- Beranda
- Stories from the Heart
LUKAS: Aku Bisa Melihat Hantu
...
TS
rahasiabgt
LUKAS: Aku Bisa Melihat Hantu
Quote:
Untuk agan dan aganwati di mana pun kalian berada, ane persembahkan trit ini untuk kalian. Jujur, ane bingung mau share sama siapa. Soalnya, banyak kawan ane yang gak percaya tentang cerita ane. Daripada dongkol, lebih baik ane ceritain di mari. So, selamat menikmati
Spoiler for Pernah Jadi Top Threads:
Quote:
HEHE, JADI TOP THREADS! DIADABADIKAN DULU LAH YE.. MAKASIH SEMUA
Quote:
Oh iya gan. Ane juga mau sekalian jelasin. Di sini ane lebih banyak ceritain tentang gimana di balik matinya 'mereka'. Karena, sebagai 'makhluk lain' mereka aslinya juga pengin didengerin loh gan. Jadi sekali lagi ane tekankan, cerita ini lebih banyak membongkar kenapa mereka mati, kehidupan sebelum dan seudah mati, dsb. Kalau minta serem... hehe...
HANYA MAHO YANG BOLEH SEBAR SPAM, JUNK, DAN SAMPAH GAK BERMUTU DI KOMEN!!!
PROLOG
Quote:
Hai, namaku Lucas dan aku bisa melihat… hantu.
Pertama kali aku menyadari ‘kelebihan’ ini sewaktu umurku menginjak 5 tahun. Waktu itu, aku terjatuh dari tangga. Kakiku terkilir. Aku menangis, berteriak minta tolong. Dalam tangis itulah, di balik remang mataku yang tertutup air mata, aku melihat sosok gadis kecil berpenampilan serba hitam, berdiri tak jauh dariku. Ia memperhatikanku dengan tatapan tajam dengan bola mata yang terlihat hitam semua.
Tak berapa lama kemudian datang nenekku, menolong. Beliau menggendongku seraya menenangkan. Didudukkannya aku di kursi panjang ruang tamu. Beliau mengurut kakiku. Aku meringis kesakitan. Gadis serba hitam di ujung sana masih mengamatiku.
Selesai mengurut, aku bertanya pada Nenek. “Nek, siapa gadis itu?” tanyaku sambil menunjuk gadis kumaksud.
Nenek, seraya tersenyum, menjawab dengan lembut, “Tidak ada siapapun selain Nenek dan kamu, Lucas.” Dan beliau pergi meninggalkanku… bersama ‘gadis’ di ujung sana.
Aku meneguk ludah. Merinding melihat sosok tersebut mendekat.
****
Lanjut di mari gan >Cerita 1 : Gita Si Penyanyi
Yuk gan! Mari budayakan komen. Kritik saran yg membangun selalu ane tunggu demi tulisan yang lebih rapi
Quote:
Diubah oleh rahasiabgt 03-08-2017 07:23
anasabila memberi reputasi
1
13.3K
Kutip
65
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rahasiabgt
#37
Cerita 3 : Kisah Sedih Margareth
UPDATE!
Quote:
Kisah Sedih Margareth
Lanjut di mari gan >> Cerita 4 : Kuntilanak itu bernama Kunti
Spoiler for Jangan dibuka!:
Malam ini, tahu-tahu Margareth menemuiku. Aku yang sedang asyik melamun terjengkang melihatnya muncul tiba-tiba. Bola matanya yang hitam semua sungguh mengerikan. Jangan salah, meski aku sering ‘ngobrol’ bareng Margareth. Tapi kalau dia muncul tiba-tiba begini aku juga takut.
Dia duduk di sampingku. Menatap bulan separuh yang nampak cantik dengan taburan bintang di atas sana. Wajah pucatnya memantulkan cahaya bulan. Matanya basah tergenang air mata. Biasa. Dia sering begitu.
“Kamu kenapa?” tanyaku setelah kembali duduk di sebelahnya.
Margareth tidak menjawab. Aku melengos, kembali bertopang dagu. Menunggu Gita berdendang. Sesekali kulirik Margareth yang mematung. Bola mata hitamnya tidak bisa dibaca apakah dia sedang galau atau bagaimana. Hanya rembesan air mata yang tergenang di sudut mata. Itupun aku tak bisa menyimpulkan apa-apa. Bisa saja, kan, dia kelilipan debu gaib atau menguap berlebihan. Siapa tahu?
