Kegiatanku segera kuakhiri malam itu, aku tak ingin berlama-lama lagi berhubung besok aku harus benar-benar dalam kondisi yang fresh agar bisa semaksimal mungkin dalam ujian. Setelah sholat Isya’ aku bergegas tidur, tak lama kemudian teman-temanku juga ikut tidur. Tak lupa aku memanjatkan doa kepada Tuhan. Semoga tidurku lelap, hariku besok menyenangkan.
Diubah oleh sandriaflow 24-05-2017 16:19
0