- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
...
TS
bunbun.orenz
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
Spoiler for Credit Cover (THANK YOU SO MUCH):
And I know
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
- Famous Last Words by MCR -
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 90% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahyang dituangkan oleh suami ku tercinta Agatha
Quote:
Spoiler for Special Thanks:
***
Spoiler for From Me:
Versi PDF Thread Sebelumnya:
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/05/02/9605475_201705020801290527.jpg)
Foto diatas hanyalah sebagai ilustrasi tokoh dalam cerita ini
Quote:
Polling
0 suara
SIAPAKAH YANG AKAN MENJADI NYONYA AGATHA ?
Diubah oleh bunbun.orenz 04-07-2017 12:31
ugalugalih dan 27 lainnya memberi reputasi
26
1.5M
7.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
bunbun.orenz
#3870
PART 59
Entah sudah berapa lama Gua dan Echa menunggu dalam diam. Sebuah sedotan yang berada di dalam gelas berisi es jeruk sedang diputar-putar searah jarum jam.
"Tolong jelasin, selama ini kamu kemana ?", tanya Gua dengan nada selembut mungkin.
Matanya melirik kepada Gua, menatap kedepan, lalu tangan yang memainkan sedotan itu kini sudah berada diatas meja. "Gak ada yang perlu dijelasin Za..", jawabnya.
Gua mengerenyitkan kening lalu menoleh kepada istri Gua yang berada di samping kanan. Ekspresi wajah Echa sama dengan Gua, bingung dan heran mendengar ucapan dari seorang wanita yang duduk di hadapan kami itu.
"Mmm.. Ve.. Kalo kamu mau ngobrol berdua dengan Eza, biar aku pergi dulu, silahkan kalian selesaiakan apa yang..".
"Gak perlu", potong Vera kepada istri Gua seraya bangkit dari duduknya.
"Loch ? Ve ?", ucap Gua terkejut dengan sikapnya.
Lalu tanpa pamit dan melihat Gua, Vera berjalan meninggalkan kami berdua. Gua hanya bisa menatap ke gelas minuman yang sama sekali belum Gua minum, tangan Gua lemas dan mata Gua terpejam. Entah kapan tepatnya, yang jelas tanpa Gua sadari ternyata Echa ikut pergi dari meja makan resto ini.
Gua tersadar ketika hp pada saku celana ini bergetar sesaat. Lalu Gua keluarkan hp dan membuka isi pesannya.
Gua tersenyum membaca isi pesan tersebut, lalu memejamkan mata sejenak sambil mengucapkan syukur. Bersyukur kepada Tuhan bahwa Gua diberikan seorang pendamping hidup yang benar-benar mengerti kondisi Gua selama ini. Terimakasih ya Alloh, terimakasih, dan terimakasih Cha.. You are my everything...
Gua meneguk minuman yang sudah daritadi belum Gua minum sedikitpun, setengah gelas langsung Gua habiskan dan kemudian pergi menuju kasir. Selesai membayar pesanan, Gua keluar resto dan berjalan kearah lift lalu menuju parkiran mobil. Sesampainya di parkiran, Gua berjalan dan bersandar di depan kap mobil Gua, membakar sebatang rokok lalu mengeluarkan hp dan mengetik sms untuk istri Gua, mengabarkan kalau Gua kini menunggu di parkiran.
Dua puluh menit sudah Gua menunggu Echa tapi dirinya belum juga datang, sms pun belum dibalas. Akhirnya Gua mencoba menelpon, tapi hingga beberapa nada sambung, tak kunjung ada jawaban dari ujung sana. Gua kembali menunggu hingga menghabiskan tiga batang rokok dan akhirnya hp Gua pun berdering nada panggilan masuk.
Tidak lama kemudian istri Gua datang dan mengajak pulang. Kami berdua masuk ke dalam mobil, setelah menyalakan mesin, mobil pun beranjak meninggalkan area parkiran mall ini dan Gua arahkan ke jalan raya menuju rumah Nenek.
...
Pukul setengah delapan malam, setelah shalat isya berjama'ah bersama istri, kini kami berdua sedang duduk di sofa teras depan kamar, secangkir kopi hitam dan sebatang rokok yang sudah Gua bakar telah siap menemani cerita yang akan Gua dengar dari istri tercinta di depan Gua.
Gemuruh petir serta suara hujan yang cukup deras di luar sana membuat istri Gua harus mengambil selimut untuk membalut tubuhnya agar hawa dingin tidak begitu terasa menusuk kulitnya. Sambil menghembuskan asap rokok keatas, Gua mulai mendengarkan Echa bercerita tentang obrolannya dengan Vera tadi sore.
"Jadi.. Dia gak kasih alasan apapun soal kepergiaannya waktu itu", ucap istri Gua sambil menatap secangkir gelas berisi teh manis hangat yang dia dekap pada kedua tangannya.
"Maksudnya ? Gak kasih penjelasan gimana Cha ?", tanya Gua heran.
"Dia gak mau cerita ke aku Za",
"Tapi dia kasih nomor hpnya, udah aku save", jawab Echa sambil menatap Gua.