“Margareth, kalau kamu mau cerita, cerita saja seperti biasa,” bujukku teringat kalau dia muncul tiba-tiba berarti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Meski tidak jarang itu cerita yang sama.
Gadis gaib itu belum mau merespon. Aku mengangkat dua bahu, terserah, lalu kembali menunggu Gita bersenandung. Ah… Sungguh, suaranya sangat menghiburku. Andai Gita tahu. Andai.
Tahu-tahu, Margareth menjulurkan telapak tangannya di depanku. Aku terkejut, menatapnya bingung. Ia menganggukkan kepala. Ragu, aku mencoba menyentuh telapak tangannya.
Dan sesuatu pun terjadi.
****
Namaku Margaretha Anastasia. Ayahku seorang sersan sedangkan Ibuku adalah perawat di salah satu rumah sakit milik Belanda yang dibangun di Indonesia. Sampai umur 10 tahun, aku tinggal di Belanda. Namun kabar itu datang. Ayah ditransfer ke sebuah negeri antah berantah yang kini disebut Indonesia. Kata beliau, negeri itu punya kekayaan alam yang melimpah. Mau tidak mau kami berangkat.
Sampai di Indonesia, hal pertama yang aku lihat adalah tatapan bengis dan takut dari penduduk asli. Aku yang waktu itu masih kecil menganggap itu sebuah ancaman. Ancaman kalau aku tak akan mendapat banyak teman baru di negeri ini.
“Mam, kenapa mereka menatap kita begitu? Apa kita mengerikan?” tanyaku polos.
Mama tersenyum menenangkan. Ia berkata lembut, “Nee, Schatjie(Tidak, Sayangku). Mungkin mereka belum terbiasa saja dengan kehadiran orang asing. Yang Mama dengar, pribumi (sebutan kasta terrendah untuk penduduk asli) baik dan ramah-ramah. Kamu pasti akan mendapat banyak teman, Schat.”
Aku mengangguk pelan. Mencoba mengaburkan pandangan bengis nan mengancam itu.
Sampai di rumah baru, kami disambut 3 orang pribumi. Seorang laki-laki tua beserta istri dan anak perempuannya yang cantik. Ternyata Mama benar. Mereka ramah. Senyum penuh ketulusan terpampang indah di wajah-wajah aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Kenapa aku bilang aneh? Lihatlah rambut mereka. Tidak pirang atau merah seperti warna rambutku dan Mama. Kulit mereka juga coklat, tapi bagus.
“Goeden morgen,” sapa laki-laki itu. Aku terkejut dia bisa bahasa Belanda.
Kemudian mereka memperkenalkan diri. Pria itu bernama Dirman, istrinya bernama Cahya, sedang anak cantik itu bernama Ayu.
Setelah perkenalan singkat itu, kami sekeluarga cepat sekali akrab dengan keluarga Pak Dirman. Apalagi mereka fasih berbahasa Belanda. Aku senang. Sebagai gantinya, Ayu sering mengajariku bahasa Indonesia dan mengenalkanku pada teman-temannya. Awalnya canggung karena perbedaan bahasa. Namun karena aku semangat belajar bahasa pribumi, jadilah dalam waktu kurang dari 2 tahun aku lancar berbahasa dan mendapat banyak kawan. Melupakan tatapan bengis di awal.
Mama juga senang tinggal di negeri ini. Penduduknya ramah, suka menolong meski tidak kenal, dan murah senyum. Mama pun juga tidak kesulitan berkomunikasi dengan lokal (Mama kini enggan menyebut pribumi karena itu adalah penghinaan).
“Schat, Mama harap kamu bisa bertingkah sebaik penduduk lokal. Lihatlah mereka. Meski mereka miskin tetapi mereka memiliki hati yang kaya raya. Meski mereka hidup dengan baju ala kadarnya, tapi mereka senantiasa bersyukur.” Mama berpetuah suatu waktu. Aku mengangguk.
