- Beranda
- Stories from the Heart
PENASARAN.
...
TS
ian.13
PENASARAN.
Quote:
Senja terakhir di kota bagi jiwa laki-laki ini. Dirinya berdiri tepat di jalan masuk sebuah hutan yang terlihat gelap, kelam dan penuh derita. Hidupnya kini tak panjang lagi. Dengan sebuah kantong plastik yang dijinjingnya, dia memasuki hutan dengan langkah yang ragu.
Mata kepalanya melihat ke sekitar, waspada terhadap sesuatu yang mungkin bisa menggagalkan aksinya kali ini. Hanya cahaya jingga yang menembus melalui sela-sela pepohonan, membuat suasana tampak seram.
Dirinya sudah tidak perduli lagi dengan hal tersebut. Sampai, dia berhenti di salah satu pohon dengan dahan yang tidak terlalu tinggi. Dirinya mendekati pohon tersebut dan mengambil isi dari kantong plastik. Sebuah tali tambang berwarna biru, dengan ujung yang sedikit mengudar.
Tubuhnya coba memanjat dengan susah payah, menggapai dahan tersebut dan duduk diatasnya. Tangannya cukup lihai dalam menyimpulkan tali tersebut, mengikatnya dengan kuat pada dahan tersebut.
Tak berapa lama, tali terikat cukup kencang dan ujung yang lain sudah siap untuk dikalungkan di lehernya. Tetes air matanya tak tertahan lagi. Mencoba mengulur waktu berfikir sejenak apakah ini memang jalannya. Namun tekatnya telah bulat, langkahnya sudah tak bisa kembali dan semua deritanya di dunia ini sudah dia niatkan berakhir malam ini.
Pelan-pelan dia mengalungkan dan mengencangkan tali tersebut ke lehernya sambil sedikit membungkuk. Talinya memang tidak terlalu panjang. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit dirinya masih ragu. Mencoba berfikir untuk mundur, tetapi dirinya sudah tidak bisa mundur. Mencoba untuk memperbaiki, tetapi dirinya sudah tidak memiliki asa.
“Selamat tinggal,” ucapnya lirih. Dirinya lalu melompat dari dahan tersebut. Terjun cukup cepat sampai lehernya tertarik oleh tali. “Ahkk, ehkk.” Suaranya keluar tertahan. Dirinya sekarang sudah menggantung dengan tubuh yang mengejang tak terkendali.
Lehernya terlilit tali dengan kencang, nafasnya sudah tidak bisa keluar dengan lancar dan aliran darahnya ke otak lambat laun semakin sedikit. Lidahnya menjulur sepanjang-panjangnya, matanya melotot karena dorongan dari otot-ototnya yang sudah kencang. Makin lama kesadarannya makin hilang, detak jantungnya makin cepat dan akhirnya berhenti dengan keadaan nyawanya sudah terlepas dari tubuhnya.
Mata kepalanya melihat ke sekitar, waspada terhadap sesuatu yang mungkin bisa menggagalkan aksinya kali ini. Hanya cahaya jingga yang menembus melalui sela-sela pepohonan, membuat suasana tampak seram.
Dirinya sudah tidak perduli lagi dengan hal tersebut. Sampai, dia berhenti di salah satu pohon dengan dahan yang tidak terlalu tinggi. Dirinya mendekati pohon tersebut dan mengambil isi dari kantong plastik. Sebuah tali tambang berwarna biru, dengan ujung yang sedikit mengudar.
Tubuhnya coba memanjat dengan susah payah, menggapai dahan tersebut dan duduk diatasnya. Tangannya cukup lihai dalam menyimpulkan tali tersebut, mengikatnya dengan kuat pada dahan tersebut.
Tak berapa lama, tali terikat cukup kencang dan ujung yang lain sudah siap untuk dikalungkan di lehernya. Tetes air matanya tak tertahan lagi. Mencoba mengulur waktu berfikir sejenak apakah ini memang jalannya. Namun tekatnya telah bulat, langkahnya sudah tak bisa kembali dan semua deritanya di dunia ini sudah dia niatkan berakhir malam ini.
