- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
...
TS
bunbun.orenz
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
Spoiler for Credit Cover (THANK YOU SO MUCH):
And I know
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
- Famous Last Words by MCR -
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 90% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahyang dituangkan oleh suami ku tercinta Agatha
Quote:
Spoiler for Special Thanks:
***
Spoiler for From Me:
Versi PDF Thread Sebelumnya:
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/05/02/9605475_201705020801290527.jpg)
Foto diatas hanyalah sebagai ilustrasi tokoh dalam cerita ini
Quote:
Polling
0 suara
SIAPAKAH YANG AKAN MENJADI NYONYA AGATHA ?
Diubah oleh bunbun.orenz 04-07-2017 12:31
ugalugalih dan 27 lainnya memberi reputasi
26
1.5M
7.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7
#4119
PART 65
Satu minggu setelah obrolan bersama Mba Laras dan istri Gua mengenai kontrak tanah yang katanya pemilik factory outlet tersebut adalah tantenya Luna. Hari ini Gua dan istri sudah berada di sebuah resto hanamasa bersama Luna dan tantenya itu, sambil makan siang kami membicarakan soal perpanjang sewa tanah tersebut. Sebenarnya tidak ada kendala atau perdebatan mengenai kenaikan harga sewa yang Gua inginkan, tapi ketika istri Gua tiba-tiba mengintrupsi obrolan kami, semuanya berubah.
"Mm.. Saya rasa, saya dan suami saya tidak akan menyewakan lagi tanah tersebut kepada Ibu", ucap istri Gua ketika itu.
Kami yang mendengarkan ucapannya langsung terdiam, kaget dan heran.
"Ehm.. Maaf ya Bu sebentar", ucap Gua,
"Bun, kok kamu ngomong gitu ? Kenapa ?", tanya Gua sedikit berbisik.
Istri Gua menghela nafas pelan lalu tersenyum kepada Gua, kemudian dia kembali menatap tantenya Luna yang duduk di hadapan kami. "Jadi, ini memang rencana dadakan, saya berniat untuk membangun usaha kami berdua di atas tanah tersebut. Maka dari itu kontrak sewa tanah ini tidak bisa dilanjutkan", ucapnya lagi seraya menaruh kedua tangannya di atas meja makan.
"Mmm.. Kalau boleh tau, memangnya kalian berdua akan membuka usaha apa ?", tanya tantenya Luna kepada Echa.
Lalu Echa melirik kepada Gua sesaat dan kembali menatap tantenya Luna. "Kami rencananya akan membuka usaha di bidang kuliner", jawab istri Gua seraya tersenyum manis.
Gua yang memang tidak mengetahui hal tersebut jelas kaget dan tidak percaya. Karena dari kemarin-kemarin istri Gua tidak membicarakan hal tersebut kepada Gua.
"Jadi ini batal Mas Eza ?", tanya tantenya Luna kepada Gua.
Gua melirik sebentar kepada istri Gua, dia hanya tersenyum tipis. Gua menggaruk pelipis yang tidak gatal karena bingung harus memutuskan apakah mengikuti kemauan istri Gua yang tidak dibicarakan sebelumnya atau tetap menyewakan tanah itu kepada tantenya Luna sekarang. Kalau mau jujur sih, lebih baik menyewakan dan memperpanjang kontrak tanah tersebut, bukan apa-apa, duitnya berlimpah banget. Siapa yang gak tergoda, kan lumayan tuh buat beli barang-barang di rumah baru nanti, belum untuk biaya persalinan dan keperluan si calon anak kami nanti.
"Mmm.. Menurut ku gini aja Za, Cha, ini hanya sekedar saran aku, gimana kalo kalian berdua pikir ulang, soalnya maaf ya.. Aku lihat Eza nya juga kayak baru tau kalo Echa mau bangun usaha, nah kita undur aja dulu soal perpanjangan kontrak ini, nanti kalau kalian sudah sepakat akan bagaimana, baru hubungi aku dan tante aku lagi", ucap Luna memberikan saran.
"Ah iya boleh ju..", ucapan Gua terpotong.
"Gak perlu kayaknya deh Lun, kita berdua udah yakin dan memang mau buka usaha di atas tanah tersebut kok, secepatnya", potong istri Gua.
"Eeuu.. Cha kayaknya kita emang perlu mikirin ulang soal rencana kamu deh, kan..".
"Za, udah ya gak usah berdebat, aku yakin kok kita bisa sukses, insha Alloh, daripada nyewain tanah terus, lebih baik kita bangun usaha sendiri di situ", selanya lagi sambil menatap Gua tajam.
Gua menghela nafas dengan kasar lalu menggelengkan kepala mendengar ucapan istri Gua itu. Kok jadi gini dia, fikir Gua.
"Yaudah yaudah gak apa, gini aja, kabarin saya Mas Eza kalau nanti misalkan kalian tidak jadi bangun usaha tersebut, toh kontrak saya masih sampai juli kan, jadi masih ada waktu sampai dua bulan kedepan", ucap tantenya Luna kali ini.
Gua hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada beliau. Kemudian tidak lama mereka berdua pamit pulang, dan tentu saja Gua mengucapkan maaf kepada mereka berdua. Setelah mereka pulang, tidak lama istri Gua pun mengajak pulang ke rumahnya, ke rumah mertua Gua.