Tanpa terasa, sudah 3 tahun aku tinggal di negeri ini. Di umur yang ketiga belas, aku berdoa semoga bisa menutup mata di negeri nan ramah ini. Aku bahagia. Amat sangat bahagia.
Oh iya, selain Ayu yang jadi sahabatku, aku punya Bibi Cahya. Dia sudah aku anggap sebagai ibu keduaku di sini. Setiap Mama berangkat kerja, ada Bi Cahya yang menemaniku. Aku tidak sekolah karena Ayah tidak mengijinkanku. Nanti aku ceritakan. Beliau berbaik hati mengajari segala ilmu yang dia tahu. Beliau pandai bercerita. Aku suka mendengar ceritanya yang entah kapan tahu habisnya. Aku terkesan.
Setiap sore, beliau menyisir rambutku sambil bersenandung lagu-lagu dengan bahasa aneh. Walau tak paham lirik, namun lagu itu terdengar indah. Bibi Cahya juga sering berkata, “Kamu dan Ayu itu seumuran. Jadi, kamu sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Oh, Margareth, kamu tahu arti nama Ayu?” Aku menggeleng. “Ayu itu cantik. Ibu berharap anak Ibu bisa besar membawa kecantikan yang luar biasa dari dalam maupun dari luar. Dan, kamu tahu tidak? Ibu juga selalu berdoa semoga kamu bisa seperti dia. Cantik luar dalam. Ya?”
Dan setiap kali beliau memujiku, pipiku memerah. Kontras sekali dengan warna kulitku.
Lalu ada Pak Dirman yang sudah seperti pelindung keduaku setelah Ayah. Beliau dengan senang hati mengantarku kemanapun aku mau. Dan beliau selalu sigap jika ada penduduk lokal yang hendak menghina atau berlaku tidak baik kepadaku. Beliau orang terberani yang pernah aku kenal.
Pernah suatu hari, aku mencuri dengar dari kawan-kawan. Pak Dirman dianggap pengkhianat karena membela penduduk bangsaku. Lebih memilih melindungiku dibanding mereka. Mendengar itu, aku sedih. Lalu kuutarakan apa yang aku dengar pada Pak Dirman. Beliau dengan santai menjelaskan, “Nak, sebenarnya bapak juga sedih dibilang pengkhianat. Tapi itu dulu. Sekarang, terserah mereka mau berkata apa. Lagipula yang bapak lakukan tidak salah, bukan? Bapak hanya berbuat baik kepada sesama. Kepada kamu, Mamamu, dan Ayahmu.” Beliau tersenyum sembari mengacak rambutku.
Aku tersenyum getir. Beliau menganggap kami baik. Entah kenapa, aku merasa tidak sebaik itu. Ini semua karena Ayahku, kini ia seorang jenderal.
Bukan. Aku tidak menganggap Ayahku bukan orang baik. Tapi, sejak pindah ke Indonesia, sikap beliau berubah 180 derajat. Beliau jadi senang membeda-bedakan. Menganggap ras kami lebih baik dari pribumi. Menganggap kami adalah pemilik negeri indah ini. Menganggap kami lebih segala-galanya.
Itulah alasan kenapa aku tidak disekolahkan. Soalnya di sini hanya ada sekolah negeri. Sedangkan Ayah ingin aku bersekolah di sekolah elit. Pernah suatu kali aku merajuk ingin sekolah. Tapi Ayah malah membentak dan memarahiku dengan kata-kata kasar. Seakan ada sesuatu yang memancing emosinya jika aku menyangkut-pautkan penduduk lokal. Aku benci itu.
Selain itu, aku benci jika ada anak buah Ayah yang menginap di rumah. Mereka berisik. Suka membuat rumah berantakan. Belum lagi rokok dan minuman keras. Arh! Aku benci. Kasihan Pak Dirman dan Bibi Cahya harus membersihkan sampah mereka.
Namun, dari semua anak buah Ayah, ada satu yang baik padaku. Namanya Daniel. Dia sukarelawan yang dikirim dari negeriku ke Indonesia untuk mengawasi para pekerja. Daniel sering bercerita hal-hal yang lucu, motivasi, bahkan tak jarang dia bercerita bagaimana sedihnya jauh dari keluarga.
