Kaskus

Story

simacankampusAvatar border
TS
simacankampus
Si Macan Kampus
MEMOAR SI MACAN KAMPUS

Prolog

Sebelum saya jadi jurnalis, sebelum saya jadi stand-up comedian, saya adalah seorang macan kampus. Saya mau berbagi cerita soal pengalaman saya selama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad ’97 hingga dijuluki Macan Kampus. Tapi untuk sampai di cerita bagaimana saya mendapat julukan itu di kampus, saya mau cerita dulu masa masih berseragam putih abu-abu. Masa ketika masih jadi remaja tanggung dengan hormon yang bergejolak.

---

Daftar Isi (Biar Kaya Buku. Hehehehe)

Prolog - Memoar Si Macan Kampus
( Part 2 ) - Bimbel Oh Bimbel
( Part 3 ) - Mau Jadi Musisi
( Part 4 ) - Cinta Monyet
( Part 5 ) - Kanuragan
( Part 6 ) - Karma
( Part 7 ) - Rumah Singgah
( Part 8 ) - LULUS!

---

Mari kita kembali ke pertengahan tahun ’90.

Waktu itu saya adalah salah seorang murid di SMAN 3 Bogor. Berat badan saya masih 55 kg. Dengan tinggi badan 177 cm, jadinya terlihat kurus dan agak memprihatinkan. Kalau kamu melihat foto saya waktu kelas 2 SMA, itu lebih memprihatinkan lagi. Rambut cepak membuat saya terlihat lebih tak menarik. Malah, kalau saya melihat foto saya waktu kelas 1 dan pertengahan kelas 2 SMA, itu terlihat tua sekali. Seorang kawan, ketika melihat foto itu, mengatakan saya seperti Benjamin Button. Itu loh, film yang diperankan oleh Brad Pitt. Bukan, bukan maksudnya saya ketika SMA terlihat seperti Brad Pitt, tapi di film itu diceritakan si Benjamin Button yang siklus hidupnya bukan dari bayi lalu menjadi tua, tapi malah sebaliknya.

Lebih dari satu tahun, saya berambut cepak. Semua karena saya jadi anggota Korps Taruna SMAN 3 Bogor, sebuah organisasi ekstra kurikuler pasukan pengibar bendera. Saya bergabung bukan karena sukarela, tapi karena “dijebloskan” ke sana. Saya tak tahu seperti apa prosesnya sekarang, yang jelas, di jaman saya dan beberapa angkatan sebelumnya, semua anggota Korps Taruna dimasukan ke dalam dua kelas khusus, setelah melewati proses seleksi berdasarkan tinggi badan dan wawancara (dilakukan ketika kami daftar ulang ke SMA) yang bahkan saya awalnya tak sadar itu untuk keperluan penerimaan ekstra kurikuler di sekolah. Alasannya: supaya kalau mau mengikuti lomba baris berbaris dan harus meninggalkan ruang kelas, mudah ijinnya, karena satu kelas. Pada prakteknya, tak semua yang dijebloskan ke sana, mau ikut latihan baris berbaris.

Tahun 1994, saya diterima di SMAN 3 Bogor dan masuk sebagai angkatan VII di Korps Taruna SMAN 3 Bogor. Kelas I-8 dan kelas I-4 adalah dua kelas Taruna angkatan kami. Hampir semuanya tingginya di atas 170 cm, kecuali seorang teman kami, Achmad Hadiyatul Munawar alias Awank, yang tingginya di bawah 170 cm. Hingga sekarang, kami tak tahu kenapa dia bisa masuk kelas kami. Entah petugas administrasi salah memasukkan dia, entah karena dia dianggap punya potensi. Meskipun hingga lulus, kami tak tahu potensi dia apa, selain punya rumah yang besar di daerah Cigombong, Sukabumi, dan sering kami jadikan tempat kumpul hingga menginap. Selain rumahnya paling besar di antara kami, setiap menginap di sana, kami selalu dijamu.

Oke, mumpung sedang membahas Korps Taruna, saya mau cerita sedikit pengalaman ketika aktif jadi paskibra.

