- Beranda
- Stories from the Heart
KABUT (Horror Story)
...
TS
endokrin
KABUT (Horror Story)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru
Cerita saya sebelumnya bisa dibaca dibawah ini, tinggal diklik saja
Quote:
WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:
disturbing14 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
617.7K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#215
Quote:
CHAPTER 3
“Tidak ada yang kulakukan, aku hanya mendengarkannya sampai suara itu hilang.”
“Kamu tidak takut ?”
“Aku malah ingin berjoget mendengarnya. Hehehe..”
“Takabur kamu Im..”
“Sebagai orang normal tentu saja aku takut. Sudah kodrat manusia kalau takut pada hal-hal yang tidak lazim. Suara gamelan digunung tentu saja membuat merinding setiap orang yang mendengarnya. Namun apa yang harus kulakukan ? berteriak ? menyuruh suara itu diam ? atau kabur sendirian kebawah ? aku lebih baik memilih diam saja dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.”
Baim mengambil lagi sisa air mineralnya, dan kini ia minumnya sampai habis.
“Sialnya keesokan harinya sekitar jam 4 pagi saat kami semua menunggu matahari terbit, obrolan tentang suara gamelan semalam mulai hangat diperbincangkan. Ternyata bukan aku dan kedua bocah itu saja yang mendengar, namun hampir semuanya. Tapi saat mendengarnya semalam mereka lebih memilih diam dalam ketakutan, berkeringat dingin dibawah sleeping bag.”
“Terus ?”
“Karena keadaan semakin gaduh, aku berbisik kepada anak-anak baru ini untuk tidak membicarakan kejadian semalam. Aku tidak tahu ini sebuah kebenaran atau hanya mitos yang dibuat orang-orang, dulu saat pertama mendaki seniorku selalu berpesan saat kamu mengalami kejadian aneh atau mistis saat pendakian, kamu tidak boleh menceritakannya kepada teman atau membicarakannya saat perjalanan. Kamu hanya boleh memberitahu apa yang kamu lihat atau alami saat kamu sudah turun atau pergi jauh dari gunung itu.”
“Kenapa ?” Sambil aku kerutkan kening, untuk meyakinkan Baim bahwa aku penasaran.
“Aku tidak tahu. Mungkin dedemitnya akan marah. Atau mungkin alasan yang lebih logis agar tidak mengganggu pendakian.”
Pesan Baim itu akan selalu aku ingat, tidak boleh membicarakan atau memberitahu pada teman sependakian kalau-kalau nanti digunung aku mengalami kejadian aneh atau melihat makhluk halus. Terlepas itu hanya sebuah mitos atau kebenaran, tapi sebagai pendaki pemula aku terpaksa mempercayainya.
Kecepatan bus mulai melambat dan berbelok kesebuah parkiran disamping rumah makan. Setelah berhenti, si kernet bus memberitahu bahwa sobekan tiket yang kami pegang bisa ditukar dengan makanan didalam. Semua orang langsung turun dari bus, ada yang langsung pergi ke toilet, pergi untuk mengantri makanan atau bahkan hanya duduk-duduk santai menikmati sebatang rokok.
Rumah makan tempat kami beristirahat ini tidaklah terlalu besar, hanya terdapat lima meja panjang didalamnya. menunya juga sangat sederhana hanya berupa nasi putih, ayam sayur dan kerupuk udang. Mungkin disiang hari warung ini lebih rame, tapi mengingat ini sudah hampir dini hari hanya menu seadanya dan tinggal tiga atau mungkin empat pelayan saja yang ada disana.
“Nanti setelah makan, sebaiknya kalian tidur. Karena nanti pagi-pagi kalau sudah sampai terminal tidak ada waktu lagi buat istirahat.” Kata Baim ketika kami berempat sudah duduk dibangku dengan piring nasi masing-masing.
“Gunung apa yang akan kita daki mas Baim ?” Tanya Hesti.
