Seumur hidup gue, gue memiliki dua kehilangan terhebat yang gue rasakan. Yang pertama adalah ketika gue masih berseragam sekolah dan harus merelakan cinta pertama gue yang pergi meninggalkan gue. Yang kedua adalah ketika gue dan seseorang yang gue cintai sama sekali tidak bisa bersatu layaknya matahari dan bulan.
Dari kedua kehilangan ini gue bisa belajar bahwa gue bertekad tidak akan melepaskan seseorang kembali sampai ketigakalinya dan akan terus memperjuangkannya semampu gue.
Dan sekarang, gue menemukan seseorang perempuan yang sangat berarti dan seseorang perempuan itulah alasan utama kenapa gue bisa berada di negeri orang demi mendapatkannya kembali.
******
Gue terdiam dan mencoba untuk mengatur nafas. Gue masih belum bisa menerima kenyataan bahwa perempuan yang sedang gue cari-cari meninggalkan gue tepat di depan kedua mata gue.
“yaudahlah, pulang dulu aja ya sekarang” usul Yasmin
Gue yang masih tertenduk lesu hanya bisa berjalan dibelakang mereka berdua dan kami lekas menuju tempat hotel kami menginap. Setelah sampai, gue memutuskan untuk beristirahat dan mencuri-curi tempat di kamar mandi hotel ini untuk merokok.
Samar-samar suara ketukan pintu kamar mandi terdengar dan gue akhirnya membukakan pintu tersebut.
“bagi dong” ucap rey dan langsung masuk ke kamar mandi
Kemudian gue memberikan satubungkus rokok beserta korek yang gue punya kepada rey. Tanpa menunggu waktu lama dia langsung mengambil rokok tersebut dan membakarnya.
“tadi Yasmin abis chat sama dina lagi”
“terus?”
“besok siang mereka mau ke universal studios. Mau gamau kita harus kesana juga besok”
“tapi inget, jangan buru-buru. Gue gamau kejadian kayak tadi keulang lagi. Entah itu batre handphone habis lah, atau apalah”
“makanya disini gue langsung bilang ke lo biar kita ada persiapan” timpalnya lagi.
“yaudah abis sebat ini gue juga mau tidur.” Ucap gue
******
Gue terbangun akibat suara tv yang nampaknya lupa dimatikan oleh rey ketika dia hendak untuk tidur. Gue mencari handphone gue, melihat beberapa pesan yang ada di handphone gue dan menyadari jika gue terbangun jam empat pagi.
Kemudian, gue melangkahkan kaki gue untuk segera membuat kopi hangat yang memang disediakan oleh hotel ini. Sesekali mata gue hanya bisa terfokus kepada homescreen milik handphone gue yang memasang foto gue bersama dina dan kali ini gue baru tersadar bahwa sosok yang gue sayangi sekarang hanya bisa gue lihat, namun tidak bisa lagi untuk gue miliki.
Seketika, memori-memori gue bersama dina pun serasa terulang kembali. Dimulai dari kami berdua yang hanya seorang satu anak laki-laki dan satu anak perempuan yang bersahabat sejak mereka kecil, memutuskan untuk berpacaran , dan sampai di tahap yang sangat gue benci, yaitu putus.
Tanpa sadar, air mata gue mulai turun. Rasa putus asa mulai menghantui gue dan tterus memaksa gue untuk berhenti mengejarnya. Disaat ini, gue teringat kata nyokap bokap gue bahwa gue harus legowo dalam menerima suatu hal.
Setelah menimbang-nimbang, gue memutuskan untuk membagunkan rey dan memberitahu rey bahwa gue lelah dengan kondisi seperti ini. Tak lama kemudian, rey pun terbaangun dan segera duduk bersebelahan dengan gue.
“kenape? Ini masih jam lima pagi” hardik rey
Gue menghela nafas lalu meminum kopi yang masih tersisa sedikit demi sedikit.
“gue capek” ucap gue tiba-tiba
“ya kalo capek tidur lah bego, gue juga capek. Lagian ngapain sih bangun jam segini” sahut rey
Gue mengambil puntung rokok yang masih menyala dan kemudian gue melemparkan putung rokok tersebut tepat di pahanya.
“serius, gue capek”
“gue ga yakin kalo gue bisa balikan”
“kenapa?”
Gue mendengus, kemudian mencoba mencari kata-kata yang pas untuk gue ucapkan.
“ya gue ga yakin, lagian kata lo sendiri kalo udah ga yakin gausah di lanjutin. Nyokap gue juga bilang buat gue relain dina aja kalo emang dia gamau balikan sama gue”
“kok lo bawa-bawa gue ron? Lagian kita udah setengah jalan, masa lo berenti?gila ya lo” ucap rey dengan nada yang mulai meninggi
“ya gue cuman capek aja, emang gue harus belajar nerima kenyataan kayaknya kali ini”
Rey terdiam sejenak dan hanya bisa kebingungan dengan ucapan gue barusan.
“lo gila ya? Berapa banyak orang yang lo kecewain kalo lo kayak gini?”
“ lo nggatau gimana perjuangan gue sama yasmin buat bantuin lo?”
