Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
TS
raganagori
Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
Selamat malam, agan-agan.
Cuma mau menyampaikan, STAY SAFE AND MAINTAIN YOUR HEALTH.
Dunia sedang dilanda musibah epidemi yang mematikan, Namun percayalah ini bukanlah yang pertama bagi manusia. Tetap berkepala dingin, bergerak, dan jaga diri serta orang-orang yang disayangi.
Sedikit tambahan, ada cerita baru, karena ane entah lagi kesambet inspirasi dari mana. Selamat menikmati.
Siang agan dan aganwati sekalian, berikut ini ane share lanjutan dari cerita ane sebelumnya "Translucent (Part 1)". Sama seperti cerita yang lain, semoga karya ane ini juga sanggup menghibur agan dan aganwati.
Dan mungkin sedikit pemberitahuan, mulai hari ini dan berikutnya, ane akan berusaha konsisten untuk menuliskan satu cerpen setiap hari untuk melengkapi hari agan-aganwati. Deadline skripsi ane semakin dekat, jadi mohon maaf jika ane gak bisa menulis lebih banyak daripada itu....
Mhon tetap mengikuti cerita-cerita ane, dan berikan kritik serta saran yaa...
Spoiler for Catatan 7.2 : Translucent (Part 2):
Waktu berlalu, sementara aku mengambang di atas alirannya seperti daun mati yang terlepas dari tempatnya berasal. Kami menjalani delapan bulan kami di episode ini dengan cara nyaris tidak berbeda dengan yang sudah-sudah. Namun, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, sesuatu telah menghancurkan dunia kami, duniaku.
Lalu, percakapan itu dimulai.
“Sebentar lagi UAS ya....” gumam Kalia sambil menopang kepalanya dengan satu lengannya.
“Ya... setelah itu, kita naik kelas dua. Dan, masuk jurusan masing-masing ya...”, jawabku santai sambil menyeruput es teh. Saat itu, kami semua; Aku, Radit, Kalia, Windra, dan Juan sedang berkumpul di Kantin seperti yang biasa kami lakukan. Tempat itu sedang penuh sesak oleh murid-murid yang berbaris mengantri dan menghabiskan waktu istirahat.
“Jurusan ya....hm...”
“Kamu ambil apa jadinya, Ji?” tanya Windra yang duduk sebelahku.
“IPS.”
“Wahh.... kita misah dong....” ujarnya Windra.
“Ya... aku bersyukur gak sama kamu lagi...”
“Biasanya dalam cerita, orang yang ngomong kayak gitu yang justru kangen lo!”
“Ngarep, mbak?”
Windra adalah sedikit dari sekian perempuan yang bisa akrab denganku. Entah apa alasannya, dia selalu meminta saranku untuk hal-hal sederhana. Dia juga paling sering mengajakku keluar untuk sekedar menemaninya berbelanja beberapa barang yang seharusnya tak perlu mengajakku. Ya...bukan berarti aku terganggu dengan keakraban tersebut, terlebih, aku senang karena rasanya seperti memiliki seorang kakak perempuan.
“IPS ya, Ji? Ortu gak ngelarang gitu?” tanya Kalia. Saat itu, aku melirik Radit yang tampak ikut memperhatikan pembicaraan. Ah, mungkin dia menggunakan alasan itu untuk memperhatikan wajah Kalia. Toh, dia sudah mendengar semua ceritaku tentang pemilihan jurusan ini serta kondisi orang tuaku saat kami sedang berenang dua minggu lalu, tidak, sebenarnya, mungkin sudah sejak lama.
“Enggak... orang tua udah pada ngerti dengan alasanku, kok. Lagipula, percuma juga aku maksain masuk IPA, toh pada akhirnya ilmu itu gak akan kepake untuk aku kuliah, karena aku buta warna...”
Ya, aku buta warna. Meski tidak total. Mereka bilang, sebutannya adalah Trikomasi Deuteromali, atau buta warna dengan kurangnya sensitifitas pada sel kerucut untuk warna hijau. Hal ini kuketahui sejak SMP, dan memantapkan alasanku untuk fokus pada ilmu humaniora. Orang yang pertama kuberitahukan hal ini secara langsung, tak lain adalah Radit.
