- Beranda
- Stories from the Heart
KABUT (Horror Story)
...
TS
endokrin
KABUT (Horror Story)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru

Cerita saya sebelumnya bisa dibaca dibawah ini, tinggal diklik saja
Quote:
WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:

Diubah oleh endokrin 19-05-2019 05:10
disturbing14 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
619.3K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#388
Quote:
CHAPTER 5
Aku berjalan memimpin didepan, menyusuri jalan setapak ditengah kebun teh. Belum sampai di pos satu tapi jalanan sudah mulai menanjak. Matahari mulai terik diatas langit, membuat wajah berkeringat. Nyamuk-nyamuk terus mengerubungi sepanjang perjalanan, suaranya begitu bising ditelinga. Nafas kami mulai terengah-engah walaupun baru berjalan beberapa meter saja, kecuali Baim, nampaknya dibelakang dia baik-baik saja.
Di sisi kiri dan kanan terlihat buruh pemetik teh sedang bekerja, sesekali kami menyapa mereka ketika tak sengaja saling berpandangan.”Semangat” ucap salah satu buruh pemetik teh dengan logat jawa yang medok. Mereka lalu tertawa mungkin geli melihat anak-anak muda yang kepayahan ini.
Setelah membelah jalan ditengah kebun teh kami sampai di pos satu. Aku langsung merebahkan tubuh diatas rerumputan. Menghela nafas dalam-dalam mencari udara segar. Pundakku mulai terasa sakit, padahal beban yang aku bawa tidak terlalu banyak. Kulihat Imron langsung menegak air mineral sampai tumpah-tumpah dimulutnya.
“Jangan dibuang-buang airnya, perjalanan kita masih jauh.” Kata Baim yang kemudian menyalakan sebatang rokok kretek.
Gila! Bahkan dalam keadaan tubuh yang berkeringat, Baim masih kuat untuk menghisap rokok. Dia tidak menyentuh air sama sekali, dan masih santai berdiri. Aku khawatir Baim akan mati karena paru-parunya tersumbat asap.
Hesti duduk sambil memperhatikan Baim, wajahnya mengernyit keheranan. Mungkin dia berpikiran sama sepertiku.
“Ayo semangat, nanti diatas sana semua kelelahan ini akan terbayar sudah.” Teriak Hesti tampak optimis.
“Kalau tujuan pendakian kalian Cuma puncak, tubuh akan cepat cape.”
“Kenapa ?”
“Sesuatu yang ditargetkan itu akan menuntut tubuh dan pikiran untuk terus berlari mengejarnya. Orang yang berlari itu biasanya cepat kelelahan, matanya hanya fokus kedepan. Tidak bisakah kalian menikmati perjalanan ini selangkah demi selangkah saja. anggap saja puncak hanya bonus perjalanan.” Baim menjawab.
“Pantas saja hidupmu tidak jelas, kamu tidak pernah menargetkan sesuatu.” Balasku.
“Orang yang punya target dan tidak, ujungnya kan sama tetep akan mati juga. setidaknya aku menikmati setiap hari yang aku jalani tanpa dikejar-kejar perasaan was-was karena takut target tidak tercapai.”
Asap keluar dari mulut Baim, mengusir nyamuk-nyamuk disekitar wajahnya yang sedari tadi terus mencoba untuk menghisap darah.
“Sudahlah, jangan terlalu didengar. Kamu tahu sendirikan Baim itu orang gila.” Imron akhirnya berbicara ditengah nafasnya yang terus terengah-engah.
Baim kemudian mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan, katanya jangan terlalu lama beristirahat. Lebih baik bergerak terus walaupun sedikit demi sedikit, karena terlalu lama merebahkan tubuh akan mengundang rasa malas menurut Baim.
Saat melihat peta, kulihat jarak antar pos sangat dekat hanya dihubungkan oleh garis hitam yang yang lurus terus menuju atas. Disini tidak tertulis berapa skala peta, andai saja jarak antar pos sependek dan sedekat yang digambarkan oleh garis hitam ini.
Pada kenyataannya jalan yang kami tempuh tidak semudah seperti dipeta. Begitu banyak kelokan disini, khususnya ditengah kebun teh. Banyak jalan bercabang, bahkan melingkar.Petunjuk arah yang yang terbuat dari papan ataupun cat yang membentuk arah panah di batu tampaknya sudah mulai lapuk dan tertutup lumut.
Saat menuju perjalan pos dua, kami beberapa kali salah jalan. Karena tanda yang yang harusnya terpasang diarah jalan yang benar tidak Nampak. Beberapa kali kami diberitahu oleh para pemetik teh maupun petani yang kebetulan lewat menuju arah yang benar. rupanya warga disini sering menghadapi para pendaki linglung dan mereka sudah sangat hafal jalur pendakian sepertinya.
Pos dua tampaknya menjadi akhir dari perbatasan kebun teh dan hutan. Sukurlah, sepanjang perjalanan tadi matahari terasa berada diatas kepala kami, dan kini dihutan kelihatannya lebih rindang dan teduh.
“Kalau dilanjut masih kuat kan ? tidak perlu istirahat disetiap pos.”
Aku mengacungkan jempol dari belakang sebagai tanda sebaiknya perjalanan dilanjut saja kepada Baim.
Pohon pinus berjajar disepanjang perjalanan, menjadi payung pelindung kami dari teriknya matahari. Angin bertiup menggoyangkan ranting dan dedaunan, membuat tubuh menjadi sedikit sejuk.
Walaupun udara sudah terasa dingin, pundaku masih pegal. Betis kaki mulai terasa tegang, apalagi kini jalur pendakian lebih miring lagi. Dari awal sampai melewati pos dua, rasanya tidak ada jalan datar yang kami lalui, kecuali mungkin saat berbelok. Namun kini perjalanan mulai terasa lebih mudah, karena sudah ada jalur yang jelas tampak sejajar keatas. Tidak usah lagi kami meraba-raba arah perjalanan seperti tadi yang banyak cabang.
“Aku sudah tidak kuat lagi, bolehkah kita makan siang dulu” Kata Imron dengan tubuh membungkuk sambil memegang perutnya dengan kedua tangan.
“Kita cari tempat yang landai dulu. Biar kalian bisa duduk nyaman.” Jawab Baim.
Imron tampak sudah keletihan, dengan sisa-sisa tenaganya dia terus melangkahkan kaki yang kelihatannya berat sekali. Memang benar kata Baim, beristirahat dijalur yang curam bukan pilihan yang baik apalagi dalam kondisi tubuh yang tidak fokus, bisa-bisa kami terjungkal kebelakang.
“Masih jauh jalur landainya ?”
“Jangan berbicara terus kalau kamu benar-benar lemas. Itu hanya akan membuang tenagamu saja, kalau sudah ada jalur landai Baim akan berhenti dengan sendirinya kok.” Hesti menjawab pertanyaan Imron.
Wanita ini lebih tanggung daripada yang aku kira, dia tidak banyak mengeluh dan langkahnya masih belum terlihat berat. Walaupun wajahnya penuh dengan keringat, tapi nafasnya masih terlihat stabil.
Kepalaku mulai berdenyut-denyut. Paru-paruku rasanya sudah tidak sanggup lagi memompa udara. Beberapa kali aku meneguk air untuk menghilangkan rasa cape, tapi yang ada malah perutku terasa kembung.
“Kita istirahat disini.” Teriak Baim dari depan.
Sepetak tanah sempit diantara pohon-pohon pinus menjadi tempat kami beristirahat. walaupun kecil tapi setidaknya tempat ini aman sebagai tempat istirahat. Imron langsung duduk dan menyenderkan tubuhnya pada tebing tanah. Aku melepaskan kerilku yang sedari tadi menjadi beban pundak yang kesakitan ini.
“Makanan ringan saja, jangan terlalu kenyang nanti kalian akan sakit perut kalau berjalan.”
Sebelum Baim selesai berbicara tampaknya imron sudah makan roti dengan lahap. Dia tampak seperti orang belum makan satu minggu.
“Kenapa puncaknya belum terlihat ?”
“Kita masih dibawah, masih jauh. Mana mungkin puncak kelihatan.”
“Dulu saat aku pertama kali mendaki, keadaanku persis seperti kalian. Semangat yang menggebu-gebu diawal pendakian ditaklukan oleh medan terjal diperjalanan. Tapi setidaknya kalian lebih hebat, baru pertama kali naik gunung tapi sudah memilih gunung yang tinggi.”
“kan yang memilih gunung kamu, bukan kami.” Jawabku.
“Benarkah ? Tapi aku tak pernah mengajak kalian ikut..hehe”
Matahari sudah tidak terlihat, mungkin terutup ranting pohon atau awan. Angin bertiup cukup kencang, keringat tubuh dengan cepat menjadi kering. Aku tidak makan, karena mungkin aku tidak merasakan lapar sama sekali, hanya menikmati madu kemasan yang manisnya mungkin sudah dicampur dengan pemanis buatan. Kata Baim madu bagus untuk tenaga, atau lebih bagus lagi saat pendakian mengulum gula merah. Tapi sayangnya kami tidak membawa gula merah.
“Lihat, diatas banyak asap. Apa mungkin hutan sedang terbakar ?” Tanya Hesti
“Itu Kabut. Rupanya kabut sudah mulai turun. pantas saja hari mulai teduh.”
“Baguslah kalau teduh, jadi kita tidak akan kepanasan saat melanjutkan perjalanan.” Kata Imron.
“Tapi setelah teduh biasanya mendung. Aku takut hujan akan turun.”
“Apakah kalau hujan turun kita akan balik lagi dan pulang ?” Hesti tampak khawatir dengan pernyataanku tentang hujan.
“Ini tidak akan hujan, bukankah wajar kalau ada kabut diatas gunung. Ayo kita lanjutkan perjalanannya, sebelum kabut itu turun dan menghambat perjalanan kita.” Baim mencoba menenangkan.
“Kalau hujan akan turun sebaiknya kita turun saja. mumpung masih belum jauh.” Rupanya Hesti benar-benar khawatir.
“Jangan takut, kalaupun hujan kita tidak akan sendirian. Bukankah kamu tahu sendiri diatas sana sudah ada delapan pendaki yang naik duluan. Setidaknya kita tidak Cuma berempat, ada banyak orang disana.” Aku merasa bersalah dan sepertinya harus bertanggung jawab untuk menenangkan Hesti.
“Kalau hujan kita akan berteduh dimana ? apakah tenda tidak akan kebanjiran. Aku khawatir kita akan kedinginan. Bukankah banyak pendaki yang meninggal karena kedinginan.”
“Lihatlah kita punya orang berpengalaman disini, kalau dia tenang berarti keadaan ini baik-baik saja. sudah berapa kali kamu mendaki gunung dan menghadapi situasi sulit Im ?”
“Tidak terhitung. Lagian apa yang kalian ributkan ini, hujan juga belum tentu turun.” Jawab Baim, kemudian dia berdiri.
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe

twiratmoko dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas
Tutup