Sayang, ternyata kebaikannya itu hanya sementara. Sampai kejadian malang itu menimpaku.
Hari itu, tepat 6 tahun aku tinggal di Indonesia, Ayah dan Mama beserta keluarga Pak Dirman (termasuk Ayu) diboyong ke luar kota. Ada pekerjaan penting katanya. Aku diminta menjaga rumah. Mulanya aku menolak. Tapi Ayah berusaha menghiburku kalau ini tidak akan lama. Aku yang luluh, menurut. Berangkatlah mereka semua.
Malam harinya, tahu-tahu seseorang bertamu. Daniel. Aku senang dia hadir. Aku harap dia datang untuk menemaniku supaya aku tidak bosan sendirian. Dan benar saja, kehadirannya mampu membuatku terlepas dari belenggu kesepian.
Daniel bertanya, “Margareth, kira-kira berapa lama orang tua dan babumu itu pergi?”
Aku mengangkat kedua bahu. “Entahlah, aku rasa tidak akan lama. Paling 2-3 hari. Kenapa memangnya?”
“Tidak ada.” Daniel menyeringai. Menatapku dengan tatapan aneh. Ia beringsut mendekatiku. “Margareth, kamu sudah punya pacar?”
Aku menggeleng, bergeser. “Dan, kamu kenapa?”
Entah dorongan darimana, tiba-tiba Daniel membekapku. Aku meronta, melawan. Sial, dia terlalu kuat. Dia mencoba menciumiku. Astaga, saat itu aku memperkuat tenaga. Berontak. Berhasil. Aku berlari menuju pintu depan. Argh! Daniel menahanku dan memelukku sekuat yang ia bisa. Dibawanya aku ke kamar. Sampai di kamar, badanku dihempaskan ke kasur dan dia memukuliku. Sakit sekali. Keparat itu lantas mengikat tangan dan kakiku. Ia merobek gaunku dan…. aku dirudapaksa.
Rasanya sakit, malu, marah bercampur jadi satu. Aku tidak menyangka kalau orang yang kuanggap baik bisa berbuat sebiadab ini kepadaku. Ia memperlakukanku seperti mainannya. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Amat sangat sakit. beberapa kali kesadaranku turun. Percuma minta tolong. Suara hujan di luar terlalu deras untuk aku kalahkan dengan sisa-sisa suaraku.
Puas dengan perilakunya, tahu-tahu ia pergi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu bagaimana reaksi keluargaku melihat dan mengetahui semua ini. dengan sisa tenaga yang ada, aku berusaha melepaskan ikatan yang menyakiti tanganku terlebih dahulu. Gagal. Ikatan ini begitu kuat. Semakin keras aku mencoba, semakin sakit pergelangan tanganku dibuatnya.
Tak berapa lama kemudian, Daniel kembali. Dia tidak sendiri. datang belasan kawannya. “Malam ini kita berpesta! Ayo nikmati pelac*r cantik ini!” pekik Daniel disusul pelampiasan nafsu bejat mereka satu per satu.
Yang aku ingat, rasa sakit yang begitu menyiksa membuat kesadaranku benar-benar turun. Hanya terdengar suara-suara buas mereka. Dalam gelap itu pula, aku memohon pada Tuhan. Hentikan semua ini. Aku ingin bertemu dengan Ayah, Mama dan Pak Dirman untuk mengadu perbuatan mereka. Aku berdoa. Terus berdoa.
Sayang, usaha terakhirku sia-sia. Semuanya mendadak gelap. Membawa sakit dan sedih yang luar biasa.
****
Aku tersentak, lantas memandang Margareth. Ia menitikkan air mata. Hatiku pilu. Yang terjadi barusan adalah pikiranku ia koneksikan dengan pikirannya. Aku seperti melihat film hitam putih yang bedanya, aku bisa merasakan apa yang Margareth rasakan. Ngeri aku melihatnya mati tersiksa. Ingin menolong tapi tak sampai.
“Aku terkejut mengetahui bahwa aku sudah mati,” katanya tiba-tiba. “Waktu itu, aku terbangun di bawah pohon beringin besar itu. Di atasku, ada tubuhku yang tergantung mengerikan. Tidak jauh dari situ, pakaianku habis terbakar. Aku menangis.