Jawabannya pada saat itu, sangat simpel, “Baguslah. Dengan begini, mamamu gak punya alasan lagi buat dorong kamu masuk IPA!”
Benar.
“Heh... enak ya tapi, mama sama papa kamu bisa mengerti. Aku juga sebenarnya pingin masuk jurusan bahasa, tapi kelihatannya tidak banyak anak yang pingin, jadinya kemungkinan besar kelasnya ditiadakan untuk angkatan ini...” ujar Kalia sambil mendesah.
“Kurasa bukan itu alasannya.” sambung Juan yang mendadak bergabung dalam obrolan.
“Ya, bukan karena anak-anaknya yang gak mau gabung...” lanjut Radit. Ah, dia bicara sambil mengusap-usap janggut tipisnya seperti pertapa gunung. Itu adalah kebiasaan Radit sejak pubertas dan tumbuh janggut tiap kali dia mau mengemukakan pendapatnya dengan penuh kebanggaan; atau mungkin aku harus menyebutnya kenarsisan?
“Yang menjadi masalah adalah seberapa banyak anak yang mau mengemukakan pendapat dan memperjuangkan apa yang ingin mereka lakukan...” tambah Radit.
“Benar.” Radit merespon.
Apa-apaan dengan metode bicara silang ini?
“Jika mereka ingin masuk ke jurusan bahasa, yang perlu mereka lakukan adalah bicara serius tentang mimpi dan tujuan mereka pada keluarga serta guru, lalu berkeliling mencari anak-anak yang sebenarnya benar-benar berminat tapi terlalu takut untuk berbicara! Berjuang hingga titik terakhir! Merdeka!” seru Radit berapi-api.
Aku memilih diam dari pembicaraan ini. Sementara Kalia tertawa, dan Windra melempar tatapan datar pada Radit.
“Ya... kalian memang benar. Sesuatu seperti itu, jika memang diingikan seharusnya diperjuangkan. Tapi sayangnya, aku tidak mungkin bisa melakukannya. Hehehe... pasti beda ceritanya kalau Aji yang pingin, ya?”
Aku sedikit tersentak mendengar namaku kembali terlibat dalam pembicaraan ini. Aku menoleh pada Kalia, dan bertanya, “Kenapa?”
“Karena kalau dilihat-lihat, kamu adalah tipe orang yang selalu serius dan terus bergerak maju sekali sudah menetapkan tujuan.” Jawabnya sambil diikuti senyum manis.
“Hemm...entahlah.” aku mengembalikan pandanganku pada buku Pengantar Sejarah Dunia yang kupinjam dari perpustakaan.
Salah. Aku adalah pengecut, yang tak berani mengambil keputusan penting. Sama sepertimu, Kalia.
Sesaat pembicaraan kami berhenti, dan keheningan itu tertimbun oleh riuh ramai belasan anak-anak lain yang masih memenuhi Kantin. Kemudian, Radit kembali dan memicu pembicaraan itu kembali,
“Kalian mau bikin film, gak?”
Kami semua sontak berpaling padanya. Film? Kami semua berrtanya-tanya. Radit mengulaskan senyum nakalnya yang telah lama kukenal. Pria liar dengan imajinasi bebas di balik rambut ikalnya.
“Yup. Kelas kan sudah sepakat untuk liburan semester ini, kita liburan di Batu sebagai acara perpisahan. Nah, di situ sekalian kita lakuin sesi nonton bareng! Nonton film buatan kelas kita sendiri!! Gimana?”
“BOLEH!!!” seru Kalia mendadak. Sepasang matanya tampak bersinar penuh semangat.
Begitulah, akhirnya kami berlima sepakat untuk membuat film bersama dengan seluruh anggota kelas sebagai program perpisahan kami. Ide itu kami bawa ke anggota lain, dan tanpa perlu waktu lama, karena didukung dengan keahlian persuasis Kalia, rencana pembuatan film kelas pun siap dilaksanakan.
Secara garis besar, pembagian tugasnya adalah seperti berikut : Radit sebagai produser sekaligus kameramen, aku dan Windra sebagai penulis skenario, Juan sebagai penanggungjawab properti film, sementara Kalia, sesuai kesepakatan kelas (terutama aku dan Windra), menjadi pemeran utama wanita. Anggota kelas lain mendapatkan tugas dan peran yang sesuai dengan keinginan dan kemampuannya masing-masing setelah ditentukan dalam rapat kelas. Rencanannya, pembuatan film ini akan berjalan selama satu bulan, agar tidak menggangu persiapan ujian. Semuanya berjalan lancar dan jadwal telah diatur.
