- Beranda
- Stories from the Heart
Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
...
TS
raganagori
Jurnal Langit : Malam Terakhir Sebelum Kematian (KUMPULAN CERPEN)
Selamat malam, agan-agan.
Cuma mau menyampaikan, STAY SAFE AND MAINTAIN YOUR HEALTH.
Dunia sedang dilanda musibah epidemi yang mematikan, Namun percayalah ini bukanlah yang pertama bagi manusia. Tetap berkepala dingin, bergerak, dan jaga diri serta orang-orang yang disayangi.
Sedikit tambahan, ada cerita baru, karena ane entah lagi kesambet inspirasi dari mana. Selamat menikmati.
NEW STORY :
Catatan Keempat Belas : Satu Hari dalam Hidup Elang
CATATAN JURNAL LANGIT :
Catatan Pertama : Penghibur Bagi Yang Kesepian
Catatan Kedua : Belajar Untuk Mencintaimu
Catatan Ketiga : Rasa Yang Dibawa Oleh hujan
Catatan Keempat : Tangan Kurus Ibu
Catatan Kelima : Lucid Dream
Catatan Keenam : Tidak Ada Makam Di Kotaku
Catatan 7.1 : Translucent (part 1)
Catatan 7.2 : Translucent (part 2)
Catatan Kedelapan : Garis Batas
Catatan 9.1 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 1)
Catatan 9.2 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 2)
Catatan Kesepuluh : Dua Denyut
Catatan Kesebelas : Punggung Ibu
Catatan 12.1 : Kisah Kisah Bulan Oktober (Part I)
Catatan 12.2 : Kisah Klise Bulan Oktober (Part II)
Catatan Ketiga belas : Separuh dan Kau
Cuma mau menyampaikan, STAY SAFE AND MAINTAIN YOUR HEALTH.
Dunia sedang dilanda musibah epidemi yang mematikan, Namun percayalah ini bukanlah yang pertama bagi manusia. Tetap berkepala dingin, bergerak, dan jaga diri serta orang-orang yang disayangi.
Sedikit tambahan, ada cerita baru, karena ane entah lagi kesambet inspirasi dari mana. Selamat menikmati.
NEW STORY :
Catatan Keempat Belas : Satu Hari dalam Hidup Elang
CATATAN JURNAL LANGIT :
Catatan Pertama : Penghibur Bagi Yang Kesepian
Catatan Kedua : Belajar Untuk Mencintaimu
Catatan Ketiga : Rasa Yang Dibawa Oleh hujan
Catatan Keempat : Tangan Kurus Ibu
Catatan Kelima : Lucid Dream
Catatan Keenam : Tidak Ada Makam Di Kotaku
Catatan 7.1 : Translucent (part 1)
Catatan 7.2 : Translucent (part 2)
Catatan Kedelapan : Garis Batas
Catatan 9.1 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 1)
Catatan 9.2 : Benang-Benang Kusut Di Kepalaku (Part 2)
Catatan Kesepuluh : Dua Denyut
Catatan Kesebelas : Punggung Ibu
Catatan 12.1 : Kisah Kisah Bulan Oktober (Part I)
Catatan 12.2 : Kisah Klise Bulan Oktober (Part II)
Catatan Ketiga belas : Separuh dan Kau
Diubah oleh raganagori 09-05-2020 02:46
tien212700 dan 56 lainnya memberi reputasi
57
11.1K
Kutip
35
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
raganagori
#3
CATATAN KETIGA : RASA YANG DIBAWA OLEH HUJAN
Cerita berikutnya dari ane untuk agan-agan sekalian...
Bercerita tentang kelemahan manusia, cinta, dan kepercayaan...
Bercerita tentang kelemahan manusia, cinta, dan kepercayaan...