Saya tak tahu seperti apa kegiatan paskibra di sekolah lain, yang jelas Korps Taruna SMAN 3 Bogor, kegiatannya setiap Minggu pagi selalu latihan baris berbaris. Maka, ini membuat saya tak pernah libur di rumah begitu masuk SMA. Kalau dipikir-pikir sekarang sih, kenapa saya dulu mau ya, disuruh baris di bawah sinar matahari, latihan fisik macam push up, scot jump, lari, dan lain-lain padahal saya juga bisa mengelak datang, toh ada beberapa teman kami yang tak ikut latihan dan baik-baik saja di kelas.

Panas terik hujan deras kami tetap berlatih. Dan hebatnya badan di usia belasan, sepertinya daya tahan tubuh sedang bagus-bagusnya. Tak ada itu yang namanya pilek setelah hujan-hujanan. Tak pernah masuk angin. Tak ada flu. Badan boleh saja cungkring 55 kg, tapi sungguh tahan banting.

Oya, sebelum resmi menjadi anggota Korps Taruna, kami harus mengikuti kegiatan pelantikan berupa kemping di kawasan perkebunan teh di Gunung Mas, Puncak, Bogor. Udaranya kurang ajar sungguh menusuk tulang ketika malam hari. Dan kami tak diberi kesempatan memakai jaket. Ketika jurit malam (kegiatan jalan-jalan di malam hari terus mengikuti jalur yang disediakan untuk bertemu dengan pos-pos yang disediakan), kami bertemu sekelompok anggota silat Cimande yang sedang ujian kenaikan tingkat. Melihat mereka, saya jadi merasa kegiatan pelantikan kami tak ada apa-apanya. Kami hanya disuruh push up dan semacamnya yang sering kami lakukan setiap Minggu, paling seram juga dibentak senior. Tapi anak-anak silat Cimande, tak hanya dibentak, tapi juga ditendang dan dipukul. Tanpa pandang usia. Saya melihat anak kecil, mungkin masih SD, sekujur badannya ditendang seniornya. Meskipun anak itu meringis kesakitan, kegiatan itu tetap saja dilakukan. Mungkin sekarang, anak kecil itu sudah sakti mandraguna.

Saya tak tahu, apakah sekarang Korps Taruna SMAN 3 Bogor masih menjalankan prosesi pelantikan seperti kami dulu. Dan saya juga tak tahu apakah sekarang masih ditempatkan di dua kelas khusus. Serta saya juga tak tahu apakah para seniornya masih memberikan doktrin kuat pada anggotanya. Maklum, dulu kami merasa bahwa kami adalah paskibra paling bagus se-Bogor.

“Satu-satunya paskibra yang dimasukan di kelas khusus, ya kita.”
“Kalian ini siswa pilihan. Siswa terbaik di SMA 3.”
“Korps Taruna adalah paskibra yang disegani di Bogor.”

Nyatanya, ketika kami ikut lomba baris berbaris antar SMA se Kota Bogor, kami tak juara. Bahkan masuk 3 besar pun tidak.

Selain jadi anggota paskibra, saya juga ikut ekstra kurikuler silat. Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong [PPS BETAKO] Merpati Putih, sebuah perguruan silat dari Yogyakarta. Merpati Putih adalah bentuk pendek dari Mersudi Patitising Tindak Pusakane Titising Hening, yang artinya mencari sampai mendapat, tindakan yang benar dalam ketenangan. Bukan hanya gerakan beladiri yang dipelajari di Merpati Putih (selanjutnya kita singkat saja menjadi MP), tapi juga ilmu pernafasan.

Nah, makanya, selama SMA, kehidupan saya tak dilepaskan dari dua hal itu. Kelas satu latihan baris dan silat, kelas 2 melatih baris dan silat ditambah nongkrong, kelas 3 latihan silat dan nongkrong. Lalu, pertanyaannya: kapan belajarnya? Haha.