“Beberapa hari setelahnya, keluargaku pulang. Mereka histeris menemukan mayatku yang mulai membusuk tergantung di pohon. Mama pingsan seketika. Ayah tanpa basa-basi langsung mencari tahu siapa yang berbuat kejam padaku. Sedang keluarga Pak Dirman meminta bantuan penduduk sekitar untuk membantu menurunkan mayatku.
“Aku sedih. Sedih karena tidak sempat berkata selamat tinggal pada Mama, Ayu, Bibi Cahya, Pak Dirman dan Ayah. Aku sedih mengetahui bahwa aku berbeda dunia dengan mereka. Aku sedih karena sampai sekarang tidak bisa mengadu pada mereka. Aku...” Margareth menangis. “Aku menyesal, kenapa saat itu tidak kupaksa Ayah untuk mengajakku. Aku menyesal, kenapa tidak pernah berkata yang sejujurnya kalau kawan-kawan Ayah itu memuakkan. Aku menyesal karena… Mama selalu sedih sejak kepergianku. Aku ingin menghiburnya, namun apa daya… aku tak bisa.”
Malam itu, setelah sekian lama, baru kali ini aku mendengar dan merasakan jadi Margareth di akhir hidupnya. Betapa sakit dan malunya dirudapaksa. Betapa hinanya derajat perempuan dalam posisi itu. Betapa aku ingin membalas perbuatan mereka. Ah!
Dan, kenyataan terakhir ini membuatku menitikkan air mata: betapa sedihnya tidak bisa lagi berjumpa dengan keluarga tercinta. Tidak dengan Ayah, Ibu, sanak keluarga, sampai teman-teman.
Oh, Margareth, andai semua orang tahu…
****
Dia duduk di sampingku. Menatap bulan separuh yang nampak cantik dengan taburan bintang di atas sana. Wajah pucatnya memantulkan cahaya bulan. Matanya basah tergenang air mata. Biasa. Dia sering begitu.
“Kamu kenapa?” tanyaku setelah kembali duduk di sebelahnya.
Margareth tidak menjawab. Aku melengos, kembali bertopang dagu. Menunggu Gita berdendang. Sesekali kulirik Margareth yang mematung. Bola mata hitamnya tidak bisa dibaca apakah dia sedang galau atau bagaimana. Hanya rembesan air mata yang tergenang di sudut mata. Itupun aku tak bisa menyimpulkan apa-apa. Bisa saja, kan, dia kelilipan debu gaib atau menguap berlebihan. Siapa tahu?
“Margareth, kalau kamu mau cerita, cerita saja seperti biasa,” bujukku teringat kalau dia muncul tiba-tiba berarti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Meski tidak jarang itu cerita yang sama.
Gadis gaib itu belum mau merespon. Aku mengangkat dua bahu, terserah, lalu kembali menunggu Gita bersenandung. Ah… Sungguh, suaranya sangat menghiburku. Andai Gita tahu. Andai.
Tahu-tahu, Margareth menjulurkan telapak tangannya di depanku. Aku terkejut, menatapnya bingung. Ia menganggukkan kepala. Ragu, aku mencoba menyentuh telapak tangannya.
Dan sesuatu pun terjadi.
****
Namaku Margaretha Anastasia. Ayahku seorang sersan sedangkan Ibuku adalah perawat di salah satu rumah sakit milik Belanda yang dibangun di Indonesia. Sampai umur 10 tahun, aku tinggal di Belanda. Namun kabar itu datang. Ayah ditransfer ke sebuah negeri antah berantah yang kini disebut Indonesia. Kata beliau, negeri itu punya kekayaan alam yang melimpah. Mau tidak mau kami berangkat.
Sampai di Indonesia, hal pertama yang aku lihat adalah tatapan bengis dan takut dari penduduk asli. Aku yang waktu itu masih kecil menganggap itu sebuah ancaman. Ancaman kalau aku tak akan mendapat banyak teman baru di negeri ini.
“Mam, kenapa mereka menatap kita begitu? Apa kita mengerikan?” tanyaku polos.