“asal lo tau, daripada gue ke singapur buat nemenin lo, mending gue sama Yasmin di Jakarta aja. Atau gue bisa liburan berdua di tempat lain”
“dan planning gue sama Yasmin gue batalin di liburan kali ini cuman buat lo. Lo masih waras?”
Dengan secepat kilat tangan rey pun sudah meninju gue tepat di pelipis kanan gue.
“bangun bego! Jangan ngelantur.”
Gue terdiam, kemudian gue mulai memebersihkan sedikit darah yang keluar dari pelipis gue akibat perlakuan rey barusan.
“lo bisa dengan gampangnya ngomong gitu rey, karena lo sendiri ga pernah ngalamin apa yang gue alamin dan rasain sekarang” hardik gue
Rey mendengus pelan
“ Semua orang punya masalah nyet, Apapun alesannya ya lo emang harus bisa nerima kenyataan itu. Tapi masalah lo disini adalah lo belom sama sekali berjuang sampai akhir, lo baru berjuang setengah”
“gue gamau denger lagi alesan – alesan bullshit lo, yang gue mau lihat sekarang lo perjuangin tuh cewek sampai bener-bener lo tau kapan lo harus berhenti”
Gue terdiam, meresapi setiap kata-kata yang baru saja rey lontarkan dan mulai tersadar bahwa semua omongan yang dikatakan oleh rey adalah benar.
“jangan kecewain gue sama Yasmin yang rela-relain bantuin lo ron”
“sekarang mending turun dah, gue laper abis ceramahin lo. Yasmin juga jam segini biasanya udah bangun” sahut rey kembali yang langsung disusul oleh anggukan gue.
******
“gimana udah siap lo?” tanya rey yang masih sibuk membetulkan rambutnya
“udah, lo liat aja gue tinggal jalan ini. Lo yang daritadi lama” cibir gue
“Gara-gara lo bangunin gue kepagian jadinya kita telat pas tidur lagi juga bego. barang-barang lo ga ada yang ketinggalan kan? jangan sampe ketinggalan, nanti usaha lo sia-sia”
“yaudah buruan turun ayo, Yasmin udah dibawah udah mesen taksinya” ucapnya lagi
Setelah selesai bersiap-siap, gue akhirnya bersama rey turun dari kamar gue menuju lobby hotel ini. Tak lama kemudian, kami berdua pun sudah bertemu dengan Yasmin dan langsung menaiki taxi untuk menuju Universal Studios.
Jam di tangan kiri gue sudah menunjukkan pukul duabelas siang ketika gue sampai di tempat ini. Tanpa menunnggu lama, kami bertiga langsung mengantri untuk membeli tiket dan masuk ke dalam tempat ini.
“gimana yas?lo udah chat dina?”
“udah kok, dia udah sampe duluan katanya. Gue janjian jam dua di the lost world”
“tapi lo udah siap kan ron?” timpal Yasmin lagi
“udah dia mah, tadi pagi abis aku ceramahin. Kalo ngga siap mah lain kali kita gausah bantuin roni lagi yas, percuma”
Gue tersenyum masam medengar ucapan rey barusan, namun tanpa ada dirinya gue sama sekali tidak akan berada di posisi gue sekarang, yaitu kembali harus memperjuangkan dina.
Kami akhirnya memutuskan untuk memutari tempat ini dan menaiki beberapa wahana untuk membunuh waktu-waktu kami. Perasaan takut pun mulai kembali menghantui gue seiring dengan waktu yang terus bergerak dan menuju pukul dua siang. Namun, gue hanya bisa berharap kepada tuhan bahwa pilihan gue kali ini adalah yang terbaik untuk diri gue dan dia.
“udah jam dua kurang nih, yuk ke sana” ucap Yasmin
Gue dan rey pun langsung mengangguk dan kami mulai berjalan menuju tempat bertemu kami dengan dina.
Panas terik matahari pun menemani gue di dalam langkah-langkah gue kali ini. Perlahan-lahan langkah kaki gue pun terasa semakin berat seiring dengan jarak tujuan kami yang semakin memendek. Tak lupa, kami bertiga memutuskan untuk membeli eskrim untuk mengurangi rasa panas kami dan menyegarkan dahaga kami akibat sinar terik matahari.
“lo ngapain beli dua ron?” tanya rey yang sedang sibuk dengan eskrim miliknya.
“satu buat dina.gue berharap aja ketemunya cepet deh biar ga mencair”
“gimana yas? Dina dimana? Udah jam dua loh” tanya gue lagi
“bentaar… kata dina dia di deket sini juga, coba kita muter-muter tempat ini deh. Tapi inget liat sekeliling juga, kan ga lucu kalo dina duluan yang ngeliat kita”
Kami akhirnya bergegas berjalan kembali sekaligus melihat sekitaran kami. Lima menit kemudian, rey tiba-tiba menepuk pundak gue dan memberitahu kepada gue bahwa dia melihat dina yang sedang bersama teman-temannya. Spontan gue pun langsung menoleh ke arah yang dimaksud oleh rey dan melihat sosok perempuan yang sedang gue cari dalam jarak lima puluh meter.
