- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#30
Chapter 5 :Cek Lokasi Tes
30 Mei 2016
Dingin menyelimuti kami di waktu Subuh, sesuai dengan apa yang orang-orang bilang bahwa di daerah Malang, suhunya cukup dingin di pagi atau malam hari. Kakiku tertusuk oleh dinginnya suhu tersebut, formasi tidurku yang tadinya lurus kurubah menjadi seperti trenggiling. Melingkar rapat, namun aku masih juga kedinginan. Mata yang masih terkantuk-kantuk dan kepala yang sedikit pusing karena kurang cukup tidur, membuat pagi itu sungguh tidak bersahabat.
Kondisi yang benar-benar kurang mengenakkan membuatku terpaksa harus bangun sepagi itu. Teman-temanku yang sudah bangun duluan, mengambil air wudhu lalu pergi sholat Subuh dimushola dekat rumah kontrakan tersebut. Aku kemudian menyusul mereka.
Rasa dingin masih bersemayam disela-sela kulitku, aku yang dari kemarin belum mandi, saat itu mau tak mau aku harus mandi. Berhubung banyaknnya penghuni rumah tersebut, jadi aku tak ingin berebut mandi, ketika kamar mandinya kosong disitulah kesempatanku untuk mandi dan melakukan hajat lain. Diguyuran yang pertama rasanya sungguh luar biasa, air yang mengalir membasahi tubuhku membuatku kedinginan bukan main. Tubuhku gemetar menggigil. It’s awesome (awesome gundulmu).
Aku tidak ingin berlama-lama dikamar mandi, setelah badanku cukup segar aku langsung keluar, tak lupa memakai pakaian. Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat mas Bagus sudah sibuk memasak untuk sarapan. Entahlah, aku tak tahu pada waktu itu dia memasak untuk siapa. Aku menyapanya lalu bergegas pergi keruang depan. Teman-temanku ada yang kembali tidur, ada yang setengah bangun sambil mengumpulkan sisa-sisa nyawanya. Aku mengambil smartphone-ku dan memainkannya sesekali.
Masih pagi, bapakku sudah menelponku, menanyakan keadaanku sambil bertanya tentang bagaimana tentang rencanaku mengikuti tes masuk Universitas Indonesia.
Aku menjawab sesuai apa yang kusampaikan kemarin kepada Eru. Beliau sangat mendukung keputusan itu. Bagi beliau, kuliah tidak perlu jauh-jauh, bukan masalah biaya tetapi karena jarak yang jauh yang nantinya membuatku jarang berkumpul dengan keluargaku nanti. Meskipun bapakku memaksaku untuk membatalkan niat ke Surabaya untuk tes, tapi aku tetap bersikukuh untuk mengikuti tes itu. Percakapan yang tak lebih dari lima menit tersebut pun berakhir.
“Ayo guys, kita sarapan dulu. Bangun-bangun.” llham seraya membangunkan kami semua. Suaranya Cumiik lantang, mataku yang sayup-sayup kembali terbuka.
Kami semua beranjak menuju ke ruang belakang. Seperti halnya kemarin, kami disini makan beramai-ramai. Walaupun kurang mengenyangkan tapi lumayan untuk mengganjal perut dipagi itu.
Menu kami saat itu hanyalah nasi, mie instan, serta terong goreng berbalut tepung krispy ala chef mas Bagus. Kami melahap makanan tersebut seadanya, dan sekali lagi kebersamaan terlihat jelas disana.
“Eh Ham, setelah ini kita ngapain ?” Aku bertanya kepada Ilham yang mencoba merapikan sisa-sisa perjuangan kami semua melawan krisis perut beberapa menit yang lalu. Aku membantunya sedikit.
“Nanti kita keliling untuk melihat lokasi tes kita Megg.” Ucap dia kepadaku.
