- Beranda
- Stories from the Heart
Dialog Bersama Jin
...
TS
mufidfathul
Dialog Bersama Jin
INDEX
Quote:
NEW UPDATE/11-5-2017
ACT. 08: JERITAN DALAM KUBUR, part I
Part II
Part III.
NEW UPDATE/6-6-2017
Act.09:PEMUJA ILMU KELELAWAR part I
Part II
Part III
Part IV
Part V
NEW UPDATE/7-6-2017
Part VI
Part VII
Quote:
Lokasi: Malaysia
Penulis : Tamar Jalis
ACT 01 : BERBURU
Quote:
Suatu petang dalam tahun 1960. Kakek yang sudah menjangkau usia 57 tahun, membersihkan senapan kampung berlaras satu di anjung rumahnya. Dengan tenang dia berkata pada saya “Kamu tidak usah jadi pemburu.”
“Kenapa kek?” Dia tidak terus menjawab.
Kakek terus menimang‐nimang senapannya. Kemudian Kakek ambil golok perak, dia mengasah golok di batu dekat kepala tangga. Dan saya masih menanti jawaban dari Kakek.
“Aku tak mau cucu‐cucu aku jadi pemburu,” tiba‐tiba Kakek bersuara. Dia duduk di anjung rumah kembali. Mendengar ucapannya itu saya buat keputusan tidak akan mengajukan sembarangan pertannyaan lagi padanya. Kakek mudah naik darah, kalau selalu ditanya atau dipersoalkan. Dia juga tidak suka orang membangkang ucapannya, terutamanya dari anak‐anak cucunya sendiri.
Kakek memang handal berburu. Tidak banyak orang kampung Mandi Upeh seperti Kakek. Cukup asyik dengan kegemaran berburunya, hampir seluruh hutan Jajahan Dinding dijelajahnya. Orang‐orang kampung menganggap Kakek bukan pemburu sembarangan. Pemburu yang ada isi, kalau tidak masakan dia berani masuk ke dalam hutan yang tidak pernah didatangi oleh manusia. Kakek tidak menembak sembarangan pada binatang‐binatang buruannya. Dia akan memilih tepat dikening diantara kedua mata binatang itu.
Dan setiap kali Kakek masuk hutan dia akan memulai langkah kaki kiri dahulu. Kedua belah tumitnya tidak memijak bumi, kecuali sesudah lima tapak melangkah. Setelah itu Kakek berhenti, dia membaca sesuatu, lalu mematah ranting kayu yang berada di bawah ketiak kanannya lalu dilemparkanya sebelah kiri.
Kakek mendapat senapan bukan karena dia Penjaga Hutan atau AP. Dia minta sendiri pada kerajaan dengan alasan mau menjaga tanahnya yang seluas lima belas ekar (1 ekar = 0.4 H) yang ditanam dengan karet, durian dari serangan monyet dan babi hutan. Pemintaan Kakek dipenuhi oleh Inggeris, sesudah pegawai polisi, tuan DO serta penghulu dan ketua kampung memeriksa tanah Kakek.
Kakek beli senapan dari Taiping di tahun 1949. Sejak itulah Kakek giat berburu dengan senapan. Sebelum itu Kakek hanya berburu dengan membuat jerat dan sebagainya. Banyak peristiwa‐peristiwa aneh yang Kakek lalui sepanjang kariernya. Dan saya di antara cucu yang selalu mendengar cerita‐cerita Kakek itu, karena saya selalu menolongnya mencangkul di kebun, kadang‐kadang menjadi temannya ke surau.
Kakek terlalu menyayangiku, karena saya adalah cucu lelaki yang pertama dari anak sulungnya yaitu ibu saya. Saya tahu apa kelemahan Kakek dan kegemaranya. Dia pemurah dan suka mendengar orang mengaji Al‐Quran, kebetulan pula saya cucunya yang agak terkenal membaca al‐Al‐Quran di kampung itu. Kakek tidak kikir mengeluarkan uangnya untuk diberikan kepada orang mengaji tapi Kakek tidak memberikannya sendiri melainkan melalui saya.
Biasanya, kalau Kakek menyuruh memberi sepuluh ringgit, saya hanya memberikan separuh saja, yang separuh lagi masuk saku saya.
Quote:
Pernah Kakek bercerita pada saya: "Suatu ketika Kakek dan kawan‐kawannya masuk hutan dekat dengan Gunung Tunggal di Kawasan Segari berdekatan denga Pantai Remis. Kawasan itu tidak pernah dimasuki oleh manusia. Kakek dan kawan‐kawannya berhasil menembak beberapa ekor binatang. Karena terlalu asyik berburu, tanpa disadari Kakek telah terpisah dengan seekor rusa besar. Kakek mengikutnya dengan teliti. Kakek membidik rusa itu dari sebelah kiri dan mengambil tempat di balik batang pohon besar. Kakek mengarahkan moncong senapan pada kepala rusa. Dia yakin sasarannya akan tepat pada tempat yang dimaunya. Tetapi rusa itu bagaikan mengerti dan mempunyai pengalaman. Dia mempermainkan Kakek, seperti mempermainkan kucing. Rusa merendahkan badannya kemudian menyelinap di depan Kakek dan terus hilang.
Kakek terkejut dan bercampur heran, tapi Kakek bukanlah manusia yang mudah putus asa. Dia mencari bekas jejak rusa itu. Diperhatikannya ke arah mana tapak rusa itu lari. Dia mencium daun‐daun kering yang terdapat di situ. Akhirnya, Kakek merapatkan telinganya di atas tanah. Dia mengeluh, ternyata bekas tapak rusa itu sukar diperolehinya. Waktu Kakek berputar‐putar di situ, seekor rusa lain muncul di depan Kakek. Rusa itu jauh lebih besar dan tegap dari rusa yang pertama tadi. Matanya berkilau‐kilau bagaikan menentang mata Kakek yang terbeliak karena terkejut.
