- Beranda
- Stories from the Heart
Si Macan Kampus
...
TS
simacankampus
Si Macan Kampus
MEMOAR SI MACAN KAMPUS
Prolog
Sebelum saya jadi jurnalis, sebelum saya jadi stand-up comedian, saya adalah seorang macan kampus. Saya mau berbagi cerita soal pengalaman saya selama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ’97 hingga dijuluki Macan Kampus. Tapi untuk sampai di cerita bagaimana saya mendapat julukan itu di kampus, saya mau cerita dulu masa masih berseragam putih abu-abu. Masa ketika masih jadi remaja tanggung dengan hormon yang bergejolak.
---
Daftar Isi (Biar Kaya Buku. Hehehehe)
Prolog - Memoar Si Macan Kampus
( Part 2 ) - Bimbel Oh Bimbel
( Part 3 ) - Mau Jadi Musisi
( Part 4 ) - Cinta Monyet
( Part 5 ) - Kanuragan
( Part 6 ) - Karma
( Part 7 ) - Rumah Singgah
( Part 8 ) - LULUS!
---
Mari kita kembali ke pertengahan tahun ’90.
Waktu itu saya adalah salah seorang murid di SMAN 3 Bogor. Berat badan saya masih 55 kg. Dengan tinggi badan 177 cm, jadinya terlihat kurus dan agak memprihatinkan. Kalau kamu melihat foto saya waktu kelas 2 SMA, itu lebih memprihatinkan lagi. Rambut cepak membuat saya terlihat lebih tak menarik. Malah, kalau saya melihat foto saya waktu kelas 1 dan pertengahan kelas 2 SMA, itu terlihat tua sekali. Seorang kawan, ketika melihat foto itu, mengatakan saya seperti Benjamin Button. Itu loh, film yang diperankan oleh Brad Pitt. Bukan, bukan maksudnya saya ketika SMA terlihat seperti Brad Pitt, tapi di film itu diceritakan si Benjamin Button yang siklus hidupnya bukan dari bayi lalu menjadi tua, tapi malah sebaliknya.
Lebih dari satu tahun, saya berambut cepak. Semua karena saya jadi anggota Korps Taruna SMAN 3 Bogor, sebuah organisasi ekstra kurikuler pasukan pengibar bendera. Saya bergabung bukan karena sukarela, tapi karena “dijebloskan” ke sana. Saya tak tahu seperti apa prosesnya sekarang, yang jelas, di jaman saya dan beberapa angkatan sebelumnya, semua anggota Korps Taruna dimasukan ke dalam dua kelas khusus, setelah melewati proses seleksi berdasarkan tinggi badan dan wawancara (dilakukan ketika kami daftar ulang ke SMA) yang bahkan saya awalnya tak sadar itu untuk keperluan penerimaan ekstra kurikuler di sekolah. Alasannya: supaya kalau mau mengikuti lomba baris berbaris dan harus meninggalkan ruang kelas, mudah ijinnya, karena satu kelas. Pada prakteknya, tak semua yang dijebloskan ke sana, mau ikut latihan baris berbaris.
Tahun 1994, saya diterima di SMAN 3 Bogor dan masuk sebagai angkatan VII di Korps Taruna SMAN 3 Bogor. Kelas I-8 dan kelas I-4 adalah dua kelas Taruna angkatan kami. Hampir semuanya tingginya di atas 170 cm, kecuali seorang teman kami, Achmad Hadiyatul Munawar alias Awank, yang tingginya di bawah 170 cm. Hingga sekarang, kami tak tahu kenapa dia bisa masuk kelas kami. Entah petugas administrasi salah memasukkan dia, entah karena dia dianggap punya potensi. Meskipun hingga lulus, kami tak tahu potensi dia apa, selain punya rumah yang besar di daerah Cigombong, Sukabumi, dan sering kami jadikan tempat kumpul hingga menginap. Selain rumahnya paling besar di antara kami, setiap menginap di sana, kami selalu dijamu.
Oke, mumpung sedang membahas Korps Taruna, saya mau cerita sedikit pengalaman ketika aktif jadi paskibra.
Saya tak tahu seperti apa kegiatan paskibra di sekolah lain, yang jelas Korps Taruna SMAN 3 Bogor, kegiatannya setiap Minggu pagi selalu latihan baris berbaris. Maka, ini membuat saya tak pernah libur di rumah begitu masuk SMA. Kalau dipikir-pikir sekarang sih, kenapa saya dulu mau ya, disuruh baris di bawah sinar matahari, latihan fisik macam push up, scot jump, lari, dan lain-lain padahal saya juga bisa mengelak datang, toh ada beberapa teman kami yang tak ikut latihan dan baik-baik saja di kelas.
Panas terik hujan deras kami tetap berlatih. Dan hebatnya badan di usia belasan, sepertinya daya tahan tubuh sedang bagus-bagusnya. Tak ada itu yang namanya pilek setelah hujan-hujanan. Tak pernah masuk angin. Tak ada flu. Badan boleh saja cungkring 55 kg, tapi sungguh tahan banting.
Oya, sebelum resmi menjadi anggota Korps Taruna, kami harus mengikuti kegiatan pelantikan berupa kemping di kawasan perkebunan teh di Gunung Mas, Puncak, Bogor. Udaranya kurang ajar sungguh menusuk tulang ketika malam hari. Dan kami tak diberi kesempatan memakai jaket. Ketika jurit malam (kegiatan jalan-jalan di malam hari terus mengikuti jalur yang disediakan untuk bertemu dengan pos-pos yang disediakan), kami bertemu sekelompok anggota silat Cimande yang sedang ujian kenaikan tingkat. Melihat mereka, saya jadi merasa kegiatan pelantikan kami tak ada apa-apanya. Kami hanya disuruh push up dan semacamnya yang sering kami lakukan setiap Minggu, paling seram juga dibentak senior. Tapi anak-anak silat Cimande, tak hanya dibentak, tapi juga ditendang dan dipukul. Tanpa pandang usia. Saya melihat anak kecil, mungkin masih SD, sekujur badannya ditendang seniornya. Meskipun anak itu meringis kesakitan, kegiatan itu tetap saja dilakukan. Mungkin sekarang, anak kecil itu sudah sakti mandraguna.
Saya tak tahu, apakah sekarang Korps Taruna SMAN 3 Bogor masih menjalankan prosesi pelantikan seperti kami dulu. Dan saya juga tak tahu apakah sekarang masih ditempatkan di dua kelas khusus. Serta saya juga tak tahu apakah para seniornya masih memberikan doktrin kuat pada anggotanya. Maklum, dulu kami merasa bahwa kami adalah paskibra paling bagus se-Bogor.
“Satu-satunya paskibra yang dimasukan di kelas khusus, ya kita.”
“Kalian ini siswa pilihan. Siswa terbaik di SMA 3.”
“Korps Taruna adalah paskibra yang disegani di Bogor.”
Nyatanya, ketika kami ikut lomba baris berbaris antar SMA se Kota Bogor, kami tak juara. Bahkan masuk 3 besar pun tidak.
Selain jadi anggota paskibra, saya juga ikut ekstra kurikuler silat. Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong [PPS BETAKO] Merpati Putih, sebuah perguruan silat dari Yogyakarta. Merpati Putih adalah bentuk pendek dari Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, yang artinya mencari sampai mendapat, tindakan yang benar dalam ketenangan. Bukan hanya gerakan beladiri yang dipelajari di Merpati Putih (selanjutnya kita singkat saja menjadi MP), tapi juga ilmu pernafasan.
Nah, makanya, selama SMA, kehidupan saya tak dilepaskan dari dua hal itu. Kelas satu latihan baris dan silat, kelas 2 melatih baris dan silat ditambah nongkrong, kelas 3 latihan silat dan nongkrong. Lalu, pertanyaannya: kapan belajarnya? Haha.
Eh iya, dari tadi cerita soal ekskulnya, tapi belum cerita seperti apa sekolahnya.
SMAN 3 Bogor beralamat di Jalan Pakuan No 4, Bogor. Buat yang pernah ke Bogor, dari gerbang tol Jagorawi yang di Bogor, belok kiri maka kira-kira 400 meter kamu akan menemukan SMA 3. Angkutan kota yang melintas di depan SMA 3 adalah angkot 06. Makanya kalau corat coret di dinding, sering ditulis 3 BGR 406, atau Fuckone 406, alias Jalan Pakuan No. 4, naek 06. Waktu saya masih kelas 1, lapangan upacara kami hanyalah berupa lapangan berbatu kerikil yang ukurannya tak terlalu luas, karena di antara bangunan sekolah yang berbentuk kotak, ada dua kelas melintang di tengah. Bangunan kelas itu akhirnya diruntuhkan ketika saya kelas 2, sehingga kami punya lapangan basket yang bagus, sekaligus jadi lapangan upacara.
Sekarang, di dekat SMA 3, tepatnya di Jl. Pajajaran, sudah banyak gedung pertokoan. Dulu, hanya ada beberapa bengkel mobil, dan gedung yang sekarang jadi pertokoan, adalah semak-semak di tanah kosong. Dulu, bangunan paling besar selain sekolah kami adalah Mesjid Raya. SMAN 3 Bogor adalah salah satu SMA bergengsi ketika saya masuk, dan sepertinya sih masih begitu hingga kini. Walau begitu, angkatan sebelumnya, murid SMA 3 terkenal beringas. Sering terjadi perkelahian antar kelas, bahkan hingga saling tusuk. Kalau tawuran, murid SMA 3 Bogor biasanya melawan STM. Ketika saya baru masuk, cerita yang entah mitos atau fakta itu, sering didengungkan oleh senior. Cerita yang sangat sesuai segmen remaja yang masih penuh gejolak. Ada semacam kebanggaan semu bahwa murid SMA 3 Bogor, terkenal pemberani.
Tahun ’90-an sering sekali terjadi tawuran antar pelajar. Setiap hari, berita di televisi tak pernah luput dari berita soal tawuran pelajar, khususnya di ibukota. Pelajar saling lempar batu, kejar-kejaran di jalanan sambil memutar-mutar sabuk yang ujungnya dipasangi gir sepeda yang sudah diasah jadi tajam. Sekarang, sudah jarang berita pelajar tawuran. Entah karena pelajarnya sudah banyak sarana menyalurkan gejolak kawula muda nya, atau karena sekarang yang tawuran adalah lebih banyak orang dewasa.
Sepanjang saya sekolah, baru mengalami 2 kali kejadian yang mungkin bisa dikategorikan tawuran. Pertama, ketika satu hari, ada sekelompok pelajar menghampiri area sekolah kami dan saya juga kurang ingat bagaimana detinya, yang jelas, tiba-tiba saya diajak teman-teman untuk melawan anak STM yang cari gara-gara. Tak ada aksi lempar batu, untungnya. Hanya ada aksi baku hantam tangan kosong, dan saya sendiri karena refleks melihat bambu panjang yang tergeletak di jalanan, langsung saya gunakan untuk menakut-nakuti musuh pelajar dari sekolah lain. Latihan silat dua kali seminggu, tapi ketika terjadi tawuran, saya malah terlalu pengecut untuk menggunakan keahlian yang dilatih itu. Kejadian kedua adalah ketika corat-coret dalam rangka merayakan kelulusan. Dari pagi hingga siang, pelajar dari sekolah tetangga, yaitu SMA PGRI 1 Bogor, aman-aman saja ketika melintas di depan sekolah kami. Tapi selepas jam 1, tiba-tiba ada yang mengomandoi kami bahwa pelajar SMA PGRI 1 Bogor menyerang kami, sehingga kami harus menyerang ke sekolah mereka dan menghadang semua pelajar dari sekolah itu yang melintas. Kalau dipikir dengan kepala dingin dan tak mudah terpancing emosi, mungkin saja kejadian itu hanya bohong, kemungkinan besar ada yang menyebarkan kebohongan supaya kami emosi dan ikut tawuran terakhir sebelum lulus. Saya rasa, yang begini ini sering terjadi. Bukan hanya dalam konteks tawuran pelajar, tapi juga di kehidupan sekarang. Banyak orang yang mudah terpancing emosi atas sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Di sub judul berikutnya, saya akan cerita seperti apa masa sekolah saya. Kalau begini, saya menyesal dulu ketika SMA tak menulis buku harian. Coba dulu saya menuliskan setiap hari yang saya jalani, pasti sekarang saya tak kesulitan mengingat kejadian apa saja yang menarik selama masa remaja. Tapi, ya saya juga tak akan menyangka kalau ternyata kehidupan saya akan ada yang mau membaca dan menerbitkannya ke dalam buku. Maklum, saya bukan tipe orang yang penuh perencanaan. Bukan orang yang sudah tahu apa yang mau dilakukan di masa depan. Bukan tipe orang yang berpikir jauh ke depan. Saya ini tipe orang yang lebih mementingkan hari ini. Menikmati yang sedang dijalani. Memang, kalau kata motivator sih, pandangan hidup “gimana nanti” ini bukan pandangan hidup yang ideal. Harusnya kan, “Nanti gimana?” tapi saya tak mau hidup terlalu menguatirkan yang belum terjadi. Meskipun kata Utha Likumahuwa, esok kan masih ada, kata saya mah, esok belum tentu ada. Jadi, ya nikmati saja hari ini.
Ah sial. Kenapa saya malah jadi seperti motivator begini, ya?
Prolog
Sebelum saya jadi jurnalis, sebelum saya jadi stand-up comedian, saya adalah seorang macan kampus. Saya mau berbagi cerita soal pengalaman saya selama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ’97 hingga dijuluki Macan Kampus. Tapi untuk sampai di cerita bagaimana saya mendapat julukan itu di kampus, saya mau cerita dulu masa masih berseragam putih abu-abu. Masa ketika masih jadi remaja tanggung dengan hormon yang bergejolak.
---
Daftar Isi (Biar Kaya Buku. Hehehehe)
Prolog - Memoar Si Macan Kampus
( Part 2 ) - Bimbel Oh Bimbel
( Part 3 ) - Mau Jadi Musisi
( Part 4 ) - Cinta Monyet
( Part 5 ) - Kanuragan
( Part 6 ) - Karma
( Part 7 ) - Rumah Singgah
( Part 8 ) - LULUS!
---
Mari kita kembali ke pertengahan tahun ’90.
Waktu itu saya adalah salah seorang murid di SMAN 3 Bogor. Berat badan saya masih 55 kg. Dengan tinggi badan 177 cm, jadinya terlihat kurus dan agak memprihatinkan. Kalau kamu melihat foto saya waktu kelas 2 SMA, itu lebih memprihatinkan lagi. Rambut cepak membuat saya terlihat lebih tak menarik. Malah, kalau saya melihat foto saya waktu kelas 1 dan pertengahan kelas 2 SMA, itu terlihat tua sekali. Seorang kawan, ketika melihat foto itu, mengatakan saya seperti Benjamin Button. Itu loh, film yang diperankan oleh Brad Pitt. Bukan, bukan maksudnya saya ketika SMA terlihat seperti Brad Pitt, tapi di film itu diceritakan si Benjamin Button yang siklus hidupnya bukan dari bayi lalu menjadi tua, tapi malah sebaliknya.
Lebih dari satu tahun, saya berambut cepak. Semua karena saya jadi anggota Korps Taruna SMAN 3 Bogor, sebuah organisasi ekstra kurikuler pasukan pengibar bendera. Saya bergabung bukan karena sukarela, tapi karena “dijebloskan” ke sana. Saya tak tahu seperti apa prosesnya sekarang, yang jelas, di jaman saya dan beberapa angkatan sebelumnya, semua anggota Korps Taruna dimasukan ke dalam dua kelas khusus, setelah melewati proses seleksi berdasarkan tinggi badan dan wawancara (dilakukan ketika kami daftar ulang ke SMA) yang bahkan saya awalnya tak sadar itu untuk keperluan penerimaan ekstra kurikuler di sekolah. Alasannya: supaya kalau mau mengikuti lomba baris berbaris dan harus meninggalkan ruang kelas, mudah ijinnya, karena satu kelas. Pada prakteknya, tak semua yang dijebloskan ke sana, mau ikut latihan baris berbaris.
Tahun 1994, saya diterima di SMAN 3 Bogor dan masuk sebagai angkatan VII di Korps Taruna SMAN 3 Bogor. Kelas I-8 dan kelas I-4 adalah dua kelas Taruna angkatan kami. Hampir semuanya tingginya di atas 170 cm, kecuali seorang teman kami, Achmad Hadiyatul Munawar alias Awank, yang tingginya di bawah 170 cm. Hingga sekarang, kami tak tahu kenapa dia bisa masuk kelas kami. Entah petugas administrasi salah memasukkan dia, entah karena dia dianggap punya potensi. Meskipun hingga lulus, kami tak tahu potensi dia apa, selain punya rumah yang besar di daerah Cigombong, Sukabumi, dan sering kami jadikan tempat kumpul hingga menginap. Selain rumahnya paling besar di antara kami, setiap menginap di sana, kami selalu dijamu.
Oke, mumpung sedang membahas Korps Taruna, saya mau cerita sedikit pengalaman ketika aktif jadi paskibra.
Saya tak tahu seperti apa kegiatan paskibra di sekolah lain, yang jelas Korps Taruna SMAN 3 Bogor, kegiatannya setiap Minggu pagi selalu latihan baris berbaris. Maka, ini membuat saya tak pernah libur di rumah begitu masuk SMA. Kalau dipikir-pikir sekarang sih, kenapa saya dulu mau ya, disuruh baris di bawah sinar matahari, latihan fisik macam push up, scot jump, lari, dan lain-lain padahal saya juga bisa mengelak datang, toh ada beberapa teman kami yang tak ikut latihan dan baik-baik saja di kelas.
Panas terik hujan deras kami tetap berlatih. Dan hebatnya badan di usia belasan, sepertinya daya tahan tubuh sedang bagus-bagusnya. Tak ada itu yang namanya pilek setelah hujan-hujanan. Tak pernah masuk angin. Tak ada flu. Badan boleh saja cungkring 55 kg, tapi sungguh tahan banting.
Oya, sebelum resmi menjadi anggota Korps Taruna, kami harus mengikuti kegiatan pelantikan berupa kemping di kawasan perkebunan teh di Gunung Mas, Puncak, Bogor. Udaranya kurang ajar sungguh menusuk tulang ketika malam hari. Dan kami tak diberi kesempatan memakai jaket. Ketika jurit malam (kegiatan jalan-jalan di malam hari terus mengikuti jalur yang disediakan untuk bertemu dengan pos-pos yang disediakan), kami bertemu sekelompok anggota silat Cimande yang sedang ujian kenaikan tingkat. Melihat mereka, saya jadi merasa kegiatan pelantikan kami tak ada apa-apanya. Kami hanya disuruh push up dan semacamnya yang sering kami lakukan setiap Minggu, paling seram juga dibentak senior. Tapi anak-anak silat Cimande, tak hanya dibentak, tapi juga ditendang dan dipukul. Tanpa pandang usia. Saya melihat anak kecil, mungkin masih SD, sekujur badannya ditendang seniornya. Meskipun anak itu meringis kesakitan, kegiatan itu tetap saja dilakukan. Mungkin sekarang, anak kecil itu sudah sakti mandraguna.
Saya tak tahu, apakah sekarang Korps Taruna SMAN 3 Bogor masih menjalankan prosesi pelantikan seperti kami dulu. Dan saya juga tak tahu apakah sekarang masih ditempatkan di dua kelas khusus. Serta saya juga tak tahu apakah para seniornya masih memberikan doktrin kuat pada anggotanya. Maklum, dulu kami merasa bahwa kami adalah paskibra paling bagus se-Bogor.
“Satu-satunya paskibra yang dimasukan di kelas khusus, ya kita.”
“Kalian ini siswa pilihan. Siswa terbaik di SMA 3.”
“Korps Taruna adalah paskibra yang disegani di Bogor.”
Nyatanya, ketika kami ikut lomba baris berbaris antar SMA se Kota Bogor, kami tak juara. Bahkan masuk 3 besar pun tidak.
Selain jadi anggota paskibra, saya juga ikut ekstra kurikuler silat. Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong [PPS BETAKO] Merpati Putih, sebuah perguruan silat dari Yogyakarta. Merpati Putih adalah bentuk pendek dari Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, yang artinya mencari sampai mendapat, tindakan yang benar dalam ketenangan. Bukan hanya gerakan beladiri yang dipelajari di Merpati Putih (selanjutnya kita singkat saja menjadi MP), tapi juga ilmu pernafasan.
Nah, makanya, selama SMA, kehidupan saya tak dilepaskan dari dua hal itu. Kelas satu latihan baris dan silat, kelas 2 melatih baris dan silat ditambah nongkrong, kelas 3 latihan silat dan nongkrong. Lalu, pertanyaannya: kapan belajarnya? Haha.
Eh iya, dari tadi cerita soal ekskulnya, tapi belum cerita seperti apa sekolahnya.
SMAN 3 Bogor beralamat di Jalan Pakuan No 4, Bogor. Buat yang pernah ke Bogor, dari gerbang tol Jagorawi yang di Bogor, belok kiri maka kira-kira 400 meter kamu akan menemukan SMA 3. Angkutan kota yang melintas di depan SMA 3 adalah angkot 06. Makanya kalau corat coret di dinding, sering ditulis 3 BGR 406, atau Fuckone 406, alias Jalan Pakuan No. 4, naek 06. Waktu saya masih kelas 1, lapangan upacara kami hanyalah berupa lapangan berbatu kerikil yang ukurannya tak terlalu luas, karena di antara bangunan sekolah yang berbentuk kotak, ada dua kelas melintang di tengah. Bangunan kelas itu akhirnya diruntuhkan ketika saya kelas 2, sehingga kami punya lapangan basket yang bagus, sekaligus jadi lapangan upacara.
Sekarang, di dekat SMA 3, tepatnya di Jl. Pajajaran, sudah banyak gedung pertokoan. Dulu, hanya ada beberapa bengkel mobil, dan gedung yang sekarang jadi pertokoan, adalah semak-semak di tanah kosong. Dulu, bangunan paling besar selain sekolah kami adalah Mesjid Raya. SMAN 3 Bogor adalah salah satu SMA bergengsi ketika saya masuk, dan sepertinya sih masih begitu hingga kini. Walau begitu, angkatan sebelumnya, murid SMA 3 terkenal beringas. Sering terjadi perkelahian antar kelas, bahkan hingga saling tusuk. Kalau tawuran, murid SMA 3 Bogor biasanya melawan STM. Ketika saya baru masuk, cerita yang entah mitos atau fakta itu, sering didengungkan oleh senior. Cerita yang sangat sesuai segmen remaja yang masih penuh gejolak. Ada semacam kebanggaan semu bahwa murid SMA 3 Bogor, terkenal pemberani.
Tahun ’90-an sering sekali terjadi tawuran antar pelajar. Setiap hari, berita di televisi tak pernah luput dari berita soal tawuran pelajar, khususnya di ibukota. Pelajar saling lempar batu, kejar-kejaran di jalanan sambil memutar-mutar sabuk yang ujungnya dipasangi gir sepeda yang sudah diasah jadi tajam. Sekarang, sudah jarang berita pelajar tawuran. Entah karena pelajarnya sudah banyak sarana menyalurkan gejolak kawula muda nya, atau karena sekarang yang tawuran adalah lebih banyak orang dewasa.
Sepanjang saya sekolah, baru mengalami 2 kali kejadian yang mungkin bisa dikategorikan tawuran. Pertama, ketika satu hari, ada sekelompok pelajar menghampiri area sekolah kami dan saya juga kurang ingat bagaimana detinya, yang jelas, tiba-tiba saya diajak teman-teman untuk melawan anak STM yang cari gara-gara. Tak ada aksi lempar batu, untungnya. Hanya ada aksi baku hantam tangan kosong, dan saya sendiri karena refleks melihat bambu panjang yang tergeletak di jalanan, langsung saya gunakan untuk menakut-nakuti musuh pelajar dari sekolah lain. Latihan silat dua kali seminggu, tapi ketika terjadi tawuran, saya malah terlalu pengecut untuk menggunakan keahlian yang dilatih itu. Kejadian kedua adalah ketika corat-coret dalam rangka merayakan kelulusan. Dari pagi hingga siang, pelajar dari sekolah tetangga, yaitu SMA PGRI 1 Bogor, aman-aman saja ketika melintas di depan sekolah kami. Tapi selepas jam 1, tiba-tiba ada yang mengomandoi kami bahwa pelajar SMA PGRI 1 Bogor menyerang kami, sehingga kami harus menyerang ke sekolah mereka dan menghadang semua pelajar dari sekolah itu yang melintas. Kalau dipikir dengan kepala dingin dan tak mudah terpancing emosi, mungkin saja kejadian itu hanya bohong, kemungkinan besar ada yang menyebarkan kebohongan supaya kami emosi dan ikut tawuran terakhir sebelum lulus. Saya rasa, yang begini ini sering terjadi. Bukan hanya dalam konteks tawuran pelajar, tapi juga di kehidupan sekarang. Banyak orang yang mudah terpancing emosi atas sesuatu yang belum jelas kebenarannya.
Di sub judul berikutnya, saya akan cerita seperti apa masa sekolah saya. Kalau begini, saya menyesal dulu ketika SMA tak menulis buku harian. Coba dulu saya menuliskan setiap hari yang saya jalani, pasti sekarang saya tak kesulitan mengingat kejadian apa saja yang menarik selama masa remaja. Tapi, ya saya juga tak akan menyangka kalau ternyata kehidupan saya akan ada yang mau membaca dan menerbitkannya ke dalam buku. Maklum, saya bukan tipe orang yang penuh perencanaan. Bukan orang yang sudah tahu apa yang mau dilakukan di masa depan. Bukan tipe orang yang berpikir jauh ke depan. Saya ini tipe orang yang lebih mementingkan hari ini. Menikmati yang sedang dijalani. Memang, kalau kata motivator sih, pandangan hidup “gimana nanti” ini bukan pandangan hidup yang ideal. Harusnya kan, “Nanti gimana?” tapi saya tak mau hidup terlalu menguatirkan yang belum terjadi. Meskipun kata Utha Likumahuwa, esok kan masih ada, kata saya mah, esok belum tentu ada. Jadi, ya nikmati saja hari ini.
Ah sial. Kenapa saya malah jadi seperti motivator begini, ya?
Diubah oleh simacankampus 19-05-2017 15:54
anasabila memberi reputasi
1
9.4K
50
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
simacankampus
#37
Karma (Part 6)
Sementara sebagian dari kami mengejar universitas negeri atau kampus impian untuk melanjutkan kuliah, ada tiga orang teman kami yang ingin masuk AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Saya, memang pernah bercita-cita jadi tentara ketika kecil, tapi impian itu sirna dan pudar karena dua hal: ukuran minus kacamata saya terlalu besar, dan gara-gara tiga tahun jadi anggota paskibra membuat saya jadi tak tertarik lagi pada dunia militer. Semi militer saja sudah tak cocok buat saya, apalagi militer betulan.
Teman saya yang pertama, bernama Ivan Supriadi. Dia pernah jadi Ketua Korps Taruna SMA 3 Bogor. Tinggi badannya 180 cm—kalau saya tak salah. Peranakan Cina yang selalu cengengesan. Kulitnya yang putih bakal memerah kalau sudah berada di bawah terik matahari. Seperti udang rebus. Dia pernah pacaran dengan adik kelas yang imut-imut dan tingginya kira-kira 150 cm. Mungil lah. Jadi, merupakan suatu perpaduan yang kontras kalau Ivan dan pacarnya berdampingan. Kami memanggilnya Ephenk, karena kepalanya yang dianggap gepeng. Ada satu perempuan idaman Ephenk: adik kelas yang postur tubuhnya tinggi semampai, si murah senyum bernama Fitri Hayiti. Saya masih ingat namanya karena dia juga anggota Merpati Putih. Cinta Ephenk pada Fitri bertepuk sebelah tangan.
Teman saya yang kedua, Sigit Rianto. Sigit adalah teman sebangku saya ketika kelas 2. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, kocak dan penuh percaya diri. Pernah, satu kali, dia berkenalan dengan perempuan yang adik kelas, dia menyebut namanya dengan Roy. Saya dan Sigit sering kali tak mengerti pelajaran yang diterangkan oleh guru. Dan ketika itu terjadi, Sigit biasanya bercanda sambil memukul dahinya dan berkata, “Fuc*in head! Fuc*in brain!” sambil tertawa. Akhirnya, saya dan Sigit menamakan kami anggota Fuc*kin Brain Club alias anak-anak yang otaknya susah mencerna pelajaran. Belakangan, FBC bertambah anggota dan berkembang visinya bukan hanya terbatas dalam hal lemah di pelajaran, tapi juga lemah dalam hal percintaan.
Teman saya yang ketiga, Reidha Syahputra. Ketika saya jadi ketua kelas di 3 IPA 4, Reidha wakilnya. Rumahnya di kawasan Tajur, Bogor. Waktu Presiden Amerika Serikat Bill Clinton datang ke Bogor dalam rangka pertemuan para pemimpin APEC pada tahun 1994, dan para pelajar diminta berbaris di pinggir jalan sambil dadah dan mengibarkan bendera merah putih, saya menginap di rumah Reidha, bersama Aat dan Jeffri. Saya deg-degan karena malamnya kami menonton film biru. Jam 9 malam di ruang TV masih ada orang tua dan kakaknya Reidha. Saya tak sabar menunggu mereka ke kamar. Zaman sekarang mah, orang mau menonton film biru nan ilegal bisa dengan mudah melalui telepon genggam. Zaman dulu, repot sekali prosesnya. Kami pura-pura nonton video konser Bon Jovi, sampai akhirnya orang tua dan kakaknya bosan dan pergi ke kamar. Tak lama setelah masuk dan kami pikir keadaan aman, maka diputarlah film biru itu. Sebenarnya sih mencurigakan juga, karena tiba-tiba ruangan jadi sepi, kami tak saling berbicara, padahal sebelumnya nonton konser. Tapi kami tak mempedulikan keadaan yang mencurigakan itu. Meskipun akhirnya saya nonton film biru itu dua kali deg-degannya. Pertama karena melihat filmnya. Kedua karena takut tiba-tiba ada orang tua atau kakaknya keluar kamar dan menuju ruang TV. Besoknya, kami sudah berdiri di pinggir jalan di depan Terminal Baranangsiang Bogor sejak jam 7 pagi, untuk menanti kedatangan rombongan Bill Clinton yang ternyata baru tiba di Bogor jam 10.30 pagi. Kami menunggu sejak pagi demi menyambut Bill Clinton yang hanya terlihat beberapa detik.
Tes masuk Akabri terdiri dari rangkaian panjang. Sejak awal kelas 3, pendaftaran sudah dibuka. Ivan, Sigit, dan Reidha mendaftar dengan penuh semangat. Semua punya kepercayaan diri yang sama kalau bakal diterima. Saya tak ingat kapan pastinya, yang jelas, Sigit yang pertama gagal. Dalam salah satu tes, para pendaftar diperiksa kondisi fisiknya. Ada salah satu tes yang membuat peserta harus meniup tangannya sehingga terlihat apakah alat kelaminnya normal atau tidak. Yang jelas, di tes itu, Sigit gagal lolos karena berhubungan dengan buah zakarnya. Saya lupa, apakah jumlahnya yang kurang, ataukah bentuknya yang tak ideal. Saya juga tak tahu, apa hubungan antara kesempurnaan buah zakar dengan jadi tentara. Sigit menanggapi kegagalan ini dengan santai. Masih bisa tertawa ketika kami mengolok-olok buah zakarnya. Sementara Reidha, dia gagal di tes kesehatan. Hari di mana tes itu dilaksanakan, Reidha baru sadar bahwa dia menderita buta warna parsial. Reidha pulang dengan kecewa. Saya bisa melihat kekecewaan itu terpancar di matanya. Meskipun dia masih bisa cengengesan, tapi saya yakin dia sedih. Dia tak sehumoris Sigit ketika menerima kegagalan. Sedangkan Ivan, lolos terus hingga masuk Akabri dan sekarang menjadi anggota TNI Angkatan Udara.
Dua orang yang sering mengolok-olok Reidha adalah teman sekelas saya di 3 IPA 4: Yadhi Haryana, dan Dicky Rizaldi. Yadhi, teman sebangku saya. Bapaknya pejabat Polisi Militer di Bogor. Dia sehari-hari memakai mobil Toyota Kijang berwarna hijau tua, berplat nomor F 50 PM. Kalau naik mobil itu, saya merasa aman, tak akan ditilang polantas. Yadhi bangga sekali pada mobilnya yang sudah dimodifikasi sehingga ceper. Setiap melewati cermin atau ada kesempatan melihat pantulan mobilnya, Yadhi pasti selalu tersenyum dan berkata, “Bagus, ya?” Meskipun bapaknya pejabat PM, Yadhi tak pernah petantang-petenteng. Dia bukan tipikal anak tentara yang sok jagoan di sekolah. Yadhi selalu cengengesan. Tak suka kekerasan. Badannya yang tambun membuat dia terlihat lebih kocak. Sedangkan Dicky, tipe kutu buku yang hobinya belajar. Kadang, cara jalannya agak aneh: bergerak miring, bukan lurus. Saya dan Yadhi kemudian memanggilnya OA, alias Orang Aneh. Dan anehnya, Dicky juga memanggil kami OA. Akhirnya, kami bertiga termasuk OA teriak OA.
Yadhi sering tiba-tiba melakukan posisi hormat setiap Reidha datang.
“Hormat, grak!” kata Yadhi sambil terbahak.
“Akabri gagal,” lanjutnya.
Reidha tak bisa membalas apa-apa. Nyatanya memang dia gagal. Sedangkan Dicky, yang paling puas ketika mengetahui Reidha gagal masuk Akabri. Dia sering meledek Reidha dan mengungkit-ungkit buta warna parsialnya. Reidha tak bisa membalas apa-apa, karena nyatanya memang dia buta warna parsial. Untuk kali ini, saya lihat Reidha tak berkutik. Biasanya dia paling bisa membalikan omongan orang dan mengejeknya balik. Sepertinya memang benar, kekecewaan ada di dalam diri Reidha. Dia punya harapan besar untuk jadi tentara. Dan sepanjang kelas 3, Dicky sering sekali mengolok-olok soal buta warna parsial Reidha ini.
Dicky tak ingin jadi tentara. Dia ingin jadi dokter gigi. Maka, ketika UMPTN dia memilih Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung. Dicky anak yang pintar, saya yakin dia akan lolos. Dan benar saja, akhirnya dia lulus UMPTN dan diterima di Kedokteran Gigi Unpad. Wah, lumayan, saya pikir, saya bakal punya teman dokter gigi nanti. Kalau gitu, kan bisa murah bayarannya. Bukan apa-apa, dokter gigi adalah salah satu profesi yang menjanjikan kesejahteraan. Kamu pernah ke dokter gigi? Saya baru bisa dihitung dengan jari. Jaman SMA apalagi, saya belum pernah ke dokter gigi. Baru nanti ketika sudah kerja, saya ke dokter gigi.
Ruang praktek dokter gigi, bagi saya menyeramkan. Kalau kita sudah duduk di kursi periksa yang nyaman dan bisa naik turun itu, rasanya menegangkan sekali. Ada lampu terang yang menyinari kita dari atas, lalu dokter giginya akan memasukan alatnya ke dalam rongga mulut. Dan di sebelahnya, ada peralatan dokter gigi yang saya tak tahu apa saja itu yang jelas menyeramkan, seperti di film-film horror macam Saw.
Dicky bahagia sekali bisa lulus UMPTN. Terbayang di benaknya bahwa dia satu hari nanti akan jadi dokter gigi. Universitas Padjadjaran Bandung punya dua kampus utama: kampus Dipati Ukur yang ada Bandung dan kampus Jatinangor. Dulu, semua di Bandung, tapi seiring berkembangnya kampus, maka butuh gedung lebih banyak. Akhirnya, di kampus Dipati Ukur, tinggal Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi (setidaknya begitu ketika saya kuliah, tak tahu sekarang, ya). Kami semua mendaftar ulang di kampus Dipati Ukur. Dan ternyata, untuk Kedokteran Gigi, tes kesehatannya meliputi tes buta warna juga. Ya wajar sih, mungkin berhubungan dengan memeriksa obat atau gigi.
Dan ternyata, Dicky juga menderita buta warna parsial.
UMPTN lulus. Orangtuanya mampu membiayai dia kuliah di Kedokteran Gigi, tapi Dicky buta warna parsial. Sesuatu yang selama ini sering jadi bahan olok-olokan untuk Reidha. Raut wajahnya terlihat syok ketika saya bertemu dia usai daftar ulang. Dia tak menyangka bahwa dia juga menderita buta warna parsial. Selangkah lagi masuk Kedokteran Gigi, eh terjegal oleh kekurangan matanya. Mungkin selama ini dia mengira dia tak menderita buta warna parsial, karena merasa masih bisa melihat aneka ragam warna, dan dunia tidak monokrom di matanya. Makanya dia semangat sekali ketika mengolok-olok Reidha.
Akhirnya giliran Dicky yang tak bisa berkata apa-apa ketika kami olok-olok soal buta warna parsial. Mungkin di dalam hatinya, Dicky menyesal telah mengolok-olok buta warna parsialnya Reidha. Dicky akhirnya mendaftar ke Hubungan Internasional Universitas Parahyangan dan diterima. Selamat tinggal dokter gigi, selamat datang diplomat. Saat ini dia menjabat sebagai Wakil Duta Besar di salah satu negara di Eropa. Kalau suatu saat nanti dia jadi Duta Besar dan kamu teringat namanya, Dicky Rizaldi alumni Unpar Bandung, ingatlah selalu bahwa dia adalah salah satu bukti nyata bahwa karma itu ada, sodara-sodara.
Sementara sebagian dari kami mengejar universitas negeri atau kampus impian untuk melanjutkan kuliah, ada tiga orang teman kami yang ingin masuk AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Saya, memang pernah bercita-cita jadi tentara ketika kecil, tapi impian itu sirna dan pudar karena dua hal: ukuran minus kacamata saya terlalu besar, dan gara-gara tiga tahun jadi anggota paskibra membuat saya jadi tak tertarik lagi pada dunia militer. Semi militer saja sudah tak cocok buat saya, apalagi militer betulan.
Teman saya yang pertama, bernama Ivan Supriadi. Dia pernah jadi Ketua Korps Taruna SMA 3 Bogor. Tinggi badannya 180 cm—kalau saya tak salah. Peranakan Cina yang selalu cengengesan. Kulitnya yang putih bakal memerah kalau sudah berada di bawah terik matahari. Seperti udang rebus. Dia pernah pacaran dengan adik kelas yang imut-imut dan tingginya kira-kira 150 cm. Mungil lah. Jadi, merupakan suatu perpaduan yang kontras kalau Ivan dan pacarnya berdampingan. Kami memanggilnya Ephenk, karena kepalanya yang dianggap gepeng. Ada satu perempuan idaman Ephenk: adik kelas yang postur tubuhnya tinggi semampai, si murah senyum bernama Fitri Hayiti. Saya masih ingat namanya karena dia juga anggota Merpati Putih. Cinta Ephenk pada Fitri bertepuk sebelah tangan.
Teman saya yang kedua, Sigit Rianto. Sigit adalah teman sebangku saya ketika kelas 2. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, kocak dan penuh percaya diri. Pernah, satu kali, dia berkenalan dengan perempuan yang adik kelas, dia menyebut namanya dengan Roy. Saya dan Sigit sering kali tak mengerti pelajaran yang diterangkan oleh guru. Dan ketika itu terjadi, Sigit biasanya bercanda sambil memukul dahinya dan berkata, “Fuc*in head! Fuc*in brain!” sambil tertawa. Akhirnya, saya dan Sigit menamakan kami anggota Fuc*kin Brain Club alias anak-anak yang otaknya susah mencerna pelajaran. Belakangan, FBC bertambah anggota dan berkembang visinya bukan hanya terbatas dalam hal lemah di pelajaran, tapi juga lemah dalam hal percintaan.
Teman saya yang ketiga, Reidha Syahputra. Ketika saya jadi ketua kelas di 3 IPA 4, Reidha wakilnya. Rumahnya di kawasan Tajur, Bogor. Waktu Presiden Amerika Serikat Bill Clinton datang ke Bogor dalam rangka pertemuan para pemimpin APEC pada tahun 1994, dan para pelajar diminta berbaris di pinggir jalan sambil dadah dan mengibarkan bendera merah putih, saya menginap di rumah Reidha, bersama Aat dan Jeffri. Saya deg-degan karena malamnya kami menonton film biru. Jam 9 malam di ruang TV masih ada orang tua dan kakaknya Reidha. Saya tak sabar menunggu mereka ke kamar. Zaman sekarang mah, orang mau menonton film biru nan ilegal bisa dengan mudah melalui telepon genggam. Zaman dulu, repot sekali prosesnya. Kami pura-pura nonton video konser Bon Jovi, sampai akhirnya orang tua dan kakaknya bosan dan pergi ke kamar. Tak lama setelah masuk dan kami pikir keadaan aman, maka diputarlah film biru itu. Sebenarnya sih mencurigakan juga, karena tiba-tiba ruangan jadi sepi, kami tak saling berbicara, padahal sebelumnya nonton konser. Tapi kami tak mempedulikan keadaan yang mencurigakan itu. Meskipun akhirnya saya nonton film biru itu dua kali deg-degannya. Pertama karena melihat filmnya. Kedua karena takut tiba-tiba ada orang tua atau kakaknya keluar kamar dan menuju ruang TV. Besoknya, kami sudah berdiri di pinggir jalan di depan Terminal Baranangsiang Bogor sejak jam 7 pagi, untuk menanti kedatangan rombongan Bill Clinton yang ternyata baru tiba di Bogor jam 10.30 pagi. Kami menunggu sejak pagi demi menyambut Bill Clinton yang hanya terlihat beberapa detik.
Tes masuk Akabri terdiri dari rangkaian panjang. Sejak awal kelas 3, pendaftaran sudah dibuka. Ivan, Sigit, dan Reidha mendaftar dengan penuh semangat. Semua punya kepercayaan diri yang sama kalau bakal diterima. Saya tak ingat kapan pastinya, yang jelas, Sigit yang pertama gagal. Dalam salah satu tes, para pendaftar diperiksa kondisi fisiknya. Ada salah satu tes yang membuat peserta harus meniup tangannya sehingga terlihat apakah alat kelaminnya normal atau tidak. Yang jelas, di tes itu, Sigit gagal lolos karena berhubungan dengan buah zakarnya. Saya lupa, apakah jumlahnya yang kurang, ataukah bentuknya yang tak ideal. Saya juga tak tahu, apa hubungan antara kesempurnaan buah zakar dengan jadi tentara. Sigit menanggapi kegagalan ini dengan santai. Masih bisa tertawa ketika kami mengolok-olok buah zakarnya. Sementara Reidha, dia gagal di tes kesehatan. Hari di mana tes itu dilaksanakan, Reidha baru sadar bahwa dia menderita buta warna parsial. Reidha pulang dengan kecewa. Saya bisa melihat kekecewaan itu terpancar di matanya. Meskipun dia masih bisa cengengesan, tapi saya yakin dia sedih. Dia tak sehumoris Sigit ketika menerima kegagalan. Sedangkan Ivan, lolos terus hingga masuk Akabri dan sekarang menjadi anggota TNI Angkatan Udara.
Dua orang yang sering mengolok-olok Reidha adalah teman sekelas saya di 3 IPA 4: Yadhi Haryana, dan Dicky Rizaldi. Yadhi, teman sebangku saya. Bapaknya pejabat Polisi Militer di Bogor. Dia sehari-hari memakai mobil Toyota Kijang berwarna hijau tua, berplat nomor F 50 PM. Kalau naik mobil itu, saya merasa aman, tak akan ditilang polantas. Yadhi bangga sekali pada mobilnya yang sudah dimodifikasi sehingga ceper. Setiap melewati cermin atau ada kesempatan melihat pantulan mobilnya, Yadhi pasti selalu tersenyum dan berkata, “Bagus, ya?” Meskipun bapaknya pejabat PM, Yadhi tak pernah petantang-petenteng. Dia bukan tipikal anak tentara yang sok jagoan di sekolah. Yadhi selalu cengengesan. Tak suka kekerasan. Badannya yang tambun membuat dia terlihat lebih kocak. Sedangkan Dicky, tipe kutu buku yang hobinya belajar. Kadang, cara jalannya agak aneh: bergerak miring, bukan lurus. Saya dan Yadhi kemudian memanggilnya OA, alias Orang Aneh. Dan anehnya, Dicky juga memanggil kami OA. Akhirnya, kami bertiga termasuk OA teriak OA.
Yadhi sering tiba-tiba melakukan posisi hormat setiap Reidha datang.
“Hormat, grak!” kata Yadhi sambil terbahak.
“Akabri gagal,” lanjutnya.
Reidha tak bisa membalas apa-apa. Nyatanya memang dia gagal. Sedangkan Dicky, yang paling puas ketika mengetahui Reidha gagal masuk Akabri. Dia sering meledek Reidha dan mengungkit-ungkit buta warna parsialnya. Reidha tak bisa membalas apa-apa, karena nyatanya memang dia buta warna parsial. Untuk kali ini, saya lihat Reidha tak berkutik. Biasanya dia paling bisa membalikan omongan orang dan mengejeknya balik. Sepertinya memang benar, kekecewaan ada di dalam diri Reidha. Dia punya harapan besar untuk jadi tentara. Dan sepanjang kelas 3, Dicky sering sekali mengolok-olok soal buta warna parsial Reidha ini.
Dicky tak ingin jadi tentara. Dia ingin jadi dokter gigi. Maka, ketika UMPTN dia memilih Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung. Dicky anak yang pintar, saya yakin dia akan lolos. Dan benar saja, akhirnya dia lulus UMPTN dan diterima di Kedokteran Gigi Unpad. Wah, lumayan, saya pikir, saya bakal punya teman dokter gigi nanti. Kalau gitu, kan bisa murah bayarannya. Bukan apa-apa, dokter gigi adalah salah satu profesi yang menjanjikan kesejahteraan. Kamu pernah ke dokter gigi? Saya baru bisa dihitung dengan jari. Jaman SMA apalagi, saya belum pernah ke dokter gigi. Baru nanti ketika sudah kerja, saya ke dokter gigi.
Ruang praktek dokter gigi, bagi saya menyeramkan. Kalau kita sudah duduk di kursi periksa yang nyaman dan bisa naik turun itu, rasanya menegangkan sekali. Ada lampu terang yang menyinari kita dari atas, lalu dokter giginya akan memasukan alatnya ke dalam rongga mulut. Dan di sebelahnya, ada peralatan dokter gigi yang saya tak tahu apa saja itu yang jelas menyeramkan, seperti di film-film horror macam Saw.
Dicky bahagia sekali bisa lulus UMPTN. Terbayang di benaknya bahwa dia satu hari nanti akan jadi dokter gigi. Universitas Padjadjaran Bandung punya dua kampus utama: kampus Dipati Ukur yang ada Bandung dan kampus Jatinangor. Dulu, semua di Bandung, tapi seiring berkembangnya kampus, maka butuh gedung lebih banyak. Akhirnya, di kampus Dipati Ukur, tinggal Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi (setidaknya begitu ketika saya kuliah, tak tahu sekarang, ya). Kami semua mendaftar ulang di kampus Dipati Ukur. Dan ternyata, untuk Kedokteran Gigi, tes kesehatannya meliputi tes buta warna juga. Ya wajar sih, mungkin berhubungan dengan memeriksa obat atau gigi.
Dan ternyata, Dicky juga menderita buta warna parsial.
UMPTN lulus. Orangtuanya mampu membiayai dia kuliah di Kedokteran Gigi, tapi Dicky buta warna parsial. Sesuatu yang selama ini sering jadi bahan olok-olokan untuk Reidha. Raut wajahnya terlihat syok ketika saya bertemu dia usai daftar ulang. Dia tak menyangka bahwa dia juga menderita buta warna parsial. Selangkah lagi masuk Kedokteran Gigi, eh terjegal oleh kekurangan matanya. Mungkin selama ini dia mengira dia tak menderita buta warna parsial, karena merasa masih bisa melihat aneka ragam warna, dan dunia tidak monokrom di matanya. Makanya dia semangat sekali ketika mengolok-olok Reidha.
Akhirnya giliran Dicky yang tak bisa berkata apa-apa ketika kami olok-olok soal buta warna parsial. Mungkin di dalam hatinya, Dicky menyesal telah mengolok-olok buta warna parsialnya Reidha. Dicky akhirnya mendaftar ke Hubungan Internasional Universitas Parahyangan dan diterima. Selamat tinggal dokter gigi, selamat datang diplomat. Saat ini dia menjabat sebagai Wakil Duta Besar di salah satu negara di Eropa. Kalau suatu saat nanti dia jadi Duta Besar dan kamu teringat namanya, Dicky Rizaldi alumni Unpar Bandung, ingatlah selalu bahwa dia adalah salah satu bukti nyata bahwa karma itu ada, sodara-sodara.
0