Dia sangat terlihat cantik hari ini. Dia hanya memakai kaos berwarna putih, ,hotpants, sepatu vans berwarna abu-abu dengan sedikit corak yang menghiasinya, dan memakai topi untuk melindungi dirinya terkena sinar matahari secara langsung,
Dengan tekad yang sudah bulat, perlahan-lahan gue pun mulai mendekati dirinya. Sosok Dina yang terlihat sedang asyik mengobrol kepada beberapa temannya mulai terlihat sangat jelas di depan mata gue.
Gue berdiri tepat di belakangnya dengan membawa dua buah eskrim yang gue baru saja beli beberapa saat yang lalu. Sesaat kemudian gue mencolek pundaknya dengan perlahan. Dina pun langsung menoleh kearah gue dan melihat gue dengan tatapan yang bingung sekaligus tidak percaya. Kemudian, gue mencoba tersenyum.
“hai”
Dina menutup mulutnya dengan tangan kiri dan terus memandangi gue dengan tatapan yang tidak percaya dengan kehadiran gue.
“kamuu…”
“ngapain?” ucapnya terbata-bata
Gue menghirup nafas gue dan menghembuskannya kembali.
“mau ngasih kamu eskrim, pasti kamu kepanasan kan?”
Perlahan-lahan raut wajah dina pun mulai berubah dengan senyumannya. Senyuman yang selama ini gue rindukan oleh seseorang yang sangat gue sayang. Kemudian dia mengambil satu eskrim yang berada di tangan kanan gue.
“habis ngasih eskrim, kamu mau ngapain lagi?”
“mau berusaha buat dapetin apa yang selama ini aku punya, namun dia pergi dan menimbulkan perasaan menyesal dalam diri aku”
Dina membisu mendengar ucapan yang gue lontarkan kepadanya. Sesaat kemudian, air matanya mulai turun dan membasahi kedua pipinya. Sesekali gue melihat hidungnya yang mulai kemerahan akibat tangisannya.
“kenapa?”
Perlahan-lahan gue mulai memegang pipinya dan mulai menghapus air matanya yang baru saja turun.
“karena kamu yang terbaik buat aku”
“maaf kalo dulu aku emosi, dan maaf kalo aku belum bisa jadi yang terbaik buat kamu. Aku tau aku ngecewain kamu waktu itu, dan aku baru sadar kalo aku gaboleh emosi karena aku tau kamu gapernah bohong sama aku. tapi mulai sekarang aku bakal berubah , ngga bakal ngulangin kesalahan yang sama dan bakal jadi yang terbaik buat kamu ” ucap gue lagi
Mendengar kalimat gue, dina pun langsung meninju gue dengan pelan.
“buat apa jadi yang terbaik? Kayak gini bukan kompetisi kok.”
“ Kita gaperlu jadi yang terbaik, cukup jadi diri kita sendiri aja” ucapnya lagi
Gue menunduk,kemudian gue mencoba mengatur setiap ritme nafas gue agar gue bisa sedikit tenang dalam situasi ini.
“dulu, aku pernah mikir, ada beberapa perempuan cantik yang dateng ke hidup aku, walaupun cuman sesaat, tapi aku dulu ngga pernah sadar kalau wanita yang aku cari cari dan hadirnya setiap saat adalah perempuan yang selama ini aku kenal”
“dan perempuan itu kamu, Nadine”
Dina yang sedaritadi menangis, mulai mencoba untuk tersenyum dan menatap gue lekat-lekat.
“out of so many girls, why me?”
Gue menggenggam tangannya dan mencoba mengelus punggung tangannya dengan lembut.
“because you’re not one of the so many girls”
“I’m afraid I couldn’t see that beautiful eyes of yours anymore”
Kemudian gue mengeluarkan suatu barang dari tas gue yang sudah sejak lama gue simpan untuk dirinya.
Sebuah cincin yang memang sengaja gue beli bersama nyokap gue beberapa hari sebelum gue berangkat menuju singapur. Sesaat kemudian gue berlutut dan langsung membukakan kotak cincin tersebut di hadapan dina.
“will you marry me?”
Dina terdiam dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Sesaat kemudian suara tangisan yang dari diri dina mulai terdengar dengan pelan. Dalam beberapa saat, gue mencoba untuk mengulangi pertanyaan gue.
“ I wanna marry you Because you are the first person I wanna look when I wake up in the morning, and the last person that I wanna I look when I want to sleep. And the last, I want you permanently, not temporarily. “
“so , will you marry me, Nadine ?”ucap gue dengan suara yang bergetar.
Perasaan malu di dalam diri gue pun sudah hilang dan gue merasa bodoamat dengan lingkungan sekitaran gue seperti para turis yang sedang melihat gue melamar kekasih gue.
Yang gue fikirkan hanya satu hal, menurut gue kali ini adalah momen yang sangat tepat unntuk mengutarakan perasaan gue kepada dina.
Perlahan dina mengangguk dan spontan gue langsung memasangkan cincin tersebut tepat di jari manisnya yang langsung disambut oleh pelukan yang sangat hangat dari dina.
“Yes of course I do”