Tepat pukul 08.00 WIB semua bersiap-siap. Kami semua berjalan menuju lokasi tes kami masing-masing. Tak ada satupun dari temanku yang berada disatu tempat denganku, semua berbeda-beda. Meskipun berbeda lokasi, tapi itu masih disekitar kampus Universitas Negeri Malang.
Jarak tempuh kita terbilang cukup jauh, kurang lebih empat kilometer untuk sampai tujuan. Itupun memakan waktu hampir setengah jam. Kami berjalan sambil mengamati kondisi sekitar, sesekali bercanda kecil. Melewati jalan menurun, lalu melewati jembatan kecil yang sudah cukup tua dihiasi oleh ratusan tanaman bambu disekitar sungai.
Hingga akhirnya kita sampai di jalan raya. Dari sini kita terbagi menjadi dua kelompok. Yang mengikuti ujian saintek (Ubed, Rengga, Kamil), mereka pergi menuju Universitas Brawijaya. Sedangkan sisanya anak soshum (aku, Ilham, Eru, Pras, Abi, dan Izam) lanjut ke Universitas Negeri Malang, melewati gang-gang kecil di komplek perumahan sambil melihat google maps agar jalan yang kami lalui tidak keliru.
“Er, ini bener nggak jalannya?” Aku bertanya kepada Eru.
“Kalau gue lihat dari peta sih, kita bener. Nah didepan sana kita belok kekanan” Eru menjawab sambil mengarah-arahkan tangannya. Matanya terpaku pada google maps di smartphone-nya.
Ternyata berjalan jauh cukup melelahkan bagiku, tentunya tak semelelahkan berjalan melewati kenangan dengan mantan.
Beberapa menit kemudian akhirnya kami semua sampai juga di Malang Town Square. Hanya tinggal menyeberang ke sisi jalan kita sedikit lagi akan sampai di pintu gerbang Universitas Negeri Malang. Darisini kami berpisah lagi, Eru meninggalkan rombongan karena lokasinya ada didekat sisi jalan tersebut, yaitu SMKN 2 Malang. Aku dan yang lainnya terus berjalan.
Hanya beberapa menit kita telah sampai di pintu masuk Universitas Negeri Malang sebelah barat. Baru pertama kali ini aku mampir kesini, suasananya begitu hijau dan asri. Aku langsung mencari gedung tempat tesku berada. Untung saja disana ada denah lokasi kampus sehingga memudahkanku untuk mencarinya. Dari sini Pras memisahkan diri dari kelompok karena lokasi tesnya tidak sejalur dengan kami.
Aku kemudian berjalan mengikuti denah tersebut, dan Alhamdulillah aku telah sampai didepan gedung D1, gedung FIP UM. Didepan pintu ada sebuah banner yang berisi denah ruangan, aku mencocokkan ruang dan nomor pesertaku yang tertera dikartu ujianku dengan yang ada di-banner tersebut. Hatiku lega, karena aku sudah tau lokasi tesku, lalu aku menghampiri teman-temanku yang lain.
“Eh Megg, lo udah tahu tempat tes lo ada dimana?” Abi bertanya kepadaku. Tanpa perlu menjelaskan, ekspresi wajahku sudah menjelaskan semuanya.
“Udah bro, lo sendiri gimana?” Aku bertanya balik ke dia.
“Entah ini, gue bingung.” Jawab Abi begitu jujur.
Daripada bingung, aku menyarankan dia untuk bertanya ke salah satu satpam ataupun staf yang ada disekitar situ. Mataku melirik ke sekitar, mencari siapapun yang gelagatnya seperti petugas atau orang penting disini. Tak jauh dari kami, ada bapak-bapak yang kelihatannya seperti satpam atau mungkin staf, aku tak tahu pasti. Kami kemudian menghampirinya.
“Permisi pak, maaf kami mau tanya. Ehm, gedung pasca sarjana itu disebelah mana ya?” Aku bertanya dengan sopan kepada bapak itu.