Pelan-pelan dia mengalungkan dan mengencangkan tali tersebut ke lehernya sambil sedikit membungkuk. Talinya memang tidak terlalu panjang. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit dirinya masih ragu. Mencoba berfikir untuk mundur, tetapi dirinya sudah tidak bisa mundur. Mencoba untuk memperbaiki, tetapi dirinya sudah tidak memiliki asa.
“Selamat tinggal,” ucapnya lirih. Dirinya lalu melompat dari dahan tersebut. Terjun cukup cepat sampai lehernya tertarik oleh tali. “Ahkk, ehkk.” Suaranya keluar tertahan. Dirinya sekarang sudah menggantung dengan tubuh yang mengejang tak terkendali.
Lehernya terlilit tali dengan kencang, nafasnya sudah tidak bisa keluar dengan lancar dan aliran darahnya ke otak lambat laun semakin sedikit. Lidahnya menjulur sepanjang-panjangnya, matanya melotot karena dorongan dari otot-ototnya yang sudah kencang. Makin lama kesadarannya makin hilang, detak jantungnya makin cepat dan akhirnya berhenti dengan keadaan nyawanya sudah terlepas dari tubuhnya.
-Akhir dari Prolog-
.SELAMAT DATANG.

Spoiler for INDEKS:
Spoiler for PENTING!:
TS mengharapkan saran,kritik dan opini dari pembaca, serta masukan dan sebisa mungkin untuk pembaca meninggalkan jejak di trit ini.
TS juga menghimbau, jika ada penulisan atau kata-kata yang salahatau Typo agar diberi tahukan melalui post komentar.
.TERIMA KASIH.
TS juga menghimbau, jika ada penulisan atau kata-kata yang salahatau Typo agar diberi tahukan melalui post komentar.
.TERIMA KASIH.
----------~~~~~~~~~~----------
Diubah oleh ian.13 16-05-2017 08:55
anasabila memberi reputasi
2
16.8K
Kutip
129
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ian.13
#61
Part 8
Quote:
Hampir satu jam Dimas berdiri di samping Bayu tanpa melakukan apapun selain melihat Bayu sedang mengerjakan tugasnya. Bayu dengan cekatan mengerjakan tugasnya, sampai, jari jemarinya berhenti. Dari papan ketiknya, sekarang tangan kanannya berpindah memegang tetikus dan mengarahkan panah kecil di layarnya menuju gambar disket kecil yang berada di pojok kiri atas untuk menyimpan datanya tersebut.
Dirinya berdiri dan sejenak menatap Dimas, seperti memberi perintah agar mengikutinya. Mereka kemudian menuju toilet kantor tersebut.
Sebuah kaca dengan ukuran satu kali dua meter dan dua buah wastafel, menyambut mereka saat membuka pintu toilet. Ruangan toilet cukup luas dengan dua buah bilik dan tiga buah tempat buang air kencing pria. Toilet satu-satunya ini biasa digunakan oleh semua karyawan tanpa memandang jenis kelamin.
“Oke, sekarang bicaralah di sini, Pak Dimas,” ucap Bayu yang memang sudah mengerti maksud dari Dimas.
Pandangan Dimas masih memindai seisi toilet, “Aku hanya ingin memberitahukan kamu untuk merahasiakan ini, kematian aku dan semua tentang diriku.”
Bayu mengangguk. Pandangan Dimas pun masih melihat ke sekitar. Suasana pun dilanjutkan dengan keheningan sejenak.
“Lalu siapa wanita yang bersamamu, Pak?” tanya Bayu penasaran.
Dimas tersenyum, “Kamu kenal dia?” tanya balik Dimas.
Bayu menggelengkan kepalanya. “Nanti aku kenalkan kau dengan dia,” lanjut Dimas.
Dalam senyumnya, Bayu teringat sesuatu yang mungkin mereka berdua lupakan. Dimas pun keheranan dengan ekspresi wajah Bayu yang tiba-tiba berubah.
“Pak, Bapak enggak dikejar-kejar sama setan yang sereminkan, Pak?” tanya Bayu dengan wajah sedikit ketakutan.