Kakek tidak melepaskan peluang dan terus melepaskan tembakan. Kakek gembira, tembakannya tepat mengenai kening rusa itu. Dia mencabut golok perak di tangan untuk menyembelih rusa. Golok ditayangkan di depan matanya. Kakek membaca sesuatu dan menghentakkan ulu golok ke tanah.
Bila Kakek memulai langkah. Rusa itu segera bangun. Di depan mata Kakek sekarang wujud dua ekor rusa. Serentak dengan itu dada Kakek berdebar. Dia mula terasa ada sesuatu yang kurang baik akan terjadi. Terdengar kokok ayam hutan. Kakek melepaskan tembakan. Kena pada salah seekor rusa itu di kening. Rusa itu rebah dan bangun kembali menjadi tiga ekor. Kakek yakin ada sesuatu kejadian yang lain di balik semuanya itu. Tapi, Kakek bukannya manusia lemah semangat, kalau tidak masakan dia berani meninggalkan kampung halamannya di Aceh, berperahu ke Pengkalan Bharu dan bermukim di kawasan Bruas. Kakek terus menembak bertalu‐talu. Rusa terus menjadi tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Kokok ayam hutan bertambah nyaring.
Daun‐daun hutan di keliling Kakek bergerak‐gerak bagaikan digoncang orang. Tanah yang dipijaknya jadi bersih tanpa sehelai daun. Kakek menumbuk tanah dengan tangan kiri. Terasa daging pangkal lehernya bergerak‐gerak. Kakek tersenyum. Dia tahu peristiwa ini mesti dihadapi dengan cara lain. Dia teringat pesan leluhur neneknya dari tanah seberang, kalau berburu binatang dan terasa daging pangkal leher bergerak, alamatnya yang diburu bukan binatang lagi, tapi boleh jadi penunggu hutan atau setan dan bangsa Jin.
Kakek letakkan senapan di atas tanah. Dia duduk bertafakur mengumpulkan tenaga batin sambil membaca mentera yang diamalkannya. Melalui pancaindera batin Kakek, Kakek dapat melihat dengan jelas, bahawa rusa itu adalah jin penunggu hutan itu.
Muka Kakek jadi merah padam, mengucur peluh, gigi dikatupkan rapat‐rapat. Mata Kakek tidak berkelip. Dia melihat di depannya,berdiri makhluk berbadan besar, matanya merah menyala, rambut panjang sampai ke tumit. Giginya besar, dua giginya di sebelah kiri dan kanan terjulur keluar, seperti gading gajah. Dia diapit oleh enam jin yang sama hebat dengannya.
“Kurang ajar, manusia laknat,” suara itu bergema, daun‐daun hutan bergerak seperti ditiup angin. Kakek diam bertafakur.
“Kau tahu kesalahan kau manusia ?” Tambah suara itu . Punggung Kakek terus dibasahi peluh. Kakek diam, dia sudah menutup lobang‐lobang kelemahan tubuhnya dengan ilmu batin yang dipusakainya dari leluhur neneknya, hingga jin itu tidak berpeluang menyatukan dirinya ke dalam tubuh Kakek.
“Tidak,” jawab Kakek dengan berani.
“Kau masuk ke dalam kawasan larangan ku.”
“Aku sudah meminta izin.”
“Aku tidak mengizinkan.” Jawab jin itu dengan keras. Dua batang giginya yang terjulur bergerak‐gerak.
“Kalau kau tidak mengizinkanya, kenapa kau tidak memberi isyarat, ketika aku masuk tadi.” Cukup tenang Kakek menjawab. Dia sudah bersiap menghadapi semuanya.
“Kau manusia biadap,” pekik jin itu, pokok hutan bergerak‐gerak.
Perdebatan Kakek dengan jin semakin panas, secara perlahan‐lahan pembicaraan itu bertukar kepada pertarungan kebatinan. Kemampuan dan kekuatan Kakek benar‐benar teruji. Mata Kakek bercahaya garang dengan urat‐urat timbul di dahi dan lengannya. Peluhnya jangan dikira terus menerus membasahi seluruh badan.
Kakek tahu kalau dia kalah. Dia akan rebah ke bumi. Seluruh badannya akan lebam. Jadi Kakek bertekad untuk melawan dengan cara apapun. Di waktu pertempuran itulah Kakek berasa cuping telinga sebelah kirinya lembik. Kakek senyum, satu tanda baik. Kemenangan akan berada di pihaknya. Kakek terus mengucapkan begini :
Jong keli jong, tali cemati tebang buluh bunting pagi melemang………
Belum pun tamat Kakek mengucapkan mentera itu. Dia berasa pangkal belikatnya keras seperti batu. Kakek tidak bisa bergerak ke kiri maupun ke kanan. Kakek terus berteriak dengan menyeru nama guru ilmu batinnya, serentak dengan itu Kakek mengambil senapan seraya berkata : "Kalau aku kalah, aku rebah, kalau aku menang, aku berdiri dan kau pulang ke tempat asalmu."
Kakek pun melepaskan satu tembakan kepada rusa. Tepat tembakan Kakek kena pada kening rusa. Rusa yang berjumlah tujuh ekor itu hilang entah ke mana. Kawasan itu jadi sepi.
Pemandangan Kakek kembali normal yang ujud di depannya sekarang ialah sebatang pokok pohon besar dengan akar‐akar bergayutan yang mencecah muka bumi.
Kakek menang dalam pertarungan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Kakek segera mencari ranting kayu yang bercabang tujuh yang mengarah ke matahari jatuh. Ranting kayu bercabang tujuh itu Kakek tikam ke bumi. Cabang yang tujuh ke bawah. Lepas itu Kakek memotong cabang tujuh lalu berkata : “Ini kawasan manusia, dan kau telah pulang ke tempat asalmu.”