Spoiler for Rasa Yang Dibawa Oleh Hujan:
Aku belum pernah merokok sebelumnya. Karena itu, saat asap panas yang menyesakkan ini turun melalui teronggokan, mekanisme tubuhku secara otomatis menolaknya dengan keras. Aku terbatuk hingga dada ini terasa ngilu. Namun, di saat yang sama ada sensasi aneh yang perlahan menjalar dari pangkal leher, perlahan merambat menuju dada. Sensasi dingin yang begitu ringan dan menenangkan. Sensasi itu kemudian merangkak naik ke kepala, merasuki otakku dengan pijatan-pijatan dingin yang menyenangkan. Kuhirup isapan kedua, dan aku terbatuk lagi. Namun, tak lama, sensasi yang sama kembali merasuki tubuhku, bahkan lebih kuat. Asap itu seakan melumerkan bongkahan-bongkahan kegelisahan yang mendesak di dada dan kepalaku, mensublimasikannya, dan kemudian membawa semua hanyut bersama hirupan nafas yang lain. Dapat kurasakan syaraf-syaraf di sekujur tubuh yang menegang mulai mengendor seiring dengan habisnya batang rokok putih ini.
Saat itu, gerimis mengguyur di langit kotaku. Gerimis itu adalah jejak-jejak hujan angin yang menerpa kami dua jam terakhir. Aku selalu menyukai hujan, sama seorang penulis Indonesia yang pernah kubaca salah satu karyanya, M Aan Mansyur. Dalam karyanya, Lelaki Yang Terakhir Menangis di Bumi, tokoh utamanya mengatakan bahwa baginya hujan adalah gadis kecil di langit yang sedang menangis karena kesepian. Sang Tokoh Utama ingin menghibur gadis kecil itu, dan perlahan menyadari bahwa ia jatuh cinta pada hujan, cinta pertamanya.Namun alasanku menyukai hujan agak berbeda dengan penulis itu. Aku menyukai hujan, karena di bawah guyuran air hujan, aku dapat merasakan rasa sepi yang begitu menyakitkan. Bisakah kalian bayangkan perasaan itu? Rasa sepi yang menyakitimu. Rasa sepi yang membuat dadamu ngilu seolah ada sebilah pisau yang dihujamkan pada dadamu. Rasa sakit yang mebuat jantungmu berdetak lebih lambat, namun degupnya lebih keras seakan hendak merombak tulang rusuk. Ya, cobalah rasakan. Begitulah alasanku menyukai hujan, karena ia mampu menyakitiku dalam sepi.
Dalam gerimispun, masih dapat kucium bau hujan yang tersisa di sela asap rokok yang masih mengepul dari mulutku. Cukup dengan aroma itupun, rasa sepi yang sakit itu kembali mengiris keberadaanku. Dari mana rasa sakit itu berasal? Begitulah rasa pensaranku membawaku terus hidup dalam bumi manusia ini. Kenapa aku bisa menyukai sesuatu yang menyakitiku? Begitu pula tanyaku saat masih kecil. Aku mencoba bertanya dengan kepolosan anak umur 10 tahun saat itu pada orang-orang di sekitarku, namun tak ada satupun dari mereka yang kutanyai mengaku bisa jatuh cinta pada rasa sepi, maupun rasa sakit. Jawaban mereka tentang sumber rasa sakit dari hujanpun mengambang dan tidak jelas. Beberapa dari mereka bahkan memperlihatkan kesan tidak paham pada pertanyaanku. Begitu saja, dan kuakhiri petualanganku mencari jawaban atas dua pertanyaan sederhana anak kecil usia 10 tahun.
Namun, entah bagaimana, waktu perlahan menggiringku pada kejadian demi kejadian-yang tak sempat kuceritakan di kisah ini- dan akhirnya membawaku pada sebuah hipotesa; alasanku menyukai sepi dan sakit yang di bawa hujan, adalah karena aku adalah manusia yang berdosa. Hipotesa itu muncul pada pertengahan musim hujan Bulan Desember di atap fakultas, di bawah tangga menuju tandon air. Nah, sekarang tinggal satu pertanyaan lagi.
TRING !
Nontifikasi chat ku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Kubuka dan kubaca dua baris kalimat pendek dari Yani, sahabatku dalam organisasi kampus,
Gimana masalah Pak Sila? Kapan mau nyelesain masalah dengan fakultas? Kita udah dikejar DL loo!!
Kumatikan screen smartphone dan kulempar benda itu ke keranjang cucian di dekatku. Konyol. Kuhirup kembali asap rokok itu; tinggal sisa sedikit, dan kuhembuskan kembali kepulan-kepulan putih ke udara. Kuresapi sejenak sensasi dingin, ringan, dan menenangkan itu semakin menjerat erat kepala dan tubuhku. Kurasa aku mulai mengerti kenapa banyak orang ketagihan dengan benda kecil ini.