“Oh disana dek, kalian dari jalan ini lurus aja, sampai kelihatan bendera itu dek. Nah gedungnya ada didekat sana.” Terang bapak itu, sambil menunjuk kearah yang harus kita lalui.
“Baik pak, terimakasih” ucap kami berdua serempak.
Kami semua berjalan lagi mengikuti petunjuk bapak tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan gedung tempat tes Abi.
Kini tinggal tempat tes Ilham dan Izam yang belum diketahui. Aku melihat sekilas google maps lagi di smartphone-ku, darisana kami tahu bahwa lokasi tes Ilham hanya beberapa meter lagi dari tempat kami berada. Namun untuk lokasi tesnya Izam, masih membutuhkan beberapa kilometer lagi untuk sampai.
Daripada bingung, kami berempat berjalan menuju lokasi tesnya Ilham. Lokasi tesnya berada di SMKN 3 Malang. Setelah sampai, kami istirahat sejenak didepan SMK itu. Melepas lelah sesaat, menatap langit-langit biru. Mentari mulai meninggi, teriknya menyengat.
“Eh zam, gimana? kamu masih kuat jalan apa enggak? tinggal lokasi tesmu aja ini yang belum kita ketahui.” Tanya Ilham kepada Izam. Tubuhnya yang cungkring itu membuat kami bertiga sedikit kasihan dengan dia jika harus berjalan lebih jauh lagi.
“Yoi zam, masih beberapa kilometer lagi ini. Kurang lebih jaraknya kayak dari rumah bang Tedi tadi ke sini.” Sahutku.
Abi yang kelelahan hanya bisa menghela nafas sambil duduk diam mengurangi rasa lelahnya, aku pun juga demikian. Cuaca yang sudah mulai siang menambah penderitaan kami saat itu. Aku melihat raut muka Izam yang mulai kelelahan setengah sungkan kepada kami.
Mungkin ia sedikit tidak enak jika harus meminta kami untuk mengantarnya ke lokasi tesnya, tapi ia juga ingin sekali melihat lokasi tesnya sekarang agar besok tidak kebingungan.
“Kita cari angkot aja gimana?” Aku memberikan saran kepada mereka.
“Bisa, tapi naik angkot yang mana? jujur aku tidak tahu jalur-jalur angkot didaerah ini.” Jawab Ilham sedikit menggertak keras, efek lelah dan dehidrasi.
“Udah masa bodoh, kita jalan dulu, nanti kalau ada angkot berhenti kita tanya dulu aja.” Jawabku.
Dari kejauhan ada angkot yang berhenti, kami berjalan cepat menghampirinya.
“Maaf pak, kalau SMP 6 itu dimana ya? naik angkot ini bisa apa tidak?” Tanya Ilham yang kepada sopir angkot itu.
“Wah itu disana dek, sebenernya saya tidak lewat jalan sana, tapi tidak apa-apa dek biar saya antar” Jawab sopir angkot tersebut.
Kita akhirnya naik ke angkot tersebut. Wajah Izam termasuk kami semua, yang awalnya lesu berubah perlahan menjadi sedikit ceria. Singkat saja, akhirnya kami sampai di SMP 6 Malang, biaya angkot ditanggung semuanya oleh Izam.
Izam dengan ditemani Abi memasuki sekolah tersebut dan mencari ruangan tempat ia tes. Sedangkan aku dan Ilham memasuki sebuah apotek dipinggir jalan. Disana kami bukan untuk mencari obat namun untuk mencari sebotol air mineral. Kemudian, kita duduk sebentar dipinggir jalan.
“Bro, gue minta airnya dong, haus banget.” Pintaku kepada Ilham.
“Nih.” Jawab Ilham sambil menyerahkan botol tersebut kepadaku.
Sambil menunggu Abi dan Izam keluar, aku hanya diam dipinggir jalan sambil sesekali meneguk air yang ada dibotol tersebut untuk melepas dahaga. Jalanan di kota Malang sangat ramai, lebih ramai dari yang ada dikotaku. Masing-masing orang punya kesibukan tersendiri dikota ini, banyak orang dengan berbagai macam karakter dan juga latar belakang menetap dikota ini.