Dimas menggeleng-gelengkan kepala, dirinya bingung dengan apa yang tiba-tiba Bayu tanyakan. “Emangnya kenapa, Bay?” tanya Dimas penasaran.
Bayu melemparkan senyum agar menenangkan suasana, “Ah, enggak kok, Pak.”
Dalam membangun perusahaannya, Bayu memang memegang peranan penting, bukan tentang kinerjanya, tapi tentang hal lain yang awal mulanya tidak pernah terpikirkan oleh Dimas.
“Yaudah, kamu balik lagi sana kerja, nanti aku kalau butuh apa-apa tinggal aku telepon kamu,” ucap Dimas yang sedikit membuat kaget Bayu.
“Telepon?, bagaimana bisa?” tanya Bayu dengan wajah keheranan.
“Sudah, nanti juga kamu tahu sendiri,” ucap Dimas sambil berjalan keluar dari toilet.
Mereka pun berpisah, Bayu kembali ke meja kerjanya dan Dimas kembali ke ruangan Kirana. Pikiran Dimas tetap memikirkan apa yang ditanyakan oleh Bayu barusan, tentang setan yang menyeramkan yang mengejar-ngejar dirinya.
Dimas masuk dengan menembus kaca sekat ruangan, duduk kembali di sofa dengan tatapan yang serius. Ayu dan Kirana tengah asyik menonton sebuah film di layar monitor.
“Bebs, kenapa?, sini deh filmnya seru,” ucap Ayu yang melihat Dimas.
“Enggak kok, aku jadi kepikiran sama sesuatu setelah ngobrol sama si Bayu,” jawab Dimas dengan nada serius.
Ayu pun mendekati Dimas dan duduk di sampingnya, “Kepikiran kenapa?” tanya Ayu penasaran.
“Dia nanya, ada setan yang ngejar-ngejar aku atau enggak, aku jawab enggak...,” jelas Dimas.
Ayu mengangguk, “Terus?.”
“Aku kepikiran aku pernah ikut pesugihan, Yu,” ucap Dimas.
“APA!” teriak Kirana mengagetkan Ayu dan Dimas, “kok, dia jadi pacar si cewek ini...,” ucap Kirana lanjut.
“Sialan, kata-kata aku dicuri,” ucap Ayu mengeluh, “ulangi lagi, Bebs.”
“Hah, yaudah. Aku kepikiran aku pernah ikut pesugihan, Yu,” ucap Dimas.
“APA!, kamu ikut pesugihan?” ucap Ayu terkaget mendengar kata-kata Dimas.
Dimas mengangguk, “Tapi dari kemarin, kita enggak ada yang ngikutin, kan?” tanya Dimas memastikan.
“Enggak kok, aku rasa,” jawab Ayu, “eh, tapi kenapa bisa kamu ikut pesugihan?” tanya Ayu penasaran.
“Itu karena si Bayu juga...,” ucapnya sambil mengingat-ingat. “Jadi waktu awal-awal aku bangun perusahaan ini, karyawannya masih tiga orang dan kita belum ke sini, masih di tempat kecil, komputer juga bekas, lemot, pokoknya masa suram deh.
“Terus si Bayu inilah yang diam-diam ngajak aku coba pake pesugihan,” jelas Dimas.
“Bodoh, banget sih kamu, ikut-ikut kaya gitu, sekarang kamu yang dikejar buat jadi budak setan tapi yang enak tuh si Kirana.” Ayu tak habis pikir, ternyata perusahaan Dimas berjalan dari hasil pesugihan.
“Iya, gimana lagi dong, bener-bener aku enggak tahan waktu masa sulit itu,” ucap Dimas.
Ayu sedikit berfikir, “Yaudah, kalau ada yang ngejar, kita tinggal lari... aku mau lanjut nonton film lagi,” ucap Ayu sambil menuju belakang Kirana.
Dimas pun bersandar sambil melihat ke arah lampu neon, sedikit berfikir apakah dirinya akan jadi budak setan, atau dia bisa sedikit mengulur-ngulur waktu.
Suara mobil yang sedang dinyalakan terdengar lembut. Kirana pulang lebih awal, tepatnya jam tiga sore. Dimas dan Ayu sudah duduk manis di kursi tengah mobil, mengikuti kemana Kirana akan pergi.
Jalanan belum terlalu padat, namun tambahan dua puluh menit waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai kediaman Kirana.
Sesampainya di rumah, Kirana langsung masuk ke kamarnya, sedangkan Dimas dan Ayu melihat Pocong di ruang televisi sedang menonton, duduk di samping Bibi pembantu.
“Woy, pacaran mulu kamu,” ucap Dimas meledek.
“Lah, emang kalian enggak pacaran apa?” ledekan balik dari Pocong.
Dimas dan Ayu merasakan suasana yang canggung mendengar kata-kata Pocong. Wajah Ayu sedikit memerah, senyumnya dia tahan agar tidak terlalu melengkung terlihat. Dimas pun tak jauh berbeda, hanya saja dia lebih memilih tertawa menutupi rasa malunya.
“Sialan lu, Cong,” umpat Dimas.
Dimas dan Ayu lalu menuju kamar Kirana, Pocong pun bangkit dan ikut masuk ke kamar.
Kirana, tidak terlihat di kamarnya, namun suaranya terdengar dari dalam kamar mandi sedang menyanyikan sebuah lagu.
Ketiga setan pun duduk di samping tempat tidur seperti biasa, Dimas dan Pocong sepertinya akan suka tempat ini.
“Gimana?, dapet petunjuk?” tanya Pocong.
“Enggak, dia dari tadi asyik nonton bareng si Ayu nih,” ucap Dimas kesal. Ayu hanya tersenyum.
Dimas pun teringat sesuatu, “Eh, Cong, kamu tahu tentang pesugihan enggak?” tanya Dimas.
“Tahu dong, emang kenapa?” ucap Pocong.
“Katanya nanti yang ikutan bakal dicari sama setan yang nyeremin, yah?”
“Iyah, emang, buat dibawa dan dijadikan budak, nanti budaknya itu yang kerja buat pesugihan-pesugihan lain.”
Dimas pun mengangguk mengerti, “Terus gimana biar kita bebas dari tuh perbudakan?.”
“Ya, kalau udah ketangkep, kamu enggak bisa keluar,” jawab Pocong.
“Terus, aku harus gimana?” tanya Dimas.
Pocong mengernyitkan dahinya yang penuh dengan koreng. “Kamu ikut pesugihan?” tanya Pocong seperti tidak percaya.
“Iya, lalu gimana?” tanya Dimas.
“Kamu harus menguburkan jasadmu sebelum tertangkap oleh setan yang sekarang sedang mengincarmu,” ucap Pocong.
“Ta-tapi, jasadku tergantung dan mungkin tidak ada yang sadar dan menguburnya,” ucap Dimas takut.
“Ya, mungkin kamu bisa mencoba untuk memberitahu orang yang mungkin kamu kenal,” usul Pocong.
“Aku berencana pergi ke rumahku malam ini, mungkin akan aku pikirkan di jalan.”
“Malam ini?, berhati-hatilah, mungkin mereka sedang menunggumu di luar sana.”
Dirinya berdiri dan sejenak menatap Dimas, seperti memberi perintah agar mengikutinya. Mereka kemudian menuju toilet kantor tersebut.
Sebuah kaca dengan ukuran satu kali dua meter dan dua buah wastafel, menyambut mereka saat membuka pintu toilet. Ruangan toilet cukup luas dengan dua buah bilik dan tiga buah tempat buang air kencing pria. Toilet satu-satunya ini biasa digunakan oleh semua karyawan tanpa memandang jenis kelamin.
“Oke, sekarang bicaralah di sini, Pak Dimas,” ucap Bayu yang memang sudah mengerti maksud dari Dimas.
Pandangan Dimas masih memindai seisi toilet, “Aku hanya ingin memberitahukan kamu untuk merahasiakan ini, kematian aku dan semua tentang diriku.”
Bayu mengangguk. Pandangan Dimas pun masih melihat ke sekitar. Suasana pun dilanjutkan dengan keheningan sejenak.
“Lalu siapa wanita yang bersamamu, Pak?” tanya Bayu penasaran.
Dimas tersenyum, “Kamu kenal dia?” tanya balik Dimas.
Bayu menggelengkan kepalanya. “Nanti aku kenalkan kau dengan dia,” lanjut Dimas.
Dalam senyumnya, Bayu teringat sesuatu yang mungkin mereka berdua lupakan. Dimas pun keheranan dengan ekspresi wajah Bayu yang tiba-tiba berubah.
“Pak, Bapak enggak dikejar-kejar sama setan yang sereminkan, Pak?” tanya Bayu dengan wajah sedikit ketakutan.
Dimas menggeleng-gelengkan kepala, dirinya bingung dengan apa yang tiba-tiba Bayu tanyakan. “Emangnya kenapa, Bay?” tanya Dimas penasaran.
Bayu melemparkan senyum agar menenangkan suasana, “Ah, enggak kok, Pak.”
Dalam membangun perusahaannya, Bayu memang memegang peranan penting, bukan tentang kinerjanya, tapi tentang hal lain yang awal mulanya tidak pernah terpikirkan oleh Dimas.
“Yaudah, kamu balik lagi sana kerja, nanti aku kalau butuh apa-apa tinggal aku telepon kamu,” ucap Dimas yang sedikit membuat kaget Bayu.
“Telepon?, bagaimana bisa?” tanya Bayu dengan wajah keheranan.
“Sudah, nanti juga kamu tahu sendiri,” ucap Dimas sambil berjalan keluar dari toilet.
Mereka pun berpisah, Bayu kembali ke meja kerjanya dan Dimas kembali ke ruangan Kirana. Pikiran Dimas tetap memikirkan apa yang ditanyakan oleh Bayu barusan, tentang setan yang menyeramkan yang mengejar-ngejar dirinya.
Dimas masuk dengan menembus kaca sekat ruangan, duduk kembali di sofa dengan tatapan yang serius. Ayu dan Kirana tengah asyik menonton sebuah film di layar monitor.
“Bebs, kenapa?, sini deh filmnya seru,” ucap Ayu yang melihat Dimas.
“Enggak kok, aku jadi kepikiran sama sesuatu setelah ngobrol sama si Bayu,” jawab Dimas dengan nada serius.
Ayu pun mendekati Dimas dan duduk di sampingnya, “Kepikiran kenapa?” tanya Ayu penasaran.
“Dia nanya, ada setan yang ngejar-ngejar aku atau enggak, aku jawab enggak...,” jelas Dimas.
Ayu mengangguk, “Terus?.”
“Aku kepikiran aku pernah ikut pesugihan, Yu,” ucap Dimas.
“APA!” teriak Kirana mengagetkan Ayu dan Dimas, “kok, dia jadi pacar si cewek ini...,” ucap Kirana lanjut.
“Sialan, kata-kata aku dicuri,” ucap Ayu mengeluh, “ulangi lagi, Bebs.”
“Hah, yaudah. Aku kepikiran aku pernah ikut pesugihan, Yu,” ucap Dimas.
“APA!, kamu ikut pesugihan?” ucap Ayu terkaget mendengar kata-kata Dimas.
Dimas mengangguk, “Tapi dari kemarin, kita enggak ada yang ngikutin, kan?” tanya Dimas memastikan.
“Enggak kok, aku rasa,” jawab Ayu, “eh, tapi kenapa bisa kamu ikut pesugihan?” tanya Ayu penasaran.
“Itu karena si Bayu juga...,” ucapnya sambil mengingat-ingat. “Jadi waktu awal-awal aku bangun perusahaan ini, karyawannya masih tiga orang dan kita belum ke sini, masih di tempat kecil, komputer juga bekas, lemot, pokoknya masa suram deh.
“Terus si Bayu inilah yang diam-diam ngajak aku coba pake pesugihan,” jelas Dimas.
“Bodoh, banget sih kamu, ikut-ikut kaya gitu, sekarang kamu yang dikejar buat jadi budak setan tapi yang enak tuh si Kirana.” Ayu tak habis pikir, ternyata perusahaan Dimas berjalan dari hasil pesugihan.
“Iya, gimana lagi dong, bener-bener aku enggak tahan waktu masa sulit itu,” ucap Dimas.
Ayu sedikit berfikir, “Yaudah, kalau ada yang ngejar, kita tinggal lari... aku mau lanjut nonton film lagi,” ucap Ayu sambil menuju belakang Kirana.
Dimas pun bersandar sambil melihat ke arah lampu neon, sedikit berfikir apakah dirinya akan jadi budak setan, atau dia bisa sedikit mengulur-ngulur waktu.
⸫⸫⸫
Suara mobil yang sedang dinyalakan terdengar lembut. Kirana pulang lebih awal, tepatnya jam tiga sore. Dimas dan Ayu sudah duduk manis di kursi tengah mobil, mengikuti kemana Kirana akan pergi.
Jalanan belum terlalu padat, namun tambahan dua puluh menit waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai kediaman Kirana.
Sesampainya di rumah, Kirana langsung masuk ke kamarnya, sedangkan Dimas dan Ayu melihat Pocong di ruang televisi sedang menonton, duduk di samping Bibi pembantu.
“Woy, pacaran mulu kamu,” ucap Dimas meledek.
“Lah, emang kalian enggak pacaran apa?” ledekan balik dari Pocong.
Dimas dan Ayu merasakan suasana yang canggung mendengar kata-kata Pocong. Wajah Ayu sedikit memerah, senyumnya dia tahan agar tidak terlalu melengkung terlihat. Dimas pun tak jauh berbeda, hanya saja dia lebih memilih tertawa menutupi rasa malunya.
“Sialan lu, Cong,” umpat Dimas.
Dimas dan Ayu lalu menuju kamar Kirana, Pocong pun bangkit dan ikut masuk ke kamar.
Kirana, tidak terlihat di kamarnya, namun suaranya terdengar dari dalam kamar mandi sedang menyanyikan sebuah lagu.
Ketiga setan pun duduk di samping tempat tidur seperti biasa, Dimas dan Pocong sepertinya akan suka tempat ini.
“Gimana?, dapet petunjuk?” tanya Pocong.
“Enggak, dia dari tadi asyik nonton bareng si Ayu nih,” ucap Dimas kesal. Ayu hanya tersenyum.
Dimas pun teringat sesuatu, “Eh, Cong, kamu tahu tentang pesugihan enggak?” tanya Dimas.
“Tahu dong, emang kenapa?” ucap Pocong.
“Katanya nanti yang ikutan bakal dicari sama setan yang nyeremin, yah?”
“Iyah, emang, buat dibawa dan dijadikan budak, nanti budaknya itu yang kerja buat pesugihan-pesugihan lain.”
Dimas pun mengangguk mengerti, “Terus gimana biar kita bebas dari tuh perbudakan?.”
“Ya, kalau udah ketangkep, kamu enggak bisa keluar,” jawab Pocong.
“Terus, aku harus gimana?” tanya Dimas.
Pocong mengernyitkan dahinya yang penuh dengan koreng. “Kamu ikut pesugihan?” tanya Pocong seperti tidak percaya.
“Iya, lalu gimana?” tanya Dimas.
“Kamu harus menguburkan jasadmu sebelum tertangkap oleh setan yang sekarang sedang mengincarmu,” ucap Pocong.
“Ta-tapi, jasadku tergantung dan mungkin tidak ada yang sadar dan menguburnya,” ucap Dimas takut.
“Ya, mungkin kamu bisa mencoba untuk memberitahu orang yang mungkin kamu kenal,” usul Pocong.
“Aku berencana pergi ke rumahku malam ini, mungkin akan aku pikirkan di jalan.”
“Malam ini?, berhati-hatilah, mungkin mereka sedang menunggumu di luar sana.”
-Akhir dari Part 8-
0
Kutip
Balas