“ Hujan itu keren lo...” Suara itu menggema dalam kepalaku : Suaraku. Gerimis itu menembus batas dimensi waktu dan menyeretku di dalamnya. Sepatah waktu saat bersama perempuan itu, di sebuah senja di tepi Danau Kampus.
“ Kenapa?”
“ Karena dia ibarat pesan yang di sampaikan Langit pada Bumi. Kamu tahukan? Bumi dan Langit. Dua hal yang diciptakan untuk saling melengkapi, namun tak pernah saling menyentuh. Lalu, dengan hujanlah langit menyampaikan pesan pada Bumi...”
“ Tunggu, bukankah itu berarti komunikasi satu arah? Hanya Langit yang bicara, tidakkah itu egois?”
Aku menggeleng.
“ Bumi pun merespon pesan-pesan Langit, namun dengan bahasa yang berbeda, yaitu dengan kehidupan. Hujan dari Langit akan digunakan oleh Bumi untuk memunculkan kehidupan; hewan, pepohonan, dan kita. “
Perempuan itu diam sesaat. Mengangguk-angguk seakan mengerti. Sesaat kemudian, dia kembali mengajukan pertanyaan,
“ Bagaimana dua orang bisa berkomunikasi bila menggunakan bahasa yang berbeda?”
Aku ingat, aku tersenyum pada saat itu,
“ Bahasa apa yang lebih jelas daripada karya?”
Aku ingat lagi, dia mencubit lenganku setelah itu.
Sejujurnya, aku tidak begitu yakin dengan potongan waktu itu. Entah kenapa, meskipun nyata, rasanya begitu jauh dari jangkauanku. Seakan ada dinding yang membatasi antara diriku dengan ingatan itu. Dan entah bagaimana pula, gerimis ini mampu membawaku padanya.
Setelah puas mencubitiku, perempuan itu bertanya lagi,
“ Kira-kira pesan apa yang disampaikan oleh Langit hingga Bumi meresponnya dengan kehidupan ya...?”
Pada saat itu, aku tidak langsung menjawab, kutatap langit yang semakin menua dan matahari yang semakin samar di balik awan. Setelah sejenak hening dan membiarkannya menunggu, kujawab pertanyaan itu sambil menatap kedua matanya,
“ Rindu...”
Sekerjap, dapat kulihat warna merah menghiasi pipinya. Dia mengalihkan kedua matanya pada gerombolan angsa putih yang tengah asyik berenang di Danau. Setelah itu, keheningan menyesapi kami berdua.
Perempuan itu bukan kekasihku. Kami bahkan berbeda fakultas. Namun, semesta sudah menghimpitkan takdir kami sejak SMA. Kami berdua juga berbeda angkatan. Tapi entah bagaimana, selalu ada yang bisa membuat kami bertemu. Pertemuan dengannya pun selalu menyenangkan. Paling tidak, di depannya aku merasa nyaman dan tak perlu bermanis-manis untuk sekedar berbicara atau bertingkah. Anehnya, itu semua berjalan begitu saja secara alami. Sejak pertama kali bertemu beberapa tahun yang lalu, dan hanya butuh sebentar untuk bisa membuka diriku padanya. Namun, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku untuk meningkatkan hubungan kami. Mungkin jika dipikir-pikir, itu semua karena sesuatu dalam diriku sudah lama tercerabut, dan melenyapkan seluruh kemampuanku untuk mencintai seseorang lagi. Sesekali aku menggenggam tangannya. Ukurannya begitu mungil, terasa lembut, dan seakan rapuh setiap aku menggenggamnya. Sering kukaitkan jemariku dan jemarinya lalu kubimbing tangan mungilnya itu ke saku depan jaketku. Saat dia bertaya kenapa aku suka menggenggam tangannya, kujawab, “ Karena tanganmu mungil.” Begitu saja. Lalu dia diam.
Kurasa sebaiknya, aku berkata jujur padanya, tentang pandanganku akan makna hujan kala senja itu. Tentang hujan yang menyampaikan kerinduan pada Bumi, lalu Bumi meresponnya dengan menciptakan karya berupa kehidupan. Kenapa? Karena sejak senja dan malam dia bertanya alasanku menggenggam tangannya, kami semakin jarang bertemu.