"Sebentar, kok bisa sih Cha ? Kenapa dia gak mau cerita sama kamu ?".
"Yang bisa aku tangkep, kayaknya Vera pingin ngomong sama kamu berdua, tanpa ada aku",
"Sekalipun tadi aku udah kasih kesempatan buat kalian berdua ngobrol tapi kayaknya dia sungkan, karena ada aku Za".
"Mmm.. Aku..".
"Za, aku gak masalah, jangan takut aku gak akan kasih izin untuk kamu ketemu dia, yang penting kamu bilang kapan kamu mau ketemu sama Vera", ucap Echa memotong ucapan Gua lalu meneguk teh manis.
"Makasih sayang, makasih atas pengertian kamu..", jawab Gua lalu mematikan rokok ke asbak.
"Oh ya, secepatnya kamu hubungin Vera ya, karena.. Dia gak lama di sini".
"Gak lama ? Maksudnya ?".
"Dia bakal pulang lagi ke singapur, dia ngelanjutin kuliah di sana ternyata Za", jawab istri Gua.
Gua menerawang, memikirkan hal-hal apa yang akan Gua utarakan ke Nona Ukhti selain menanyakan alasannya pergi saat itu. Di lain sisi, Gua juga masih memikirkan perasaan istri Gua, sekalipun ucapannya tadi tidak keberatan jika Gua menemui Vera, tapi Gua juga yakin, pasti ada rasa kekhawatiran dalam hati istri Gua itu, ya bagaimanapun nama Vera masih ada disudut hati Gua yang terdalam. Entah kenapa karena hal itu Gua jadi ragu, ragu untuk menemui Vera.
...
...
...
Dua hari kemudian Gua sudah menelpon Vera, dan akan menemuinya di rumah Ibundanya. Tentu saja Gua memberitahukan hal ini kepada Echa, Gua memaksa istri Gua untuk ikut, tapi dirinya bersikeras menolak ajakan Gua itu. Dan dengan hati yang sedikit bimbang Gua pun mau tidak mau berangkat sendirian menuju rumah Ibundanya yang terletak di daerah sentul.
Pukul tujuh malam Gua sudah berada di sebuah komplek perumahan yang terbilang elit, di depan rumah yang bercat putih gading Gua memarkirkan mobil, lalu mengambil sekantung plastik berisi buah-buahan dari jok samping. Ah Gua lupa membawa payung, sedikit berlari untuk menghindari hujan yang turun cukup deras Gua memasuki rumah tersebut, melewati pagar rumah dan carport lalu sampailah di teras rumah tersebut. Pintu rumahnya terbuka lebar, Gua mengucapkan salam dan dijawab oleh suara seorang remaja laki-laki dari dalam rumah.
"Ya ? Cari siapa ya Mas ?", tanya remaja laki-laki tersebut ketika sudah berdiri di ambang pintu.
"Saya Reza", ucap Gua sambil menyodorkan tangan lalu disambutnya,
"Maaf, apakah Vera nya ada di rumah ? Saya sudah janjian untuk bertemu di sini sebelumnya", jawab Gua lagi setelah kami melepaskan jabat tangan.
"Oh temannya Mba Vera, tunggu sebentar ya Mas, biar saya panggilkan dulu..",
"Silahkan duduk dulu Mas", ucapnya lagi.
"Terimakasih". Lalu Gua duduk di kursi depan teras ini selagi anak lelaki tadi kembali masuk ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah ke teras ini, Gua menengok ke kiri dimana beliau berdiri, lalu Gua bangun dari duduk dan mencium tangan beliau.
"Eza.. Apa kabar Nak ?", tanya Ibunda Vera.
"Alhamdulilah baik Tante..", jawab Gua setelah mencium tangan beliau,
"Tante apa kabar ?", tanya Gua balik.
"Alhamdulilah saya juga baik, katanya kamu baru menikah ya ?", tanya beliau lagi.
"Iya Tante.. Baru bulan agustus kemarin",
"Mmm.. Maaf saya bukannya tidak mau mengundang tapi.. Saya gak tau kalo rumah Tante di sini".
"Ah iya gak apa-apa Za, maaf juga Tante gak datang, ehm.. Maklum Za, kamu ngerti keadaannya waktu itu kan ? Vera tidak cerita apapun sama tante soal keadaan kamu selama ini", jawab beliau.
Gua menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. "Iya Tan... Saya ngerti", jawab Gua lagi seraya mengingat hubungan antara Gua dengan keluarga Nona Ukhti.
"Sebentar ya, Vera nya lagi ganti baju dulu".
Kemudian Gua diajak masuk ke dalam ruang tamu oleh Ibundanya dan Gua memberikan bingkisan yang Gua bawa tadi. Setelah itu Gua duduk di sofa yang tidak lama kemudian seorang wanita dengan pakaiaan gamis berwarna putih dengan hijab keluar dari bagian dalam rumah. Gua kembali bangun dari duduk, menatapnya dengan rasa sedikit tidak percaya, ya tidak percaya kalau wanita yang selama ini Gua cari kini berada lagi di hadapan Gua. Sekalipun tiga hari lalu kami sempat bertemu, tapi rasanya kali ini berbeda.