Eh iya, dari tadi cerita soal ekskulnya, tapi belum cerita seperti apa sekolahnya.
SMAN 3 Bogor beralamat di Jalan Pakuan No 4, Bogor. Buat yang pernah ke Bogor, dari gerbang tol Jagorawi yang di Bogor, belok kiri maka kira-kira 400 meter kamu akan menemukan SMA 3. Angkutan kota yang melintas di depan SMA 3 adalah angkot 06. Makanya kalau corat coret di dinding, sering ditulis 3 BGR 406, atau Fuckone 406, alias Jalan Pakuan No. 4, naek 06. Waktu saya masih kelas 1, lapangan upacara kami hanyalah berupa lapangan berbatu kerikil yang ukurannya tak terlalu luas, karena di antara bangunan sekolah yang berbentuk kotak, ada dua kelas melintang di tengah. Bangunan kelas itu akhirnya diruntuhkan ketika saya kelas 2, sehingga kami punya lapangan basket yang bagus, sekaligus jadi lapangan upacara.

Sekarang, di dekat SMA 3, tepatnya di Jl. Pajajaran, sudah banyak gedung pertokoan. Dulu, hanya ada beberapa bengkel mobil, dan gedung yang sekarang jadi pertokoan, adalah semak-semak di tanah kosong. Dulu, bangunan paling besar selain sekolah kami adalah Mesjid Raya. SMAN 3 Bogor adalah salah satu SMA bergengsi ketika saya masuk, dan sepertinya sih masih begitu hingga kini. Walau begitu, angkatan sebelumnya, murid SMA 3 terkenal beringas. Sering terjadi perkelahian antar kelas, bahkan hingga saling tusuk. Kalau tawuran, murid SMA 3 Bogor biasanya melawan STM. Ketika saya baru masuk, cerita yang entah mitos atau fakta itu, sering didengungkan oleh senior. Cerita yang sangat sesuai segmen remaja yang masih penuh gejolak. Ada semacam kebanggaan semu bahwa murid SMA 3 Bogor, terkenal pemberani.

Tahun ’90-an sering sekali terjadi tawuran antar pelajar. Setiap hari, berita di televisi tak pernah luput dari berita soal tawuran pelajar, khususnya di ibukota. Pelajar saling lempar batu, kejar-kejaran di jalanan sambil memutar-mutar sabuk yang ujungnya dipasangi gir sepeda yang sudah diasah jadi tajam. Sekarang, sudah jarang berita pelajar tawuran. Entah karena pelajarnya sudah banyak sarana menyalurkan gejolak kawula muda nya, atau karena sekarang yang tawuran adalah lebih banyak orang dewasa.

Sepanjang saya sekolah, baru mengalami 2 kali kejadian yang mungkin bisa dikategorikan tawuran. Pertama, ketika satu hari, ada sekelompok pelajar menghampiri area sekolah kami dan saya juga kurang ingat bagaimana detinya, yang jelas, tiba-tiba saya diajak teman-teman untuk melawan anak STM yang cari gara-gara. Tak ada aksi lempar batu, untungnya. Hanya ada aksi baku hantam tangan kosong, dan saya sendiri karena refleks melihat bambu panjang yang tergeletak di jalanan, langsung saya gunakan untuk menakut-nakuti musuh pelajar dari sekolah lain. Latihan silat dua kali seminggu, tapi ketika terjadi tawuran, saya malah terlalu pengecut untuk menggunakan keahlian yang dilatih itu. Kejadian kedua adalah ketika corat-coret dalam rangka merayakan kelulusan. Dari pagi hingga siang, pelajar dari sekolah tetangga, yaitu SMA PGRI 1 Bogor, aman-aman saja ketika melintas di depan sekolah kami. Tapi selepas jam 1, tiba-tiba ada yang mengomandoi kami bahwa pelajar SMA PGRI 1 Bogor menyerang kami, sehingga kami harus menyerang ke sekolah mereka dan menghadang semua pelajar dari sekolah itu yang melintas. Kalau dipikir dengan kepala dingin dan tak mudah terpancing emosi, mungkin saja kejadian itu hanya bohong, kemungkinan besar ada yang menyebarkan kebohongan supaya kami emosi dan ikut tawuran terakhir sebelum lulus. Saya rasa, yang begini ini sering terjadi. Bukan hanya dalam konteks tawuran pelajar, tapi juga di kehidupan sekarang. Banyak orang yang mudah terpancing emosi atas sesuatu yang belum jelas kebenarannya.

Di sub judul berikutnya, saya akan cerita seperti apa masa sekolah saya. Kalau begini, saya menyesal dulu ketika SMA tak menulis buku harian. Coba dulu saya menuliskan setiap hari yang saya jalani, pasti sekarang saya tak kesulitan mengingat kejadian apa saja yang menarik selama masa remaja. Tapi, ya saya juga tak akan menyangka kalau ternyata kehidupan saya akan ada yang mau membaca dan menerbitkannya ke dalam buku. Maklum, saya bukan tipe orang yang penuh perencanaan. Bukan orang yang sudah tahu apa yang mau dilakukan di masa depan. Bukan tipe orang yang berpikir jauh ke depan. Saya ini tipe orang yang lebih mementingkan hari ini. Menikmati yang sedang dijalani. Memang, kalau kata motivator sih, pandangan hidup “gimana nanti” ini bukan pandangan hidup yang ideal. Harusnya kan, “Nanti gimana?” tapi saya tak mau hidup terlalu menguatirkan yang belum terjadi. Meskipun kata Utha Likumahuwa, esok kan masih ada, kata saya mah, esok belum tentu ada. Jadi, ya nikmati saja hari ini.

Ah sial. Kenapa saya malah jadi seperti motivator begini, ya?
Diubah oleh simacankampus 19-05-2017 15:54
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
9.4K
50
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
simacankampusAvatar border
TS
simacankampus
#25
Cinta Monyet (Part 4)

Di SMA, saya tak punya pacar. Bukannya saya tak naksir siapa-siapa ketika sekolah, tapi ya, memang saya pecundang saja, sih. Haha. Saat kelas 1 dan kelas 2, belum ada perempuan yang saya taksir. Entah karena sibuk baris berbaris sehingga menguras tenaga, entah karena memang belum ada yang benar-benar menyita perhatian saya. Sejak SMP sebenarnya saya sudah pernah naksir adik kelas, tapi ya terlalu pengecut untuk melakukan pendekatan. Akhirnya, cuma bisa iri dan dengki melihat orang lain punya pacar. Dan selalu berharap bahwa suatu saat nanti saya bisa punya pacar. Walaupun sebenarnya belum tau juga, tujuan pacaran itu buat apa. Sepertinya menyenangkan punya satu teman lawan jenis yang hidupnya didedikasikan untuk menemani saya. Dan yang mau dicium. Haha. Yah, namanya juga gejolak kawula muda. Eh, tapi bukan cuma milik yang muda saja sih kalau itu mah.

Oke, saya mau cerita soal perempuan yang saya suka waktu SMA. Sebenarnya saya sudah pernah menuliskannya di buku “Majelis Tidak Alim” dan saya pikir dia tak akan membacanya. Eh tahu-tahu beberapa bulan lalu, dia mengirimkan pesan di Instagram saya dan bilang bahwa dia sudah membaca tulisan itu. Hahaha. Saya jadi malu. Tapi ya sudahlah. Kan cerita masa remaja belum lengkap kalau tak cerita soal cinta-cintaan. Berhubung hal yang paling dekat dengan cinta-cintaan adalah soal perempuan yang saya taksir, maka ya saya cerita itu saja lah ya.