********
Aku hanya bisa mendengar suara tangisnya. Suara tangis Yani, yang berderu-deru dari ujung telepon. Aku diam mendengarkan, tak tahu harus merespon bagaimana. Tangisan perempuan, bahkan dari perempuan setomboy Yani, selalu dapat mengiris hati dan membungkam mulut lelaki.
“ Aku bingung, kenapa aku bisa selemah ini...” Ujarnya di sela sesenggukan tangis. Saat itu pukul 11 malam. Aku sedang tiduran di kamarku, bersiap tidur. Namun kini, rasa lelah dan kantuk itu hilang sempurna. Kuputuskan untuk membiarkannya bicara terus dan menumpahkan air mata sebanyak mungkin, karena aku percaya, tidak ada yang lebih ampuh menghilangkan rasa sedih selain air mata.
“ Pernahkah kamu begitu merasa bersalah pada orang-orang di sekitarmu, sampai membuatmu tak sanggup wajah mereka?”
“Pernah.”
Aku teringat pada delapan sahabat yang telah begitu kucewakan. Sebuah kesalahan konyol dari tindakan biadabku. Aku kehilangan mereka sejak itu, dan aku juga telah kehilangan sebagian diriku. Sebuah lubang besar, jauh didalam diriku. Akupun tersadar sejak kapan aku begitu rapuh. Dan hingga kini, aku tak memiliki cukup keberanian untuk menemui mereka, dan menambal lubang besar tersebut.
“ Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.... Aku..aku... bahkan tidak tahu kenapa aku merasa begitu lemah sekarang. Aku hanya bisa berdoa dan memohon ampun, sambil berharap aku memiliki cukup keberanian untuk bertemu dengan mereka...”
Aku masih terdiam saat itu. Baru setelah melihat momen yang tepat untuk bicara, aku mencoba angkat bicara.
“Kuatlah. Puaskan air matamu. Aku yakin kamu cukup kuat menghadapi itu...”
Setelah itu, kami saling mengucapkan salam, dan dia menutup telponnya. Saat itu masih bulan September, dan bau musim hujanpun bahkan belum tercium. Namun, aku sudah bisa merasa hawa dingin dan bunyi gerimis yang membawaku pada sepi yang sakit.
Kuhembuskan hisapan terakhirku ke udara. Gerimis masih mengguyur lembut, namun kelabu mulai menjelma putih di langit. Kumatikan rokok dengan menggesek-gesekkannya pada paving halaman belakang. Kupejamkan mataku, dan kucoba meresapi semua hal tidak beraturan yang kualami selama ini. Kejadian-kejadian acak yang silih berganti datang.
Tidak.
Mendadak seperti ledakan sebuah bom, seberkas cahaya kecil yang mendadak muncul dari kegegelapan diriku dengan cepat membesar dan menjelma menjadi sebuah suar besar dengan cahaya putihnya, memenuhi kegegelapan dengan terangnya. Mendadak, seiring dengan ledakan cahaya dalam diriku, gerimis kembali menjelma menjadi hujan, dan rasa sepi yang menyakitkan itu kembali menjalari diriku. Tanpa bisa kutahan, seulas senyum terbentuk di bibirku.
Darimana rasa sakit ini berasal? Dan bagaimana aku bisa menyukai hujan karena rasa sakit yang ia datangkan padaku? Semuanya menjadi begitu jelas. Setidaknya, dari sekedar hipotesis, kini ia naik satu tingkat menjadi sebuah thesis. Pernyataan yang kuat.
Semuanya, karena aku adalah manusia berdosa. Seorang pendosa, yang selalu melihat segalanya dari sisi seberang. Melihat dari balik pagar, dan mengingikan apa yang tidak ia miliki. Beginilah seharusnya seorang pendosa.
Aku menghela nafas panjang dan lega. Kuusap wajahku dengan kedua tangan yang masih menjejak warna merah pekat. Kutatap langit sejenak dengan senyum terima kasih. Kuambil smartphone ku, dan sambil melangkah masuk, kubuka chat untuk perempuan dari senja di tepi danau itu, kuketik dengan penuh khidmat,
Maaf kalau sudah membuatmu terluka. Aku suka dengan setiap jejak kecil keberadaanmu. Karenanya, aku suka menggenggam tanganmu, untuk tetap memastikan keberadaanmu di sampingku.