Ditengah lamunanku, mereka akhirnya keluar dari SMP itu dan menanti diseberang jalan. Aku dan Ilham menyeberang ke sisi lain jalan untuk menghampiri mereka.
“Gimana zam ?” Tanyaku.
“Aku udah tau tempat tesnya kok, yang kubingungkan sekarang besok gimana ?” Tanya dia sedikit kebingungan.
“Kita pikirkan nanti aja, yang penting kita sekarang cari angkot dan kembali ke kontrakannya bang Tedi.” Ilham menjawab, solusi yang tepat untuk saat ini.
Tak lama kami menunggu ada angkot yang lewat, dengan kode AL. Kami semua naik ke angkot tersebut dengan tujuan Malang Town Square.
***
Sesampainya didepan Malang Town Square, kami semua turun. Aku berpikir mungkin teman-temanku lainnya sekarang sudah kembali ke kontrakannya bang Tedi, hanya tinggal kami berempat saja yang belum.
Ditengah jalan, Ilham tiba-tiba berhenti mendadak. Dia bertemu dengan gadis cantik yang merupakan teman barunya, perkenalannya terbilang cukup singkat hanya beberapa jam didalam kereta sore kemarin. Entah karena suatu alasan mereka bertemu lagi, padahal Ilham sendiri juga sudah memiliki seorang pacar.
Dalam hati aku sedikit kesal, mungkin karena efek kelamaan jomblo, menjadikan aku sedikit iri kalau ada orang berpasangan. Tapi bukan berarti aku meluapkan kekesalanku dengan menghujat mereka, aku tidak sekejam itu. Percakapan mereka hanya berlangsung beberapa menit saja, setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Tetap masih harus jalan kaki. Mungkin inilah yang disebut jejak petualang (maaf kalau lebay, hehe), menelusuri mozaik kota Malang.
30 Mei 2016
Dingin menyelimuti kami di waktu Subuh, sesuai dengan apa yang orang-orang bilang bahwa di daerah Malang, suhunya cukup dingin di pagi atau malam hari. Kakiku tertusuk oleh dinginnya suhu tersebut, formasi tidurku yang tadinya lurus kurubah menjadi seperti trenggiling. Melingkar rapat, namun aku masih juga kedinginan. Mata yang masih terkantuk-kantuk dan kepala yang sedikit pusing karena kurang cukup tidur, membuat pagi itu sungguh tidak bersahabat.
Kondisi yang benar-benar kurang mengenakkan membuatku terpaksa harus bangun sepagi itu. Teman-temanku yang sudah bangun duluan, mengambil air wudhu lalu pergi sholat Subuh dimushola dekat rumah kontrakan tersebut. Aku kemudian menyusul mereka.
Rasa dingin masih bersemayam disela-sela kulitku, aku yang dari kemarin belum mandi, saat itu mau tak mau aku harus mandi. Berhubung banyaknnya penghuni rumah tersebut, jadi aku tak ingin berebut mandi, ketika kamar mandinya kosong disitulah kesempatanku untuk mandi dan melakukan hajat lain. Diguyuran yang pertama rasanya sungguh luar biasa, air yang mengalir membasahi tubuhku membuatku kedinginan bukan main. Tubuhku gemetar menggigil. It’s awesome (awesome gundulmu).
Aku tidak ingin berlama-lama dikamar mandi, setelah badanku cukup segar aku langsung keluar, tak lupa memakai pakaian. Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku melihat mas Bagus sudah sibuk memasak untuk sarapan. Entahlah, aku tak tahu pada waktu itu dia memasak untuk siapa. Aku menyapanya lalu bergegas pergi keruang depan. Teman-temanku ada yang kembali tidur, ada yang setengah bangun sambil mengumpulkan sisa-sisa nyawanya. Aku mengambil smartphone-ku dan memainkannya sesekali.