Rosdiana Elvrida Simanjuntak. Maaf ya Ros, saya tulis lagi namanya di sini. Hehe. Saya kenal dia karena Merpati Putih. Dia gabung di Merpati Putih sejak masih kelas 1 SMA. Rambutnya lurus panjang hingga sebahu. Saya sebenarnya cukup apresiatif terhadap tipe rambut lain, tapi rambut lurus selalu jadi kesukaan. Sepertinya karena pengaruh film-film Kung Fu yang sering saya tonton. Maklum, zaman itu masih periode saya menggandrungi dunia kanuragan. Nah, jagoan-jagoan perempuan di film Kung Fu selalu digambarkan perempuan berambut lurus. Menggemaskan. Penampilan feminin tapi keahliannya sangat maskulin. Bisa menghajar penjahat dan membela dirinya sendiri. Itulah sebabnya selain suka perempuan berambut lurus panjang, saya juga mendamba perempuan yang jago bela diri. Istri saya, Tetta Riyani Valentia pun waktu remaja pernah ikut bela diri dan rambutnya lurus panjang ketika saya berkenalan dengannya. Yah, meskipun dia belum sampai tahap jago bela diri, setidaknya kan pernah ikutan silat. Makanya, saya anggap cukup mendekati lah. Yang penting kan secara visual sudah sesuai harapan ideal saya. Hehe. Tapi kita di sini bukan untuk membahas lebih lanjut soal Tetta. Kan ini periode di mana saya belum kenal dia.

Kembali ke Ros. Dia pernah jadi sekretaris di ekskul Merpati Putih di mana saya jadi ketuanya. Sepertinya saya mulai suka sejak dia jadi sekretaris. Saya juga tak ingat jelas. Yang saya ingat, saya tak pernah benar-benar melakukan pendekatan. Satu-satunya hal yang bisa disebut pendekatan adalah ketika beberapa kali saya menelepon dia di rumahnya. Jaman sekarang sih enak, kalau mau pedekate dan terlalu grogi untuk berbicara di telepon, bisa melalui Whatsapp. Di era sebelum telepon genggam memasyarakat, salah satu yang penuh tantangan adalah ketika menelepon gebetan. Dan bisa dua kali melewati masa menegangkannya.

Mau menelepon gebetan sudah pasti mendebarkan. Butuh beberapa menit hingga akhirnya nomor telepon rumah gebetan itu ditekan. Kadang, sudah ditekan, eh sebelum nada sambungnya bunyi, telepon ditutup. Terus, tekan lagi tombol redial, terus deg-degan lagi, terus ditutup lagi. Redial lagi. Deg-degan lagi. Tutup lagi. Deg-degan lagi. Redial lagi. Ketika akhirnya memberanikan diri untuk membiarkan nada sambung berbunyi dan telepon tersambung, masih ada satu tantangan lagi. Kalau langsung diangkat oleh si gebetan sih, biasanya tantangan pertama langsung terlewati. Tapi kalau yang mengangkat teleponnya bukan yang dituju, wah itu tantangan pertama saja belum terlewati, eh bertemu lagi sama tantangan kedua. Masih agak mendingan kalau yang mengangkat tak bertanya lebih lanjut siapa yang menelpon. Kalau ditanya, “Dari siapa?” sebelum dipanggil yang dicari, waah itu mah sudah pasti bikin jantung makin berdebar.

“Dari Soleh…”

“Soleh siapa?” Nah, pertanyaan begini sungguhlah menyebalkan. Kan sudah dijawab namanya, eh masih saja ditanya lebih lanjut. Macam resepsionis saja.

“Errr… Temennya.” Pasti jawaban standarnya ya begini. Saya rasa semua yang pernah mengalami hal serupa, bakal banyak yang menjawab begini. Agak mustahil yang menjawab, “Dari yang sedang pedekate,”

Dan setelah disambungkan ke yang dituju, biasanya disambung dengan,
“Ada apa?”

Duh, kalau sudah ditanya begini, rasanya makin bingung menjawabnya. Harapannya sih, “Hey, apa kabar?” dengan nada sumringah. Nyatanya sih, tak pernah begitu. Meskipun ya wajar saja sebenarnya, bertanya ada apa. Kan memang ingin tahu ada apa menelepon ke rumah.

“Err… Nggaaak… Mau ngobrol aja…”

“Oh.”

Nah, respon singkat namun padat ini begitu menyesakkan dada. Seakan makin berat untuk melanjutkan percakapan berikutnya.
“Lagi apa?”

Ini adalah kalimat berikutnya. Dan biasanya jadi penentu apakah percakapan bisa berjalan lebih lama atau segera diakhiri. Kalau dijawab dengan penjelasan yang seakan-akan sedang ribet mengerjakan sesuatu di rumah, biasanya segera mengakhiri obrolan dengan kalimat,

“Oh, ya udah kalo gitu. Kirain lagi santai.”