Kirim.
Kuketikkan beberapa kalimat lagi,
Tapi tanganmu memang kecil kok. Itu alasan plus kenapa aku suka menggenggamnya
Kirim.
Kuhentikan langkahku tepat di depan pintu kawat pemisah halaman belakang dengan ruang keluarga. Kutatap sejenak layar smartphone ku. Lalu kuputuskan menambah sebuah kalimat,
Oya, soal Langit dan Bumi waktu itu, ternyata aku benar-benar mengatakan hal yang sebenarnya lo. Aku baru sadar ternyata kerinduan benar-benar bisa menciptakan kehidupan. Kamu tahu, kan? Saat kita rindu, kita merasakan sakit, dan dari rasa sakit itu, kehidupan bisa lahir hehehe
Kirim.
Kulempar smartphone itu ke kursi ruang keluarga yang sudah patah akibat pergulatan kecilku dengan lelaki berbadan besar beberapa jam tadi. Sepi yang ganjil merasuki rumah, sementara hujan terdengar semakin bergemuruh menerpa. Lelaki berperut buncit itu kini tengah diam dengan posisi telungkup. Sebilah pisau dapur yang biasa dipakai Ibuku untuk mencincang daging masih tergeletak di atas rak kecil dengan ruang keluarga, warna merah itu masih membasahi bilah tajamnya, meskipun warnanya jadi lebih pekat daripada saat aku pertama kali menancapkannya di dada buncit dan leher pria itu. Aku memandanginya beberapa saat. Lalu, mataku bergerak dalam gelap ruangan yang semakin menakutkan, beralih menuju tubuh Ibuku yang juga tergeletak dengan lubang tusukan di dadanya. Aku bukan anak kedokteran, tapi kukira pasti tepat di jantung. Darahnya pun sudah berubah merah pekat. Seluruh ruangan, nyaris berubah merah akibat mereka. Ya... meskipun aku tak perlu membersihkannya sih Aku sudah tak punya hak untuk menghakimi mereka, perbuatan mereka. Sebab, kami hanyalah sesama pendosa. Aku, Ibuku, dan laki-laki buncit itu. Semua sama saja.
Bagi para pendosa, hanya dalam hujan yang membawa rasa sepi nan menyakitkan, kami mampu merasakan cinta.
Saat itu, gerimis mengguyur di langit kotaku. Gerimis itu adalah jejak-jejak hujan angin yang menerpa kami dua jam terakhir. Aku selalu menyukai hujan, sama seorang penulis Indonesia yang pernah kubaca salah satu karyanya, M Aan Mansyur. Dalam karyanya, Lelaki Yang Terakhir Menangis di Bumi, tokoh utamanya mengatakan bahwa baginya hujan adalah gadis kecil di langit yang sedang menangis karena kesepian. Sang Tokoh Utama ingin menghibur gadis kecil itu, dan perlahan menyadari bahwa ia jatuh cinta pada hujan, cinta pertamanya.Namun alasanku menyukai hujan agak berbeda dengan penulis itu. Aku menyukai hujan, karena di bawah guyuran air hujan, aku dapat merasakan rasa sepi yang begitu menyakitkan. Bisakah kalian bayangkan perasaan itu? Rasa sepi yang menyakitimu. Rasa sepi yang membuat dadamu ngilu seolah ada sebilah pisau yang dihujamkan pada dadamu. Rasa sakit yang mebuat jantungmu berdetak lebih lambat, namun degupnya lebih keras seakan hendak merombak tulang rusuk. Ya, cobalah rasakan. Begitulah alasanku menyukai hujan, karena ia mampu menyakitiku dalam sepi.
Dalam gerimispun, masih dapat kucium bau hujan yang tersisa di sela asap rokok yang masih mengepul dari mulutku. Cukup dengan aroma itupun, rasa sepi yang sakit itu kembali mengiris keberadaanku. Dari mana rasa sakit itu berasal? Begitulah rasa pensaranku membawaku terus hidup dalam bumi manusia ini. Kenapa aku bisa menyukai sesuatu yang menyakitiku? Begitu pula tanyaku saat masih kecil. Aku mencoba bertanya dengan kepolosan anak umur 10 tahun saat itu pada orang-orang di sekitarku, namun tak ada satupun dari mereka yang kutanyai mengaku bisa jatuh cinta pada rasa sepi, maupun rasa sakit. Jawaban mereka tentang sumber rasa sakit dari hujanpun mengambang dan tidak jelas. Beberapa dari mereka bahkan memperlihatkan kesan tidak paham pada pertanyaanku. Begitu saja, dan kuakhiri petualanganku mencari jawaban atas dua pertanyaan sederhana anak kecil usia 10 tahun.
Namun, entah bagaimana, waktu perlahan menggiringku pada kejadian demi kejadian-yang tak sempat kuceritakan di kisah ini- dan akhirnya membawaku pada sebuah hipotesa; alasanku menyukai sepi dan sakit yang di bawa hujan, adalah karena aku adalah manusia yang berdosa. Hipotesa itu muncul pada pertengahan musim hujan Bulan Desember di atap fakultas, di bawah tangga menuju tandon air. Nah, sekarang tinggal satu pertanyaan lagi.
TRING !
Nontifikasi chat ku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Kubuka dan kubaca dua baris kalimat pendek dari Yani, sahabatku dalam organisasi kampus,
Gimana masalah Pak Sila? Kapan mau nyelesain masalah dengan fakultas? Kita udah dikejar DL loo!!
Kumatikan screen smartphone dan kulempar benda itu ke keranjang cucian di dekatku. Konyol. Kuhirup kembali asap rokok itu; tinggal sisa sedikit, dan kuhembuskan kembali kepulan-kepulan putih ke udara. Kuresapi sejenak sensasi dingin, ringan, dan menenangkan itu semakin menjerat erat kepala dan tubuhku. Kurasa aku mulai mengerti kenapa banyak orang ketagihan dengan benda kecil ini.
“ Hujan itu keren lo...” Suara itu menggema dalam kepalaku : Suaraku. Gerimis itu menembus batas dimensi waktu dan menyeretku di dalamnya. Sepatah waktu saat bersama perempuan itu, di sebuah senja di tepi Danau Kampus.
“ Kenapa?”
“ Karena dia ibarat pesan yang di sampaikan Langit pada Bumi. Kamu tahukan? Bumi dan Langit. Dua hal yang diciptakan untuk saling melengkapi, namun tak pernah saling menyentuh. Lalu, dengan hujanlah langit menyampaikan pesan pada Bumi...”
“ Tunggu, bukankah itu berarti komunikasi satu arah? Hanya Langit yang bicara, tidakkah itu egois?”
Aku menggeleng.
“ Bumi pun merespon pesan-pesan Langit, namun dengan bahasa yang berbeda, yaitu dengan kehidupan. Hujan dari Langit akan digunakan oleh Bumi untuk memunculkan kehidupan; hewan, pepohonan, dan kita. “
Perempuan itu diam sesaat. Mengangguk-angguk seakan mengerti. Sesaat kemudian, dia kembali mengajukan pertanyaan,
“ Bagaimana dua orang bisa berkomunikasi bila menggunakan bahasa yang berbeda?”
Aku ingat, aku tersenyum pada saat itu,
“ Bahasa apa yang lebih jelas daripada karya?”
Aku ingat lagi, dia mencubit lenganku setelah itu.
Sejujurnya, aku tidak begitu yakin dengan potongan waktu itu. Entah kenapa, meskipun nyata, rasanya begitu jauh dari jangkauanku. Seakan ada dinding yang membatasi antara diriku dengan ingatan itu. Dan entah bagaimana pula, gerimis ini mampu membawaku padanya.
Setelah puas mencubitiku, perempuan itu bertanya lagi,
“ Kira-kira pesan apa yang disampaikan oleh Langit hingga Bumi meresponnya dengan kehidupan ya...?”
Pada saat itu, aku tidak langsung menjawab, kutatap langit yang semakin menua dan matahari yang semakin samar di balik awan. Setelah sejenak hening dan membiarkannya menunggu, kujawab pertanyaan itu sambil menatap kedua matanya,
“ Rindu...”
Sekerjap, dapat kulihat warna merah menghiasi pipinya. Dia mengalihkan kedua matanya pada gerombolan angsa putih yang tengah asyik berenang di Danau. Setelah itu, keheningan menyesapi kami berdua.
Perempuan itu bukan kekasihku. Kami bahkan berbeda fakultas. Namun, semesta sudah menghimpitkan takdir kami sejak SMA. Kami berdua juga berbeda angkatan. Tapi entah bagaimana, selalu ada yang bisa membuat kami bertemu. Pertemuan dengannya pun selalu menyenangkan. Paling tidak, di depannya aku merasa nyaman dan tak perlu bermanis-manis untuk sekedar berbicara atau bertingkah. Anehnya, itu semua berjalan begitu saja secara alami. Sejak pertama kali bertemu beberapa tahun yang lalu, dan hanya butuh sebentar untuk bisa membuka diriku padanya. Namun, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikiranku untuk meningkatkan hubungan kami. Mungkin jika dipikir-pikir, itu semua karena sesuatu dalam diriku sudah lama tercerabut, dan melenyapkan seluruh kemampuanku untuk mencintai seseorang lagi. Sesekali aku menggenggam tangannya. Ukurannya begitu mungil, terasa lembut, dan seakan rapuh setiap aku menggenggamnya. Sering kukaitkan jemariku dan jemarinya lalu kubimbing tangan mungilnya itu ke saku depan jaketku. Saat dia bertaya kenapa aku suka menggenggam tangannya, kujawab, “ Karena tanganmu mungil.” Begitu saja. Lalu dia diam.
Kurasa sebaiknya, aku berkata jujur padanya, tentang pandanganku akan makna hujan kala senja itu. Tentang hujan yang menyampaikan kerinduan pada Bumi, lalu Bumi meresponnya dengan menciptakan karya berupa kehidupan. Kenapa? Karena sejak senja dan malam dia bertanya alasanku menggenggam tangannya, kami semakin jarang bertemu.
********
Aku hanya bisa mendengar suara tangisnya. Suara tangis Yani, yang berderu-deru dari ujung telepon. Aku diam mendengarkan, tak tahu harus merespon bagaimana. Tangisan perempuan, bahkan dari perempuan setomboy Yani, selalu dapat mengiris hati dan membungkam mulut lelaki.
“ Aku bingung, kenapa aku bisa selemah ini...” Ujarnya di sela sesenggukan tangis. Saat itu pukul 11 malam. Aku sedang tiduran di kamarku, bersiap tidur. Namun kini, rasa lelah dan kantuk itu hilang sempurna. Kuputuskan untuk membiarkannya bicara terus dan menumpahkan air mata sebanyak mungkin, karena aku percaya, tidak ada yang lebih ampuh menghilangkan rasa sedih selain air mata.
“ Pernahkah kamu begitu merasa bersalah pada orang-orang di sekitarmu, sampai membuatmu tak sanggup wajah mereka?”
“Pernah.”
Aku teringat pada delapan sahabat yang telah begitu kucewakan. Sebuah kesalahan konyol dari tindakan biadabku. Aku kehilangan mereka sejak itu, dan aku juga telah kehilangan sebagian diriku. Sebuah lubang besar, jauh didalam diriku. Akupun tersadar sejak kapan aku begitu rapuh. Dan hingga kini, aku tak memiliki cukup keberanian untuk menemui mereka, dan menambal lubang besar tersebut.
“ Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.... Aku..aku... bahkan tidak tahu kenapa aku merasa begitu lemah sekarang. Aku hanya bisa berdoa dan memohon ampun, sambil berharap aku memiliki cukup keberanian untuk bertemu dengan mereka...”
Aku masih terdiam saat itu. Baru setelah melihat momen yang tepat untuk bicara, aku mencoba angkat bicara.
“Kuatlah. Puaskan air matamu. Aku yakin kamu cukup kuat menghadapi itu...”
Setelah itu, kami saling mengucapkan salam, dan dia menutup telponnya. Saat itu masih bulan September, dan bau musim hujanpun bahkan belum tercium. Namun, aku sudah bisa merasa hawa dingin dan bunyi gerimis yang membawaku pada sepi yang sakit.
Kuhembuskan hisapan terakhirku ke udara. Gerimis masih mengguyur lembut, namun kelabu mulai menjelma putih di langit. Kumatikan rokok dengan menggesek-gesekkannya pada paving halaman belakang. Kupejamkan mataku, dan kucoba meresapi semua hal tidak beraturan yang kualami selama ini. Kejadian-kejadian acak yang silih berganti datang.
Tidak.
Mendadak seperti ledakan sebuah bom, seberkas cahaya kecil yang mendadak muncul dari kegegelapan diriku dengan cepat membesar dan menjelma menjadi sebuah suar besar dengan cahaya putihnya, memenuhi kegegelapan dengan terangnya. Mendadak, seiring dengan ledakan cahaya dalam diriku, gerimis kembali menjelma menjadi hujan, dan rasa sepi yang menyakitkan itu kembali menjalari diriku. Tanpa bisa kutahan, seulas senyum terbentuk di bibirku.
Darimana rasa sakit ini berasal? Dan bagaimana aku bisa menyukai hujan karena rasa sakit yang ia datangkan padaku? Semuanya menjadi begitu jelas. Setidaknya, dari sekedar hipotesis, kini ia naik satu tingkat menjadi sebuah thesis. Pernyataan yang kuat.
Semuanya, karena aku adalah manusia berdosa. Seorang pendosa, yang selalu melihat segalanya dari sisi seberang. Melihat dari balik pagar, dan mengingikan apa yang tidak ia miliki. Beginilah seharusnya seorang pendosa.
Aku menghela nafas panjang dan lega. Kuusap wajahku dengan kedua tangan yang masih menjejak warna merah pekat. Kutatap langit sejenak dengan senyum terima kasih. Kuambil smartphone ku, dan sambil melangkah masuk, kubuka chat untuk perempuan dari senja di tepi danau itu, kuketik dengan penuh khidmat,
Maaf kalau sudah membuatmu terluka. Aku suka dengan setiap jejak kecil keberadaanmu. Karenanya, aku suka menggenggam tanganmu, untuk tetap memastikan keberadaanmu di sampingku.
Kirim.
Kuketikkan beberapa kalimat lagi,
Tapi tanganmu memang kecil kok. Itu alasan plus kenapa aku suka menggenggamnya
Kirim.
Kuhentikan langkahku tepat di depan pintu kawat pemisah halaman belakang dengan ruang keluarga. Kutatap sejenak layar smartphone ku. Lalu kuputuskan menambah sebuah kalimat,
Oya, soal Langit dan Bumi waktu itu, ternyata aku benar-benar mengatakan hal yang sebenarnya lo. Aku baru sadar ternyata kerinduan benar-benar bisa menciptakan kehidupan. Kamu tahu, kan? Saat kita rindu, kita merasakan sakit, dan dari rasa sakit itu, kehidupan bisa lahir hehehe
Kirim.
Kulempar smartphone itu ke kursi ruang keluarga yang sudah patah akibat pergulatan kecilku dengan lelaki berbadan besar beberapa jam tadi. Sepi yang ganjil merasuki rumah, sementara hujan terdengar semakin bergemuruh menerpa. Lelaki berperut buncit itu kini tengah diam dengan posisi telungkup. Sebilah pisau dapur yang biasa dipakai Ibuku untuk mencincang daging masih tergeletak di atas rak kecil dengan ruang keluarga, warna merah itu masih membasahi bilah tajamnya, meskipun warnanya jadi lebih pekat daripada saat aku pertama kali menancapkannya di dada buncit dan leher pria itu. Aku memandanginya beberapa saat. Lalu, mataku bergerak dalam gelap ruangan yang semakin menakutkan, beralih menuju tubuh Ibuku yang juga tergeletak dengan lubang tusukan di dadanya. Aku bukan anak kedokteran, tapi kukira pasti tepat di jantung. Darahnya pun sudah berubah merah pekat. Seluruh ruangan, nyaris berubah merah akibat mereka. Ya... meskipun aku tak perlu membersihkannya sih Aku sudah tak punya hak untuk menghakimi mereka, perbuatan mereka. Sebab, kami hanyalah sesama pendosa. Aku, Ibuku, dan laki-laki buncit itu. Semua sama saja.
Bagi para pendosa, hanya dalam hujan yang membawa rasa sepi nan menyakitkan, kami mampu merasakan cinta.
ableh80 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas