- Beranda
- Stories from the Heart
LUKAS: Aku Bisa Melihat Hantu
...
TS
rahasiabgt
LUKAS: Aku Bisa Melihat Hantu
Quote:
Untuk agan dan aganwati di mana pun kalian berada, ane persembahkan trit ini untuk kalian. Jujur, ane bingung mau share sama siapa. Soalnya, banyak kawan ane yang gak percaya tentang cerita ane. Daripada dongkol, lebih baik ane ceritain di mari. So, selamat menikmati
Spoiler for Pernah Jadi Top Threads:
Quote:

HEHE, JADI TOP THREADS! DIADABADIKAN DULU LAH YE.. MAKASIH SEMUA

Quote:
Oh iya gan. Ane juga mau sekalian jelasin. Di sini ane lebih banyak ceritain tentang gimana di balik matinya 'mereka'. Karena, sebagai 'makhluk lain' mereka aslinya juga pengin didengerin loh gan. Jadi sekali lagi ane tekankan, cerita ini lebih banyak membongkar kenapa mereka mati, kehidupan sebelum dan seudah mati, dsb. Kalau minta serem... hehe... 

HANYA MAHO YANG BOLEH SEBAR SPAM, JUNK, DAN SAMPAH GAK BERMUTU DI KOMEN!!!
PROLOG
Quote:
Hai, namaku Lucas dan aku bisa melihat… hantu.
Pertama kali aku menyadari ‘kelebihan’ ini sewaktu umurku menginjak 5 tahun. Waktu itu, aku terjatuh dari tangga. Kakiku terkilir. Aku menangis, berteriak minta tolong. Dalam tangis itulah, di balik remang mataku yang tertutup air mata, aku melihat sosok gadis kecil berpenampilan serba hitam, berdiri tak jauh dariku. Ia memperhatikanku dengan tatapan tajam dengan bola mata yang terlihat hitam semua.
Tak berapa lama kemudian datang nenekku, menolong. Beliau menggendongku seraya menenangkan. Didudukkannya aku di kursi panjang ruang tamu. Beliau mengurut kakiku. Aku meringis kesakitan. Gadis serba hitam di ujung sana masih mengamatiku.
Selesai mengurut, aku bertanya pada Nenek. “Nek, siapa gadis itu?” tanyaku sambil menunjuk gadis kumaksud.
Nenek, seraya tersenyum, menjawab dengan lembut, “Tidak ada siapapun selain Nenek dan kamu, Lucas.” Dan beliau pergi meninggalkanku… bersama ‘gadis’ di ujung sana.
Aku meneguk ludah. Merinding melihat sosok tersebut mendekat.
****
Lanjut di mari gan >Cerita 1 : Gita Si Penyanyi
Yuk gan! Mari budayakan komen. Kritik saran yg membangun selalu ane tunggu demi tulisan yang lebih rapi

Quote:
Diubah oleh rahasiabgt 03-08-2017 14:23
anasabila memberi reputasi
1
13.3K
Kutip
65
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rahasiabgt
#51
Cerita 4 : Kuntilanak Itu Bernama Kunti
Cerita 4 : Kuntilanak Itu Bernama Kunti
Sialan!
Makhluk penunggu pohon itu terus saja meledekku. Bukan, bukan aku gara-garanya. Tapi dia. Kuntilanak. Wajar kalau tempat ini ditakuti banyak orang. Bukan gara-gara mengerikan, melainkan membuat mangkel.
Siapa yang tidak mangkel coba, aku dari tadi disiuli seperti tidak punya harga diri. Gini-gini aku bukan cowok murahan. Enak saja main siul. Dikira aku cabe-cabean kali.
Tadi, sepulang dari jalan-jalan, aku lewat di depan sebuah pohon beringin besar. Usianya lebih tua dari kalian yang sedang membaca ini. Menurut cerita warga, ada sesosok perempuan yang sering bertengger di salah satu dahan. Yang kata mereka juga, dahan yang jadi tempat mangkalnya adalah tempatnya menjemput ajal. Oke, aku percaya itu.
Menurut informasi yang aku dapat, kuntilanak itu bernama Kunti. Hantu lokal yang kurang disegani hantu-hantu Belanda yang ada di kompleks rumahku. Entah apa gerangan yang membuat hantu lokal kalah pamor di sini.
“Dia jelek!” umpat Margareth suatu waktu saat kutanyakan masalah sepele ini.
“Dia tidak jelek, Margareth. Tapi tidak sebanding dengan londo. Lihat saja pakaiannya!” Jack menimpali, tak kalah sengit.
“Hei! Kalian jangan begitu! Dia itu pribumi, loh! Jangan hina, dong!” aku membela.
Dua hantu itu malah tertawa. Ikut-ikutan menghinaku. Gondok sudah hati ini.
Setiap bulan purnama, si Kunti akan muncul dan menggoda semua orang yang lewat di depan pohon tersebut. Jika si Kunti tahu namanya, dia akan memanggil nama si korban dengan nada menyeramkan. Tapi jika si Kunti tidak tahu, dia akan bersiul-siul sampai si korban lari tunggang-langgang melihat penampakannya. Heran, deh. Apa juga untungnya buat dia?
Wajahku masih memerah padam menahan emosi. Si Kunti kian gila menertawakanku. Ingin rasanya kulempari batu, tapi percuma, bakalan nembus. Ingin aku goyang-goyang pohonnya supaya si Kunti jatuh, tapi dia bisa terbang. Selain itu aku tidak kuat menggoyang pohon sebesar 5 pelukan orang dewasa.
“Hei, kamu! Kenapa sih kamu doyan ganggu manusia?” tanyaku akhirnya.
Si Kunti diam. Menatapku tajam sambil memainkan rambut lepeknya. Alamak, pantas saja hantu Belanda ogah disamakan dengannya. Rambutnya saja jelek begitu. belum lagi warna hitam berlebihan yang mengelilingi kedua matanya. Dan benar kata Jack, pakaiannya… mengenaskan. Cuma kain putih yang entah dapat darimana.
“Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu ganggu mereka? Apa mereka punya salah sama kamu?” nadaku meninggi.
Kunti bergeming. Melotot marah padaku. Lampu jalan yang remang-remang menjadikan sosoknya menyeramkan. Bayangkan, sesosok wanita berambut panjang terurai (dan lepek), berbaju putih menutupi lengan dan kaki, berwajah pucat pasi dengan bola mata melotot sedang duduk di sebuah pohon beringin besar malam-malam.
Untunglah, terbiasa melihat kaum mereka tidak terlalu membuatku takut. Bukannya menjauh, aku mendekat. Ingin mengorek info dari hantu lokalan ini. “Kamu kenapa ganggu manusia? Apakah mereka jahat sama kamu?”
Si Kunti malah tertawa.
Bajing*an, umpatku dalam hati. Ditanya baik-baik malah diketawain.
Puas tertawa, dengan cepat tahu-tahu si Kunti menjatuhkan tubuhnya. Tidak, dia tidak jatuh. Melainkan posisinya terbalik. Kepala di bawah, kakinya di atas, menggantung. Wajahnya lurus dengan wajahku. Aku menelan ludah. Wajahnya jelek betul.
“Kamu kenapa ganggu manusia?” aku masih belum menyerah.
Kunti melototiku. Kekeuh tak mau menjawab.
Aku berdecak gemas. Mundur selangkah. Kuacungkan jari telunjukku persis ke mukanya, lantas berkata dengan lantang, “Kalau kamu tidak mau jawab, terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau tiba-tiba teman-teman londoku datang mengusirmu ramai-ramai dari tempat ini. Mau?”
Pelototan Kunti mengendur, ia kembali ke posisi awal. Dimainkannya lagi rambutnya yang lepek itu. Pandangannya kosong, terlihat sedih. Aneh, tiba-tiba perasaanku mengiba melihat tatapan itu.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
Kunti menunduk.
“Kamu baik-baik saja?”
Kunti malah ketawa. Sialan!
Gondok, aku berjalan pulang. Meninggalkan hantu tak beradab yang masih gila ketawa di sana. Heran. Ditanya baik-baik malah kayak gitu. Dulu semasa hidup apa tidak ada yang mengajarinya, ya? Dasar Kunti!
Tapi… belakangan aku tahu, ternyata si Kunti menyimpan cerita sedih. Kisahnya hampir sama dengan Margareth. Sama-sama dirudapaksa. Bedanya, Kunti dirudapaksa oleh kekasihnya sendiri. Dia hamil, lantas meminta pertanggung-jawaban. Nahas, ia malah diusir dan dihina-hina. Bahkan, kekasihnya tidak mengakui perbuatannya. Pria itu membuat fitnah yang menyudutkan si Kunti. Tak tahan dengan hidupnya, Kunti bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari pohon beringin tempatnya bertengger sekarang.
Setiap bulan purnama, dia muncul untuk balas dendam. Bukan hanya pada kekasihnya. Melainkan semua orang. Dia sakit hati atas penghinaan yang ia terima semasa hidup. Kasihan dia.
“Begitu,” ujar Gita di akhir penjelasannya.
Aku manggut-manggut. “Tapi harus banget ya pakai siul-siul? Jijik banget.”
Gita terpingkal. “Mungkin dia suka sama kamu!”
“Idih, najis.”
Lanjut dimari >>Cerita 5 : Intermezzo
Quote:
Spoiler for Jangan Buka!:
Sialan!
Makhluk penunggu pohon itu terus saja meledekku. Bukan, bukan aku gara-garanya. Tapi dia. Kuntilanak. Wajar kalau tempat ini ditakuti banyak orang. Bukan gara-gara mengerikan, melainkan membuat mangkel.
Siapa yang tidak mangkel coba, aku dari tadi disiuli seperti tidak punya harga diri. Gini-gini aku bukan cowok murahan. Enak saja main siul. Dikira aku cabe-cabean kali.
Tadi, sepulang dari jalan-jalan, aku lewat di depan sebuah pohon beringin besar. Usianya lebih tua dari kalian yang sedang membaca ini. Menurut cerita warga, ada sesosok perempuan yang sering bertengger di salah satu dahan. Yang kata mereka juga, dahan yang jadi tempat mangkalnya adalah tempatnya menjemput ajal. Oke, aku percaya itu.
Menurut informasi yang aku dapat, kuntilanak itu bernama Kunti. Hantu lokal yang kurang disegani hantu-hantu Belanda yang ada di kompleks rumahku. Entah apa gerangan yang membuat hantu lokal kalah pamor di sini.
“Dia jelek!” umpat Margareth suatu waktu saat kutanyakan masalah sepele ini.
“Dia tidak jelek, Margareth. Tapi tidak sebanding dengan londo. Lihat saja pakaiannya!” Jack menimpali, tak kalah sengit.
“Hei! Kalian jangan begitu! Dia itu pribumi, loh! Jangan hina, dong!” aku membela.
Dua hantu itu malah tertawa. Ikut-ikutan menghinaku. Gondok sudah hati ini.
Setiap bulan purnama, si Kunti akan muncul dan menggoda semua orang yang lewat di depan pohon tersebut. Jika si Kunti tahu namanya, dia akan memanggil nama si korban dengan nada menyeramkan. Tapi jika si Kunti tidak tahu, dia akan bersiul-siul sampai si korban lari tunggang-langgang melihat penampakannya. Heran, deh. Apa juga untungnya buat dia?
Wajahku masih memerah padam menahan emosi. Si Kunti kian gila menertawakanku. Ingin rasanya kulempari batu, tapi percuma, bakalan nembus. Ingin aku goyang-goyang pohonnya supaya si Kunti jatuh, tapi dia bisa terbang. Selain itu aku tidak kuat menggoyang pohon sebesar 5 pelukan orang dewasa.
“Hei, kamu! Kenapa sih kamu doyan ganggu manusia?” tanyaku akhirnya.
Si Kunti diam. Menatapku tajam sambil memainkan rambut lepeknya. Alamak, pantas saja hantu Belanda ogah disamakan dengannya. Rambutnya saja jelek begitu. belum lagi warna hitam berlebihan yang mengelilingi kedua matanya. Dan benar kata Jack, pakaiannya… mengenaskan. Cuma kain putih yang entah dapat darimana.
“Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu ganggu mereka? Apa mereka punya salah sama kamu?” nadaku meninggi.
Kunti bergeming. Melotot marah padaku. Lampu jalan yang remang-remang menjadikan sosoknya menyeramkan. Bayangkan, sesosok wanita berambut panjang terurai (dan lepek), berbaju putih menutupi lengan dan kaki, berwajah pucat pasi dengan bola mata melotot sedang duduk di sebuah pohon beringin besar malam-malam.
Untunglah, terbiasa melihat kaum mereka tidak terlalu membuatku takut. Bukannya menjauh, aku mendekat. Ingin mengorek info dari hantu lokalan ini. “Kamu kenapa ganggu manusia? Apakah mereka jahat sama kamu?”
Si Kunti malah tertawa.
Bajing*an, umpatku dalam hati. Ditanya baik-baik malah diketawain.
Puas tertawa, dengan cepat tahu-tahu si Kunti menjatuhkan tubuhnya. Tidak, dia tidak jatuh. Melainkan posisinya terbalik. Kepala di bawah, kakinya di atas, menggantung. Wajahnya lurus dengan wajahku. Aku menelan ludah. Wajahnya jelek betul.
“Kamu kenapa ganggu manusia?” aku masih belum menyerah.
Kunti melototiku. Kekeuh tak mau menjawab.
Aku berdecak gemas. Mundur selangkah. Kuacungkan jari telunjukku persis ke mukanya, lantas berkata dengan lantang, “Kalau kamu tidak mau jawab, terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau tiba-tiba teman-teman londoku datang mengusirmu ramai-ramai dari tempat ini. Mau?”
Pelototan Kunti mengendur, ia kembali ke posisi awal. Dimainkannya lagi rambutnya yang lepek itu. Pandangannya kosong, terlihat sedih. Aneh, tiba-tiba perasaanku mengiba melihat tatapan itu.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
Kunti menunduk.
“Kamu baik-baik saja?”
Kunti malah ketawa. Sialan!
Gondok, aku berjalan pulang. Meninggalkan hantu tak beradab yang masih gila ketawa di sana. Heran. Ditanya baik-baik malah kayak gitu. Dulu semasa hidup apa tidak ada yang mengajarinya, ya? Dasar Kunti!
Tapi… belakangan aku tahu, ternyata si Kunti menyimpan cerita sedih. Kisahnya hampir sama dengan Margareth. Sama-sama dirudapaksa. Bedanya, Kunti dirudapaksa oleh kekasihnya sendiri. Dia hamil, lantas meminta pertanggung-jawaban. Nahas, ia malah diusir dan dihina-hina. Bahkan, kekasihnya tidak mengakui perbuatannya. Pria itu membuat fitnah yang menyudutkan si Kunti. Tak tahan dengan hidupnya, Kunti bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari pohon beringin tempatnya bertengger sekarang.
Setiap bulan purnama, dia muncul untuk balas dendam. Bukan hanya pada kekasihnya. Melainkan semua orang. Dia sakit hati atas penghinaan yang ia terima semasa hidup. Kasihan dia.
“Begitu,” ujar Gita di akhir penjelasannya.
Aku manggut-manggut. “Tapi harus banget ya pakai siul-siul? Jijik banget.”
Gita terpingkal. “Mungkin dia suka sama kamu!”
“Idih, najis.”
Lanjut dimari >>Cerita 5 : Intermezzo
Diubah oleh rahasiabgt 03-08-2017 14:24
0
Kutip
Balas