Mama tersenyum menenangkan. Ia berkata lembut, “Nee, Schatjie(Tidak, Sayangku). Mungkin mereka belum terbiasa saja dengan kehadiran orang asing. Yang Mama dengar, pribumi (sebutan kasta terrendah untuk penduduk asli) baik dan ramah-ramah. Kamu pasti akan mendapat banyak teman, Schat.”
Aku mengangguk pelan. Mencoba mengaburkan pandangan bengis nan mengancam itu.
Sampai di rumah baru, kami disambut 3 orang pribumi. Seorang laki-laki tua beserta istri dan anak perempuannya yang cantik. Ternyata Mama benar. Mereka ramah. Senyum penuh ketulusan terpampang indah di wajah-wajah aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Kenapa aku bilang aneh? Lihatlah rambut mereka. Tidak pirang atau merah seperti warna rambutku dan Mama. Kulit mereka juga coklat, tapi bagus.
“Goeden morgen,” sapa laki-laki itu. Aku terkejut dia bisa bahasa Belanda.
Kemudian mereka memperkenalkan diri. Pria itu bernama Dirman, istrinya bernama Cahya, sedang anak cantik itu bernama Ayu.
Setelah perkenalan singkat itu, kami sekeluarga cepat sekali akrab dengan keluarga Pak Dirman. Apalagi mereka fasih berbahasa Belanda. Aku senang. Sebagai gantinya, Ayu sering mengajariku bahasa Indonesia dan mengenalkanku pada teman-temannya. Awalnya canggung karena perbedaan bahasa. Namun karena aku semangat belajar bahasa pribumi, jadilah dalam waktu kurang dari 2 tahun aku lancar berbahasa dan mendapat banyak kawan. Melupakan tatapan bengis di awal.
Mama juga senang tinggal di negeri ini. Penduduknya ramah, suka menolong meski tidak kenal, dan murah senyum. Mama pun juga tidak kesulitan berkomunikasi dengan lokal (Mama kini enggan menyebut pribumi karena itu adalah penghinaan).
“Schat, Mama harap kamu bisa bertingkah sebaik penduduk lokal. Lihatlah mereka. Meski mereka miskin tetapi mereka memiliki hati yang kaya raya. Meski mereka hidup dengan baju ala kadarnya, tapi mereka senantiasa bersyukur.” Mama berpetuah suatu waktu. Aku mengangguk.
Tanpa terasa, sudah 3 tahun aku tinggal di negeri ini. Di umur yang ketiga belas, aku berdoa semoga bisa menutup mata di negeri nan ramah ini. Aku bahagia. Amat sangat bahagia.
Oh iya, selain Ayu yang jadi sahabatku, aku punya Bibi Cahya. Dia sudah aku anggap sebagai ibu keduaku di sini. Setiap Mama berangkat kerja, ada Bi Cahya yang menemaniku. Aku tidak sekolah karena Ayah tidak mengijinkanku. Nanti aku ceritakan. Beliau berbaik hati mengajari segala ilmu yang dia tahu. Beliau pandai bercerita. Aku suka mendengar ceritanya yang entah kapan tahu habisnya. Aku terkesan.
Setiap sore, beliau menyisir rambutku sambil bersenandung lagu-lagu dengan bahasa aneh. Walau tak paham lirik, namun lagu itu terdengar indah. Bibi Cahya juga sering berkata, “Kamu dan Ayu itu seumuran. Jadi, kamu sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Oh, Margareth, kamu tahu arti nama Ayu?” Aku menggeleng. “Ayu itu cantik. Ibu berharap anak Ibu bisa besar membawa kecantikan yang luar biasa dari dalam maupun dari luar. Dan, kamu tahu tidak? Ibu juga selalu berdoa semoga kamu bisa seperti dia. Cantik luar dalam. Ya?”
Dan setiap kali beliau memujiku, pipiku memerah. Kontras sekali dengan warna kulitku.
Lalu ada Pak Dirman yang sudah seperti pelindung keduaku setelah Ayah. Beliau dengan senang hati mengantarku kemanapun aku mau. Dan beliau selalu sigap jika ada penduduk lokal yang hendak menghina atau berlaku tidak baik kepadaku. Beliau orang terberani yang pernah aku kenal.