Kami berlima, sebagai penggagas ide, terlibat penuh semangat saat itu, hingga akhirnya tidak menyadari bahwa kami tenlah menanam bom waktu yang siap menghancurkan dunia kami, duniaku. Sekali lagi.
*************
“Oke! Sekarang persiapan scene 49! Semuanya stand by!!” perintah Radit pada semua crew film. Setting saat itu berada di rumah Hafis, salah satu kawan kami yang kebetulan memiliki rumah paling luas dengan desain klasik seperti cafe di bagian ruang tamunya. Di sana, telah tersedia sebuah piano besar seperti yang sering kulihat di film-film barat atau konser jazz.
Adegan ini tentang Sang tokoh utama, Doni, yang diperankan oleh atlit basket kelas kami, Yusuf, yang akan menyatakan perasaannya pada pemeran utama wanita, Julia, diperankan oleh Kalia. “Prosesi penting” itu dilakukan melalui sebuah lagu yang akan dinyanyikan oleh Doni dengan memainkan piano sementara Julia akan menatapnya dengan lembut dari sampingnya, tanpa mengetahui makna dari nyanyian tersebut.
“Oke, Suf! Mulai dalam hitungan ketiga ya!” Radit memberi aba-aba sambil membidik dari balik handycam. Yusuf mengacungkan jempol. Kalia berjalan mendekat dengan mengenakan pakaian gaun warna putih yang kami pinjam dari Windra. Ruangan diatur segelap mungkin dengan hanya cahaya remang yang berpendar dari atas, tepat menyinari kedua pemeran di bawahnya.
“ACTION!!” Radit memulai. Seluruh orang lantas terdiam.
Jari jemari Yusuf mulai menari di atas tuts-tuts piano, melahirkan nada-nada lembut yang mengalun membelai hati setiap pendengar. Pemuda bertubuh jakung itu memang memiliki bakat yang tak bisa dianggap remeh, baik di bidang musik maupun olahraga. Setelah menyelesaikan bagian intro, Yusuf tampak menarik nafas dan mulai menyanyikan dengan nada rendah. Sejujurnya, suaranya tidak terlalu isitimewa, namun tidak sampai merusak suasana ganjil yang menyebar ke seisi ruangan saat itu.
Bahkan aku yang berperan sebagai penulis skenario sempat menahan nafas. Yusuf bukan pemusik atau penyanyi yang menonjol, namun sosoknya mampu memancarkan aura misterius yang mempesona. Jantungku berdegup kencang, menyaksikan adegan manis yang kami buat. Kualihkan perhatianku pada Kalia untuk memperhatikan ekspresinya, dan kudapati perempuan enerjik itu tanpa begitu meresapi perannya. Matanya melemparkan cahaya teduh bercampur kagum yang sesuai dengan keinginan naskah. Kupikir, dia memiliki bakat sebagai aktris. Hingga akhirnya kudapati ada sesuatu yang lain dari sepasang matanya. Aku bisa menyakini itu, karena aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Kulirik Radit yang tampak berkonsentrasi dengan bidikan kameranya. Saat itu, aku berada di samping kanannya, dan aku dapat melihat sekelebat perubahan pada cengkraman tangannya.
Proses syuting film selesai. Kini saatnnya penyelesaian editing. Kali ini yang bertanggung jawab adalah Radit dan Juan yang memang memiliki kemampuan di bidang itu. Mereka berdua biasanya mengerjakan tugas tersebut di sela-sela jam pelajaran, jam kosong, dan berlanjut setelah pulang sekolah. Sementara pria berambut ikal itu tengah dengan semua itu, aku menjadi saksi atas perubahan yang terjadi atas perubahan Kalia dan Yusuf. Ah, salah. Sesungguhnya, hampir seluruh anggota kelas sudah merasakan perubahan itu, bahkan sejak sesi syuting scene 49 selesai.
Hanya satu orang yang kukira berpura-pura tidak mengetahuinya.
Suatu hari, bom waktu yang kami tanam akhirnya meledak. Entah atas alasan apa, Radit dan Kalia bertengkar hebat. Kala itu, awan mendung menggelayuti langit, meski tengah musim kemarau. Tidak banyak orang tersisa di kelas, karena mereka langsung pulang setelah melihat pertanda hujan. Aku hendak masuk ke kelas saat pintu ditarik kasar oleh seseorang di baliknya. Sosok Kalia menghambur keluar tanpa memperdulikanku, dan menghilang di ujung lorong. Aku terpaku sejenak menatapnya, dan kusadari bengkak yang menghiasi kedua matanya yang meradang. Dia menangis.
Aku melongok ke dalam kelas, dan kudapati Radit yang tertunduk lesu di sudut kelas. Sendirian. Kucoba mendekatinya, berusaha senormal mungkin dan duduk di sebelahnya. Kami berdua tidak saling membuka percakapan, kubiarkan lelaki ini memecahkannya sendiri. Lima belas menit berlalu,
“Aku mengacau...” gumamnya lirih.
“Aku tidak menolak kenyataan itu...” jawabku santai, “Bagaimana?”
“Aku pengecut yang hanya bisa terus menyerang dari punggung, dengan kata-kata yang kukira akan sulit diterjemahkan. Dia berusaha toleransi dan bercanda dengan itu. Namun, aku kehilangan kendali dan terus memojokkannya.... hingga kukira, aku melukai perasaannya...”
“Buang kata-kata, kukita itu, kau memang melukainya...aku melihat dia menangis saat keluar tadi.”
“Aku tahu...”
“Lalu? Bukannya cuma ada satu cara?” aku meraih telepon genggamku, memanggil nomor Windra.
“Win? Iya, maaf ganggu nih. Kamu tahu gak sekarang posisi Kalia di mana? Emm.... iya, kondisinya memang seperti itu... Aku tahu, aku tahu... beri dia kesempatan, oke? Aku minta tolong sebagai teman.... baik...baik.... terima kasih, ya....” kututup panggilannya.
“Kalia gak sengaja ketemu Yusuf masih main basket di Lapangan, setelah minta diantarkan ke Kafe Quantro...dan, kalau mau gerak....” kuraih kunci di kantung celanaku, “Kita berangkat sekarang?”
Angin berhembus dingin menerobos tulang rusukku. Kupercepat laju sepeda motor menuju Kafe Quantro yang berada di wilayah ramai tempat tongkrongan pelajar dan mahasiswa. Sesampainya kami di sana, gerimis mulai turun, dan dengan cepat, butir-butir kesepian itu semakin ramai meriuhkan dataran bumi yang menjemukan. Kamu melihat sosok Yusuf dan Kalia sedang duduk berhadapan di salah satu meja Kafe bagian dalam, dekat jendela. Aku memarkirkan motor di salah satu sudut, sementara Radit langsung melompat turun.
Dia berlari seakan hidupnya akan segera berakhir. Dan kukira memang itulah yang tengah terjadi. Seragam kami berdua telah basah dengan terjangan gerimis yang cepat menghantam sepanjang perjalanan tadi, dan Radit kini tengah tertunduk terengah-engah di hadapan Yusuf, Kalia, dan seluruh pengunjung Kafe yang tampak terkejut dengan kemunculannya yang tidak biasa.
Aku memperhatikan semuanya dari atas sepeda motorku. Gerimis telah menjelma menjadi hujan yang semakin lama semakin deras. Kubiarkan tubuhku tereskpos oleh hunjaman-hunjaman air mata langit tersebut. Aku mengadah pada langit.
Ah... aroma hujan.
Kualihkan padanganku ke dalam Kafe. Radit tengah berbicara, sepertinya dengan volume yang keras, hingga menarik perhatian seisi Kafe. Ia sudah cukup menampakkan keputusasaan dan penyesalan, sehingga aku tidak perlu mendengar kata-katanya.
Hujan semakin deras. Saat kulihat Kalia berdiri, menghampiri sosok Radit yang tertunduk, dan memegang kedua pundaknya. Aku tahu, satu episode hidupku telah berakhir. Duniaku, sekali, hancur lebur; Sementara air hujan menghanyutkannya jauh ke muara-muara yang gelap.