Kaskus

Story

simacankampusAvatar border
TS
simacankampus
Si Macan Kampus
MEMOAR SI MACAN KAMPUS

Prolog

Sebelum saya jadi jurnalis, sebelum saya jadi stand-up comedian, saya adalah seorang macan kampus. Saya mau berbagi cerita soal pengalaman saya selama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ’97 hingga dijuluki Macan Kampus. Tapi untuk sampai di cerita bagaimana saya mendapat julukan itu di kampus, saya mau cerita dulu masa masih berseragam putih abu-abu. Masa ketika masih jadi remaja tanggung dengan hormon yang bergejolak.

---

Daftar Isi (Biar Kaya Buku. Hehehehe)

Prolog - Memoar Si Macan Kampus
( Part 2 ) - Bimbel Oh Bimbel
( Part 3 ) - Mau Jadi Musisi
( Part 4 ) - Cinta Monyet
( Part 5 ) - Kanuragan
( Part 6 ) - Karma
( Part 7 ) - Rumah Singgah
( Part 8 ) - LULUS!

---

Mari kita kembali ke pertengahan tahun ’90.

Waktu itu saya adalah salah seorang murid di SMAN 3 Bogor. Berat badan saya masih 55 kg. Dengan tinggi badan 177 cm, jadinya terlihat kurus dan agak memprihatinkan. Kalau kamu melihat foto saya waktu kelas 2 SMA, itu lebih memprihatinkan lagi. Rambut cepak membuat saya terlihat lebih tak menarik. Malah, kalau saya melihat foto saya waktu kelas 1 dan pertengahan kelas 2 SMA, itu terlihat tua sekali. Seorang kawan, ketika melihat foto itu, mengatakan saya seperti Benjamin Button. Itu loh, film yang diperankan oleh Brad Pitt. Bukan, bukan maksudnya saya ketika SMA terlihat seperti Brad Pitt, tapi di film itu diceritakan si Benjamin Button yang siklus hidupnya bukan dari bayi lalu menjadi tua, tapi malah sebaliknya.

Lebih dari satu tahun, saya berambut cepak. Semua karena saya jadi anggota Korps Taruna SMAN 3 Bogor, sebuah organisasi ekstra kurikuler pasukan pengibar bendera. Saya bergabung bukan karena sukarela, tapi karena “dijebloskan” ke sana. Saya tak tahu seperti apa prosesnya sekarang, yang jelas, di jaman saya dan beberapa angkatan sebelumnya, semua anggota Korps Taruna dimasukan ke dalam dua kelas khusus, setelah melewati proses seleksi berdasarkan tinggi badan dan wawancara (dilakukan ketika kami daftar ulang ke SMA) yang bahkan saya awalnya tak sadar itu untuk keperluan penerimaan ekstra kurikuler di sekolah. Alasannya: supaya kalau mau mengikuti lomba baris berbaris dan harus meninggalkan ruang kelas, mudah ijinnya, karena satu kelas. Pada prakteknya, tak semua yang dijebloskan ke sana, mau ikut latihan baris berbaris.

Tahun 1994, saya diterima di SMAN 3 Bogor dan masuk sebagai angkatan VII di Korps Taruna SMAN 3 Bogor. Kelas I-8 dan kelas I-4 adalah dua kelas Taruna angkatan kami. Hampir semuanya tingginya di atas 170 cm, kecuali seorang teman kami, Achmad Hadiyatul Munawar alias Awank, yang tingginya di bawah 170 cm. Hingga sekarang, kami tak tahu kenapa dia bisa masuk kelas kami. Entah petugas administrasi salah memasukkan dia, entah karena dia dianggap punya potensi. Meskipun hingga lulus, kami tak tahu potensi dia apa, selain punya rumah yang besar di daerah Cigombong, Sukabumi, dan sering kami jadikan tempat kumpul hingga menginap. Selain rumahnya paling besar di antara kami, setiap menginap di sana, kami selalu dijamu.

Oke, mumpung sedang membahas Korps Taruna, saya mau cerita sedikit pengalaman ketika aktif jadi paskibra.

Saya tak tahu seperti apa kegiatan paskibra di sekolah lain, yang jelas Korps Taruna SMAN 3 Bogor, kegiatannya setiap Minggu pagi selalu latihan baris berbaris. Maka, ini membuat saya tak pernah libur di rumah begitu masuk SMA. Kalau dipikir-pikir sekarang sih, kenapa saya dulu mau ya, disuruh baris di bawah sinar matahari, latihan fisik macam push up, scot jump, lari, dan lain-lain padahal saya juga bisa mengelak datang, toh ada beberapa teman kami yang tak ikut latihan dan baik-baik saja di kelas.