Di dalam perjalanan Gua mencoba untuk membahas hal di atas lagi.
"Bun, kok kamu tadi gak sopan gitu sih ngomongnya.. Ada apa sih ?", tanya Gua sambil mengemudikan mobil.
"Enggak papa!", jawabnya ketus.
Gua menghela nafas lagi, kemudian membelai rambutnya dengan tangan kiri. "Hey, kamu cemburu sama Luna ?", tebak Gua.
"Enggak tuh! Biasa aja huh!", kali ini wajahnya berpaling ke sisi kirinya.
Gua tersenyum lalu menggelengkan kepala. Kemudian kembali fokus mengemudikan mobil.
Gua heran sih sebenarnya sama Echa, apa yang dia cemburui dari sosok Luna. Oke kalau soal fisik, Gua jujur, Luna itu bak model, persis seperti yang dikatakan Mba Yu dulu, bodinya proposional, tinggi semampai dan tentu saja memiliki paras cantik karena memang blesteran, peranakan eropa dan asia. Tapi masalahnya kan Gua sendiri tidak akrab, bahkan bertemu juga jarang dengan Luna, sebulan satu kali aja belum tentu kami bertemu, Ya Gua fikir ini karena faktor istri Gua sedang hamil saja.
Sesampainya di rumah mertua, kami duduk di gazebo halaman belakang rumahnya. Gua dan istri Gua duduk bersebelahan, sedangkan kedua mertua Gua duduk di hadapan kami. Sedikit basa-basi, kemudian barulah istri Gua menceritakan maksud dan tujuannya yang ingin membuka bisnis kuliner di atas tanah milik pemberian alm. Ayahanda Gua. Jelas Gua kembali terkejut, karena permintaannya kepada Papahnya itu lagi-lagi tidak dibicarakan terlebih dahulu kepada Gua sebagai suaminya.
"Sebentar Pah, maaf", ucap Gua menyela obrolan mereka berdua,
"Bun, gini ya sayang, rencana dan ide kamu itu memang bagus, tapi kamu belum cerita apapun sama aku, kita perlu omongin ini dulu berdua, kamu gak bisa main ambil keputusan sepihak seperti ini, apalagi sampai minta bantuan sama Papah", ucap Gua kepada istri Gua yang sudah cemberut itu.
"Loch loch.. Kalian belum bahas masalah ini berdua toh ?", ucap Mamah mertua dengan cukup terkejut.
Gua menengok kepada beliau lalu menganggukan kepala. "Belum Mah, aku sendiri baru tau hari ini dari Echa", jawab Gua.
Papah mertua Gua malah tersenyum lebar lalu berdiri dari duduknya. "Hahaha.. Ya itulah salah satu sifat istrimu Za.. Mohon dimaklum saja ya. Kalo gitu Papah sama Mamah masuk dulu ke dalam, kalian obrolin aja dulu soal rencana itu, dan kalo memang mau bangun usaha sendiri, insha Alloh Papah bantu", ucap Papah mertua Gua.
Kemudian kedua mertua Gua pergi meninggalkan kami. Gua bangun dari duduk dan berdiri seraya menyandarkan tubuh ke tiang gazebo ini, lalu membakar sebatang rokok. Gua menatap kearah lain, membelakangi istri Gua yang masih duduk di dalam gazebo.
"Bun, kamu kenapa tiba-tiba mau bangun usaha kuliner ?", tanya Gua dengan tetap membelakangi istri Gua.
"Ya biar kita punya usaha sendiri Nda, kan bagus tuh, daripada cuma kontrakin tanah terus", jawabnya.
"Terus referensinya darimana ? Gak gampang loch Bun buka usaha kuliner itu, lagian kita harus survey dulu, belum lagi mikirin menu apa yang akan kita jual, lah akunya aja masih gak bisa masak dan cuma punya sedikit ilmu soal kuliner, masa main buka restoran atau cafe Bun", ucap Gua lagi lalu menghisap rokok dalam-dalam.
"Kamu kan lagi magang di hotel Nda, bisa nanya-nanya ke teman kerja kamu yang udah profesional, terus bisa juga nanya ke.. Eeuu.. siapa tuh dosen kamu ? Pak Boy ya ? Nah bisa tuh tanya ke dia Nda..".
Gua menggelengkan kepala seraya menatap langit yang cukup cerah hari itu. Bukan perkara mudah membuka usaha kuliner, apalagi itu tanah luas, jadi rasanya Gua tidak mungkin membuka sebuah cafe biasa, kalau pun memaksakan, bisa minus neraca keuangannya, karena biaya pajak dan bangun usaha di tanah yang letaknya strategis dan berada di jalan protokol itu pasti mahal sekali. Dan lagi-lagi selalu saja meminta bantuan Papah mertua, kan malu Gua.
"Gini aja deh ya Bun, kita pikirkan ulang dulu, jangan secepat ini mengambil keputusan, modalnya gak kecil Bun, ya kalopun mau pinjam ke Papah kan gak semudah itu juga, banyak hal yang harus kita pertimbangkan.. Oke ?", ucap Gua seraya membalikkan badan dan menatapnya.
"Hmmm.. Pokoknya harus jadi, titik", tandasnya seraya berdiri lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Gua hanya bisa mendengus kasar lalu merebahkan diri di dalam gazebo, pusing ah mikirin maunya istri...
...
...
...
Sudah memasuki bulan juni tahun 2008, kandungan istri Gua pun sudah masuk usia tujuh bulan, dan perutnya semakin membesar, di bulan inilah Gua meminta Echa untuk cuti kuliah selama satu semester. Sedangkan Gua sendiri masih menjalani masa pkl sebagai mahasiswa magang di salah satu hotel.
Kembali ke persoalan bisnis kuliner yang ingin dibangun oleh istri Gua, akhirnya Gua mengalah, ya mau tidak mau, Echa ngotot kalau kami harus mulai memiliki usaha sendiri. Dan jalan tengahnya tidak pernah terduga oleh Gua. Ini Gua persingkat saja, intinya Gua dan istri menyetujui saran dari Luna, sarannya adalah, dia dan Papahnya akan menginvestasikan modal untuk ikut ambil bagian dalam usaha kuliner ini, yang tentunya hanya diberikan porsi sebesar 40% oleh istri Gua, sisa 60% lagi milik kami berdua. Jadi sebagai pemilik tanah dan modal terbesar dari bisnis kuliner, kami berdua tentu menjadi pemilik utama usaha tersebut. Dan bulan juli baru akan direnovasi bangunannya agar lebih modern dan sesuai dengan desain istri Gua nanti. Dan Mba Laras Gua percayakan sebagai orang yang menjadi pelaksana usaha tersebut, apalah namanya ya, Gua bingung. Yang jelas Mba Laras jadi orang kepercayaan Gua, dia yang mengatur hal manajerial, dari mulai kontrak kerja, rekrut pegawai, urusan perizinan ke pemkot dan tentu saja urusan kerjasama dengan Papahnya Luna.
Di hari lainnya masih di bulan juni, Gua seperti biasa sedang mengantarkan istri tercinta ke klinik untuk cek n ricek kandungannya yang sudah masuk tujuh bulan. Dan alhamdulilah seperti bulan-bulan sebelumnya, segalanya normal. Selesai periksa kandungan Echa, kami berdua pergi ke salah satu toko furniture untuk membeli beberapa barang. Sesampainya di sana Echa memilih lemari pakaian, spring bed, satu set sofa ruang tamu dan ruang tv, lalu kursi dan meja untuk di teras dan sebagainya. Selesai memesan dan membeli furniture barulah kami berdua makan sore di sebuah warung soto pinggir jalan.
Malam harinya Gua dan Echa berada di kamar rumah Nenek. Saat itu kami sedang tiduran, menunggu kantuk menyerang.
"Nda, kamu selesai pkl bulan apa ?", tanyanya yang tiduran di samping Gua.
"Mmm.. Bulan depan sayang, juli.. Kenapa gitu ?".
"Oh, enggak apa-apa, cuma bulan agustusnya kan aku lahiran nih kalo sesuai jadwal dan prediksi dokter, kamu bisa gak cuti satu semester abis pkl ?", tanyanya lagi.
Gua menengok kepada istri Gua itu, lalu mencium keningnya. "Enggak perlu kamu minta juga pasti aku ambil cuti kok sayang.. Hehehe", jawab Gua.
"Makasiiih.. Hihihi.. Eh eh, tapi gak apa-apa kan ? Maksud aku gak masalah sama perkuliahan kamu ?", tanyanya seraya menatap wajah Gua.
"Enggak apa-apa kok Bun, kalo soal laporan pkl nanti aku minta tolong Lisa dan Kinan aja, mereka mau bantu kok, tapi tetep aku yang ngerjain", jawab Gua lagi.
"Bukan, maksud aku dari pihak kampus kamu nanti ada masalah gak ?", tanyanya cemas.
"Enggaklah Bun, nih, di kampus ku tuh yang penting bayaran uang kuliah lancar, semuanya aman, heheheh..".
"Iiih dasar, huuu.. Tapi syukur deh kalo gitu. Yaudah kita tidur dulu, besok kamu kan harus kerja lagi pagi-pagi".
"Kerja ? Magang sayang".
"Ah sama aja Ndaaa.. Kan kamu dapet gaji hehehehe..".
Akhirnya tidak lama kami pun beristirahat setelah pillow talk itu.
...
Sekitar pukul dua pagi Gua terbangun, dengan kucuran keringat yang cukup deras. Nafas Gua memburu, sepertinya dada Gua sedikit sesak. Penyebabnya adalah mimpi, ya mimpi yang sangat Gua takuti.
Bulan itu, juni 2008 pukul dua pagi Gua terbangun karena sebuah mimpi buruk. Selama Gua hidup, Gua jarang, bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Gua bermimpi buruk. Gua terduduk di atas kasur, menyandarkan punggung ke dinding kamar lalu menyeuka keringat di wajah ini. Kemudian Gua menatap istri Gua yang masih tertidur pulas, Gua menatapnya lama, memperhatikannya dalam kamar yang cahayanya redup ini.
Gua memegangi wajahnya dan merapihkan helaian rambut yang sedikit menutupi wajahnya itu, lalu Gua mencium pipi dan keningnya, tanpa terasa airmata Gua mengalir sendiri tanpa bisa Gua tahan. Entah kenapa saat itu Gua takut kehilangan istri tercinta Gua. Beberapa saat kemudian Gua bangun dari kasur dan menuju kamar mandi, mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka'at, meminta ketenangan hati dan bathin sekaligus memohon kepada Sang Maha Pelindung agar Gua dan keluarga Gua selalu berada dalam lindungan-Nya.
...
...
...
Memasuki bulan juli Gua masih melakukan kegiatan magang di hotel, sedangkan istri Gua berada di rumah bersama Mba Laras dan juga Nenek yang selalu menemaninya. Istri Gua memang sudah mengambil cuti kuliah, dan kegiatan magang Gua pun akan berkahir di bulan ini. Tinggal satu minggu lagi saat itu Gua selesai magang. Beberapa hari berlalu, semuanya terasa normal dan berjalan dengan baik.
Tibalah saatnya Gua mengajukan cuti selama satu semester dan langsung disetujui oleh pihak kampus. Selesai sudah memberikan laporan magang selama tiga bulan belakangan ini, yang laporan tersebut dibantu oleh Kinan dan Lisa. Kemudian masa cuti kuliah itu Gua isi dengan hari-hari bersama istri tercinta Gua, menemaninya berbelanja kebutuhan anak kami ketika nanti lahiran.
Gua dan Echa sedang berada di mall, lebih tepatnya toko perlengkapan bayi di ibu kota. Kami berdua membeli berbagai macam perlengkapan bayi, dari mulai kereta bayi, pakaian, alat mandi dan segala macam kebutuhan bayi kami beli saat itu. Selesai berbelanja dan membayarnya, kami berdua pergi ke salah satu mall lagi, makan siang di resto favorit istri Gua.
"Nda, abis dari sini kita langsung pulang ?", tanyanya ketika selesai makan.
"Iya Bun, kamu mau kemana lagi emang ? Masih ada yang mau dibeli gitu ?".
"Enggak sih, cuma aku pingin beres-beres rumah baru kita aja, biar nanti minggu depan udah bisa pindahan", jawabnya.
"Ooh, ya gampang itu ma, nanti kita minta tolong Bibi aja untuk beres-beres ya, kan kamu gak boleh capek sayang", ucap Gua lagi.
"Iya, tapi kan aku mau nata barang-barangnya, cuma liatin aja kok".
"Hehehe.. Jadi mandor gitu ya ? Hehehe".
"Iih dasar, tapi iya juga sih, hihihihi..".
Singkat cerita satu minggu kemudian masih di bulan juli, kami berdua bersama kedua mertua Gua dan Mba Laras sedang berada di rumah baru kami. Alhamdulilah rumah sudah bisa ditempati oleh Gua dan istri, penataan barang pun sudah selesai ditata sesuai kemauan istri Gua. Sementara Gua dan Echa menempati kamar di lantai satu, di dekat ruang tv. Gua dan Echa sepakat mengajak Mba Laras tinggal bersama kami di sini, Mba Laras menempati kamar lantai satu juga, yang berada di dekat tangga ke lantai dua. Seorang asisten rumah tangga dihadirkan oleh Mamah mertua Gua, untuk membantu bersih-bersih rumah dan segala macam keperluan kami.
Di akhir bulan juli kami mengadakan pengajian, acara syukuran atas rumah tersebut, sekalian silaturahmi kepada warga sekitar, dan mengundang tetangga dekat rumah, tidak lupa juga mengundang ketua Rt dan Rw setempat. Alhamdulilah semuanya berjalan lancar, keluarga kecil Gua ini kini sudah berada di tengah-tengah komplek perumahan ini, menjadi bagian warga di sini.
Tentu saja atas segala apa yang Gua miliki sekarang adalah pemberian dari ALLAH SWT. Gua mengucap syukur atas pemberiannya ini, dan Gua sangatlah beruntung memiliki istri seperti Elsa Ferossa, dia tidak henti-hentinya mengingatkan Gua untuk selalu beribadah, mengucap syukur kepada Tuhan, menyisihkan sebagian rupiah untuk membantu orang lain, dan selalu mengingatkan Gua untuk shalat berjama'ah di masjid selama Gua cuti menemaninya.
...
Bulan Agustus 2008.
Waktu dimana istri Gua sudah akan melahirkan bayi kami ke dunia, rasa bahagia dan sedikit rasa cemas dalam hati ini bercampur menjadi satu. Jelas Gua bahagia karena sebentar lagi anak kami akan lahir, akan ada tangis seorang bayi ditengah-tengah keluarga kecil ini, akan ada suara rewel bayi yang meminta susu, akan ada suara imut nan lucu yang memanggil 'ayah' dan 'bunda'. Cemas, karena ini adalah pengalaman pertama bagi kami untuk menyambut itu semua, tentu siapapun di dunia tau, bahwa proses melahirkan bukanlah perkara mudah. Ada nyawa di sana yang dipertaruhkan.
"Mm.. Saya rasa, saya dan suami saya tidak akan menyewakan lagi tanah tersebut kepada Ibu", ucap istri Gua ketika itu.
Kami yang mendengarkan ucapannya langsung terdiam, kaget dan heran.