"Saya ke dalam dulu ya Nak Eza, silahkan ngobrol dengan Vera", ucap Ibundanya menyadarkan lamunan Gua.
"Oh Ii.. Iiya Tante.. Makasih.. Makasih", jawab Gua tergugup.
Lalu ibundanya pergi ke bagian dalam rumah lagi, sedangkan Vera kembali berjalan kearah Gua. Lalu dia menaruh nampan di atas meja ruang tamu dan memindahkan secangkir kopi hitam ke atas meja berikut kue yang berada di atas piring kecil.
Gua masih berdiri menatap Vera, tanpa sedikitpun bisa berbicara. Seolah-olah apa yang kami lalui beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi, karena apa yang Gua rasakan saat ini terlalu nyata, terlalu sama saat kami berdua masih dekat sebelum kejadian yang memilukan menimpa dirinya, dan semuanya terasa sempurna ketika tiba-tiba Vera memegang tangan kanan Gua lalu mengangkatnya perlahan dan mencium punggung tangan ini. Ya, dia tidak berubah, selalu menunjukkan sosok wanita yang.. Ah gatdemit!!!
"Assalamualaikum Za", sapanya ketika sudah mencium tangan Gua dan melepaskannya.
Gua tersadar dari lamunan bayangan masa lalu saat bersamanya.
"Oh.. Wa.. Walaikumsalam Ve.. Eh.. Emmm.. Iya.. Ah aku kenapa grogi gini, sorry sorry", ucap Gua salah tingkah lalu mengusap wajah dengan cepat.
Gua melihat Vera tersenyum melihat tingkah Gua yang aneh ini. "Duduk dulu Za", ucapnya sambil menurunkan tubuh dan duduk di sofa sebelah kiri Gua.
"Oh iya Ve, makasih", jawab Gua sambil duduk kembali di sofa yang hanya cukup untuk satu orang.
"Apa kabar ?".
"Alhamdulilah aku baik Ve, kamu sendiri gimana kabarnya ?", tanya Gua balik.
Vera tersenyum, dia hanya tersenyum kepada Gua tanpa menjawab pertanyaan Gua itu.
"Diminum dulu Za kopinya", ucapnya.
"Eh iya iya, makasih Ve", lalu Gua mengangkat secangkir kopi dan meneguknya sedikit,
"Mmm.. Ve, kamu selama ini kemana aja ?", tanya Gua memulai obrolan setelah meneguk sedikit kopi tadi.
"Aku ada Za, selama ini aku sama Papah di Singapore", jawabnya.
"Ooh.. Mmmhh.. Ve, kamu..",
"Udah sehat ? Mmm.. Maksud ku..".
"Alhamdulilah udah Za, aku udah sehat dan normal", potongnya sambil tersenyum dengan nada suara yang yakin.
"Eh.. Eeuu.. Ah iya iya, alhamdulilah kalo gitu hehe.. Maaf ya Ve..", ucap Gua tidak enak.
"Kenapa Za ? Gak perlu minta maaf dan ngerasa canggung gitu, aku tau keadaan aku gak normal kan waktu itu", ucapnya lagi dengan tetap tersenyum kepada Gua.
"Eh.. Bukan, maksud aku bukan kesitu, Euu.. Gimana ya.. Eeuu..".
"Hey, gak apa-apa. Udah lupain aja ya, gak perlu bahas soal itu lagi. Lagian..",
"Kamu kesini mau minta penjelasan dari aku kan ?".
Gua tersadar, ya Gua tidak perlu lagi mengungkit kejadian yang sangat buruk saat menimpa dirinya beberapa bulan lalu. Dan kini Gua hanya perlu mendengar alasannya, ya alasan kenapa dia lebih memilih pergi meninggalkan Gua.
"Maaf aku lebih memilih untuk menghindar dari kamu Za", mulainya dengan nada suara yang terdengar sendu.
"Kenapa Ve ?".
"Saat itu, aku ngerasa dunia aku udah hancur, aku gak pantas untuk kamu, bahkan untuk laki-laki manapun di dunia ini",
"Dan aku sempat beberapa kali mencoba untuk..",
"Bunuh diri".
Gua tercekat mendengar ucapannya, bukan penjelasan awal tapi kalimat terakhirnya. Tapi Gua buru-buru menguasai diri lagi, menetralisir segala gejolak emosi yang ada. Karena Gua sadar, sekarang dia berada di depan Gua, duduk manis dengan keadaan yang sangat baik. Ya, Gua tau saat itu pasti sangat berat untuknya. Namun sekaranglah yang terpenting, Vera sudah sehat seperti sediakala dan melanjutkan kehidupannya dengan baik.
"Ve, semua yang kamu lalui memang berat, gak mudah bagi siapapun jika berada di posisi kamu saat itu",
"Jadi aku ngerti kenapa kamu sampai.. Sampai nyaris mau bunuh diri", timpal Gua mencoba memahami keadaannya yang rapuh saat itu.
Vera tersenyum lalu mengangkat cangkir gelas teh miliknya, lalu meneguknya sedikit.
"Ve, kamu langsung berangkat ke singapore ? Maksud ku setelah dua hari aku.. Aku bilang mau nikahin kamu".
Vera menggelengkan kepalanya perlahan. "Enggak Za, aku masih di sini, di rumah Mamah ini", jawabnya,
"Aku pindah ke sini, dan tinggal di sini sebelum akhirnya aku memilih melanjutkan studi di singapur, dan di sana aku tinggal sama Papah", lanjutnya.
Tepat, memang Gua tidak yakin saat dia pergi waktu itu dia langsung ke singapore, logikanya belum tentu dia bisa mendapatkan paspor secepat kilat, jadi ternyata perkiraan Gua selama ini tidak begitu jauh melenceng, benar dia tinggal di sini bersama keluarga Ibundanya dan Papah tirinya. Sayangnya Gua baru tau alamat rumah ini.
"Papah kamu kerja di sana ? Singapore maksud aku".
Vera mengangguk. "Iya, dan aku lagi libur kuliah sekarang.. Minggu depan aku udah mulai masuk kuliah lagi Za", jawabnya.
"Mm.. Ve.. Kenapa kamu pergi ?".
"Alasan aku masih sama Za, aku ngerasa gak pantas untuk kamu".
"Ve.. Kenapa kamu mikir gitu ? Kamu tau seberapa besar rasa sayang aku untuk kamu, rasa cinta aku untuk kamu, apa kamu ragu dan gak percaya waktu aku bilang mau nikahin kamu ?".
"Bukan gitu Za, aku malu, malu sama keadaan aku, dan aku gak mau keluarga kamu punya menantu seper..".
"Hey, kamu tau Ve, dua hari setelah itu aku datang sama keluarga untuk ngelamar kamu, dan Papah kamu juga tau akan hal itu, aku nelpon Papah kamu sehari sebelum datang lagi ke rumah kamu, dan beliau setuju Ve.. Keluarga aku juga gak masalahin kondisi kamu.. Tapi.. Tapi kenapa kamu memilih pergi ?", ucap Gua kali ini dengan sedikit emosi mengingat niatan Gua ketika itu.
"Maafin aku Za.. Aku gak bisa..".
"Jadi hanya itu alasan kamu untuk aku ? Hanya karena ngerasa gak pantas ?".
"Kamu gak tau perasaan aku Za! Kamu gak ngerti! Beban dan mental aku yang udah hancur!".
"Gak ngerti kamu bilang ? Selama ini aku ada untuk kamu, nunggu kamu sampai kamu benar-benar berada dalam kondisi terbaik, dan kamu bilang aku gak ngerti ? Apa lagi yang harus aku buktiin Ve ?!".
Pada akhirnya Vera hanya bisa menangis, dia berdiri lalu hendak pergi ke dalam rumah, Gua berdiri dan buru-buru menahan tangannya, lalu Gua menariknya pelan hingga membalikkan tubuhnya kehadapan Gua kemudian langsung memeluknya. Gua mendekapnya cukup erat, Vera menangis dalam pelukkan Gua, lalu Gua mengusap-usap punggungnya dan menyandarkan wajah ini ke atas kepalanya yang terbalut hijab itu. Airmata Gua mulai mengalir pelan dari sudut mata membasahi pipi Gua hingga turun ke dagu ini. Hati Gua bergetar, perasaan yang selama ini Gua pendam menyeruak dan mengisi setiap sudut di dalam hati, perasaan dan fikiran Gua hanya tertuju untuk seorang wanita yang sedang Gua peluk. Kesadaran Gua sebagai seorang suami dari wanita lain tiba-tiba hilang saat itu. Mungkinkah ini adalah salah satu dosa yang Gua buat kepada Echa, mungkin.. Mungkin saja karena perasaan untuk wanita lain masih Gua pendam dan kini kembali lagi. Maaf Cha...
Beberapa menit kemudian, Vera melepaskan pelukkan Gua, dia mengusap airmatanya dan mendongakkan kepala untuk menatap wajah Gua. Lalu kedua tangannya memegang kedua sisi wajah ini, kedua ibu jarinya lembut mengusap airmata yang membasahi pipi Gua.
"Za, biarkan semuanya seperti ini, lepasin dan relaiin aku, seperti aku yang sudah relaiin kamu bersama Echa", ucapnya seraya tersenyum, senyum getir yang terukir menghiasi wajahnya.
Gua menggelengkan kepala pelan. "Gak semudah itu aku bisa lupain kamu Ve, gak semudah itu", jawab Gua dengan suara yang bergetar.
"Kamu gak bisa seperti ini terus, aku tau Echa yang terbaik untuk kamu, aku tau dia yang selalu ada untuk kamu ketika aku pergi, dan sekarang.. Jadilah suami yang bertanggungjawab dan mencintai istri kamu sepenuh hati Za", lanjutnya.
Jantung Gua berdegup kencang menatap wajahnya, kedua tangan Gua memegangi kedua pergelangan tangannya yang telapak tangannya itu masih memegangi wajah ini. Entah kenapa dan bagaimana, seolah-olah ada dorongan yang menuntun Gua untuk mendekati wajahnya. Semakin lama, wajah Gua mendekati wajahnya hingga jarak bibir kami semakin dekat, lalu Gua memejamkan mata, melupakan nama seorang wanita yang sedang menunggu suaminya dengan perasaan cemas di tempat lain.
"Tolong jelasin, selama ini kamu kemana ?", tanya Gua dengan nada selembut mungkin.
Matanya melirik kepada Gua, menatap kedepan, lalu tangan yang memainkan sedotan itu kini sudah berada diatas meja. "Gak ada yang perlu dijelasin Za..", jawabnya.
Gua mengerenyitkan kening lalu menoleh kepada istri Gua yang berada di samping kanan. Ekspresi wajah Echa sama dengan Gua, bingung dan heran mendengar ucapan dari seorang wanita yang duduk di hadapan kami itu.
"Mmm.. Ve.. Kalo kamu mau ngobrol berdua dengan Eza, biar aku pergi dulu, silahkan kalian selesaiakan apa yang..".
"Gak perlu", potong Vera kepada istri Gua seraya bangkit dari duduknya.
"Loch ? Ve ?", ucap Gua terkejut dengan sikapnya.
Lalu tanpa pamit dan melihat Gua, Vera berjalan meninggalkan kami berdua. Gua hanya bisa menatap ke gelas minuman yang sama sekali belum Gua minum, tangan Gua lemas dan mata Gua terpejam. Entah kapan tepatnya, yang jelas tanpa Gua sadari ternyata Echa ikut pergi dari meja makan resto ini.
Gua tersadar ketika hp pada saku celana ini bergetar sesaat. Lalu Gua keluarkan hp dan membuka isi pesannya.
Quote:
Gua tersenyum membaca isi pesan tersebut, lalu memejamkan mata sejenak sambil mengucapkan syukur. Bersyukur kepada Tuhan bahwa Gua diberikan seorang pendamping hidup yang benar-benar mengerti kondisi Gua selama ini. Terimakasih ya Alloh, terimakasih, dan terimakasih Cha.. You are my everything...
Gua meneguk minuman yang sudah daritadi belum Gua minum sedikitpun, setengah gelas langsung Gua habiskan dan kemudian pergi menuju kasir. Selesai membayar pesanan, Gua keluar resto dan berjalan kearah lift lalu menuju parkiran mobil. Sesampainya di parkiran, Gua berjalan dan bersandar di depan kap mobil Gua, membakar sebatang rokok lalu mengeluarkan hp dan mengetik sms untuk istri Gua, mengabarkan kalau Gua kini menunggu di parkiran.
Dua puluh menit sudah Gua menunggu Echa tapi dirinya belum juga datang, sms pun belum dibalas. Akhirnya Gua mencoba menelpon, tapi hingga beberapa nada sambung, tak kunjung ada jawaban dari ujung sana. Gua kembali menunggu hingga menghabiskan tiga batang rokok dan akhirnya hp Gua pun berdering nada panggilan masuk.
Quote:
Tidak lama kemudian istri Gua datang dan mengajak pulang. Kami berdua masuk ke dalam mobil, setelah menyalakan mesin, mobil pun beranjak meninggalkan area parkiran mall ini dan Gua arahkan ke jalan raya menuju rumah Nenek.
...
Pukul setengah delapan malam, setelah shalat isya berjama'ah bersama istri, kini kami berdua sedang duduk di sofa teras depan kamar, secangkir kopi hitam dan sebatang rokok yang sudah Gua bakar telah siap menemani cerita yang akan Gua dengar dari istri tercinta di depan Gua.
Gemuruh petir serta suara hujan yang cukup deras di luar sana membuat istri Gua harus mengambil selimut untuk membalut tubuhnya agar hawa dingin tidak begitu terasa menusuk kulitnya. Sambil menghembuskan asap rokok keatas, Gua mulai mendengarkan Echa bercerita tentang obrolannya dengan Vera tadi sore.
"Jadi.. Dia gak kasih alasan apapun soal kepergiaannya waktu itu", ucap istri Gua sambil menatap secangkir gelas berisi teh manis hangat yang dia dekap pada kedua tangannya.
"Maksudnya ? Gak kasih penjelasan gimana Cha ?", tanya Gua heran.
"Dia gak mau cerita ke aku Za",
"Tapi dia kasih nomor hpnya, udah aku save", jawab Echa sambil menatap Gua.
"Sebentar, kok bisa sih Cha ? Kenapa dia gak mau cerita sama kamu ?".
"Yang bisa aku tangkep, kayaknya Vera pingin ngomong sama kamu berdua, tanpa ada aku",
"Sekalipun tadi aku udah kasih kesempatan buat kalian berdua ngobrol tapi kayaknya dia sungkan, karena ada aku Za".
"Mmm.. Aku..".
"Za, aku gak masalah, jangan takut aku gak akan kasih izin untuk kamu ketemu dia, yang penting kamu bilang kapan kamu mau ketemu sama Vera", ucap Echa memotong ucapan Gua lalu meneguk teh manis.