Saya tak ingat berapa kali saya menghubungi Ros lewat telepon. Yang saya ingat, memang tak pernah ada percakapan yang hangat dan berjalan lama. Kalaupun agak lama, saya merasa semata-mata dia tak enak kalau segera mengakhiri percakapan. Mungkin itu sebabnya juga, saya tak berani ngobrol lebih lama kalau bertemu langsung. Biasanya cuma basa-basi grogi. Apalagi dia tak pernah berjalan sendirian. Minimal, ada teman dekatnya yang dari dulu saya tak pernah tahu namanya. Yang jelas sama cantiknya. Dan mungkin juga, di dalam lubuk hati yang paling dalam, saya tahu diri bahwa Ros tak menaruh hati pada saya.
Terutama ketika ada satu insiden. Tapi, sebelum saya cerita ke insiden itu. Saya harus ceritakan dulu soal salah satu sahabat saya yang bernama Jeffri Chris Devianto. Ketika saya naksir Ros, Jeffri naksir adik kelas seangkatan Ros yang bernama Sasti Ambar, ah saya lupa nama panjangnya. Satu hari, saya dan teman-teman mengerjai Jeffri dengan menuliskan surat cinta palsu dari Jeffri buat Sasti. Saya taruh surat itu di meja Sasti. Saya lupa isinya, yang jelas gombalan yang menggelikan. Besoknya, Sasti senyam-senyum melihat Jeffri. Walaupun sebenarnya Sasti memang murah senyum biasanya juga sih. Jeffri juga cengengesan disenyumi Sasti. Saya dan teman-teman tak tahan lama menyimpan rahasia ini, karena kami tak sabar ingin menertawakan Jeffri. Ketika dia tahu hal ini, kami tertawa puas.
Yang saya tak mengira, Jeffri melakukan hal serupa sebagai bentuk balas dendam. Dia membuat surat palsu buat Ros. Sialnya, saya tak tahu ini dari teman-teman, melainkan dari adik kelas. Salah seorang anggota Merpati Putih bilang pada saya soal ini.

“Kak, kakak nulis surat ya buat Ros?”

Jeng jeng. Bahkan saya saja merasa dia tak tahu kalau saya suka Ros, eh tahu-tahu, dia bilang soal surat cinta buat Ros. Untung saja si adik kelas itu santai menanggapinya. Mungkin karena perempuan, jadi lebih dewasa menyikapi soal cowok naksir cewek. Saya dalam hati sih merasa malu bukan main. Mau marah pada Jeffri, tak bisa, karena saya yang memulainya. Tapi, kejadian yang memalukan ini memberikan informasi yang cukup berharga. Menyakitkan, tapi setidaknya hilang rasa penasaran.

“Dia bilang, udah nganggep Soleh kayak kakak sendiri.”

Padahal saya sudah punya dua adik di rumah.

“Dan katanya sih, dia sukanya sama Jeffri.”

Berarti kalau itu surat ditulis atas nama Jeffri, dia sudah pasti mau menerimanya. Haha. Untung saja Jeffri sukanya pada Sasti, bukan pada Ros. Ini yang namanya kisah klasik nan klise. Cowok naksir satu cewek, eh si cewek malah naksir sahabat si cowok. Dan pengecutnya saya, hingga saat ini, tak pernah membahas soal surat itu kepada Ros. Padahal, harusnya ya minimal saya minta maaf langsung soal surat kaleng itu. Mungkin karena terlanjur patah hati soal cinta bertepuk sebelah tangan, kadar pengecut saya bertambah dua kali lipat. Momen pertama saya membicarakan soal ini dengan Ros, meskipun itu tak langsung, hanya lewat tulisan di buku saya, itu pun sudah 20 tahun berlalu. Dan bukan karena saya memberikan bukunya, tapi karena ternyata dia membeli buku saya.

Tapi kejadian canggung yang berhubungan dengan perempuan dan teman saya bukan hanya itu. Selain Ros, saya sempat naksir seorang teman seangkatan. Namanya Rina ah saya lupa nama panjangnya. Anaknya kecil, putih, rambutnya pendek bergelombang. Secara visual, bukan selera ideal saya. Entah bagaimana ceritanya, di pertengahan kelas 3, saya tiba-tiba merasa Rina menarik, lucu, dan menggemaskan. Sepertinya dia adalah gadis yang asik diajak ngobrol. Dan sepertinya gara-gara teman saya yang bernama Irman Aryatna Nasoetion yang pernah bilang pada saya bahwa Rina naksir saya. Ini pertama kalinya ada kabar gembira seperti itu. Tentu saja saya senang, kegeeran, sumringah, dan segala macam perasaan bahagia lainnya. Dengan Rina, saya tak terlalu mengalami percakapan-percakapan canggung di telepon, karena sebelumnya kami sudah kenal. Masih lebih mengalir lah pembicaraan. Masih berani bicara langsung.

Saya pikir, ini akan berakhir indah. Bahwa kali ini akhirnya saya bisa punya pacar. Tak akan melewati masa SMA dengan status jomblo. Tapi harapan tak sesuai dengan kenyataan. Tiba-tiba saya dapat kabar bahwa Rina sudah jadian dengan teman saya, Hendra. Nama aslinya hanya Hendra, tapi dia sering menulis sebagai Hendra Cobain, karena dia penggemar Kurt Cobain. Hendra juga akhirnya dipanggil Mithun, karena kami merasa dia mirip dengan aktor India yang bernama Mithun. Belakangan, di daftar absen sekolah dia dipanggil dengan Hendra Idris. Salah seorang dari kami menambahkan nama Idris, padahal itu nama bapaknya.

Hendra dan Rina akhirnya jadi sepasang kekasih. Hendra sempat agak canggung dan meminta maaf pada saya soal ini. Saya tak punya alasan untuk tak memaafkan. Lagipula, menurut saya ya wajar saja kalau akhirnya Rina memilih Hendra dibandingkan saya. Hendra jago basket, dan wajahnya sekelas aktor Bollywood. Saya? Kemampuan maen basket saja sangatlah pas-pasan. Hidung tak semancung aktor Bollywood. Kami masih berteman baik, meskipun perempuan yang pernah saya sukai, akhirnya memilih teman saya. Tak ada gunanya memutuskan pertemanan hanya karena gebetan jadinya dengan teman. Memang sih, kalau mereka sedang jalan berdua dan berpapasan dengan saya, ada semacam perasaan canggung dan malu. Tapi yah mau bagaimana lagi. Saya lebih memikirkan hubungan pertemanan dibandingkan hubungan naksir-naksiran.

Persahabatan kan biasanya lebih panjang usianya dari percintaan antar remaja. Namanya juga cinta monyet. Sungguh sebuah kiasan yang misterius. Bahkan saya saja tak tahu, seperti apa kalau monyet pacaran. Apakah maksud dari cinta monyet itu? Katanya cinta monyet itu cinta yang belum sesungguhnya. Cuma orang yang merasa tahu arti cinta. Padahal, kita tak pernah tahu, jangan-jangan di kalangan monyet ada yang namanya cinta sejati, cinta yang tahan lama. Kenapa tak disebut cinta kucing? Atau cinta sapi? Atau cinta ular? Padahal kan banyak binatang lain. Dari sekian banyak binatang di dunia, kenapa monyet dipilih untuk kiasan?

Jangan-jangan, dia yang pertama kali mencetuskan ide untuk memakai kiasan cinta monyet adalah dia yang sering bertepuk sebelah tangan atau kandas hubungan percintaannya padahal sudah berharap banyak. Mungkin si pencetus ide kiasan cinta monyet, ketika remaja beberapa kali pacaran atau beberapa kali ditolak padahal dia merasa tahu cinta, merasa yang sedang dialaminya itu jatuh cinta, dan akan jadi cinta selamanya, tapi kandas juga akhirnya.

Dan saking seringnya dia mengalami itu, akhirnya dia mengumpat. Ah, cinta cinta. Tahu apa aku soal cinta? Cinta sungguh mengecewakan! Monyet kau cinta!
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.