"Ehm.. Maaf ya Bu sebentar", ucap Gua,
"Bun, kok kamu ngomong gitu ? Kenapa ?", tanya Gua sedikit berbisik.
Istri Gua menghela nafas pelan lalu tersenyum kepada Gua, kemudian dia kembali menatap tantenya Luna yang duduk di hadapan kami. "Jadi, ini memang rencana dadakan, saya berniat untuk membangun usaha kami berdua di atas tanah tersebut. Maka dari itu kontrak sewa tanah ini tidak bisa dilanjutkan", ucapnya lagi seraya menaruh kedua tangannya di atas meja makan.
"Mmm.. Kalau boleh tau, memangnya kalian berdua akan membuka usaha apa ?", tanya tantenya Luna kepada Echa.
Lalu Echa melirik kepada Gua sesaat dan kembali menatap tantenya Luna. "Kami rencananya akan membuka usaha di bidang kuliner", jawab istri Gua seraya tersenyum manis.
Gua yang memang tidak mengetahui hal tersebut jelas kaget dan tidak percaya. Karena dari kemarin-kemarin istri Gua tidak membicarakan hal tersebut kepada Gua.
"Jadi ini batal Mas Eza ?", tanya tantenya Luna kepada Gua.
Gua melirik sebentar kepada istri Gua, dia hanya tersenyum tipis. Gua menggaruk pelipis yang tidak gatal karena bingung harus memutuskan apakah mengikuti kemauan istri Gua yang tidak dibicarakan sebelumnya atau tetap menyewakan tanah itu kepada tantenya Luna sekarang. Kalau mau jujur sih, lebih baik menyewakan dan memperpanjang kontrak tanah tersebut, bukan apa-apa, duitnya berlimpah banget. Siapa yang gak tergoda, kan lumayan tuh buat beli barang-barang di rumah baru nanti, belum untuk biaya persalinan dan keperluan si calon anak kami nanti.
"Mmm.. Menurut ku gini aja Za, Cha, ini hanya sekedar saran aku, gimana kalo kalian berdua pikir ulang, soalnya maaf ya.. Aku lihat Eza nya juga kayak baru tau kalo Echa mau bangun usaha, nah kita undur aja dulu soal perpanjangan kontrak ini, nanti kalau kalian sudah sepakat akan bagaimana, baru hubungi aku dan tante aku lagi", ucap Luna memberikan saran.
"Ah iya boleh ju..", ucapan Gua terpotong.
"Gak perlu kayaknya deh Lun, kita berdua udah yakin dan memang mau buka usaha di atas tanah tersebut kok, secepatnya", potong istri Gua.
"Eeuu.. Cha kayaknya kita emang perlu mikirin ulang soal rencana kamu deh, kan..".
"Za, udah ya gak usah berdebat, aku yakin kok kita bisa sukses, insha Alloh, daripada nyewain tanah terus, lebih baik kita bangun usaha sendiri di situ", selanya lagi sambil menatap Gua tajam.
Gua menghela nafas dengan kasar lalu menggelengkan kepala mendengar ucapan istri Gua itu. Kok jadi gini dia, fikir Gua.
"Yaudah yaudah gak apa, gini aja, kabarin saya Mas Eza kalau nanti misalkan kalian tidak jadi bangun usaha tersebut, toh kontrak saya masih sampai juli kan, jadi masih ada waktu sampai dua bulan kedepan", ucap tantenya Luna kali ini.
Gua hanya bisa mengangguk dan tersenyum kepada beliau. Kemudian tidak lama mereka berdua pamit pulang, dan tentu saja Gua mengucapkan maaf kepada mereka berdua. Setelah mereka pulang, tidak lama istri Gua pun mengajak pulang ke rumahnya, ke rumah mertua Gua.
Di dalam perjalanan Gua mencoba untuk membahas hal di atas lagi.
"Bun, kok kamu tadi gak sopan gitu sih ngomongnya.. Ada apa sih ?", tanya Gua sambil mengemudikan mobil.
"Enggak papa!", jawabnya ketus.
Gua menghela nafas lagi, kemudian membelai rambutnya dengan tangan kiri. "Hey, kamu cemburu sama Luna ?", tebak Gua.
"Enggak tuh! Biasa aja huh!", kali ini wajahnya berpaling ke sisi kirinya.
Gua tersenyum lalu menggelengkan kepala. Kemudian kembali fokus mengemudikan mobil.
Gua heran sih sebenarnya sama Echa, apa yang dia cemburui dari sosok Luna. Oke kalau soal fisik, Gua jujur, Luna itu bak model, persis seperti yang dikatakan Mba Yu dulu, bodinya proposional, tinggi semampai dan tentu saja memiliki paras cantik karena memang blesteran, peranakan eropa dan asia. Tapi masalahnya kan Gua sendiri tidak akrab, bahkan bertemu juga jarang dengan Luna, sebulan satu kali aja belum tentu kami bertemu, Ya Gua fikir ini karena faktor istri Gua sedang hamil saja.
Sesampainya di rumah mertua, kami duduk di gazebo halaman belakang rumahnya. Gua dan istri Gua duduk bersebelahan, sedangkan kedua mertua Gua duduk di hadapan kami. Sedikit basa-basi, kemudian barulah istri Gua menceritakan maksud dan tujuannya yang ingin membuka bisnis kuliner di atas tanah milik pemberian alm. Ayahanda Gua. Jelas Gua kembali terkejut, karena permintaannya kepada Papahnya itu lagi-lagi tidak dibicarakan terlebih dahulu kepada Gua sebagai suaminya.
"Sebentar Pah, maaf", ucap Gua menyela obrolan mereka berdua,
"Bun, gini ya sayang, rencana dan ide kamu itu memang bagus, tapi kamu belum cerita apapun sama aku, kita perlu omongin ini dulu berdua, kamu gak bisa main ambil keputusan sepihak seperti ini, apalagi sampai minta bantuan sama Papah", ucap Gua kepada istri Gua yang sudah cemberut itu.
"Loch loch.. Kalian belum bahas masalah ini berdua toh ?", ucap Mamah mertua dengan cukup terkejut.
Gua menengok kepada beliau lalu menganggukan kepala. "Belum Mah, aku sendiri baru tau hari ini dari Echa", jawab Gua.
Papah mertua Gua malah tersenyum lebar lalu berdiri dari duduknya. "Hahaha.. Ya itulah salah satu sifat istrimu Za.. Mohon dimaklum saja ya. Kalo gitu Papah sama Mamah masuk dulu ke dalam, kalian obrolin aja dulu soal rencana itu, dan kalo memang mau bangun usaha sendiri, insha Alloh Papah bantu", ucap Papah mertua Gua.
Kemudian kedua mertua Gua pergi meninggalkan kami. Gua bangun dari duduk dan berdiri seraya menyandarkan tubuh ke tiang gazebo ini, lalu membakar sebatang rokok. Gua menatap kearah lain, membelakangi istri Gua yang masih duduk di dalam gazebo.
"Bun, kamu kenapa tiba-tiba mau bangun usaha kuliner ?", tanya Gua dengan tetap membelakangi istri Gua.
"Ya biar kita punya usaha sendiri Nda, kan bagus tuh, daripada cuma kontrakin tanah terus", jawabnya.
"Terus referensinya darimana ? Gak gampang loch Bun buka usaha kuliner itu, lagian kita harus survey dulu, belum lagi mikirin menu apa yang akan kita jual, lah akunya aja masih gak bisa masak dan cuma punya sedikit ilmu soal kuliner, masa main buka restoran atau cafe Bun", ucap Gua lagi lalu menghisap rokok dalam-dalam.
"Kamu kan lagi magang di hotel Nda, bisa nanya-nanya ke teman kerja kamu yang udah profesional, terus bisa juga nanya ke.. Eeuu.. siapa tuh dosen kamu ? Pak Boy ya ? Nah bisa tuh tanya ke dia Nda..".
Gua menggelengkan kepala seraya menatap langit yang cukup cerah hari itu. Bukan perkara mudah membuka usaha kuliner, apalagi itu tanah luas, jadi rasanya Gua tidak mungkin membuka sebuah cafe biasa, kalau pun memaksakan, bisa minus neraca keuangannya, karena biaya pajak dan bangun usaha di tanah yang letaknya strategis dan berada di jalan protokol itu pasti mahal sekali. Dan lagi-lagi selalu saja meminta bantuan Papah mertua, kan malu Gua.
"Gini aja deh ya Bun, kita pikirkan ulang dulu, jangan secepat ini mengambil keputusan, modalnya gak kecil Bun, ya kalopun mau pinjam ke Papah kan gak semudah itu juga, banyak hal yang harus kita pertimbangkan.. Oke ?", ucap Gua seraya membalikkan badan dan menatapnya.
"Hmmm.. Pokoknya harus jadi, titik", tandasnya seraya berdiri lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Gua hanya bisa mendengus kasar lalu merebahkan diri di dalam gazebo, pusing ah mikirin maunya istri...
...
...
...
Sudah memasuki bulan juni tahun 2008, kandungan istri Gua pun sudah masuk usia tujuh bulan, dan perutnya semakin membesar, di bulan inilah Gua meminta Echa untuk cuti kuliah selama satu semester. Sedangkan Gua sendiri masih menjalani masa pkl sebagai mahasiswa magang di salah satu hotel.
Kembali ke persoalan bisnis kuliner yang ingin dibangun oleh istri Gua, akhirnya Gua mengalah, ya mau tidak mau, Echa ngotot kalau kami harus mulai memiliki usaha sendiri. Dan jalan tengahnya tidak pernah terduga oleh Gua. Ini Gua persingkat saja, intinya Gua dan istri menyetujui saran dari Luna, sarannya adalah, dia dan Papahnya akan menginvestasikan modal untuk ikut ambil bagian dalam usaha kuliner ini, yang tentunya hanya diberikan porsi sebesar 40% oleh istri Gua, sisa 60% lagi milik kami berdua. Jadi sebagai pemilik tanah dan modal terbesar dari bisnis kuliner, kami berdua tentu menjadi pemilik utama usaha tersebut. Dan bulan juli baru akan direnovasi bangunannya agar lebih modern dan sesuai dengan desain istri Gua nanti. Dan Mba Laras Gua percayakan sebagai orang yang menjadi pelaksana usaha tersebut, apalah namanya ya, Gua bingung. Yang jelas Mba Laras jadi orang kepercayaan Gua, dia yang mengatur hal manajerial, dari mulai kontrak kerja, rekrut pegawai, urusan perizinan ke pemkot dan tentu saja urusan kerjasama dengan Papahnya Luna.