Pernah suatu hari, aku mencuri dengar dari kawan-kawan. Pak Dirman dianggap pengkhianat karena membela penduduk bangsaku. Lebih memilih melindungiku dibanding mereka. Mendengar itu, aku sedih. Lalu kuutarakan apa yang aku dengar pada Pak Dirman. Beliau dengan santai menjelaskan, “Nak, sebenarnya bapak juga sedih dibilang pengkhianat. Tapi itu dulu. Sekarang, terserah mereka mau berkata apa. Lagipula yang bapak lakukan tidak salah, bukan? Bapak hanya berbuat baik kepada sesama. Kepada kamu, Mamamu, dan Ayahmu.” Beliau tersenyum sembari mengacak rambutku.
Aku tersenyum getir. Beliau menganggap kami baik. Entah kenapa, aku merasa tidak sebaik itu. Ini semua karena Ayahku, kini ia seorang jenderal.
Bukan. Aku tidak menganggap Ayahku bukan orang baik. Tapi, sejak pindah ke Indonesia, sikap beliau berubah 180 derajat. Beliau jadi senang membeda-bedakan. Menganggap ras kami lebih baik dari pribumi. Menganggap kami adalah pemilik negeri indah ini. Menganggap kami lebih segala-galanya.
Itulah alasan kenapa aku tidak disekolahkan. Soalnya di sini hanya ada sekolah negeri. Sedangkan Ayah ingin aku bersekolah di sekolah elit. Pernah suatu kali aku merajuk ingin sekolah. Tapi Ayah malah membentak dan memarahiku dengan kata-kata kasar. Seakan ada sesuatu yang memancing emosinya jika aku menyangkut-pautkan penduduk lokal. Aku benci itu.
Selain itu, aku benci jika ada anak buah Ayah yang menginap di rumah. Mereka berisik. Suka membuat rumah berantakan. Belum lagi rokok dan minuman keras. Arh! Aku benci. Kasihan Pak Dirman dan Bibi Cahya harus membersihkan sampah mereka.
Namun, dari semua anak buah Ayah, ada satu yang baik padaku. Namanya Daniel. Dia sukarelawan yang dikirim dari negeriku ke Indonesia untuk mengawasi para pekerja. Daniel sering bercerita hal-hal yang lucu, motivasi, bahkan tak jarang dia bercerita bagaimana sedihnya jauh dari keluarga.
Sayang, ternyata kebaikannya itu hanya sementara. Sampai kejadian malang itu menimpaku.
Hari itu, tepat 6 tahun aku tinggal di Indonesia, Ayah dan Mama beserta keluarga Pak Dirman (termasuk Ayu) diboyong ke luar kota. Ada pekerjaan penting katanya. Aku diminta menjaga rumah. Mulanya aku menolak. Tapi Ayah berusaha menghiburku kalau ini tidak akan lama. Aku yang luluh, menurut. Berangkatlah mereka semua.
Malam harinya, tahu-tahu seseorang bertamu. Daniel. Aku senang dia hadir. Aku harap dia datang untuk menemaniku supaya aku tidak bosan sendirian. Dan benar saja, kehadirannya mampu membuatku terlepas dari belenggu kesepian.
Daniel bertanya, “Margareth, kira-kira berapa lama orang tua dan babumu itu pergi?”
Aku mengangkat kedua bahu. “Entahlah, aku rasa tidak akan lama. Paling 2-3 hari. Kenapa memangnya?”
“Tidak ada.” Daniel menyeringai. Menatapku dengan tatapan aneh. Ia beringsut mendekatiku. “Margareth, kamu sudah punya pacar?”
Aku menggeleng, bergeser. “Dan, kamu kenapa?”
Entah dorongan darimana, tiba-tiba Daniel membekapku. Aku meronta, melawan. Sial, dia terlalu kuat. Dia mencoba menciumiku. Astaga, saat itu aku memperkuat tenaga. Berontak. Berhasil. Aku berlari menuju pintu depan. Argh! Daniel menahanku dan memelukku sekuat yang ia bisa. Dibawanya aku ke kamar. Sampai di kamar, badanku dihempaskan ke kasur dan dia memukuliku. Sakit sekali. Keparat itu lantas mengikat tangan dan kakiku. Ia merobek gaunku dan…. aku dirudapaksa.
Rasanya sakit, malu, marah bercampur jadi satu. Aku tidak menyangka kalau orang yang kuanggap baik bisa berbuat sebiadab ini kepadaku. Ia memperlakukanku seperti mainannya. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Amat sangat sakit. beberapa kali kesadaranku turun. Percuma minta tolong. Suara hujan di luar terlalu deras untuk aku kalahkan dengan sisa-sisa suaraku.
Puas dengan perilakunya, tahu-tahu ia pergi. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu bagaimana reaksi keluargaku melihat dan mengetahui semua ini. dengan sisa tenaga yang ada, aku berusaha melepaskan ikatan yang menyakiti tanganku terlebih dahulu. Gagal. Ikatan ini begitu kuat. Semakin keras aku mencoba, semakin sakit pergelangan tanganku dibuatnya.
Tak berapa lama kemudian, Daniel kembali. Dia tidak sendiri. datang belasan kawannya. “Malam ini kita berpesta! Ayo nikmati pelac*r cantik ini!” pekik Daniel disusul pelampiasan nafsu bejat mereka satu per satu.
Yang aku ingat, rasa sakit yang begitu menyiksa membuat kesadaranku benar-benar turun. Hanya terdengar suara-suara buas mereka. Dalam gelap itu pula, aku memohon pada Tuhan. Hentikan semua ini. Aku ingin bertemu dengan Ayah, Mama dan Pak Dirman untuk mengadu perbuatan mereka. Aku berdoa. Terus berdoa.
Sayang, usaha terakhirku sia-sia. Semuanya mendadak gelap. Membawa sakit dan sedih yang luar biasa.
****
Aku tersentak, lantas memandang Margareth. Ia menitikkan air mata. Hatiku pilu. Yang terjadi barusan adalah pikiranku ia koneksikan dengan pikirannya. Aku seperti melihat film hitam putih yang bedanya, aku bisa merasakan apa yang Margareth rasakan. Ngeri aku melihatnya mati tersiksa. Ingin menolong tapi tak sampai.
“Aku terkejut mengetahui bahwa aku sudah mati,” katanya tiba-tiba. “Waktu itu, aku terbangun di bawah pohon beringin besar itu. Di atasku, ada tubuhku yang tergantung mengerikan. Tidak jauh dari situ, pakaianku habis terbakar. Aku menangis.
“Beberapa hari setelahnya, keluargaku pulang. Mereka histeris menemukan mayatku yang mulai membusuk tergantung di pohon. Mama pingsan seketika. Ayah tanpa basa-basi langsung mencari tahu siapa yang berbuat kejam padaku. Sedang keluarga Pak Dirman meminta bantuan penduduk sekitar untuk membantu menurunkan mayatku.
“Aku sedih. Sedih karena tidak sempat berkata selamat tinggal pada Mama, Ayu, Bibi Cahya, Pak Dirman dan Ayah. Aku sedih mengetahui bahwa aku berbeda dunia dengan mereka. Aku sedih karena sampai sekarang tidak bisa mengadu pada mereka. Aku...” Margareth menangis. “Aku menyesal, kenapa saat itu tidak kupaksa Ayah untuk mengajakku. Aku menyesal, kenapa tidak pernah berkata yang sejujurnya kalau kawan-kawan Ayah itu memuakkan. Aku menyesal karena… Mama selalu sedih sejak kepergianku. Aku ingin menghiburnya, namun apa daya… aku tak bisa.”
Malam itu, setelah sekian lama, baru kali ini aku mendengar dan merasakan jadi Margareth di akhir hidupnya. Betapa sakit dan malunya dirudapaksa. Betapa hinanya derajat perempuan dalam posisi itu. Betapa aku ingin membalas perbuatan mereka. Ah!
Dan, kenyataan terakhir ini membuatku menitikkan air mata: betapa sedihnya tidak bisa lagi berjumpa dengan keluarga tercinta. Tidak dengan Ayah, Ibu, sanak keluarga, sampai teman-teman.
Oh, Margareth, andai semua orang tahu…
****
Lanjut di mari gan >> Cerita 4 : Kuntilanak itu bernama Kunti
Diubah oleh rahasiabgt 15-04-2017 15:47
0
Kutip
Balas