Masih pagi, bapakku sudah menelponku, menanyakan keadaanku sambil bertanya tentang bagaimana tentang rencanaku mengikuti tes masuk Universitas Indonesia.
Aku menjawab sesuai apa yang kusampaikan kemarin kepada Eru. Beliau sangat mendukung keputusan itu. Bagi beliau, kuliah tidak perlu jauh-jauh, bukan masalah biaya tetapi karena jarak yang jauh yang nantinya membuatku jarang berkumpul dengan keluargaku nanti. Meskipun bapakku memaksaku untuk membatalkan niat ke Surabaya untuk tes, tapi aku tetap bersikukuh untuk mengikuti tes itu. Percakapan yang tak lebih dari lima menit tersebut pun berakhir.
“Ayo guys, kita sarapan dulu. Bangun-bangun.” llham seraya membangunkan kami semua. Suaranya Cumiik lantang, mataku yang sayup-sayup kembali terbuka.
Kami semua beranjak menuju ke ruang belakang. Seperti halnya kemarin, kami disini makan beramai-ramai. Walaupun kurang mengenyangkan tapi lumayan untuk mengganjal perut dipagi itu.
Menu kami saat itu hanyalah nasi, mie instan, serta terong goreng berbalut tepung krispy ala chef mas Bagus. Kami melahap makanan tersebut seadanya, dan sekali lagi kebersamaan terlihat jelas disana.
“Eh Ham, setelah ini kita ngapain ?” Aku bertanya kepada Ilham yang mencoba merapikan sisa-sisa perjuangan kami semua melawan krisis perut beberapa menit yang lalu. Aku membantunya sedikit.
“Nanti kita keliling untuk melihat lokasi tes kita Megg.” Ucap dia kepadaku.
Tepat pukul 08.00 WIB semua bersiap-siap. Kami semua berjalan menuju lokasi tes kami masing-masing. Tak ada satupun dari temanku yang berada disatu tempat denganku, semua berbeda-beda. Meskipun berbeda lokasi, tapi itu masih disekitar kampus Universitas Negeri Malang.
Jarak tempuh kita terbilang cukup jauh, kurang lebih empat kilometer untuk sampai tujuan. Itupun memakan waktu hampir setengah jam. Kami berjalan sambil mengamati kondisi sekitar, sesekali bercanda kecil. Melewati jalan menurun, lalu melewati jembatan kecil yang sudah cukup tua dihiasi oleh ratusan tanaman bambu disekitar sungai.
Hingga akhirnya kita sampai di jalan raya. Dari sini kita terbagi menjadi dua kelompok. Yang mengikuti ujian saintek (Ubed, Rengga, Kamil), mereka pergi menuju Universitas Brawijaya. Sedangkan sisanya anak soshum (aku, Ilham, Eru, Pras, Abi, dan Izam) lanjut ke Universitas Negeri Malang, melewati gang-gang kecil di komplek perumahan sambil melihat google maps agar jalan yang kami lalui tidak keliru.
“Er, ini bener nggak jalannya?” Aku bertanya kepada Eru.
“Kalau gue lihat dari peta sih, kita bener. Nah didepan sana kita belok kekanan” Eru menjawab sambil mengarah-arahkan tangannya. Matanya terpaku pada google maps di smartphone-nya.
Ternyata berjalan jauh cukup melelahkan bagiku, tentunya tak semelelahkan berjalan melewati kenangan dengan mantan.
Beberapa menit kemudian akhirnya kami semua sampai juga di Malang Town Square. Hanya tinggal menyeberang ke sisi jalan kita sedikit lagi akan sampai di pintu gerbang Universitas Negeri Malang. Darisini kami berpisah lagi, Eru meninggalkan rombongan karena lokasinya ada didekat sisi jalan tersebut, yaitu SMKN 2 Malang. Aku dan yang lainnya terus berjalan.