Di hari lainnya masih di bulan juni, Gua seperti biasa sedang mengantarkan istri tercinta ke klinik untuk cek n ricek kandungannya yang sudah masuk tujuh bulan. Dan alhamdulilah seperti bulan-bulan sebelumnya, segalanya normal. Selesai periksa kandungan Echa, kami berdua pergi ke salah satu toko furniture untuk membeli beberapa barang. Sesampainya di sana Echa memilih lemari pakaian, spring bed, satu set sofa ruang tamu dan ruang tv, lalu kursi dan meja untuk di teras dan sebagainya. Selesai memesan dan membeli furniture barulah kami berdua makan sore di sebuah warung soto pinggir jalan.
Malam harinya Gua dan Echa berada di kamar rumah Nenek. Saat itu kami sedang tiduran, menunggu kantuk menyerang.
"Nda, kamu selesai pkl bulan apa ?", tanyanya yang tiduran di samping Gua.
"Mmm.. Bulan depan sayang, juli.. Kenapa gitu ?".
"Oh, enggak apa-apa, cuma bulan agustusnya kan aku lahiran nih kalo sesuai jadwal dan prediksi dokter, kamu bisa gak cuti satu semester abis pkl ?", tanyanya lagi.
Gua menengok kepada istri Gua itu, lalu mencium keningnya. "Enggak perlu kamu minta juga pasti aku ambil cuti kok sayang.. Hehehe", jawab Gua.
"Makasiiih.. Hihihi.. Eh eh, tapi gak apa-apa kan ? Maksud aku gak masalah sama perkuliahan kamu ?", tanyanya seraya menatap wajah Gua.
"Enggak apa-apa kok Bun, kalo soal laporan pkl nanti aku minta tolong Lisa dan Kinan aja, mereka mau bantu kok, tapi tetep aku yang ngerjain", jawab Gua lagi.
"Bukan, maksud aku dari pihak kampus kamu nanti ada masalah gak ?", tanyanya cemas.
"Enggaklah Bun, nih, di kampus ku tuh yang penting bayaran uang kuliah lancar, semuanya aman, heheheh..".
"Iiih dasar, huuu.. Tapi syukur deh kalo gitu. Yaudah kita tidur dulu, besok kamu kan harus kerja lagi pagi-pagi".
"Kerja ? Magang sayang".
"Ah sama aja Ndaaa.. Kan kamu dapet gaji hehehehe..".
Akhirnya tidak lama kami pun beristirahat setelah pillow talk itu.
...
Sekitar pukul dua pagi Gua terbangun, dengan kucuran keringat yang cukup deras. Nafas Gua memburu, sepertinya dada Gua sedikit sesak. Penyebabnya adalah mimpi, ya mimpi yang sangat Gua takuti.
Bulan itu, juni 2008 pukul dua pagi Gua terbangun karena sebuah mimpi buruk. Selama Gua hidup, Gua jarang, bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Gua bermimpi buruk. Gua terduduk di atas kasur, menyandarkan punggung ke dinding kamar lalu menyeuka keringat di wajah ini. Kemudian Gua menatap istri Gua yang masih tertidur pulas, Gua menatapnya lama, memperhatikannya dalam kamar yang cahayanya redup ini.
Gua memegangi wajahnya dan merapihkan helaian rambut yang sedikit menutupi wajahnya itu, lalu Gua mencium pipi dan keningnya, tanpa terasa airmata Gua mengalir sendiri tanpa bisa Gua tahan. Entah kenapa saat itu Gua takut kehilangan istri tercinta Gua. Beberapa saat kemudian Gua bangun dari kasur dan menuju kamar mandi, mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka'at, meminta ketenangan hati dan bathin sekaligus memohon kepada Sang Maha Pelindung agar Gua dan keluarga Gua selalu berada dalam lindungan-Nya.
...
...
...
Memasuki bulan juli Gua masih melakukan kegiatan magang di hotel, sedangkan istri Gua berada di rumah bersama Mba Laras dan juga Nenek yang selalu menemaninya. Istri Gua memang sudah mengambil cuti kuliah, dan kegiatan magang Gua pun akan berkahir di bulan ini. Tinggal satu minggu lagi saat itu Gua selesai magang. Beberapa hari berlalu, semuanya terasa normal dan berjalan dengan baik.
Tibalah saatnya Gua mengajukan cuti selama satu semester dan langsung disetujui oleh pihak kampus. Selesai sudah memberikan laporan magang selama tiga bulan belakangan ini, yang laporan tersebut dibantu oleh Kinan dan Lisa. Kemudian masa cuti kuliah itu Gua isi dengan hari-hari bersama istri tercinta Gua, menemaninya berbelanja kebutuhan anak kami ketika nanti lahiran.
