Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
TS
raganagori
Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
Selamat malam, agan-agan.
Cuma mau menyampaikan, STAY SAFE AND MAINTAIN YOUR HEALTH.
Dunia sedang dilanda musibah epidemi yang mematikan, Namun percayalah ini bukanlah yang pertama bagi manusia. Tetap berkepala dingin, bergerak, dan jaga diri serta orang-orang yang disayangi.
Sedikit tambahan, ada cerita baru, karena ane entah lagi kesambet inspirasi dari mana. Selamat menikmati.
Selamat pagi agan dan aganwanti, selamat memulai hari!!
Berikut adalah cerita ane yang baru untuk hari ini. Selamat membaca!
Spoiler for Catatan Kedelapan : Garis Batas:
Bagas adalah kepalsuan. Karenanya, dia tidak pernah berbicara tentang rasa dengan orang lain di sekitarnya. Percakapan-percakapan yang diucapkan kala siang, tak pernah lebih dari bentuk kewajiban dan kosekuensi dari situasi sosial. Akibat tak pernah membicarakan tentang rasa, Bagas tak pernah memahami makna dari hujan, serta sesuatu yang mengusik kedamaiannya.
“Gas!!” sebuah suara memanggil namanya.
Satu hal yang menganggumkan dari telinga dan suara manusia adalah kemampuannya untuk mengidentifikasikan identitas; Suara, entah bagaimana, mampu membedakan pemilknya dari pemilik suara lain. Begitupun dengan telinga, dengan bentuk sederhananya yang tak pernah menonjol, ia mampu menangkap dan membedakan semua suara dari orang yang berbeda.
Sayangnya, tak semua orang memiliki telinga seistimewa Bagas, yang mampu membedakan antara kemunafikan dan kepolosan. Pemilik suara itu, Oscar, masuk kelompok yang pertama.
“Dari rumah aja. Ini mau masuk kelas sih...”, hal paling menjengkelkan dalam kehidupan ini adalah saat kita harus mengikuti permainan seseorang yang selalu mengenakan topeng.
“Kelas? Kelas apaan?” lanjut Oscar.
“Metode Penelitian, kelasnya Bu Murni...” Bagas masih berusaha terbiasa dengan sentuhan orang ini.
“Heh... oke-oke.... eh, boleh minta tolong gak?”
Ini dia.
“Apaan?” Bagas membuat beberapa opsi dalam kepalanya tentang jenis permintaan yang akan diajukan oleh Oscar, ya, meski sebenarnya dia punya satu yang memiliki probabilitas paling tinggi.
“Boleh pinjem duit lagi gak? Tiga lima aja... pleaseeee... ban ku bocor dan harus diganti dengan ban biasa dulu sementara. Uangku udah habis buat fotokopi tadi. Ya?ya?ya?”
Bagas mengambil dompet dari sakunya, dan mengambil beberapa lembar uang, lalu menyerahkannya pada Oscar. “Balikin ya!”
“Siappp!!! Kamu memang teman yang baik... puoooll!! Oke, nanti malam kita ketemu di Warkop Edan ya!! Aku baliki di sana aja!”
“Ah... aku lewat malam ini. Sudah ada perintah dari ortu! Besok aja balikinnya!” Oscar mengacungkan jempol dan melambaikan tangannya hingga menghilang di belokan.
Teman yang baik ya....
Bagas memasukkan kembali dompetnya, dan mengambil langkah cepat agar tidak sampai terlambat masuk ke kelas Bu Murni. Sambil berjalan, Bagas hanya berharap takdir tidak lagi menghadapkannya dengan situasi yang memaksanya untuk terus berpura-pura lagi.
Sejujurnya, Bagas tidak pernah keberatan untuk membantu siapapun secara finansial asalkan dia memang memiliki kelebihan. Malah sebenarnya, jika dipikirkan ulang, Bagas tidak menemukan alasan yang cukup kuat untuk merasa risih atau tidak nyaman dengan Oscar, serta orang lain. Semua orang, baik dirinya atau orang tuanya, teman-temannya, atau pedagang kaki lima, adalah para pelaku kepalsuan yang telah disistematisasi dalam ruang gerak bermasyarakat. Ya, kepalsuan adalah elemen penting dalam pranata sosial. Fondasi dari moralitas.
Alasannya? Sederhana,
Semua makhluk hidup bergerak apabila menerima rangsangan, itu adalah pemahaman umum yang pasti. Saat dia tiak bereaksi setelah menerima rangsangan yang ada, maka dia kehilangan salah satu karakteristik sebagai makhluk hidup. Artinya, dia sudah tidak lagi bisa disebut sebagai makhluk hidup. Sifat alamiah yang bersifat personal itu kemudian semakin berkembang dalam bentuk manusia yang bermasyarakat, dan pada akhirnya melebur menjadi prinsip pola perilaku sosial.
Coba tengok sekeliling kalian. Hukum ekonomi klasik sendiri telah mengungkapkan dengan lantang dan tegas-setegasnya bahwa cara terbaik untuk mengendalikan perilaku manusia adalah dengan memberi insentif, imbalan. Bagas yakin banyak orang yang menentang pernyataan ini, namun baginya, itulah faktanya; dan sebuah fakta tak pernah menjadi primadona dalam pilihan manusia. Bahkan manusiapun beribadah dengan imbalan berupa surga.
Namun, saat sesuatu telah mendarah daging dalam sanubari manusia, bukankah kepalsuan sekalipun dapat menjadi kebenaran?
Itulah seharusnya yang terjadi. Namun hujan dan percakapan sederhana di sore yang pekat itu membuat Bagas mempertanyakan berbagai hal. Ia mulai meragukan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, Bagas tak pernah membicarakan hal tersebut pada siapapun, membuatnya berputar-putar tanpa henti. Pada akhirnya, Bagas memutuskan untuk menarik garis lurus antara “kepalsuan” dan “kebenaran” di tempat manapun yang ia suka.
Bagas mengambil tempat duduk di bangku paling belakang kelas, di bagian tengah untuk meminimalisir garis pandang dosennya yang selalu diagonal ke setiap sudut. Beberapa teman angkatannya, dan beberapa angkatan di atasnya mulai memenuhi kelas dengan riuh rendah percakapan yang tak ubahnya dengungan bising di telinga Bagas. Sepuluh menit berselang, belum ada tanda-tanda dosen akan masuk kelas. Bagaspun memutuskan untuk turun ke corner, toko serba ada milik fakultas yang menjual berbagai barang keperluan mahasiswa untuk membeli sekedar minuman. Saat dia bangkit dari kursi, sebuah lengan menggenggam tangannya.
“Mau ke mana, Gas?” Ah... dia Husein, salah satu teman satu angkatan Bagas yang agak “unik”, sehingga membuatnya tidak begitu disukai oleh beberapa anak.
“Corner. Mau ikut?” tawar Bagas. Dia mengangguk cepat.
Toko itu terletak di bagian tengah bangunan fakultas yang didesain sebagai ruang terbuka. Praktis, air hujan yang deras mendera masuk. Satu-satunya akses jalan tanpa mengambil resiko basah hanyalah setapak jalan yang ditudungi oleh kanopi menuju gedung kegiatan mahasiswa.
Setelah memberi sebotol teh, Bagas menunggu Husein di pelataran depan toko yang berhias taman kecil dengan bunga dandelion. Hujan dengan kasar menampar kelopak-kelopak rapuhnya. Sekilas, aroma hujan menyelinap masuk ke penciumannya.
Hujan sudah turun... apakah sekarang kamu merasa sedih?
Sebuah suara berkelebat di gendang telinga Bagas. Ah, tidak. Suara itu ada dalam ingatannya. Pertanyaan sederhana yang dibisikkan pada telinganya.
Bagas meraba dada kirinya. Tidak ada perubahan dalam degup jantung. Hujan sudah tidak lagi membawa rasa sedih pada dirinya. Hujan sudah kehilangan maknanya. Menyadari itu, Bagas tersenyum.
Kurasa ini artinya aku telah menemukan kenyataan dalam kepalsuan ini...., pikir Bagas. Saat itu, Husein keluar, dan mereka berduapun berjalan kembali ke kelas.
Bagas telah berniat untuk menghapus garis batas yang ia tarik beberapa tahun lalu, agar dia bisa hidup dalam kombinasi kebenaran dan kepalsuan. Toh, sejak awal, garis itu memang digambar tanpa melakukan pertimbangan matang; sekedar bias emosi sesaat. Ketika niat itu telah ia matangkan, matanya jatuh tertumbuk pada sepasang mata bulat jernih dengan rambut bergelombang yang mengkilat.
Pertemuan mereka terjadi secara klisa di sebuah kios fotokopi belakang perpustakaan kampus. Perempuan itu
mengenakan kaos polo berwarna putih yang menonjolkan garis langsing tubuhnya. Gayanya masih kasual seperti saat dia masih aktif sebagai anggota pemandu sorak tim basket dulu. Sementara Bagas, dia sudah banyak berubah. Semua gara-gara perempuan itu.
“Mbak...lama gak ketemu...” sapa Bagas memulai percakapan.
“Iya ya. Sejak mbak lulus, kita udah gak pernah kontak lagi. Kamu gimana kabarnya...?”
Percakapan pembuka yang sewajarnya. Lalu, seakan didorong oleh sesuatu di masa lalu, Bagas mengajak perempuan itu ke Kafe kesukaannya, Kafe Di Atas Langit. Perempuan itupun mengiyakan.
Seringkali kita terjebak pada pusaran waktu di saat yang paling menjengkelkan. Saat mereka sampai di depan Kafe, langit mulai mendung. Setelah memesan minuman masing-masing, keduanya saling hening. Bagas tidak tahu harus mulai dengan pembicaraan macam apa. Mendadak, seluruh topeng yang biasa ia pasang terlepas dan jatuh. Dalam keterbukaan itu, lidahnya kelu. Saat itulah, Bagas berharap hujan segera turun, agar setidaknya tetes-tetes air mata langit itu sanggup mengikat pertemuan itu kembali dalam cerita masa lalu.
Hujan mulai turun dengan lembut. Bagas dan perempuan itu berada di lantai dua, duduk di meja yang dekat dengan beranda sehingga memungkinkan mereka berdua menyaksikan deraan hujan. Bagas dengan sabar menanti pertanyaan lama itu kembali terucap dari bibir basah gadis rupawan di depannya.
Akan tetapi, setelah lama menanti, perempuan itu kembali menanyakan pertanyaan-pertanyaan datar. Pertanyaan-pertanyaan yang diciptakan oleh kesopanan dan situasi canggung antara dua orang. Mau tidak mau, pemuda itupun mengikuti aliran pembicaraan, hingga akhirnya hujan reda, dan mereka berdua berpisah kembali.
Pada akhirnya, tidak terjadi apapun.
Bagas tidak marah atau kecewa pada perempuan itu. Sebaliknya, apa yang dia lakukan benar-benar wajar dan bisa dimengerti. Bagas memilih untuk melupakan semua percakapan mereka sore itu, dan kembali menarik garis antara kepalsuan dan kebenaran, di tempat yang dia suka.