Hanya beberapa menit kita telah sampai di pintu masuk Universitas Negeri Malang sebelah barat. Baru pertama kali ini aku mampir kesini, suasananya begitu hijau dan asri. Aku langsung mencari gedung tempat tesku berada. Untung saja disana ada denah lokasi kampus sehingga memudahkanku untuk mencarinya. Dari sini Pras memisahkan diri dari kelompok karena lokasi tesnya tidak sejalur dengan kami.
Aku kemudian berjalan mengikuti denah tersebut, dan Alhamdulillah aku telah sampai didepan gedung D1, gedung FIP UM. Didepan pintu ada sebuah banner yang berisi denah ruangan, aku mencocokkan ruang dan nomor pesertaku yang tertera dikartu ujianku dengan yang ada di-banner tersebut. Hatiku lega, karena aku sudah tau lokasi tesku, lalu aku menghampiri teman-temanku yang lain.
“Eh Megg, lo udah tahu tempat tes lo ada dimana?” Abi bertanya kepadaku. Tanpa perlu menjelaskan, ekspresi wajahku sudah menjelaskan semuanya.
“Udah bro, lo sendiri gimana?” Aku bertanya balik ke dia.
“Entah ini, gue bingung.” Jawab Abi begitu jujur.
Daripada bingung, aku menyarankan dia untuk bertanya ke salah satu satpam ataupun staf yang ada disekitar situ. Mataku melirik ke sekitar, mencari siapapun yang gelagatnya seperti petugas atau orang penting disini. Tak jauh dari kami, ada bapak-bapak yang kelihatannya seperti satpam atau mungkin staf, aku tak tahu pasti. Kami kemudian menghampirinya.
“Permisi pak, maaf kami mau tanya. Ehm, gedung pasca sarjana itu disebelah mana ya?” Aku bertanya dengan sopan kepada bapak itu.
“Oh disana dek, kalian dari jalan ini lurus aja, sampai kelihatan bendera itu dek. Nah gedungnya ada didekat sana.” Terang bapak itu, sambil menunjuk kearah yang harus kita lalui.
“Baik pak, terimakasih” ucap kami berdua serempak.
Kami semua berjalan lagi mengikuti petunjuk bapak tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan gedung tempat tes Abi.
Kini tinggal tempat tes Ilham dan Izam yang belum diketahui. Aku melihat sekilas google maps lagi di smartphone-ku, darisana kami tahu bahwa lokasi tes Ilham hanya beberapa meter lagi dari tempat kami berada. Namun untuk lokasi tesnya Izam, masih membutuhkan beberapa kilometer lagi untuk sampai.
Daripada bingung, kami berempat berjalan menuju lokasi tesnya Ilham. Lokasi tesnya berada di SMKN 3 Malang. Setelah sampai, kami istirahat sejenak didepan SMK itu. Melepas lelah sesaat, menatap langit-langit biru. Mentari mulai meninggi, teriknya menyengat.
“Eh zam, gimana? kamu masih kuat jalan apa enggak? tinggal lokasi tesmu aja ini yang belum kita ketahui.” Tanya Ilham kepada Izam. Tubuhnya yang cungkring itu membuat kami bertiga sedikit kasihan dengan dia jika harus berjalan lebih jauh lagi.
“Yoi zam, masih beberapa kilometer lagi ini. Kurang lebih jaraknya kayak dari rumah bang Tedi tadi ke sini.” Sahutku.
Abi yang kelelahan hanya bisa menghela nafas sambil duduk diam mengurangi rasa lelahnya, aku pun juga demikian. Cuaca yang sudah mulai siang menambah penderitaan kami saat itu. Aku melihat raut muka Izam yang mulai kelelahan setengah sungkan kepada kami.
Mungkin ia sedikit tidak enak jika harus meminta kami untuk mengantarnya ke lokasi tesnya, tapi ia juga ingin sekali melihat lokasi tesnya sekarang agar besok tidak kebingungan.
“Kita cari angkot aja gimana?” Aku memberikan saran kepada mereka.
“Bisa, tapi naik angkot yang mana? jujur aku tidak tahu jalur-jalur angkot didaerah ini.” Jawab Ilham sedikit menggertak keras, efek lelah dan dehidrasi.
“Udah masa bodoh, kita jalan dulu, nanti kalau ada angkot berhenti kita tanya dulu aja.” Jawabku.
Dari kejauhan ada angkot yang berhenti, kami berjalan cepat menghampirinya.
“Maaf pak, kalau SMP 6 itu dimana ya? naik angkot ini bisa apa tidak?” Tanya Ilham yang kepada sopir angkot itu.
“Wah itu disana dek, sebenernya saya tidak lewat jalan sana, tapi tidak apa-apa dek biar saya antar” Jawab sopir angkot tersebut.
Kita akhirnya naik ke angkot tersebut. Wajah Izam termasuk kami semua, yang awalnya lesu berubah perlahan menjadi sedikit ceria. Singkat saja, akhirnya kami sampai di SMP 6 Malang, biaya angkot ditanggung semuanya oleh Izam.
Izam dengan ditemani Abi memasuki sekolah tersebut dan mencari ruangan tempat ia tes. Sedangkan aku dan Ilham memasuki sebuah apotek dipinggir jalan. Disana kami bukan untuk mencari obat namun untuk mencari sebotol air mineral. Kemudian, kita duduk sebentar dipinggir jalan.
“Bro, gue minta airnya dong, haus banget.” Pintaku kepada Ilham.
“Nih.” Jawab Ilham sambil menyerahkan botol tersebut kepadaku.
Sambil menunggu Abi dan Izam keluar, aku hanya diam dipinggir jalan sambil sesekali meneguk air yang ada dibotol tersebut untuk melepas dahaga. Jalanan di kota Malang sangat ramai, lebih ramai dari yang ada dikotaku. Masing-masing orang punya kesibukan tersendiri dikota ini, banyak orang dengan berbagai macam karakter dan juga latar belakang menetap dikota ini.
Ditengah lamunanku, mereka akhirnya keluar dari SMP itu dan menanti diseberang jalan. Aku dan Ilham menyeberang ke sisi lain jalan untuk menghampiri mereka.
“Gimana zam ?” Tanyaku.
“Aku udah tau tempat tesnya kok, yang kubingungkan sekarang besok gimana ?” Tanya dia sedikit kebingungan.
“Kita pikirkan nanti aja, yang penting kita sekarang cari angkot dan kembali ke kontrakannya bang Tedi.” Ilham menjawab, solusi yang tepat untuk saat ini.
Tak lama kami menunggu ada angkot yang lewat, dengan kode AL. Kami semua naik ke angkot tersebut dengan tujuan Malang Town Square.
***
Sesampainya didepan Malang Town Square, kami semua turun. Aku berpikir mungkin teman-temanku lainnya sekarang sudah kembali ke kontrakannya bang Tedi, hanya tinggal kami berempat saja yang belum.
Ditengah jalan, Ilham tiba-tiba berhenti mendadak. Dia bertemu dengan gadis cantik yang merupakan teman barunya, perkenalannya terbilang cukup singkat hanya beberapa jam didalam kereta sore kemarin. Entah karena suatu alasan mereka bertemu lagi, padahal Ilham sendiri juga sudah memiliki seorang pacar.
Dalam hati aku sedikit kesal, mungkin karena efek kelamaan jomblo, menjadikan aku sedikit iri kalau ada orang berpasangan. Tapi bukan berarti aku meluapkan kekesalanku dengan menghujat mereka, aku tidak sekejam itu. Percakapan mereka hanya berlangsung beberapa menit saja, setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Tetap masih harus jalan kaki. Mungkin inilah yang disebut jejak petualang (maaf kalau lebay, hehe), menelusuri mozaik kota Malang.
Diubah oleh sandriaflow 21-05-2017 02:05
0