“Belum ada rencana, karena aku juga baru pertama kali datang ke jawa tengah. Tapi kalau sudah sampai terminal nanti kita rencanakan disana, mana rute yang terdekat dan pas dengan persiapan kita.”
Imron tampak tidak bersemangat menyentuh makanan, hanya sesuap dua suap dia paksa jejalkan kedalam mulutnya. Aku juga tidak berselera sebenarnya, selain rasa mual yang belum hilang makan pada dini hari tampaknya bukan pilihan apalagi dengan menu yang tidak menggugah ini.
Ayam sayurnya Nampak pucat, begitu kucoba satu gigit rasanya hambar hanya samar-samar saja rasa garam. nasinya juga sudah sedikit kering dan garing saat dimakan, tapi bagi Baim nampaknya bukan masalah, dia begitu lahap menyantapnya.
“Perbekalan yang aku minta sudah siap semuanya ?” Tanya Baim disela-sela suapannya.
“Sudah, tapi kami tidak bawa beras. Hanya mie instan dan roti saja. biar lebih praktis.” Jawabku.
“Sarden, Sosis atau kornet ?”
Kami bertiga menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Baim. Rupanya kami telah menyepelekan perbekalan. Maklum selama ini bagiku mie instan sudah cukup mengganjal perut seharian, tapi mungkin untuk pendakian kita butuh makanan lebih.
“Aku bawa beras yang cukup untuk kita berempat tapi hanya untuk satu kali makan saja. dua kaleng sarden sebagai proteinnya, dan beberapa sachet madu sebagai glukosa. Kita butuh energi lebih untuk mendaki.”
Imron yang banyak bicara, matanya tampak merah karena menahan kantuk. Kemudian meninggalkan piring makannya yang masih penuh, dia pamit ke toilet untuk mencuci muka. Aku juga berhenti menyuapkan makanan, dan lebih memilih menghabiskan sebatang rokok kretek sebagai penghilang suntuk.
Selama duduk diwarung nasi itu, Hesti mulai mengakrabkan diri dengan menceritakan tentang dirinya. Begitu juga dengan aku dan Baim yang saling bertukar pengalaman masing-masing, mulai dari hal sekolah sampai pengalaman selama merantau dikota orang.
“Kenapa kamu mau ikut mendaki ?” tanyaku pada Hesti.
“Ingin mencoba pengalaman baru saja”
Aku tidak yakin dengan jawaban yang Hesti berikan. Mungkin dia hanya ingin sekedar pamer foto kerennya nanti dimedia sosial, sama seperti motivasi yang aku miliki. Atau dia hanya tidak enak menolak ajakan Imron, siapa yang tahu bukan.
“Saya baru satu tahun datang ke Bandung mas Topan, merantau juga seperti kalian. Ingin membaiki taraf hidup. kalau dikampung terus kapan saya sejahteranya.”
“Justru hidup dikampung itu lebih enak, nih Baim dikampungnya dia juragan. Tapi dia lebih milih datang ke kota untuk hidup susah.”
“Aku datang ke kota bukan untuk hidup susah, tapi mencari pengalaman.” Baim membenarkan.
“Hidup sejahtera dikampung hanya untuk orang yang banyak tanahnya saja mas, kalau orang biasa kaya saya, ya kota satu-satunya harapan. Alhamdulilah dengan ijasah SMA yang saya punya sekarang bisa kerja di restoran ayam goreng, ya walaupun pada kenyataan gajihnya hanya cukup untuk makan dan bayar uang sewa kontrakan. Tapi sedikit demi sedikit saya nabung untuk biaya adik saya sekolah.”
“Bukannya sekolah gratis ?”
“Maksudnya ditabung buat biaya kuliah, biar adik saya bisa pinter kaya mas-masnya ini loh. Biar ga kaya saya.”
Mendengar jawaban Hesti membuat saya semakin malu. Tinggi-tinggi kuliah tapi sampai sekarang belum bisa menghasilkan apa-apa. Ingin rasanya saya memberitahunya bahwa kota tak seramah yang dia pikir, bahwa pintar saja tak cukup untuk bertahan hidup dikota besar. Tapi aku tidak mau mematikan harapannya.
“Masih mending kamu, nih si Topan walaupun dia Sarjana dia kalah sama kamu yang udah punya kerjaan.” Kata Baim dengan mimik wajah yang mengejek.
“Mungkin mas Topan sedang mencari pekerjaan yang cocok saja mas Baim. Dengan gajih yang besar, kerjanya pake kemeja rapih berdasi, tempatnya diruangan yang nyaman dan ber-AC. Ga kaya saya ya mas ?”
“Bajingan kamu Im..hahaha” sebenarnya dalam tawa aku sidikit tersinggung, tapi mau bagaimana lagi itu kenyataannya.
Imron tiba dari kamar mandi dengan wajah dan rambut yang masih sedikit basah. Dia langsung mengambil sebatang rokok dari atas meja, namun begitu mau dinyalakan suara kernet Bus dari arah parkiran terdengar, dia memberitahu penumpang bahwa sebentar lagi bus akan segera berangkat.
Seperti perintah Baim, setelah duduk didalam bus saya segera memejamkan mata. Kali ini bus benar-benar sepi hanya terdengar suara deru mesin saja. para penumpang lainnya mulai terlelap, televisi yang sedari tadi terus menyala kini sudah dimatikan. Bus melaju dengan cepat tanpa hambatan, tinggal menempuh setengah perjalanan lagi sebelum sampai ditujuan.
Entah bagaimana caranya aku tidur terlelap dikursi bus, karena saat aku merasakan tepukan dipundak dan membuka mata, bus sudah berada diterminal. Jam digital didalam bus menunjukan jam lima pagi, aku bersama keempat kawanku langsung turun.
Terminal masih dalam keadaan sepi, hanya terlihat dipojok terminal satu warung kopi yang buka, kami langsung menuju kesana untuk bertanya.
Langit masih gelap gulita, hawa dingin mulai terasa. walaupun kami berada diterminal, tapi udara sejuk bisa kami rasakan, mungkin karena tidak terlalu banyak kendaraan yang lalu lalang dan masih banyaknya pohon-pohon besar yang berdiri dipinggir-pinggir jalan.
Baim berkeliling untuk bertanya rute perjalanan menuju gunung terdekat dari terminal. Sementara kami bertiga duduk diwarung kopi menikmati gorengan tempe dan gehu yang masih hangat. Mungkin karena baru bangun tidur jadi perut kami terasa lapar.
“Biasanya banyak mahasiswa yang pada naik gunung itu pas tujuh belas agustus mas, bukan tahun baru.” Kata si ibu pemilik warung dengan logat jawa yang masih medok.
“Kalau tahun baru jarang, soalnyakan musim hujan. Kadang kalau hujan terus-terusan, pendakian bisa ditutup.” Si ibu pemilik warung melanjutkan sambil sibuk membolak-balik gorengannya.
“Begitu ya bu.”
“Iyah, kalau tidak salah kemarin ada rombongan juga yang mau naik gunung mas, mereka duduk disini tapi saya ga tahu tujuannya gunung mana.”
Baim tampak berjalan menghampiri kami dari kejauhan, dia mengangkat jempolnya. Mungkin sebagai pertanda bahwa semuanya beres. Kemudian dia menunjuk sebuah mobil yang baru datang, mungkin itu mobil selanjutnya yang harus kami naiki untuk sampai ditempat tujuan.
“Dua jam lagi untuk sampai di base camp pendakian. Siapkan energi kalian” Teriak Baim, dia tampak bersemangat.
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe
Diubah oleh endokrin 29-04-2017 15:14
namakuve dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas
Tutup