Kakek pun mencari arah, dia mulai masuk tadi. Dia duduk di situ lebih kurang setengah jam. Kemudian baru kawan‐kawannya pulang. Semua binatang buruan di masukkan ke dalam mobil bak Ford Angldia kepunyaan Kakek.
Dalam perjalanan pulang Kakek dan kawan‐kawannya singgah di pekan Pengkalan Bharu. Mereka makan dan minum kopi disebuah warung dekat surau. Secara kebetulan pula pemilik warung itu adalah kenalan Kakek yang sama‐sama datang dari Aceh. Kakek pun menceritakan tentang peristiwa yang dialaminya. Menurut pemilik warung itu, setiap pemburu yang berjumpa dengan rusa yang berjumlah tujuh, selalu sulit untuk keluar dari kawasan hutan, kalau keluar pun dia tidak akan sehat atau separuh gila.
“Biasanya bila meraka sampai di rumah, mereka terus sakit dan meninggal, sewaktu sakit itulah mereka tidak tentu arah, kalau salah pengobatan atau tidak berjumpa dengan 'Orang pintar' penyakit itu akan menjangkiti pada anaknya, biasanya yang sakit menimpa pada anak bungsu.” Terang pemilik warung itu pada Kakek. Kakek terdiam kemudian Kakek mengajak pemilik warung itu ke tepi sungai. Kakek minta pemilik warung itu memandikannya dengan air yang bercampur dengan daun tujuh jenis, untuk menghindarkankan badi rusa itu mengikuti Kakek balik ke rumah.
Walau bagaimanapun, Kakek terhindar dari serangan penyakit. Malah, kegemarannya untuk berburu bertambah giat dan hebat. Asal terdengar saja ada kawasan terdapat landak, kancil atau kijang, Kakek tidak akan melepaskan peluang untuk berburu. Kalau tidak bisa waktu siang, dia akan pergi waktu malam. Berburu adalah suatu kerja yang amat dicintai oleh Kakek.
Kalau sudah tiba waktunya Kakek untuk berburu. Siapapun jangan mencoba menghalangi. Dia tidak peduli. Kalau dilarang juga Kakek naik darah. Selalu yang menjadi korban kemarahan Kakek ialah nenek saya yang tidak bergitu senang dengan sikap Kakek itu. Selain dari berburu Kakek cukup rajin belajar ilmu‐ilmu kebatinan. Kakek pernah bertapa di Gua Ulu Licin tujuh hari tujuh malam tanpa makan sebiji nasi, tapi tubuh Kakek tidak susut.
Kalau ada Orang Pintar mengobati orang dengan cara kebatinan, Kakek tidak segan‐segan berkawan dan mencuri ilmu dari orang pintar itu. Anehnya, Kakek tidak berkeinginan untuk menjadi seorang Paranormal. “Semua yang dicari hanya sekadar untuk pelindung diri,” kata Kakek.
Kakek terkejut dan bercampur heran, tapi Kakek bukanlah manusia yang mudah putus asa. Dia mencari bekas jejak rusa itu. Diperhatikannya ke arah mana tapak rusa itu lari. Dia mencium daun‐daun kering yang terdapat di situ. Akhirnya, Kakek merapatkan telinganya di atas tanah. Dia mengeluh, ternyata bekas tapak rusa itu sukar diperolehinya. Waktu Kakek berputar‐putar di situ, seekor rusa lain muncul di depan Kakek. Rusa itu jauh lebih besar dan tegap dari rusa yang pertama tadi. Matanya berkilau‐kilau bagaikan menentang mata Kakek yang terbeliak karena terkejut.
Kakek tidak melepaskan peluang dan terus melepaskan tembakan. Kakek gembira, tembakannya tepat mengenai kening rusa itu. Dia mencabut golok perak di tangan untuk menyembelih rusa. Golok ditayangkan di depan matanya. Kakek membaca sesuatu dan menghentakkan ulu golok ke tanah.
Bila Kakek memulai langkah. Rusa itu segera bangun. Di depan mata Kakek sekarang wujud dua ekor rusa. Serentak dengan itu dada Kakek berdebar. Dia mula terasa ada sesuatu yang kurang baik akan terjadi. Terdengar kokok ayam hutan. Kakek melepaskan tembakan. Kena pada salah seekor rusa itu di kening. Rusa itu rebah dan bangun kembali menjadi tiga ekor. Kakek yakin ada sesuatu kejadian yang lain di balik semuanya itu. Tapi, Kakek bukannya manusia lemah semangat, kalau tidak masakan dia berani meninggalkan kampung halamannya di Aceh, berperahu ke Pengkalan Bharu dan bermukim di kawasan Bruas. Kakek terus menembak bertalu‐talu. Rusa terus menjadi tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Kokok ayam hutan bertambah nyaring.
Daun‐daun hutan di keliling Kakek bergerak‐gerak bagaikan digoncang orang. Tanah yang dipijaknya jadi bersih tanpa sehelai daun. Kakek menumbuk tanah dengan tangan kiri. Terasa daging pangkal lehernya bergerak‐gerak. Kakek tersenyum. Dia tahu peristiwa ini mesti dihadapi dengan cara lain. Dia teringat pesan leluhur neneknya dari tanah seberang, kalau berburu binatang dan terasa daging pangkal leher bergerak, alamatnya yang diburu bukan binatang lagi, tapi boleh jadi penunggu hutan atau setan dan bangsa Jin.
Kakek letakkan senapan di atas tanah. Dia duduk bertafakur mengumpulkan tenaga batin sambil membaca mentera yang diamalkannya. Melalui pancaindera batin Kakek, Kakek dapat melihat dengan jelas, bahawa rusa itu adalah jin penunggu hutan itu.
Muka Kakek jadi merah padam, mengucur peluh, gigi dikatupkan rapat‐rapat. Mata Kakek tidak berkelip. Dia melihat di depannya,berdiri makhluk berbadan besar, matanya merah menyala, rambut panjang sampai ke tumit. Giginya besar, dua giginya di sebelah kiri dan kanan terjulur keluar, seperti gading gajah. Dia diapit oleh enam jin yang sama hebat dengannya.
“Kurang ajar, manusia laknat,” suara itu bergema, daun‐daun hutan bergerak seperti ditiup angin. Kakek diam bertafakur.
“Kau tahu kesalahan kau manusia ?” Tambah suara itu . Punggung Kakek terus dibasahi peluh. Kakek diam, dia sudah menutup lobang‐lobang kelemahan tubuhnya dengan ilmu batin yang dipusakainya dari leluhur neneknya, hingga jin itu tidak berpeluang menyatukan dirinya ke dalam tubuh Kakek.
“Tidak,” jawab Kakek dengan berani.
“Kau masuk ke dalam kawasan larangan ku.”
“Aku sudah meminta izin.”
“Aku tidak mengizinkan.” Jawab jin itu dengan keras. Dua batang giginya yang terjulur bergerak‐gerak.
“Kalau kau tidak mengizinkanya, kenapa kau tidak memberi isyarat, ketika aku masuk tadi.” Cukup tenang Kakek menjawab. Dia sudah bersiap menghadapi semuanya.
“Kau manusia biadap,” pekik jin itu, pokok hutan bergerak‐gerak.
Perdebatan Kakek dengan jin semakin panas, secara perlahan‐lahan pembicaraan itu bertukar kepada pertarungan kebatinan. Kemampuan dan kekuatan Kakek benar‐benar teruji. Mata Kakek bercahaya garang dengan urat‐urat timbul di dahi dan lengannya. Peluhnya jangan dikira terus menerus membasahi seluruh badan.
Kakek tahu kalau dia kalah. Dia akan rebah ke bumi. Seluruh badannya akan lebam. Jadi Kakek bertekad untuk melawan dengan cara apapun. Di waktu pertempuran itulah Kakek berasa cuping telinga sebelah kirinya lembik. Kakek senyum, satu tanda baik. Kemenangan akan berada di pihaknya. Kakek terus mengucapkan begini :
Jong keli jong, tali cemati tebang buluh bunting pagi melemang………
Belum pun tamat Kakek mengucapkan mentera itu. Dia berasa pangkal belikatnya keras seperti batu. Kakek tidak bisa bergerak ke kiri maupun ke kanan. Kakek terus berteriak dengan menyeru nama guru ilmu batinnya, serentak dengan itu Kakek mengambil senapan seraya berkata : "Kalau aku kalah, aku rebah, kalau aku menang, aku berdiri dan kau pulang ke tempat asalmu."
Kakek pun melepaskan satu tembakan kepada rusa. Tepat tembakan Kakek kena pada kening rusa. Rusa yang berjumlah tujuh ekor itu hilang entah ke mana. Kawasan itu jadi sepi.
Pemandangan Kakek kembali normal yang ujud di depannya sekarang ialah sebatang pokok pohon besar dengan akar‐akar bergayutan yang mencecah muka bumi.
Kakek menang dalam pertarungan itu. Sebelum meninggalkan tempat itu, Kakek segera mencari ranting kayu yang bercabang tujuh yang mengarah ke matahari jatuh. Ranting kayu bercabang tujuh itu Kakek tikam ke bumi. Cabang yang tujuh ke bawah. Lepas itu Kakek memotong cabang tujuh lalu berkata : “Ini kawasan manusia, dan kau telah pulang ke tempat asalmu.”
Kakek pun mencari arah, dia mulai masuk tadi. Dia duduk di situ lebih kurang setengah jam. Kemudian baru kawan‐kawannya pulang. Semua binatang buruan di masukkan ke dalam mobil bak Ford Angldia kepunyaan Kakek.
Dalam perjalanan pulang Kakek dan kawan‐kawannya singgah di pekan Pengkalan Bharu. Mereka makan dan minum kopi disebuah warung dekat surau. Secara kebetulan pula pemilik warung itu adalah kenalan Kakek yang sama‐sama datang dari Aceh. Kakek pun menceritakan tentang peristiwa yang dialaminya. Menurut pemilik warung itu, setiap pemburu yang berjumpa dengan rusa yang berjumlah tujuh, selalu sulit untuk keluar dari kawasan hutan, kalau keluar pun dia tidak akan sehat atau separuh gila.
“Biasanya bila meraka sampai di rumah, mereka terus sakit dan meninggal, sewaktu sakit itulah mereka tidak tentu arah, kalau salah pengobatan atau tidak berjumpa dengan 'Orang pintar' penyakit itu akan menjangkiti pada anaknya, biasanya yang sakit menimpa pada anak bungsu.” Terang pemilik warung itu pada Kakek. Kakek terdiam kemudian Kakek mengajak pemilik warung itu ke tepi sungai. Kakek minta pemilik warung itu memandikannya dengan air yang bercampur dengan daun tujuh jenis, untuk menghindarkankan badi rusa itu mengikuti Kakek balik ke rumah.
Walau bagaimanapun, Kakek terhindar dari serangan penyakit. Malah, kegemarannya untuk berburu bertambah giat dan hebat. Asal terdengar saja ada kawasan terdapat landak, kancil atau kijang, Kakek tidak akan melepaskan peluang untuk berburu. Kalau tidak bisa waktu siang, dia akan pergi waktu malam. Berburu adalah suatu kerja yang amat dicintai oleh Kakek.
Kalau sudah tiba waktunya Kakek untuk berburu. Siapapun jangan mencoba menghalangi. Dia tidak peduli. Kalau dilarang juga Kakek naik darah. Selalu yang menjadi korban kemarahan Kakek ialah nenek saya yang tidak bergitu senang dengan sikap Kakek itu. Selain dari berburu Kakek cukup rajin belajar ilmu‐ilmu kebatinan. Kakek pernah bertapa di Gua Ulu Licin tujuh hari tujuh malam tanpa makan sebiji nasi, tapi tubuh Kakek tidak susut.
Kalau ada Orang Pintar mengobati orang dengan cara kebatinan, Kakek tidak segan‐segan berkawan dan mencuri ilmu dari orang pintar itu. Anehnya, Kakek tidak berkeinginan untuk menjadi seorang Paranormal. “Semua yang dicari hanya sekadar untuk pelindung diri,” kata Kakek.
Diubah oleh mufidfathul 07-06-2017 20:53
doelviev dan 7 lainnya memberi reputasi
8
79.9K
Kutip
263
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
mufidfathul
#66
ACT. 04: TUYUL
PART I
Beberapa bulan berlalu.
Kakek menyatakan hasratnya untuk pergi ke kampung Sadang untuk menangkap burung waktu malam. Saya tidak tahu bagaimana hasrat itu timbul. Dalam pikiran saya dia sudah melupakan kesenangan dan kegemaran itu.
Sebenarnya, saya sudah memutuskan dalam hati, bahwa saya tidak akan ikut Kakek pergi ke tempat tersebut.
“Minggu depan, Jum’at petang, aku akan pergi,” Kakek mengingatkan saya.
“Baguslah itu kek, barang‐barang yang dulu semuanya ada di dalam kamar.”
“Kau bagaimana? Tidak mau ikut bersama?” tanya Kakek.
“Saya malas, Kek.”
Kakek puas hatinya dengan jawaban saya itu.
Sementara menanti petang Jum’at, Kakek hanya duduk di rumah saja.
Kakek duduk menjuntaikan kaki di kepala tangga.
“Ada apa Kek ?”
“Dua tiga hari ini, aku selalu teringat adik bungsuku yang tinggal di Hulu Kuang, agaknya dia sakit.”
“Jadi Kakek akan pergi ke sana ?”
“Tujuannya memang begitu.”
“Kata Kakek, Kakek akan pergi ke kampung Sadang?.”
“Itu tidak begitu urgen! yang utama keluarga!”
Saya terdiam mendengar ucapan Kakek itu.
Saya segera teringat, terakhir kali saya bertemu dengan adik bungsu Kakek, yang saya panggil ayah Ngah itu, dalam tahun 1947. Selanjutnya saya tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Terlalu sulit untuk pergi ke Hulu Kuang. Tidak ada kendaraan yang sampai ke sana. Lagipula daerah itu termasuk dalam daerah hitam (Banyak gerombolan bersenjata komunis).
Petang itu juga kami bertolak dari rumah ke Ipoh dengan naik bus. Dari Ipoh kami menyewa taksi ke Chemor. Sampai Chemor sudah pukul enam petang. Kami tidak dibolehkan masuk ke Hulu Kuang karena kawasan itu diberlakukan jam malam dari jam 6 petang sampai pukul 6 pagi.
Kakek melaporkan dirinya ke Kantor Polisi Chemor karena kami membuat keputusan untuk tidur di masjid Chemor. Sesudah menerangkan jati diri kami kepada petugas polisi, kami diperbolehkan tidur di masjid tersebut.
Sesudah menunaikan sembahyang Isya, saya lalu berbaring di pojok masjid sedangkan Kakek berbaring dekat tiang.
Akhirnya saya tertidur.
Lebih kurang pukul dua malam, Kakek mengejutkan saya.
“Bangun kita pergi ke Hulu Kuang!”
“Bagaimana mau pergi, nanti kita tertangkap atau ditembak tentara?”
“Kau ini banyak bicara pula! Bangun sajalah!” suara Kakek keras.
Dia menarik tangan saya hingga terduduk. Saya kucek mata dengan punggung tangan. Kakek menyuruhku berdiri di depan pintu masjid.
Perintahnya saya ikuti.
“Sebentar lagi dia datang,” Kakek beritahu saya.
“Siapa yang datang, Kek ?” tanya saya ingin tahu.
“Kau jangan banyak tanya!” Kakek mencegah saya.
Mukanya kelihatan bengis. Waktu itu Kakek sudah mengenakan baju hitam, celana hitam di badan. Kepalanya juga dililit dengan kain hitam. Dalam hati kecil saya timbul keraguan tentang diri Kakek. Saya mengira dia ada hubungan dengan gerombolan komunis. Kalau tidak masakan dia berani berjalan malam waktu jam malam.
“Minggir!” Kakek menolak badan saya yang menghalangi pintu masuk masjid. Saya tersungkur di lantai.
Kakek memukulkan tangan kanannya ke pangkal paha kanannya dengan sekuat tenaga. Dia melemparkan tujuh biji batu bertih (semacam beras) ke tengah halaman masjid. Kemudian Kakek menekan ibu jari kanannya ke telapak tangan kiri tujuh kali berturut‐turut.
Tiba‐tiba terdengar bunyi suara harimau mengaum. Cukup kuat.
Lutut saya gemetar. Dengan tiba‐tiba saya tersungkur di atas lantai masjid dan tidak bisa bangun.
Seekor harimau belang yang cukup besar muncul di halaman masjid sambil memutar‐mutar ekornya.
“Makanlah kau lapar!” Suara Kakek keras.
Saya lihat harimau itu terus memakan tujuh biji bertih. Bila harimau itu selesai makan, Kakek segera mendekatinya. Kakek menggosok‐gosok kepala harimau itu dengan tangannya. Lidah harimau yang panjang itu menjilat pipi dan hidung Kakek. Harimau itu berguling‐guling atas tanah sambil kakinya menepuk seluruh badan Kakek. Kakek mengelus-elus perut harimau itu.
Kakek mengukur kuku di jari harimau. Kakek bermain‐main dengan harimau layaknya bermain dengan anak kucing.
Akhirnya, Kakek menepuk dahi harimau tujuh kali dengan tangan kiri. Harimau juga menjilat telinga kanan Kakek tujuh kali.
“Bangun, kau sudah kenyang!” Mendengar bicara Kakek itu , harimau besar segera bangun sambil menguap.
Saya bertambah ngeri melihat giginya yang tajam dan putih. Harimau itu menggaum lagi. Kakek memanggil saya. Saya coba bangun tapi saya tidak berdaya. Tempurung lutut saya terasa longgar. Kakek lalu menarik tangan saya. Saya pun diseret hingga depan harimau besar.
“Ini cucuku,” Kakek memberitahu harimau besar. Saya lihat sepasang mata harimau itu melihat ganas ke wajah Kakek. Kakek berdehem tiga kali berturut‐turut. Harimau itu melonjorkan kaki depannya. Badannya direndahkan. Kakek mengangkat badan saya lalu diletakannya di pangkal tengkuk harimau belang berbadan besar. Saya rasa nyawa saya sudah terbang dari badan. Badan saya jadi lemas. Saya tidak bisa duduk tegak. Dada dan muka saya terhempas di atas batang leher harimau.
Bulu harimau yang kasar dan keras itu menusuk batang hidung dan pipi saya. Bila harimau itu mengerak‐gerak badannya, saya juga ikut bergerak.
“Peluk tengkuknya kuat‐kuat,” Kakek mengingatkan saya.
Antara sadar dengan tidak saya lihat Kakek terus naik belakang harimau. Harimau besar itu segera menegakkan badannya. Kakek terus menepuk‐nepuk punggung harimau, macam gembala lembu menepuk punggung lembu.
“Ke Hulu Kuang,” Terdengar suara Kakek.
Serentak dengan itu harimau pun melangkah. Saya rasa harimau itu berjalan bagaikan tidak menjejakkan tanah. Melayang di udara ke arah pasar Chemor melintasi jambatan kereta api. Terus menuju kampung paman Zainal serta melintasi kawasan Kampung Baru Tanah Hitam.
Saya melihat tentara berjaga dengan senjata di tangan. Tidak ada seorang pun yang melihat ke arah kami. Karena terlalu cepat harimau itu berjjalan, badan saya terasa dingin. Belum selesai saya menghitung dari satu sampai ke sepuluh. Harimau itu sudah tiba di kaki tangga rumah adik bungsu Kakek.
Hari masih gelap.
Kokok ayam masih kedengaran. Kakek menurunkan saya.
Sebelum harimau meninggalkan kami, Kakek memberikan harimau makanan tujuh biji bertih. Saya tidak tahu dari mana bertih itu diperolehi oleh Kakek.
Selesai harimau itu memakan bertih, sekali lagi Kakek menepuk‐nepuk dahi harimau. Kakek membisikkan sesuatu ke telinga harimau. Dan harimau itu bagaikan mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Kakek karena telinganya bergerak‐gerak.
“Balik ke rumah kita! jaga kampung serta tanah ladang kita!” suara Kakek meninggi.
Harimau itu mengguap panjang. Dengan sekejap mata saja harimau besar hilang dari pandangan saya.
Kakek tidak mau mengejutkan adik bungsunya. Menurutnya, pantangan besar kalau kita menunggang harimau mengejutkan tuan rumah sebelum tuan rumah itu terjaga.
Adik bungsu Kakek terkejut bila dia membuka pintu rumah pagi itu didapatinya kami duduk di kaki tangga. Dia mengucapkan keheranan dan rasa takjub bagaimana kami bisa sampai pagi sekali ke tempatnya sedangkan jam malam belum juga berakhir.
Dia lalu bertanya bagaimana kami bisa sampai pagi sekali. Pertanyaan atau kebingungan itu tidak dijawab oleh Kakek. Kakek mengubah tajuk obrolan pada perkara lain.
Sambil minum kopi pagi, adik bungsu Kakek menceritakan keadaan kampung Hulu Kuang sambil menanyakan kabar nenek serta anak cucu Kakek.
Obrolan Kakek dengan adik bungsunya sungguh rancak pagi itu. Saya tidak banyak ikut campur dalam obrolan mereka. Saya lebih senang berdiri di muka jendela melihat daun‐daun pohon yang menghijau serta puncak gunung yang diselimuti kabut tipis.
“Kau sakit? Aku lihat kamu kurus sekali!”Terdengar suara Kakek.
Saya segera menoleh ke belakang. Saya lihat Kakek sedang memerhatikan tubuh adik bungsunya yang ceking dan kurus.
“Saya baru baikan dari demam, apalagi ditambah jaga malam pula,” jawab adik bungsu Kakek.
“Hai, ada jam malam pun masih wajib jaga malam ?”
“Berjaga dalam rumah!” sahut isteri adik bungsu kakek dari dapur.
Saya tertarik dengan obrolan itu. Memaksa saya untuk duduk di sebelah Kakek. Kakek saya lihat mengkerutkan keningnya.
“Kenapa pula itu? Apa ada pencuri ?”
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh adik bungsu Kakek dan isterinya. Mereka kelihatan resah dan tidak menentu.
“kenapa tidak bicara? Kalau bisa aku tolong aku akan berusaha menolong, kalau tidak bisa kita cari orang lain untuk menolongnya,” Kakek memberi sebuah harapan.
Isteri adik bungsu Kakek tersenyum. Adik bungsu Kakek termenung panjang.
“Susah orang untuk menolongnya,” Begitu hampa nada suara adik bungsu Kakek.
“Susah kayak bagaimana?” tanya Kakek.
“Kerja iblis.”
“Kita lawan cara iblis.”
“Begini, di kampung ini ada tuyul. Sekejap menjelma jadi kucing. Sekejap jadi tikus.”
Adik bungsu Kakek menerangkan sambil melihat ke kiri kanan.
PART I
Quote:
Beberapa bulan berlalu.
Kakek menyatakan hasratnya untuk pergi ke kampung Sadang untuk menangkap burung waktu malam. Saya tidak tahu bagaimana hasrat itu timbul. Dalam pikiran saya dia sudah melupakan kesenangan dan kegemaran itu.
Sebenarnya, saya sudah memutuskan dalam hati, bahwa saya tidak akan ikut Kakek pergi ke tempat tersebut.
“Minggu depan, Jum’at petang, aku akan pergi,” Kakek mengingatkan saya.
“Baguslah itu kek, barang‐barang yang dulu semuanya ada di dalam kamar.”
“Kau bagaimana? Tidak mau ikut bersama?” tanya Kakek.
“Saya malas, Kek.”
Kakek puas hatinya dengan jawaban saya itu.
Sementara menanti petang Jum’at, Kakek hanya duduk di rumah saja.
Kakek duduk menjuntaikan kaki di kepala tangga.
“Ada apa Kek ?”
“Dua tiga hari ini, aku selalu teringat adik bungsuku yang tinggal di Hulu Kuang, agaknya dia sakit.”
“Jadi Kakek akan pergi ke sana ?”
“Tujuannya memang begitu.”
“Kata Kakek, Kakek akan pergi ke kampung Sadang?.”
“Itu tidak begitu urgen! yang utama keluarga!”
Saya terdiam mendengar ucapan Kakek itu.
Saya segera teringat, terakhir kali saya bertemu dengan adik bungsu Kakek, yang saya panggil ayah Ngah itu, dalam tahun 1947. Selanjutnya saya tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Terlalu sulit untuk pergi ke Hulu Kuang. Tidak ada kendaraan yang sampai ke sana. Lagipula daerah itu termasuk dalam daerah hitam (Banyak gerombolan bersenjata komunis).
Petang itu juga kami bertolak dari rumah ke Ipoh dengan naik bus. Dari Ipoh kami menyewa taksi ke Chemor. Sampai Chemor sudah pukul enam petang. Kami tidak dibolehkan masuk ke Hulu Kuang karena kawasan itu diberlakukan jam malam dari jam 6 petang sampai pukul 6 pagi.
Kakek melaporkan dirinya ke Kantor Polisi Chemor karena kami membuat keputusan untuk tidur di masjid Chemor. Sesudah menerangkan jati diri kami kepada petugas polisi, kami diperbolehkan tidur di masjid tersebut.
Sesudah menunaikan sembahyang Isya, saya lalu berbaring di pojok masjid sedangkan Kakek berbaring dekat tiang.
Akhirnya saya tertidur.
Lebih kurang pukul dua malam, Kakek mengejutkan saya.
“Bangun kita pergi ke Hulu Kuang!”
“Bagaimana mau pergi, nanti kita tertangkap atau ditembak tentara?”
“Kau ini banyak bicara pula! Bangun sajalah!” suara Kakek keras.
Dia menarik tangan saya hingga terduduk. Saya kucek mata dengan punggung tangan. Kakek menyuruhku berdiri di depan pintu masjid.
Perintahnya saya ikuti.
Quote:
“Sebentar lagi dia datang,” Kakek beritahu saya.
“Siapa yang datang, Kek ?” tanya saya ingin tahu.
“Kau jangan banyak tanya!” Kakek mencegah saya.
Mukanya kelihatan bengis. Waktu itu Kakek sudah mengenakan baju hitam, celana hitam di badan. Kepalanya juga dililit dengan kain hitam. Dalam hati kecil saya timbul keraguan tentang diri Kakek. Saya mengira dia ada hubungan dengan gerombolan komunis. Kalau tidak masakan dia berani berjalan malam waktu jam malam.
“Minggir!” Kakek menolak badan saya yang menghalangi pintu masuk masjid. Saya tersungkur di lantai.
Kakek memukulkan tangan kanannya ke pangkal paha kanannya dengan sekuat tenaga. Dia melemparkan tujuh biji batu bertih (semacam beras) ke tengah halaman masjid. Kemudian Kakek menekan ibu jari kanannya ke telapak tangan kiri tujuh kali berturut‐turut.
Tiba‐tiba terdengar bunyi suara harimau mengaum. Cukup kuat.
Lutut saya gemetar. Dengan tiba‐tiba saya tersungkur di atas lantai masjid dan tidak bisa bangun.
Seekor harimau belang yang cukup besar muncul di halaman masjid sambil memutar‐mutar ekornya.
“Makanlah kau lapar!” Suara Kakek keras.
Saya lihat harimau itu terus memakan tujuh biji bertih. Bila harimau itu selesai makan, Kakek segera mendekatinya. Kakek menggosok‐gosok kepala harimau itu dengan tangannya. Lidah harimau yang panjang itu menjilat pipi dan hidung Kakek. Harimau itu berguling‐guling atas tanah sambil kakinya menepuk seluruh badan Kakek. Kakek mengelus-elus perut harimau itu.
Kakek mengukur kuku di jari harimau. Kakek bermain‐main dengan harimau layaknya bermain dengan anak kucing.
Akhirnya, Kakek menepuk dahi harimau tujuh kali dengan tangan kiri. Harimau juga menjilat telinga kanan Kakek tujuh kali.
“Bangun, kau sudah kenyang!” Mendengar bicara Kakek itu , harimau besar segera bangun sambil menguap.
Saya bertambah ngeri melihat giginya yang tajam dan putih. Harimau itu menggaum lagi. Kakek memanggil saya. Saya coba bangun tapi saya tidak berdaya. Tempurung lutut saya terasa longgar. Kakek lalu menarik tangan saya. Saya pun diseret hingga depan harimau besar.
“Ini cucuku,” Kakek memberitahu harimau besar. Saya lihat sepasang mata harimau itu melihat ganas ke wajah Kakek. Kakek berdehem tiga kali berturut‐turut. Harimau itu melonjorkan kaki depannya. Badannya direndahkan. Kakek mengangkat badan saya lalu diletakannya di pangkal tengkuk harimau belang berbadan besar. Saya rasa nyawa saya sudah terbang dari badan. Badan saya jadi lemas. Saya tidak bisa duduk tegak. Dada dan muka saya terhempas di atas batang leher harimau.
Bulu harimau yang kasar dan keras itu menusuk batang hidung dan pipi saya. Bila harimau itu mengerak‐gerak badannya, saya juga ikut bergerak.
“Peluk tengkuknya kuat‐kuat,” Kakek mengingatkan saya.
Antara sadar dengan tidak saya lihat Kakek terus naik belakang harimau. Harimau besar itu segera menegakkan badannya. Kakek terus menepuk‐nepuk punggung harimau, macam gembala lembu menepuk punggung lembu.
Quote:
“Ke Hulu Kuang,” Terdengar suara Kakek.
Serentak dengan itu harimau pun melangkah. Saya rasa harimau itu berjalan bagaikan tidak menjejakkan tanah. Melayang di udara ke arah pasar Chemor melintasi jambatan kereta api. Terus menuju kampung paman Zainal serta melintasi kawasan Kampung Baru Tanah Hitam.
Saya melihat tentara berjaga dengan senjata di tangan. Tidak ada seorang pun yang melihat ke arah kami. Karena terlalu cepat harimau itu berjjalan, badan saya terasa dingin. Belum selesai saya menghitung dari satu sampai ke sepuluh. Harimau itu sudah tiba di kaki tangga rumah adik bungsu Kakek.
Hari masih gelap.
Kokok ayam masih kedengaran. Kakek menurunkan saya.
Sebelum harimau meninggalkan kami, Kakek memberikan harimau makanan tujuh biji bertih. Saya tidak tahu dari mana bertih itu diperolehi oleh Kakek.
Selesai harimau itu memakan bertih, sekali lagi Kakek menepuk‐nepuk dahi harimau. Kakek membisikkan sesuatu ke telinga harimau. Dan harimau itu bagaikan mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Kakek karena telinganya bergerak‐gerak.
“Balik ke rumah kita! jaga kampung serta tanah ladang kita!” suara Kakek meninggi.
Harimau itu mengguap panjang. Dengan sekejap mata saja harimau besar hilang dari pandangan saya.
Kakek tidak mau mengejutkan adik bungsunya. Menurutnya, pantangan besar kalau kita menunggang harimau mengejutkan tuan rumah sebelum tuan rumah itu terjaga.
Adik bungsu Kakek terkejut bila dia membuka pintu rumah pagi itu didapatinya kami duduk di kaki tangga. Dia mengucapkan keheranan dan rasa takjub bagaimana kami bisa sampai pagi sekali ke tempatnya sedangkan jam malam belum juga berakhir.
Dia lalu bertanya bagaimana kami bisa sampai pagi sekali. Pertanyaan atau kebingungan itu tidak dijawab oleh Kakek. Kakek mengubah tajuk obrolan pada perkara lain.
Sambil minum kopi pagi, adik bungsu Kakek menceritakan keadaan kampung Hulu Kuang sambil menanyakan kabar nenek serta anak cucu Kakek.
Quote:
Obrolan Kakek dengan adik bungsunya sungguh rancak pagi itu. Saya tidak banyak ikut campur dalam obrolan mereka. Saya lebih senang berdiri di muka jendela melihat daun‐daun pohon yang menghijau serta puncak gunung yang diselimuti kabut tipis.
“Kau sakit? Aku lihat kamu kurus sekali!”Terdengar suara Kakek.
Saya segera menoleh ke belakang. Saya lihat Kakek sedang memerhatikan tubuh adik bungsunya yang ceking dan kurus.
“Saya baru baikan dari demam, apalagi ditambah jaga malam pula,” jawab adik bungsu Kakek.
“Hai, ada jam malam pun masih wajib jaga malam ?”
“Berjaga dalam rumah!” sahut isteri adik bungsu kakek dari dapur.
Saya tertarik dengan obrolan itu. Memaksa saya untuk duduk di sebelah Kakek. Kakek saya lihat mengkerutkan keningnya.
“Kenapa pula itu? Apa ada pencuri ?”
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh adik bungsu Kakek dan isterinya. Mereka kelihatan resah dan tidak menentu.
“kenapa tidak bicara? Kalau bisa aku tolong aku akan berusaha menolong, kalau tidak bisa kita cari orang lain untuk menolongnya,” Kakek memberi sebuah harapan.
Isteri adik bungsu Kakek tersenyum. Adik bungsu Kakek termenung panjang.
“Susah orang untuk menolongnya,” Begitu hampa nada suara adik bungsu Kakek.
“Susah kayak bagaimana?” tanya Kakek.
“Kerja iblis.”
“Kita lawan cara iblis.”
“Begini, di kampung ini ada tuyul. Sekejap menjelma jadi kucing. Sekejap jadi tikus.”
Adik bungsu Kakek menerangkan sambil melihat ke kiri kanan.
Diubah oleh mufidfathul 07-04-2017 04:00
ciptoroso dan erman123 memberi reputasi
2
Kutip
Balas