"Makasih sayang, makasih atas pengertian kamu..", jawab Gua lalu mematikan rokok ke asbak.
"Oh ya, secepatnya kamu hubungin Vera ya, karena.. Dia gak lama di sini".
"Gak lama ? Maksudnya ?".
"Dia bakal pulang lagi ke singapur, dia ngelanjutin kuliah di sana ternyata Za", jawab istri Gua.
Gua menerawang, memikirkan hal-hal apa yang akan Gua utarakan ke Nona Ukhti selain menanyakan alasannya pergi saat itu. Di lain sisi, Gua juga masih memikirkan perasaan istri Gua, sekalipun ucapannya tadi tidak keberatan jika Gua menemui Vera, tapi Gua juga yakin, pasti ada rasa kekhawatiran dalam hati istri Gua itu, ya bagaimanapun nama Vera masih ada disudut hati Gua yang terdalam. Entah kenapa karena hal itu Gua jadi ragu, ragu untuk menemui Vera.
...
...
...
Dua hari kemudian Gua sudah menelpon Vera, dan akan menemuinya di rumah Ibundanya. Tentu saja Gua memberitahukan hal ini kepada Echa, Gua memaksa istri Gua untuk ikut, tapi dirinya bersikeras menolak ajakan Gua itu. Dan dengan hati yang sedikit bimbang Gua pun mau tidak mau berangkat sendirian menuju rumah Ibundanya yang terletak di daerah sentul.
Pukul tujuh malam Gua sudah berada di sebuah komplek perumahan yang terbilang elit, di depan rumah yang bercat putih gading Gua memarkirkan mobil, lalu mengambil sekantung plastik berisi buah-buahan dari jok samping. Ah Gua lupa membawa payung, sedikit berlari untuk menghindari hujan yang turun cukup deras Gua memasuki rumah tersebut, melewati pagar rumah dan carport lalu sampailah di teras rumah tersebut. Pintu rumahnya terbuka lebar, Gua mengucapkan salam dan dijawab oleh suara seorang remaja laki-laki dari dalam rumah.
"Ya ? Cari siapa ya Mas ?", tanya remaja laki-laki tersebut ketika sudah berdiri di ambang pintu.
"Saya Reza", ucap Gua sambil menyodorkan tangan lalu disambutnya,
"Maaf, apakah Vera nya ada di rumah ? Saya sudah janjian untuk bertemu di sini sebelumnya", jawab Gua lagi setelah kami melepaskan jabat tangan.
"Oh temannya Mba Vera, tunggu sebentar ya Mas, biar saya panggilkan dulu..",
"Silahkan duduk dulu Mas", ucapnya lagi.
"Terimakasih". Lalu Gua duduk di kursi depan teras ini selagi anak lelaki tadi kembali masuk ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah ke teras ini, Gua menengok ke kiri dimana beliau berdiri, lalu Gua bangun dari duduk dan mencium tangan beliau.
"Eza.. Apa kabar Nak ?", tanya Ibunda Vera.
"Alhamdulilah baik Tante..", jawab Gua setelah mencium tangan beliau,
"Tante apa kabar ?", tanya Gua balik.
"Alhamdulilah saya juga baik, katanya kamu baru menikah ya ?", tanya beliau lagi.
"Iya Tante.. Baru bulan agustus kemarin",
"Mmm.. Maaf saya bukannya tidak mau mengundang tapi.. Saya gak tau kalo rumah Tante di sini".
"Ah iya gak apa-apa Za, maaf juga Tante gak datang, ehm.. Maklum Za, kamu ngerti keadaannya waktu itu kan ? Vera tidak cerita apapun sama tante soal keadaan kamu selama ini", jawab beliau.
Gua menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. "Iya Tan... Saya ngerti", jawab Gua lagi seraya mengingat hubungan antara Gua dengan keluarga Nona Ukhti.
"Sebentar ya, Vera nya lagi ganti baju dulu".
Kemudian Gua diajak masuk ke dalam ruang tamu oleh Ibundanya dan Gua memberikan bingkisan yang Gua bawa tadi. Setelah itu Gua duduk di sofa yang tidak lama kemudian seorang wanita dengan pakaiaan gamis berwarna putih dengan hijab keluar dari bagian dalam rumah. Gua kembali bangun dari duduk, menatapnya dengan rasa sedikit tidak percaya, ya tidak percaya kalau wanita yang selama ini Gua cari kini berada lagi di hadapan Gua. Sekalipun tiga hari lalu kami sempat bertemu, tapi rasanya kali ini berbeda.
"Saya ke dalam dulu ya Nak Eza, silahkan ngobrol dengan Vera", ucap Ibundanya menyadarkan lamunan Gua.
"Oh Ii.. Iiya Tante.. Makasih.. Makasih", jawab Gua tergugup.
Lalu ibundanya pergi ke bagian dalam rumah lagi, sedangkan Vera kembali berjalan kearah Gua. Lalu dia menaruh nampan di atas meja ruang tamu dan memindahkan secangkir kopi hitam ke atas meja berikut kue yang berada di atas piring kecil.
Gua masih berdiri menatap Vera, tanpa sedikitpun bisa berbicara. Seolah-olah apa yang kami lalui beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi, karena apa yang Gua rasakan saat ini terlalu nyata, terlalu sama saat kami berdua masih dekat sebelum kejadian yang memilukan menimpa dirinya, dan semuanya terasa sempurna ketika tiba-tiba Vera memegang tangan kanan Gua lalu mengangkatnya perlahan dan mencium punggung tangan ini. Ya, dia tidak berubah, selalu menunjukkan sosok wanita yang.. Ah gatdemit!!!
"Assalamualaikum Za", sapanya ketika sudah mencium tangan Gua dan melepaskannya.
Gua tersadar dari lamunan bayangan masa lalu saat bersamanya.
"Oh.. Wa.. Walaikumsalam Ve.. Eh.. Emmm.. Iya.. Ah aku kenapa grogi gini, sorry sorry", ucap Gua salah tingkah lalu mengusap wajah dengan cepat.
Gua melihat Vera tersenyum melihat tingkah Gua yang aneh ini. "Duduk dulu Za", ucapnya sambil menurunkan tubuh dan duduk di sofa sebelah kiri Gua.
"Oh iya Ve, makasih", jawab Gua sambil duduk kembali di sofa yang hanya cukup untuk satu orang.
"Apa kabar ?".
"Alhamdulilah aku baik Ve, kamu sendiri gimana kabarnya ?", tanya Gua balik.
Vera tersenyum, dia hanya tersenyum kepada Gua tanpa menjawab pertanyaan Gua itu.
"Diminum dulu Za kopinya", ucapnya.
"Eh iya iya, makasih Ve", lalu Gua mengangkat secangkir kopi dan meneguknya sedikit,
"Mmm.. Ve, kamu selama ini kemana aja ?", tanya Gua memulai obrolan setelah meneguk sedikit kopi tadi.
"Aku ada Za, selama ini aku sama Papah di Singapore", jawabnya.
"Ooh.. Mmmhh.. Ve, kamu..",
"Udah sehat ? Mmm.. Maksud ku..".
"Alhamdulilah udah Za, aku udah sehat dan normal", potongnya sambil tersenyum dengan nada suara yang yakin.
"Eh.. Eeuu.. Ah iya iya, alhamdulilah kalo gitu hehe.. Maaf ya Ve..", ucap Gua tidak enak.
"Kenapa Za ? Gak perlu minta maaf dan ngerasa canggung gitu, aku tau keadaan aku gak normal kan waktu itu", ucapnya lagi dengan tetap tersenyum kepada Gua.
"Eh.. Bukan, maksud aku bukan kesitu, Euu.. Gimana ya.. Eeuu..".
"Hey, gak apa-apa. Udah lupain aja ya, gak perlu bahas soal itu lagi. Lagian..",
"Kamu kesini mau minta penjelasan dari aku kan ?".
Gua tersadar, ya Gua tidak perlu lagi mengungkit kejadian yang sangat buruk saat menimpa dirinya beberapa bulan lalu. Dan kini Gua hanya perlu mendengar alasannya, ya alasan kenapa dia lebih memilih pergi meninggalkan Gua.
"Maaf aku lebih memilih untuk menghindar dari kamu Za", mulainya dengan nada suara yang terdengar sendu.
"Kenapa Ve ?".
"Saat itu, aku ngerasa dunia aku udah hancur, aku gak pantas untuk kamu, bahkan untuk laki-laki manapun di dunia ini",
"Dan aku sempat beberapa kali mencoba untuk..",
"Bunuh diri".
Gua tercekat mendengar ucapannya, bukan penjelasan awal tapi kalimat terakhirnya. Tapi Gua buru-buru menguasai diri lagi, menetralisir segala gejolak emosi yang ada. Karena Gua sadar, sekarang dia berada di depan Gua, duduk manis dengan keadaan yang sangat baik. Ya, Gua tau saat itu pasti sangat berat untuknya. Namun sekaranglah yang terpenting, Vera sudah sehat seperti sediakala dan melanjutkan kehidupannya dengan baik.
"Ve, semua yang kamu lalui memang berat, gak mudah bagi siapapun jika berada di posisi kamu saat itu",
"Jadi aku ngerti kenapa kamu sampai.. Sampai nyaris mau bunuh diri", timpal Gua mencoba memahami keadaannya yang rapuh saat itu.
Vera tersenyum lalu mengangkat cangkir gelas teh miliknya, lalu meneguknya sedikit.
"Ve, kamu langsung berangkat ke singapore ? Maksud ku setelah dua hari aku.. Aku bilang mau nikahin kamu".
Vera menggelengkan kepalanya perlahan. "Enggak Za, aku masih di sini, di rumah Mamah ini", jawabnya,
"Aku pindah ke sini, dan tinggal di sini sebelum akhirnya aku memilih melanjutkan studi di singapur, dan di sana aku tinggal sama Papah", lanjutnya.
Tepat, memang Gua tidak yakin saat dia pergi waktu itu dia langsung ke singapore, logikanya belum tentu dia bisa mendapatkan paspor secepat kilat, jadi ternyata perkiraan Gua selama ini tidak begitu jauh melenceng, benar dia tinggal di sini bersama keluarga Ibundanya dan Papah tirinya. Sayangnya Gua baru tau alamat rumah ini.
"Papah kamu kerja di sana ? Singapore maksud aku".
Vera mengangguk. "Iya, dan aku lagi libur kuliah sekarang.. Minggu depan aku udah mulai masuk kuliah lagi Za", jawabnya.
"Mm.. Ve.. Kenapa kamu pergi ?".
"Alasan aku masih sama Za, aku ngerasa gak pantas untuk kamu".
"Ve.. Kenapa kamu mikir gitu ? Kamu tau seberapa besar rasa sayang aku untuk kamu, rasa cinta aku untuk kamu, apa kamu ragu dan gak percaya waktu aku bilang mau nikahin kamu ?".
"Bukan gitu Za, aku malu, malu sama keadaan aku, dan aku gak mau keluarga kamu punya menantu seper..".
"Hey, kamu tau Ve, dua hari setelah itu aku datang sama keluarga untuk ngelamar kamu, dan Papah kamu juga tau akan hal itu, aku nelpon Papah kamu sehari sebelum datang lagi ke rumah kamu, dan beliau setuju Ve.. Keluarga aku juga gak masalahin kondisi kamu.. Tapi.. Tapi kenapa kamu memilih pergi ?", ucap Gua kali ini dengan sedikit emosi mengingat niatan Gua ketika itu.
"Maafin aku Za.. Aku gak bisa..".
"Jadi hanya itu alasan kamu untuk aku ? Hanya karena ngerasa gak pantas ?".
"Kamu gak tau perasaan aku Za! Kamu gak ngerti! Beban dan mental aku yang udah hancur!".
"Gak ngerti kamu bilang ? Selama ini aku ada untuk kamu, nunggu kamu sampai kamu benar-benar berada dalam kondisi terbaik, dan kamu bilang aku gak ngerti ? Apa lagi yang harus aku buktiin Ve ?!".
Pada akhirnya Vera hanya bisa menangis, dia berdiri lalu hendak pergi ke dalam rumah, Gua berdiri dan buru-buru menahan tangannya, lalu Gua menariknya pelan hingga membalikkan tubuhnya kehadapan Gua kemudian langsung memeluknya. Gua mendekapnya cukup erat, Vera menangis dalam pelukkan Gua, lalu Gua mengusap-usap punggungnya dan menyandarkan wajah ini ke atas kepalanya yang terbalut hijab itu. Airmata Gua mulai mengalir pelan dari sudut mata membasahi pipi Gua hingga turun ke dagu ini. Hati Gua bergetar, perasaan yang selama ini Gua pendam menyeruak dan mengisi setiap sudut di dalam hati, perasaan dan fikiran Gua hanya tertuju untuk seorang wanita yang sedang Gua peluk. Kesadaran Gua sebagai seorang suami dari wanita lain tiba-tiba hilang saat itu. Mungkinkah ini adalah salah satu dosa yang Gua buat kepada Echa, mungkin.. Mungkin saja karena perasaan untuk wanita lain masih Gua pendam dan kini kembali lagi. Maaf Cha...
Beberapa menit kemudian, Vera melepaskan pelukkan Gua, dia mengusap airmatanya dan mendongakkan kepala untuk menatap wajah Gua. Lalu kedua tangannya memegang kedua sisi wajah ini, kedua ibu jarinya lembut mengusap airmata yang membasahi pipi Gua.
"Za, biarkan semuanya seperti ini, lepasin dan relaiin aku, seperti aku yang sudah relaiin kamu bersama Echa", ucapnya seraya tersenyum, senyum getir yang terukir menghiasi wajahnya.
Gua menggelengkan kepala pelan. "Gak semudah itu aku bisa lupain kamu Ve, gak semudah itu", jawab Gua dengan suara yang bergetar.
"Kamu gak bisa seperti ini terus, aku tau Echa yang terbaik untuk kamu, aku tau dia yang selalu ada untuk kamu ketika aku pergi, dan sekarang.. Jadilah suami yang bertanggungjawab dan mencintai istri kamu sepenuh hati Za", lanjutnya.
Jantung Gua berdegup kencang menatap wajahnya, kedua tangan Gua memegangi kedua pergelangan tangannya yang telapak tangannya itu masih memegangi wajah ini. Entah kenapa dan bagaimana, seolah-olah ada dorongan yang menuntun Gua untuk mendekati wajahnya. Semakin lama, wajah Gua mendekati wajahnya hingga jarak bibir kami semakin dekat, lalu Gua memejamkan mata, melupakan nama seorang wanita yang sedang menunggu suaminya dengan perasaan cemas di tempat lain.
*
*
*
*
*
Quote:
Diubah oleh bunbun.orenz 17-05-2017 14:25
kadalbuntingzzz dan 2 lainnya memberi reputasi
3
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/18/9605475_20170318104940.jpg)
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/19/9605475_20170319120710.jpg)



love u too bun...ahaha..

). 
(Jangan lupa tempura seminggu sekali ya Yah) 

:
: