- Beranda
- Stories from the Heart
Pelangi Sebelum Hujan
...
TS
8313090
Pelangi Sebelum Hujan
Quote:
Quote:
Diubah oleh 8313090 15-05-2017 09:43
anasabila memberi reputasi
1
6.1K
45
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
8313090
#1
Part 1
Tirai biru tersingkap oleh suster yang terlihat masih muda dengan pakaian serba putih, wajahnya sedikit mirip denganku. Dia tersenyum, mungkin karena aku sudah menunggu terlalu lama. Aku memang sudah duduk di kursi ini selama dua puluh menit, tidak seperti biasanya yang hanya sekitar lima sampai sepuluh menit.
Aku bisa melihat ibuku mengancingkan bajunya dan masih duduk diatas tempat tidur pasien. Dokter pun menghampiriku dan duduk dihadapanku di seberang meja, dokter wanita yang usianya sudah tua aku rasa. Dirinya menulis, aku rasa sebuah resep lagi, aku sudah bosan dengan obat-obatan yang harus diminum oleh ibuku.
“Obatnya diminum tiga kali sehari, ya!” ucapnya sedikit keras, mungkin agar ibuku mendengarnya juga.
Ibuku lalu sejenak duduk di kursi yang berada di sampingku. Matanya terlihat sembap, pipinya terlihat masih sedikit basah. Aku rasa dia menangis di dalam dan mengulur waktu agar aku tidak terlalu khawatir dengannya.
Setelah mendengar beberapa nasihat dari dokter, aku dan ibuku segera meninggalkan ruangan itu. Ditemani suster, aku pun menuju kasa untuk membayar biaya check up dan obat-obatan untuk ibuku sebulan ke depan, sedangkan ibuku duduk di salah satu kursi.
“Mas, tunggu sama ibunya aja, biar saya yang ambil obatnya,” ujar suster itu padaku. Tidak seperti biasanya dia melakukan hal seperti ini. Biasanya aku sendiri yang mengambil, bahkan untuk mengantar menuju kasa saja baru kali ini.
Aku pun menolak, “Enggak usah, biar saya aja yang ngambil, lagian biasanya juga saya yang ambil sendiri....” Suster itu pun sedikit memaksa, dan aku akhirnya mengalah.
Aku pergi menuju tempat ibuku duduk menunggu. Aku lalu duduk di sampingnya dan sedikit tersenyum padanya.
“Dia cantik ya, Dri” ujar ibuku yang membuat aku sedikit kaget.
Aku balas senyum, “Iya Bu, tapi kok Andri rasa dia agak mirip-mirip sama Andri, ya.” Ibuku langsung terdiam, namun senyumannya tetap tidak hilang ditelan kegundahan. Dia lalu mengelus-ngelus pundakku yang sedikit basah karena keringat.
“Mungkin dia jodoh kamu.” Aku tersontak kaget dengan kata-kata yang baru saja kau dengar. Memang usiaku sudah tiga windu, tapi aku belum pernah sekali pun membawa teman wanitaku kerumah untuk dikenalkan.
Wajahku sedikit memerah saat ini, “Ah Ibu, kenapa ngomong gitu?” tanyaku dengan kepala tertunduk malu. Ya, kalau dibilang sih, aku memang suka dengannya, tapi jika melihat pekerjaan, dia pasti berpikir seribu kali dulu untuk menerimaku.
Tak berapa lama, suster datang dengan kantong plastik putih ditangannya. Dia lalu duduk berjongkok di depan ibu dan menjelaskan satu persatu obat yang ada di dalam kantong plastik tersebut.
Aku sebenarnya kasian pada ibu, dia harus meminum berbagai macam obat hanya untuk mencegah penyakitnya tidak semakin parah, tapi aku juga sadar bahwa untuk melakukan penyembuhan aku tidak mempunyai cukup biaya.
Aku melihat wajah tulus dari suster itu dalam menjeleskan satu persatu obatnya, walau baru pertama kalinya seperti ini. Sepertinya aku mulai merasakan suka padanya, setelah kata-kata ibuku tadi.
Aku rasa wajahku mulai tersenyum saat memandang wajahnya yang indah, tapi mana mungkin dia mau denganku.
“Andri, ayo kita pulang, malah bengong sambil senyum-senyum gitu,” ucap ibuku yang menghancurkan lamunanku.
Tanpa aku mengucapkan rasa terima kasih, suster itu sudah pergi meninggalkan aku dan ibu. Iya, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikannya, dan mungkin sekedar menanyakan nomor teleponnya. Aku bercanda.
Aku dan ibu berjalan keluar dari rumah sakit itu. Sebuah becak menghampiri setelah aku melambaikan tangan memanggil. Aku dan ibu selalu naik becak jika ke sini tiap bulan. Sebenarnya aku memiliki motor, namun aku takut angin atau cahaya matahari malah akan memperparah kondisi ibuku.
Suara gaduh dari besi yang digantungkan di bawah becak ini menemani perjalanan pulang. Seorang bapak-bapak yang berusia lima puluh tahunan masih semangat mengayuh becak ini.
“Dri, tabungan kamu udah ada berapa untuk biaya penyembuhan ibu?” tanya ibuku.
“Baru ada seperempat dari biaya yang disebutkan sama dokter.” Aku mulai menabung untuk biaya penyembuhannya sejak satu tahun kemarin. Dengan hidup super hemat, aku sudah bisa mengumpulkan sekitar dua puluh juta rupiah.
Ibuku terlihat sedikit berfikir, entah apa yang dipikirkannya. “Berarti masih butuh tiga tahun lagi, ya,” ucap ibu sedikit pesimis.
“Ya, mau bagaimana lagi, Bu ...,” ucapku, “kita sabar aja ... mudah-mudahan ibu bisa sembuh.” Aku memeluk ibuku dari samping.
Ibuku sedikit menghela nafas, “Kamu lebih baik pakai uang itu buat kebutuhanmu sendiri, toh ibu sendiri masih bisa hidup dengan keadaan seperti ini.”
“Ibu bicara apa sih?”
“Ya, dengan setiap bulan seperti ini, keadaan ibu baik-baik saja, mungkin Tuhan akan sembuhkan dengan cara lain.”
“Tapi, Ibu harus sembuh, tenang aja Andri pasti berusaha kok,” ucapku dengan merasakan rasa yang tidak nyaman di tenggorokan.
Aku lihat dia tersenyum sambil menatap ke arah depan. “Sekarang ibu udah pasrah kok, tiap bulan ibu ke rumah sakit juga enggak apa-apa,” ucapnya yang membuat hati seorang anak hancur berkeping-keping.
Tak kuasa lagi aku menahan air mata yang sudah aku tahan ini, aku memang harus menahan air mata ini sebagai seorang lelaki, tapi aku tak bisa lebih lama lagi. Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku, mencoba untuk tidak bersuara agar aku tidak terlihat sedang menangis.
“Ibu cuma mau bilang, ibu mau lihat pelangi,” ucapnya sambil tertawa kecil. “Kamu lebih baik cari calon istri kamu, itu buat kehidupan masa depan kamu juga, sekarang usia kamu sudah mau dua puluh lima tahun.”
“Tapi aku enggak mau kehilangan Ibu juga,” ucapku sambil menahan tangis.
Becak yang berjalan begitu pelan, kini telah tiba di depan rumah. Ibu turun terlebih dahulu dan langsung membuka pintu, sedangkan aku membayar ongkos becak terlebih dulu.
“Makasih ya, Mas,” ucapku sambil memberikan uang.
“Sama-sama, yang semangat ya, Mas,” ucap bapak penarik becak itu.
Aku lalu langsung masuk ke dalam rumah. Rumah yang cukup untuk sebuah keluarga kecil, rumah yang menjadi tempatku bernaung sejak kecil dan semua kenangan bersama ibu.
Aku masuk ke kamarku, kepulan asap rokok tadi pagi masih bersarang dikamarku. Aku membuka jendela agar asap-asap itu bisa terbang menghilang dari kamar ini. Memang sejak sebulan ini aku menjadi perokok berat, asbak yang penuh dengan puntung rokok selalu menghiasi pagiku. Sebenarnya aku sudah berhenti merokok, tetapi beban hidup yang memaksaku kembali pada sebatang barang hina itu tak bisa aku lawan.
Suara ketukan pintu kamarku terdengar saat aku membaringkan tubuhku, aku segera bangkit dan membukanya. “Ini, kopi buat kamu,” ucap ibuku yang membawakan aku secangkir kopi.
Aku menerimanya dan tak lupa untuk mengucapkan terima kasih padanya. Pintu kembali aku tutup, karena takut asap-asap itu malah masuk ke dalam rumah. Aku kembali berbaring, sedikit memikirkan kata-kata ibuku. Aku sepertinya harus mencari pendamping hidup, tapi aku tidak pandai menjalin asmara dengan lawan jenis. Teman wanitaku bisa dibilang banyak, namun mereka hanya menganggapku teman dan bahkan aku punya seorang sahabat wanita.
Dalam bingungku pun, akhirnya aku menyalakan rokokku, dan mengambil ponselku. Aku mencoba menceritakan keluh kesahku padanya, sahabatku. Aku berharap dia tidak sedang sibuk hari ini dan setidaknya dia bisa memberikanku jalan keluar.
“Hai Put, lagi apa?” tanyaku dalam pesan.
Namanya Putri, dia sahabatku sejak SMP. Kami selalu satu kelas sejak SMP, tapi kami beda jurusan saat kuliah. Dia cantik, bisa dibilang ideal bila dijadikan seorang teman hidup. Namun sayang, dia sudah bertunangan.
Sebuah pesan akhirnya masuk saat perjalanan rokokku sudah habis setengah, aku menyimpan rokokku di asbak dan membuka pesan itu.
“Eh, Andri, aku lagi di rumah aja sih, tadi habis pergi sebentar ngirim pesanan, kamu sendiri lagi apa?” balas pesannya.
Dia memang tidak bekerja setelah lulus, tapi dia membuka sebuah toko yang menjual kebutuhan pakaian yang bisa dibilang klasik.
“Aku lagi di rumah juga sama, kebetulan hari ini habis nganter Ibu aku ke rumah sakit.” Pesan terkirim dan aku kembali menghisap sisa barang hina itu.
“Aku mau main boleh enggak? Sekalian nengok Ibu kamu.” Sebuah pesan yang membuat aku berpikir keras, karena memang jika aku meng-iya-kannya datang, mungkin ibuku akan menganggapnya dia sebagai kekasihku.
“Ya sudah, kamu tahukan rumah aku?” tanyaku sekaligus menerimanya bertamu kali ini. Bukan maksudku mengakuinya sebagai kekasihku, tetapi hanya sebagai penghibur ibuku yang mungkin sekarang tengah resah dengan keadaan aku.
Pesanku pun hanya dibalas “iya”, aku tidak membalasnya kembali, tapi aku menunggunya datang. Aku mematikan rokokku yang sudah tersisa sedikit. Berbaring sambil mendengarkan lagu-lagu yang membuatku tenang dan tak terasa aku pun terlelap dalam tidur.
Aku bisa melihat ibuku mengancingkan bajunya dan masih duduk diatas tempat tidur pasien. Dokter pun menghampiriku dan duduk dihadapanku di seberang meja, dokter wanita yang usianya sudah tua aku rasa. Dirinya menulis, aku rasa sebuah resep lagi, aku sudah bosan dengan obat-obatan yang harus diminum oleh ibuku.
“Obatnya diminum tiga kali sehari, ya!” ucapnya sedikit keras, mungkin agar ibuku mendengarnya juga.
Ibuku lalu sejenak duduk di kursi yang berada di sampingku. Matanya terlihat sembap, pipinya terlihat masih sedikit basah. Aku rasa dia menangis di dalam dan mengulur waktu agar aku tidak terlalu khawatir dengannya.
Setelah mendengar beberapa nasihat dari dokter, aku dan ibuku segera meninggalkan ruangan itu. Ditemani suster, aku pun menuju kasa untuk membayar biaya check up dan obat-obatan untuk ibuku sebulan ke depan, sedangkan ibuku duduk di salah satu kursi.
“Mas, tunggu sama ibunya aja, biar saya yang ambil obatnya,” ujar suster itu padaku. Tidak seperti biasanya dia melakukan hal seperti ini. Biasanya aku sendiri yang mengambil, bahkan untuk mengantar menuju kasa saja baru kali ini.
Aku pun menolak, “Enggak usah, biar saya aja yang ngambil, lagian biasanya juga saya yang ambil sendiri....” Suster itu pun sedikit memaksa, dan aku akhirnya mengalah.
Aku pergi menuju tempat ibuku duduk menunggu. Aku lalu duduk di sampingnya dan sedikit tersenyum padanya.
“Dia cantik ya, Dri” ujar ibuku yang membuat aku sedikit kaget.
Aku balas senyum, “Iya Bu, tapi kok Andri rasa dia agak mirip-mirip sama Andri, ya.” Ibuku langsung terdiam, namun senyumannya tetap tidak hilang ditelan kegundahan. Dia lalu mengelus-ngelus pundakku yang sedikit basah karena keringat.
“Mungkin dia jodoh kamu.” Aku tersontak kaget dengan kata-kata yang baru saja kau dengar. Memang usiaku sudah tiga windu, tapi aku belum pernah sekali pun membawa teman wanitaku kerumah untuk dikenalkan.
Wajahku sedikit memerah saat ini, “Ah Ibu, kenapa ngomong gitu?” tanyaku dengan kepala tertunduk malu. Ya, kalau dibilang sih, aku memang suka dengannya, tapi jika melihat pekerjaan, dia pasti berpikir seribu kali dulu untuk menerimaku.
Tak berapa lama, suster datang dengan kantong plastik putih ditangannya. Dia lalu duduk berjongkok di depan ibu dan menjelaskan satu persatu obat yang ada di dalam kantong plastik tersebut.
Aku sebenarnya kasian pada ibu, dia harus meminum berbagai macam obat hanya untuk mencegah penyakitnya tidak semakin parah, tapi aku juga sadar bahwa untuk melakukan penyembuhan aku tidak mempunyai cukup biaya.
Aku melihat wajah tulus dari suster itu dalam menjeleskan satu persatu obatnya, walau baru pertama kalinya seperti ini. Sepertinya aku mulai merasakan suka padanya, setelah kata-kata ibuku tadi.
Aku rasa wajahku mulai tersenyum saat memandang wajahnya yang indah, tapi mana mungkin dia mau denganku.
“Andri, ayo kita pulang, malah bengong sambil senyum-senyum gitu,” ucap ibuku yang menghancurkan lamunanku.
Tanpa aku mengucapkan rasa terima kasih, suster itu sudah pergi meninggalkan aku dan ibu. Iya, aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas kebaikannya, dan mungkin sekedar menanyakan nomor teleponnya. Aku bercanda.
Aku dan ibu berjalan keluar dari rumah sakit itu. Sebuah becak menghampiri setelah aku melambaikan tangan memanggil. Aku dan ibu selalu naik becak jika ke sini tiap bulan. Sebenarnya aku memiliki motor, namun aku takut angin atau cahaya matahari malah akan memperparah kondisi ibuku.
Suara gaduh dari besi yang digantungkan di bawah becak ini menemani perjalanan pulang. Seorang bapak-bapak yang berusia lima puluh tahunan masih semangat mengayuh becak ini.
“Dri, tabungan kamu udah ada berapa untuk biaya penyembuhan ibu?” tanya ibuku.
“Baru ada seperempat dari biaya yang disebutkan sama dokter.” Aku mulai menabung untuk biaya penyembuhannya sejak satu tahun kemarin. Dengan hidup super hemat, aku sudah bisa mengumpulkan sekitar dua puluh juta rupiah.
Ibuku terlihat sedikit berfikir, entah apa yang dipikirkannya. “Berarti masih butuh tiga tahun lagi, ya,” ucap ibu sedikit pesimis.
“Ya, mau bagaimana lagi, Bu ...,” ucapku, “kita sabar aja ... mudah-mudahan ibu bisa sembuh.” Aku memeluk ibuku dari samping.
Ibuku sedikit menghela nafas, “Kamu lebih baik pakai uang itu buat kebutuhanmu sendiri, toh ibu sendiri masih bisa hidup dengan keadaan seperti ini.”
“Ibu bicara apa sih?”
“Ya, dengan setiap bulan seperti ini, keadaan ibu baik-baik saja, mungkin Tuhan akan sembuhkan dengan cara lain.”
“Tapi, Ibu harus sembuh, tenang aja Andri pasti berusaha kok,” ucapku dengan merasakan rasa yang tidak nyaman di tenggorokan.
Aku lihat dia tersenyum sambil menatap ke arah depan. “Sekarang ibu udah pasrah kok, tiap bulan ibu ke rumah sakit juga enggak apa-apa,” ucapnya yang membuat hati seorang anak hancur berkeping-keping.
Tak kuasa lagi aku menahan air mata yang sudah aku tahan ini, aku memang harus menahan air mata ini sebagai seorang lelaki, tapi aku tak bisa lebih lama lagi. Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku, mencoba untuk tidak bersuara agar aku tidak terlihat sedang menangis.
“Ibu cuma mau bilang, ibu mau lihat pelangi,” ucapnya sambil tertawa kecil. “Kamu lebih baik cari calon istri kamu, itu buat kehidupan masa depan kamu juga, sekarang usia kamu sudah mau dua puluh lima tahun.”
“Tapi aku enggak mau kehilangan Ibu juga,” ucapku sambil menahan tangis.
Becak yang berjalan begitu pelan, kini telah tiba di depan rumah. Ibu turun terlebih dahulu dan langsung membuka pintu, sedangkan aku membayar ongkos becak terlebih dulu.
“Makasih ya, Mas,” ucapku sambil memberikan uang.
“Sama-sama, yang semangat ya, Mas,” ucap bapak penarik becak itu.
Aku lalu langsung masuk ke dalam rumah. Rumah yang cukup untuk sebuah keluarga kecil, rumah yang menjadi tempatku bernaung sejak kecil dan semua kenangan bersama ibu.
Aku masuk ke kamarku, kepulan asap rokok tadi pagi masih bersarang dikamarku. Aku membuka jendela agar asap-asap itu bisa terbang menghilang dari kamar ini. Memang sejak sebulan ini aku menjadi perokok berat, asbak yang penuh dengan puntung rokok selalu menghiasi pagiku. Sebenarnya aku sudah berhenti merokok, tetapi beban hidup yang memaksaku kembali pada sebatang barang hina itu tak bisa aku lawan.
Suara ketukan pintu kamarku terdengar saat aku membaringkan tubuhku, aku segera bangkit dan membukanya. “Ini, kopi buat kamu,” ucap ibuku yang membawakan aku secangkir kopi.
Aku menerimanya dan tak lupa untuk mengucapkan terima kasih padanya. Pintu kembali aku tutup, karena takut asap-asap itu malah masuk ke dalam rumah. Aku kembali berbaring, sedikit memikirkan kata-kata ibuku. Aku sepertinya harus mencari pendamping hidup, tapi aku tidak pandai menjalin asmara dengan lawan jenis. Teman wanitaku bisa dibilang banyak, namun mereka hanya menganggapku teman dan bahkan aku punya seorang sahabat wanita.
Dalam bingungku pun, akhirnya aku menyalakan rokokku, dan mengambil ponselku. Aku mencoba menceritakan keluh kesahku padanya, sahabatku. Aku berharap dia tidak sedang sibuk hari ini dan setidaknya dia bisa memberikanku jalan keluar.
“Hai Put, lagi apa?” tanyaku dalam pesan.
Namanya Putri, dia sahabatku sejak SMP. Kami selalu satu kelas sejak SMP, tapi kami beda jurusan saat kuliah. Dia cantik, bisa dibilang ideal bila dijadikan seorang teman hidup. Namun sayang, dia sudah bertunangan.
Sebuah pesan akhirnya masuk saat perjalanan rokokku sudah habis setengah, aku menyimpan rokokku di asbak dan membuka pesan itu.
“Eh, Andri, aku lagi di rumah aja sih, tadi habis pergi sebentar ngirim pesanan, kamu sendiri lagi apa?” balas pesannya.
Dia memang tidak bekerja setelah lulus, tapi dia membuka sebuah toko yang menjual kebutuhan pakaian yang bisa dibilang klasik.
“Aku lagi di rumah juga sama, kebetulan hari ini habis nganter Ibu aku ke rumah sakit.” Pesan terkirim dan aku kembali menghisap sisa barang hina itu.
“Aku mau main boleh enggak? Sekalian nengok Ibu kamu.” Sebuah pesan yang membuat aku berpikir keras, karena memang jika aku meng-iya-kannya datang, mungkin ibuku akan menganggapnya dia sebagai kekasihku.
“Ya sudah, kamu tahukan rumah aku?” tanyaku sekaligus menerimanya bertamu kali ini. Bukan maksudku mengakuinya sebagai kekasihku, tetapi hanya sebagai penghibur ibuku yang mungkin sekarang tengah resah dengan keadaan aku.
Pesanku pun hanya dibalas “iya”, aku tidak membalasnya kembali, tapi aku menunggunya datang. Aku mematikan rokokku yang sudah tersisa sedikit. Berbaring sambil mendengarkan lagu-lagu yang membuatku tenang dan tak terasa aku pun terlelap dalam tidur.
Diubah oleh 8313090 29-04-2017 06:16
0