Panas terik hujan deras kami tetap berlatih. Dan hebatnya badan di usia belasan, sepertinya daya tahan tubuh sedang bagus-bagusnya. Tak ada itu yang namanya pilek setelah hujan-hujanan. Tak pernah masuk angin. Tak ada flu. Badan boleh saja cungkring 55 kg, tapi sungguh tahan banting.

Oya, sebelum resmi menjadi anggota Korps Taruna, kami harus mengikuti kegiatan pelantikan berupa kemping di kawasan perkebunan teh di Gunung Mas, Puncak, Bogor. Udaranya kurang ajar sungguh menusuk tulang ketika malam hari. Dan kami tak diberi kesempatan memakai jaket. Ketika jurit malam (kegiatan jalan-jalan di malam hari terus mengikuti jalur yang disediakan untuk bertemu dengan pos-pos yang disediakan), kami bertemu sekelompok anggota silat Cimande yang sedang ujian kenaikan tingkat. Melihat mereka, saya jadi merasa kegiatan pelantikan kami tak ada apa-apanya. Kami hanya disuruh push up dan semacamnya yang sering kami lakukan setiap Minggu, paling seram juga dibentak senior. Tapi anak-anak silat Cimande, tak hanya dibentak, tapi juga ditendang dan dipukul. Tanpa pandang usia. Saya melihat anak kecil, mungkin masih SD, sekujur badannya ditendang seniornya. Meskipun anak itu meringis kesakitan, kegiatan itu tetap saja dilakukan. Mungkin sekarang, anak kecil itu sudah sakti mandraguna.

Saya tak tahu, apakah sekarang Korps Taruna SMAN 3 Bogor masih menjalankan prosesi pelantikan seperti kami dulu. Dan saya juga tak tahu apakah sekarang masih ditempatkan di dua kelas khusus. Serta saya juga tak tahu apakah para seniornya masih memberikan doktrin kuat pada anggotanya. Maklum, dulu kami merasa bahwa kami adalah paskibra paling bagus se-Bogor.

“Satu-satunya paskibra yang dimasukan di kelas khusus, ya kita.”
“Kalian ini siswa pilihan. Siswa terbaik di SMA 3.”
“Korps Taruna adalah paskibra yang disegani di Bogor.”

Nyatanya, ketika kami ikut lomba baris berbaris antar SMA se Kota Bogor, kami tak juara. Bahkan masuk 3 besar pun tidak.

Selain jadi anggota paskibra, saya juga ikut ekstra kurikuler silat. Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong [PPS BETAKO] Merpati Putih, sebuah perguruan silat dari Yogyakarta. Merpati Putih adalah bentuk pendek dari Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, yang artinya mencari sampai mendapat, tindakan yang benar dalam ketenangan. Bukan hanya gerakan beladiri yang dipelajari di Merpati Putih (selanjutnya kita singkat saja menjadi MP), tapi juga ilmu pernafasan.

Nah, makanya, selama SMA, kehidupan saya tak dilepaskan dari dua hal itu. Kelas satu latihan baris dan silat, kelas 2 melatih baris dan silat ditambah nongkrong, kelas 3 latihan silat dan nongkrong. Lalu, pertanyaannya: kapan belajarnya? Haha.

Eh iya, dari tadi cerita soal ekskulnya, tapi belum cerita seperti apa sekolahnya.
SMAN 3 Bogor beralamat di Jalan Pakuan No 4, Bogor. Buat yang pernah ke Bogor, dari gerbang tol Jagorawi yang di Bogor, belok kiri maka kira-kira 400 meter kamu akan menemukan SMA 3. Angkutan kota yang melintas di depan SMA 3 adalah angkot 06. Makanya kalau corat coret di dinding, sering ditulis 3 BGR 406, atau Fuckone 406, alias Jalan Pakuan No. 4, naek 06. Waktu saya masih kelas 1, lapangan upacara kami hanyalah berupa lapangan berbatu kerikil yang ukurannya tak terlalu luas, karena di antara bangunan sekolah yang berbentuk kotak, ada dua kelas melintang di tengah. Bangunan kelas itu akhirnya diruntuhkan ketika saya kelas 2, sehingga kami punya lapangan basket yang bagus, sekaligus jadi lapangan upacara.

Sekarang, di dekat SMA 3, tepatnya di Jl. Pajajaran, sudah banyak gedung pertokoan. Dulu, hanya ada beberapa bengkel mobil, dan gedung yang sekarang jadi pertokoan, adalah semak-semak di tanah kosong. Dulu, bangunan paling besar selain sekolah kami adalah Mesjid Raya. SMAN 3 Bogor adalah salah satu SMA bergengsi ketika saya masuk, dan sepertinya sih masih begitu hingga kini. Walau begitu, angkatan sebelumnya, murid SMA 3 terkenal beringas. Sering terjadi perkelahian antar kelas, bahkan hingga saling tusuk. Kalau tawuran, murid SMA 3 Bogor biasanya melawan STM. Ketika saya baru masuk, cerita yang entah mitos atau fakta itu, sering didengungkan oleh senior. Cerita yang sangat sesuai segmen remaja yang masih penuh gejolak. Ada semacam kebanggaan semu bahwa murid SMA 3 Bogor, terkenal pemberani.

Tahun ’90-an sering sekali terjadi tawuran antar pelajar. Setiap hari, berita di televisi tak pernah luput dari berita soal tawuran pelajar, khususnya di ibukota. Pelajar saling lempar batu, kejar-kejaran di jalanan sambil memutar-mutar sabuk yang ujungnya dipasangi gir sepeda yang sudah diasah jadi tajam. Sekarang, sudah jarang berita pelajar tawuran. Entah karena pelajarnya sudah banyak sarana menyalurkan gejolak kawula muda nya, atau karena sekarang yang tawuran adalah lebih banyak orang dewasa.

Sepanjang saya sekolah, baru mengalami 2 kali kejadian yang mungkin bisa dikategorikan tawuran. Pertama, ketika satu hari, ada sekelompok pelajar menghampiri area sekolah kami dan saya juga kurang ingat bagaimana detinya, yang jelas, tiba-tiba saya diajak teman-teman untuk melawan anak STM yang cari gara-gara. Tak ada aksi lempar batu, untungnya. Hanya ada aksi baku hantam tangan kosong, dan saya sendiri karena refleks melihat bambu panjang yang tergeletak di jalanan, langsung saya gunakan untuk menakut-nakuti musuh pelajar dari sekolah lain. Latihan silat dua kali seminggu, tapi ketika terjadi tawuran, saya malah terlalu pengecut untuk menggunakan keahlian yang dilatih itu. Kejadian kedua adalah ketika corat-coret dalam rangka merayakan kelulusan. Dari pagi hingga siang, pelajar dari sekolah tetangga, yaitu SMA PGRI 1 Bogor, aman-aman saja ketika melintas di depan sekolah kami. Tapi selepas jam 1, tiba-tiba ada yang mengomandoi kami bahwa pelajar SMA PGRI 1 Bogor menyerang kami, sehingga kami harus menyerang ke sekolah mereka dan menghadang semua pelajar dari sekolah itu yang melintas. Kalau dipikir dengan kepala dingin dan tak mudah terpancing emosi, mungkin saja kejadian itu hanya bohong, kemungkinan besar ada yang menyebarkan kebohongan supaya kami emosi dan ikut tawuran terakhir sebelum lulus. Saya rasa, yang begini ini sering terjadi. Bukan hanya dalam konteks tawuran pelajar, tapi juga di kehidupan sekarang. Banyak orang yang mudah terpancing emosi atas sesuatu yang belum jelas kebenarannya.

Di sub judul berikutnya, saya akan cerita seperti apa masa sekolah saya. Kalau begini, saya menyesal dulu ketika SMA tak menulis buku harian. Coba dulu saya menuliskan setiap hari yang saya jalani, pasti sekarang saya tak kesulitan mengingat kejadian apa saja yang menarik selama masa remaja. Tapi, ya saya juga tak akan menyangka kalau ternyata kehidupan saya akan ada yang mau membaca dan menerbitkannya ke dalam buku. Maklum, saya bukan tipe orang yang penuh perencanaan. Bukan orang yang sudah tahu apa yang mau dilakukan di masa depan. Bukan tipe orang yang berpikir jauh ke depan. Saya ini tipe orang yang lebih mementingkan hari ini. Menikmati yang sedang dijalani. Memang, kalau kata motivator sih, pandangan hidup “gimana nanti” ini bukan pandangan hidup yang ideal. Harusnya kan, “Nanti gimana?” tapi saya tak mau hidup terlalu menguatirkan yang belum terjadi. Meskipun kata Utha Likumahuwa, esok kan masih ada, kata saya mah, esok belum tentu ada. Jadi, ya nikmati saja hari ini.

Ah sial. Kenapa saya malah jadi seperti motivator begini, ya?
Diubah oleh simacankampus 19-05-2017 15:54
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
9.4K
50
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
simacankampusAvatar border
TS
simacankampus
#44
Rumah Singgah (Part 7)


Selama saya bersekolah, selain nongkrong di sekolah, tujuan kami biasanya ke rumah teman. Jarang sekali terjadi kami nongkrong di mall, karena memang Bogor ketika saya SMA tak punya mall yang enak buat dijadikan tempat nongkrong. Internusa, mall yang paling enak buat jalan-jalan, terbakar ketika saya kelas 1. Lagipula, jalan-jalan ke mall butuh biaya, sedangkan saya uang jajan pas-pasan, makanya lebih baik kita main ke rumah teman. Rumah saya tak pernah jadi rumah tongkrongan, karena lokasinya sudah termasuk luar Bogor. Maklum, anak kabupaten.

Sekali-sekalinya teman-teman main ke rumah saya di Gunung Putri, itu ketika malam tahun baru 1997. Tiga orang teman saya ikut menginap di rumah untuk merayakan tahun baru. Bagi mereka yang tinggal di Bogor kota, perjalanan ke rumah saya merupakan perjalanan yang baru. Mereka jarang sekali naik bis kota, karena sehari-hari naik angkot. Dan entah karena terlalu lelah menempuh perjalanan yang padahal hanya satu jam, atau karena memang tak biasa begadang, malam tahun baru kami lewatkan begitu saja. Tepat tengah malam, saya terbangun melihat di televisi ada hitung mundur. Ketika saya lihat sekeliling, teman saya semua tertidur di depan tv. Sungguh meriah sekali cara kami merayakan kedatangan tahun 1997.

Oya, kembali ke rumah yang biasa disinggahi saya dan teman-teman sepulang sekolah. Ada tiga rumah yang biasanya kami jadikan tujuan. Rumah pertama, milik Irman Aryatna Nasoetion. Hanya berjarak setengah jam dan dua kali naik angkot dari sekolah. Punya fasilitas yang lengkap: kamar yang luas, bahan bacaan yang banyak (Irman berlangganan majalah Hai), konsol game (dulu masih jaman SEGA), dan yang paling penting: selalu ada makanan tersedia di meja makan sehingga kami bisa makan siang gratis. Irman tinggi badannya hampir 180 cm, berkacamata, punya dagu yang mengingatkan saya pada Aburizal Bakrie. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama, laki-laki, usianya tiga tahun di atas kami. Badannya tinggi besar. Kami takut padanya. Kalau dia ada, kami jadi canggung. Sepanjang saya kenal dengan Irman, kami hanya beberapa kali bertegur sapa. Dia punya usaha biliar dan studio musik. Namun tetap saja, kalau kami main biliar di sana, tak bisa gratis. Hehe. Kakaknya yang kedua, perempuan, dua tahun di atas kami. Tinggi manis. Kalau kami ke sana, dia selalu memakai celana pendek. Mengingat waktu itu masih jarang melihat perempuan memakai celana pendek alias hot pants, sering agak canggung kalau kami melewati dia yang rebahan di sofa depan TV sambil menaikkan kakinya yang jenjang ke atas kursi. Kakaknya yang perempuan, ketika kami kelas 3, berpacaran dengan Kaka Slank. Pernah, satu kali, Kaka ngapel ke Bogor dari Potlot naik angkutan umum. Padahal itu sudah mau album ke-5, tapi Kaka masih bisa santai jalan-jalan naik angkutan umum tanpa dikenali masyarakat.

Berkat Irman pula, kami sempat punya mobil yang bisa dipakai bersama-sama. Tak perlu naik angkot. Mobilnya Daihatsu Hijet 1000. Minibus yang bisa menampung hingga 10 orang, kalau dipaksakan. Mobil ini pernah menyelamatkan nyawa para anggota Merpati Putih. Satu malam, ketika ujian kenaikan tingkat, yang biasanya diisi dengan kegiatan lari tengah malam melewati rute yang sudah ditentukan, saya dan beberapa teman berkeliling naik mobil itu untuk memeriksa siapa tahu ada yang pingsan di jalan. Di kampus IPB, tepatnya di depan bundaran Tugu Kujang, lewat tengah malam, kami mengangkut beberapa anggota Merpati Putih (MP) yang kelelahan. Kami berhenti sebentar untuk menjemput. Tiba-tiba dari arah lain di bunderan, meluncur dengan kecepatan kencang, sebuah angkot hingga menabrak bagian belakang Hijet Irman.

"Braaaak!"

"Astaghfirullohaladziiim!" teriak teman-teman saya yang duduk di kursi paling belakang.

Saya yang duduk di kursi sebelah supir terhempas ke depan. Lutut saya menahan badan supaya tak terkena dashboard. Irman yang memegang setir pun terhempas ke depan. Mereka yang baru mau masuk mobil, terlempar ke samping jalan. Kami yang di dalam mobil dengan sigap berhamburan keluar begitu sadar telah terjadi tabrakan. Setelah kami lihat ke belakang, angkot yang menabrak kami kaca depannya pecah, sopirnya terlihat teler di kemudi. Kalau saja tak ada Hijet Irman, angkot itu pasti sudah menabrak belasan anggota MP yang sedang berjalan kaki. Hikmah dari kejadian itu, selain menyelamatkan nyawa, juga menyelamatkan Hijet Irman. Setelah masuk bengkel, mobil tua yang tadinya sudah tak cantik badannya, menjadi kinclong dan gaul. Warnanya hijau muda cerah. Interiornya jadi seperti baru. Kami punya mobil cukup bagus yang bisa dipakai jalan-jalan. Mobil itu diberi nama Qinong. Dan selama akhir kelas 3, Qinong membawa kami ke beberapa tempat sehingga menghemat ongkos naik angkot, karena bensin selalu diisi oleh Irman atau kakaknya.

Rumah kedua, milik Adry Triputro. Pria berdarah Jawa, dengan rambut yang lebat di hampir seluruh badannya. Kami menjulukinya Bowo, kependekkan dari bocah brewok. Badannya agak gempal. Meskipun secara wajah terlihat dewasa, tapi kelakuannya sungguh kekanak-kanakan. Ada dua periode rumah Adry: rumah lama dan rumah baru. Nah, rumah baru Adry adalah pertama kalinya saya melihat rumah bergaya modern minimalis. Waktu itu sih belum tahu istilah itu, hanya tahu bahwa rumah Adry seperti rumah orang kaya. Keramiknya bagus, kusennya mewah, langit-langitnya tinggi, dan kamarnya banyak. Bukan makan siang yang jadi daya tarik rumah Adry, tapi konsol game yang selangkah lebih maju dibandingkan Irman, karena Adry punya Super Nintendo. Saya sebenarnya bukan gamer. Kalau teman-teman saya main Winning Eleven, saya lebih banyak nonton. Saya paling tak bisa main game sepak bola. Susah sekali mengendalikan para pemain itu. Oper, lari, tending. Ah merepotkan. Banyak sekali tombol yang harus diperhatikan. Kalaupun main game, saya biasanya main Tekken atau game yang berkelahi. Soalnya game itu tak membutuhkan banyak waktu. Dan tak perlu terlalu pusing memikirkannya. Asal pencet saja pasti minimal bisa nonjok. Kalau menang syukur, kalah pun tak akan terlalu lama memainkannya. Menurut saya, kalau orang sudah candu main game itu namanya kurang bijak. Buat saya, yang namanya main game adalah sesuatu yang dilakukan di waktu sengggang. Kalau sedang bengong dan butuh kegiatan pengisi kekosongan, maka game adalah pilihan. Kalau sudah terlalu banyak mencurahkan waktu buat main game, itu mah namanya diperbudak game.

Rumah ketiga, saya sudah ceritakan sebelumnya. Rumah Awank, alias Coe Coe, begitu biasa dia menuliskan namanya. Diambil dari kata cucu, karena Awank sering dipanggil "Cucukuuu!" oleh Aat. Maka, melekatlah nama Coe Coe pada dirinya. Rumahnya paling jauh, bukan ada di Kota Bogor, tapi di Kabupaten Bogor dan lebih dekat ke Sukabumi, tepatnya di Cigombong. Kami harus naik bis jurusan Pelabuhan Ratu untuk sampai ke rumah Coe Coe. Lebih dari sejam berkendara dari Bogor. Kalau sekarang sih, bisa lebih lama, karena beberapa bulan terakhir setiap saya mau ke Sukabumi, jalan rayanya selalu macet parah. Patokan rumah Coe Coe adalah stasiun Cigombong. Kalau kondektur sudah teriak, "Stasiun! Stasiun!" artinya kami harus turun. Dari jalan raya, kami lanjutkan dengan ojek. Bilang saja mau ke rumah Pak Uu. Ojek pasti tahu. Bapaknya Coe Coe terkenal di kawasan itu. Entah karena faktor dia yang merupakan anggota DPR, atau karena memang penduduk asli. Waktu pertama kali ke rumah Coe Coe, kami baru sadar bahwa begitu jauh perjalanan yang harus ditempuh dia untuk sampai ke sekolah.

Meskipun bukan tipikal rumah orang kaya di kota, yang interiornya mewah, tapi rumah Coe Coe luas sekali. Mewah tapi masih bernuansa di kampung, alias banyak furnitur yang sederhana. Entah berapa ratus meter luas bangunannya, yang jelas, di lantai 2 dia punya kamar yang seperti barak, alias luas, dan punya banyak kasur, sehingga kalau kami menginap di sana, tak usah kuatir tak akan kebagian tempat tidur. Selain bangunannya yang luas, tanahnya pun luas. Di halaman belakang, Coe Coe punya segala macam kandang dan lapangan badminton. Daya tarik rumah Coe Coe adalah ayam panggang segar yang baru dipotong. Kami sering bilang, semua fasilitas di rumah Coe Coe itu adalah hak kami, karena kami rakyat dan bapaknya Coe Coe wakil rakyat.

Rumah Coe Coe juga punya antena parabola, dan itu sesuatu yang tak kami punya saat itu. Artinya, rumah Coe Coe bisa menangkap siaran televisi dari luar negeri. Setiap kami menginap di sana, tengah malam kami selalu menggonta-ganti saluran. Mitosnya, kalau tengah malam, TV Prancis selalu menyiarkan tayangan yang menampilkan adegan porno. Namun, berkali-kali kami menginap, berkali-kali kami menunggu tayangan porno yang kami harapkan, selalu tak pernah ada. Yang ada, kami malah lebih sering menonton balap sepeda. Haha. Nah, itu baru namanya tayangan yang menyehatkan.

Terakhir kali kami menginap di sana, adalah setelah acara perpisahan. Anak sekarang sih menyebutnya prom night, seperti di film-film Hollywood. Saya tak tahu, apakah tahun 1997 sekolah-sekolah sudah membuat prom night atau belum, yang jelas di sekolah saya disebutnya perpisahan. Kami memakai celana panjang hitam, kemeja tangan panjang putih dan dasi hitam. Mirip mahasiswa universitas swasta di kala ujian negara. Dan SMA 3 Bogor, sejak saya kelas 1 selalu menggelar perpisahan di Gedung Pertemuan di Institut Pertanian Bogor Kampus Dermaga. Acaranya selain diisi sambutan dari guru, dan perwakilan siswa, diisi oleh hiburan band, baik sekolah maupun bintang tamu. Ketika saya kelas 1, bintang tamunya Anang. Sebelum dia jadi suami Krisdayanti dan berduet sehingga membuat dia lebih hits. Kelas 2, bintang tamunya Imanez, salah satu musisi reggae legendaris dari Indonesia. Giliran saya perpisahan, bintang tamunya adalah Pure Saturday. Musik Pure Saturday sebenarnya bukan musik rock yang biasanya dinikmati dengan jingkrak-jingkrak, tapi di hari perpisahan itu, karena suasananya begitu menyenangkan, kami menonton Pure Saturday dan menikmatinya dengan loncat-loncat dan jingkrak-jingkrak. Pulang dari acara perpisahan, kami menginap di rumah Coe Coe. Badan lelah, hati senang. Dan karena jingkrak-jingkrak sambil menggoyangkan kepala, akhirnya bangun pagi leher saya tegang.

Leher bukan satu-satunya yang tegang. Pikiran pun tegang. Masa SMA sudah berakhir. Status masih saja jomblo. Setiap ke rumah Coe Coe, kerjaan kami hanya curhat lagi curhat lagi. Menanti pasangan yang dinanti tiba. Menutup SMA dengan status jomblo, seperti ada yang kurang. Tak ada kisah kasih di sekolah buat saya. Tak ada romansa remaja. Untung saja teman-teman saya juga banyak yang jomblo, dan berkumpul sesama jomblo itu bagus untuk kesehatan jiwa. Merasa tenang ada banyak teman senasib. Apa jadinya saya kalau waktu SMA, tak punya teman? Dua kali lipat cobaannya.

Tenang saja, sodara-sodara. Jomblo itu bukan indikator ketampanan atau kecantikan seseorang. Jomblo itu indikator kesepian seseorang. Hahaha.

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.