Gua dan Echa sedang berada di mall, lebih tepatnya toko perlengkapan bayi di ibu kota. Kami berdua membeli berbagai macam perlengkapan bayi, dari mulai kereta bayi, pakaian, alat mandi dan segala macam kebutuhan bayi kami beli saat itu. Selesai berbelanja dan membayarnya, kami berdua pergi ke salah satu mall lagi, makan siang di resto favorit istri Gua.
"Nda, abis dari sini kita langsung pulang ?", tanyanya ketika selesai makan.
"Iya Bun, kamu mau kemana lagi emang ? Masih ada yang mau dibeli gitu ?".
"Enggak sih, cuma aku pingin beres-beres rumah baru kita aja, biar nanti minggu depan udah bisa pindahan", jawabnya.
"Ooh, ya gampang itu ma, nanti kita minta tolong Bibi aja untuk beres-beres ya, kan kamu gak boleh capek sayang", ucap Gua lagi.
"Iya, tapi kan aku mau nata barang-barangnya, cuma liatin aja kok".
"Hehehe.. Jadi mandor gitu ya ? Hehehe".
"Iih dasar, tapi iya juga sih, hihihihi..".
Singkat cerita satu minggu kemudian masih di bulan juli, kami berdua bersama kedua mertua Gua dan Mba Laras sedang berada di rumah baru kami. Alhamdulilah rumah sudah bisa ditempati oleh Gua dan istri, penataan barang pun sudah selesai ditata sesuai kemauan istri Gua. Sementara Gua dan Echa menempati kamar di lantai satu, di dekat ruang tv. Gua dan Echa sepakat mengajak Mba Laras tinggal bersama kami di sini, Mba Laras menempati kamar lantai satu juga, yang berada di dekat tangga ke lantai dua. Seorang asisten rumah tangga dihadirkan oleh Mamah mertua Gua, untuk membantu bersih-bersih rumah dan segala macam keperluan kami.
Di akhir bulan juli kami mengadakan pengajian, acara syukuran atas rumah tersebut, sekalian silaturahmi kepada warga sekitar, dan mengundang tetangga dekat rumah, tidak lupa juga mengundang ketua Rt dan Rw setempat. Alhamdulilah semuanya berjalan lancar, keluarga kecil Gua ini kini sudah berada di tengah-tengah komplek perumahan ini, menjadi bagian warga di sini.
Tentu saja atas segala apa yang Gua miliki sekarang adalah pemberian dari ALLAH SWT. Gua mengucap syukur atas pemberiannya ini, dan Gua sangatlah beruntung memiliki istri seperti Elsa Ferossa, dia tidak henti-hentinya mengingatkan Gua untuk selalu beribadah, mengucap syukur kepada Tuhan, menyisihkan sebagian rupiah untuk membantu orang lain, dan selalu mengingatkan Gua untuk shalat berjama'ah di masjid selama Gua cuti menemaninya.
...
Bulan Agustus 2008.
Waktu dimana istri Gua sudah akan melahirkan bayi kami ke dunia, rasa bahagia dan sedikit rasa cemas dalam hati ini bercampur menjadi satu. Jelas Gua bahagia karena sebentar lagi anak kami akan lahir, akan ada tangis seorang bayi ditengah-tengah keluarga kecil ini, akan ada suara rewel bayi yang meminta susu, akan ada suara imut nan lucu yang memanggil 'ayah' dan 'bunda'. Cemas, karena ini adalah pengalaman pertama bagi kami untuk menyambut itu semua, tentu siapapun di dunia tau, bahwa proses melahirkan bukanlah perkara mudah. Ada nyawa di sana yang dipertaruhkan.
15th August 2008.
Sore ini, Gua pergi sendirian ke sebuah mall di ibu kota. Saat itu Gua naik ke lantai dua, memasuki toko perhiasan yang ada di sana. Gua memilih sebuah cincin yang beberapa bulan lalu sempat menyita perhatian istri Gua. Dan janji Gua pun alhamdulilah bisa Gua tepati, Gua membelinya dengan hasil uang yang Gua kumpulkan dari gaji Gua selama tiga bulan magang.
Selesai membeli cincin, Gua pun turun ke lantai basement, kembali ke parkiran dan masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah. Baru saja Gua menyalakan mesin mobil, hp Gua bergetar tanda panggilan masuk.
Sore ini, Gua pergi sendirian ke sebuah mall di ibu kota. Saat itu Gua naik ke lantai dua, memasuki toko perhiasan yang ada di sana. Gua memilih sebuah cincin yang beberapa bulan lalu sempat menyita perhatian istri Gua. Dan janji Gua pun alhamdulilah bisa Gua tepati, Gua membelinya dengan hasil uang yang Gua kumpulkan dari gaji Gua selama tiga bulan magang.
Selesai membeli cincin, Gua pun turun ke lantai basement, kembali ke parkiran dan masuk ke dalam mobil untuk pulang ke rumah. Baru saja Gua menyalakan mesin mobil, hp Gua bergetar tanda panggilan masuk.
Quote:
*
*
*
*
*
Quote:
Diubah oleh glitch.7 20-05-2017 02:25
fatqurr dan dany.agus memberi reputasi
2
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/18/9605475_20170318104940.jpg)
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/19/9605475_20170319120710.jpg)



love u too bun...ahaha..

). 
(Jangan lupa tempura seminggu sekali ya Yah) 

: