“Mas Roni!” ucap seorang pelayan yang menyambut gue didepan pintu sebuah café langganan gue
"Tumben nih baru keliatan"
Gue menoleh dan langsung tersenyum simpul kepadanya.
“eh iya nih mas, maklum kan lo tau gue kuliah diluar kota”
“hahahaha iya mas, kebetulan tempat yang biasa lo dudukin kosong tuh”
“okee, kayak biasa ya mas” ucap gue
Beberapa saat kemudian, gue sudah melangkahkan kaki gue menuju tempat favorit di café ini. Semenjak kasus perkenalan gue dengan seorang laki-laki bernama brian, gue pun mulai terlihat posesif terhadap dina. Gue seperti mempunyai rasa ketakutan terhadap laki-laki ini. Gue takut bahwa dia akan menghancurkan hubungan gue bersama dina.
Sejujurnya, rencana gue untuk pulang ke Jakarta adalah rencana yang terbilang cukup gila dikarenakan senin depan kampus gue akan mengadakan ujian akhir semester. Namun, karena rasa takut gue kepada hubungan gue lebih besar dibanding rasa takut gue terhadap ujian, gue memutuskan unutk kembali ke Jakarta.
Gue mengaduk-ngaduk minuman gue menggunakan sendok kecil yang tersedia dan berusaha untuk mengamati pemandangan café ini dengan tatapan yang kosong. Sesekali gue memperhatikan jam yang berada di tangan kiri gue dan mencoba membakar rokok gue dengan perlahan.
Jam di tangan kiri gue pun masih menunjukkan pukul lima tepat. Itu berarti gue masih mempunyai waktu tiga jam lagi sebelum dina pulang kuliah. Tak terasa, dua gelas kopi panas pun telah gue habiskan dan gue bersiap untuk segera menejmput dina.
Setelah sampai di depan kampusnya, gue pun langsung menelfon dina untuk memberi kabar bahwa gue sedang berada di kampus dina.
“halo, kamu dimana?”
“aku baru selesai kelas, sekarang lagi makan di deket kampus, kenapaa?”
“makan dimana?aku di parkiran kampus loh lagi nungguin kamu”
“lah kamu jadi pulang?bukannya kamu nggajadi pulang katanya senin ujian?”
“ jadii, kamu dimana?aku nyusul ya”
“yaudah nanti aku shareloct ya, daah!”
Telefon pun dimatikan oleh dina dan gue bersiap-siap untuk menuju tempat dina berada. Setelah dina mengirimkan lokasi tempat dia berada, gue pun langsung memacu mobil gue menuju tempat tujuan. Sepuluh menit berada di jalan, gue pun langsung memarkirkan kendaraan gue dan masuk ke suatu tempat makanan di dekat kampus ini.
Gue mendapati olla dan clara yang sedang asyik mengobrol di suatu meja makan di dekat pojok tempat ini tanpa adanya dina. Perlahan-lahan gue pun melangkahkan kaki gue untuk mendekati mereka dan menanyakan keberadaan dina.
“hai clar, la. Dina dimana ya?”
Spontan, mereka berdua pun cukup kaget dengan kehadiran gue yang berada tepat didepan mereka berdua.
“tadi ke minimarket dideket sini ron mau beli eskrim katanya” ucap clara tiba-tiba
“oh sendirian?udah lama dia belinya?”
“lumayan sih, cuman lo tunggu disini aja paling bentar lagi dateng ron”
Hampir limabelas menit gue menunggu, sosok yang gue tunggu pun akhirnya datang. Namun, ada sedikit perbedaan pada saat kedatangannya kali ini,yaitu ada seseorang lelaki yang cukup gue kenal tepat berada di sebelahnya, yaitu brian.
Tanpa menunggu lama, gue pun langsung menghampiri mereka berdua yang masih berada di dekat pintu masuk. Fikiran gue kacau. Gue hanya bisa berdiri mematung tepat berada di depan mereka berdua. Dina dan brian yang melihat gue tepat berada di depan mereka pun hanya bisa terdiam tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Tanpa sadar, kepalan tangan gue pun sudah berada di pipi brian dan membuat dia kehilangan keseimbangannya. Dengan satu gerekan cepat gue mulai memukul rahang kiri brian dengan nafas yang memburu. Kemudian, gue mencoba menarik kerah baju yang ia kenakan dan terus memukulnya sampai ia terjatuh. Brian pun tidak diam, dia mencoba menahan pukulan-pukulan gue dan mencoba untuk menyerang diri gue.
Seketika, para pelayan tempat ini pun mulai menghampiri kami dan mencoba untuk memisahkan kami. Gue yang masih tersulut dengan emosi pun masih terus menyerang brian dengan membabibuta. Setelah hampir lima orang pelayan yang mencoba untuk memisahkan kami, gue pun ditarik keluar oleh para pelayan dan langsung dibawa oleh mereka menuju parkiran tempat ini.
“kalo mau ribut jangan disini mas”
Perlahan-lahan, emosi gue pun mulai mereda dan gue mencoba mengangguk setiap pertanyaan yang mereka lontarkan. Kemudian, gue mencoba merogoh saku gue untuk mencari rokok gue demi menenangkan diri gue dari emosi yang melanda gue.
Gue tau posisi gue disini salah, namun emosi gue lah yang membuat diri gue seperti ini. Jujur, gue juga sama sekali tidak memikirkan akibat dari perbuatan yang gue lakukan saat ini. Yang ada di pikiran gue hanyalah gue sangat cemburu melihat dina yang sedang jalan berdua bersama brian.
Beberapa saat kemudian, para pelayan yang melerai gue pun mulai kembali ke tempat makan untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Setelah emosi gue yang mulai mereda, gue memutuskan menuju mobil gue untuk sekedar bersantai dan merenung tentang perlakuan yang baru saja gue perbuat tadi.
Tiba-tiba, handphone gue pun berbunyi tanda panggilan masuk. Lalu gue mencoba untuk merogoh handphone gue dan melihat nama dina yang sedang menelfon gue.
“kamu dimana?”
“aku di parkiran, kenapa?” tanya gue
“aku kesana sekarang!”
Tanpa menunggu lama, sosok dina pun sudah berada di depan gue.
“kamu kenapa sih?”
Gue hanya bisa terdiam dan terus menghisap rokok yang gue bakar sedaritadi.
“kamu tuh kenapa? Jawab!”
“maksud kamu?” tanya gue
“ya kamu ngapain mukul brian? Kamu ngapain sih bikin ribut aja di tempat umum kayak gini?”
Gue menatap wajahnya,mencoba untuk mencari suatu alasan yang tepat untuk gue katakan.
“ya aku cemburu, aku rela-relain pulang tapi pas ketemu kamu malah aku liat kamu sama cowok lain”
PLAAK!
Sebuah tamparan yang sangat keras pun mulai menghujam pipi kiri gue.
“kamu tuh bego apa gimana sih?” ucapnya dengan nada yang mulai meninggi
“jelas-jelas aku cuman minta temenin beli eskrim”
Gue tersenyum miring sambil kebingungan dengan perlakuan dina terhadap gue kali ini.
“kenapa harus sama brian?”
“ya kamu mikir lah, posisi udah malem gini. Cowok yang ada diantara aku ya cuman brian, masa aku minta temenin clara sama olla?”
“udahlah terserah kamu aja, aku bingung sama sifat kamu sekarang yang posesif”
Gue masih terdiam dan hanya bisa menatap raut wajah dina yang mulai memerah. Air matanya pun mulai mengucur di pipinya yang membuat matanya sedikit kemerah-merahan.
“mending kita putus aja, aku ngga kuat kalo kamu posesif gini sama emosian kayak tadi. Aku ngga nyangka kalo roni yang selama ini aku kenal ternyata kayak gini”
Perlahan-lahan dina pun mulai meninggalkan gue yang masih hanya bisa terdiam akibat perlakuan yang telah gue perbuat. Ketika punggung dina sudah berjalan menjauhi gue, gue akhirnya mencoba membuka suara.
“terus menurut kamu aku harus gimana din ngeliat kamu berdua sama brian kayak gitu?”
Belum sempat dina menjawab, gue mencoba melanjutkan omongan gue.
“aku rela-rela pulang dari bandung cuman buat liatin kamu jalan berdua sama brian?”
PLAK!
Tiba-tiba, dina kembali menghampiri gue dan langsung menampar gue dengan sangat keras kembali.
“kamu tuh bego ya? Udah jelas juga aku jelasin semuanya tadi. Sebenernya mau kamu tuh apa sih?”
“Jangan egois, ron. Tanpa kamu kasih tau pun aku ngerti aku harus gimana. Jangan cuman pikirin diri kamu sendiri, pikirin juga orang lain. Kalo kamu cemburu dengan perlakuan aku tadi sama dia ya ngomong baik-baik, bukan pake cara itu.”
“udah ya. Kita putus. Aku nggamau ngeliat kamu lagi. Jujur aku kecewa ngeliat kamu yang emosian tadi, aku kira kamu dewasa nyatanya kamu masih kayak anak sma yang dikit-dikit pake kekerasan. Terserah kamu sekarang mau kamu gimana, tapi aku cuman minta kita putus.”
“kamu sayang aku kan?” Ucapnya lagi.
Gue mendengus pelan. Sorot matanya membuat gue kali ini tidak bisa menjawab apa-apa. Gue mencoba mengambil nafas gue perlahan dan membuangnya.
“iya” ucap gue dengan nada yang mulai bergetar.
“yaudah kamu harus terima konsekuensi yang kamu perbuat hari ini. Tinggain aku, lupain aku. Aku nggamau liat kamu lagi sekarang.”
“bukannya aku belain brian, tapi perlakuan kamu yang bikin aku benci sama kamu.”
“aku sayang sama kamu din, aku cuman sayang sama kamu makanya aku ngelakuin hal-hal itu”
Tangisan dina pun mulai kencang dan gue hanya bisa berdiri mematung melihat keberadaan dina sekarang. Spontan, gue mencoba mendekati dirinya dan emmluknya dengan erat.
“kamu sayang sama aku kan?”
“mulai sekarang, kamu gausah ada dikehidupan aku lagi. Aku minta itu” ucapnya lagi dengan lirih
Seketika, dina pun mulai meninggalkan gue yang masih berdiri mematung dan hanya bisa melihat punggungnya yang perlahan-lahan mulai menjauh.
Dengan langkah yang sangat berat, gue mencoba membuka pintu mobil gue dan mulai melajukan mobil gue tanpa tujuan. Gue termenung, memikirkan kejadian-kejadian yang baru saja gue lewati ditemani oleh asap-asap rokok yang sedaritadi gue bakar tanpa gue hisap sama sekali.
Tanpa tersadar, air mata gue pun perlahan mulai turun kearah pipi gue. Perasaan menyesal pun langsung menghapiri gue dan gue hanya bisa terdiam sambil menatap homescreen handphone gue yang memperlihatkan foto gue bersama dina yang sedang tertawa layaknya pasangan kekasih yang sangat bahagia di sebuah pantai di kota ini.
Now do I have to fall asleep with roses in my hand?
Do I have to fall asleep with roses in my hand?
Do I have to fall asleep with roses in my hand?
Do I have to fall asleep with roses in my, roses in my hand?
would you get them if I did?
No you won't, 'cause you're gone, gone, gone, gone, gone....