- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
...
TS
bunbun.orenz
[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)
Spoiler for Credit Cover (THANK YOU SO MUCH):
And I know
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
There's nothing I can say
To change that part
But can I speak?
Well is it hard understanding
I'm incomplete
A life that's so demanding
I get so weak
A love that's so demanding
I can't speak
I see you lying next to me
With words I thought I'd never speak
Awake and unafraid
Asleep or dead
- Famous Last Words by MCR -
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 90% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahyang dituangkan oleh suami ku tercinta Agatha
Quote:
Spoiler for Special Thanks:
***
Spoiler for From Me:
Versi PDF Thread Sebelumnya:
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/05/02/9605475_201705020801290527.jpg)
Foto diatas hanyalah sebagai ilustrasi tokoh dalam cerita ini
Quote:
Polling
0 suara
SIAPAKAH YANG AKAN MENJADI NYONYA AGATHA ?
Diubah oleh bunbun.orenz 04-07-2017 12:31
ugalugalih dan 27 lainnya memberi reputasi
26
1.5M
7.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7
#352
PART 5
Libur menjelang lebaran.
Sahur kali ini Gua sedang makan diluar bersama Nona Ukhti. Disalah satu warung tenda yang menyediakan ayam geprek atau penyet sambal ijo. Wuissh mantep pedesnya nih, dan gak kira-kira tempatnya jauh banget. Masih di kota Gua tapi deket kampusnya Nona Ukhti ini.
"Huuaa.. Gile pedes Vee..", ucap Gua sambil memonyongkan bibir.
Vera lalu mengambil tisu dan menyeuka kening Gua yang mengeluarkan butiran keringat kecil-kecil.
"Sambelnya jangan dimakan lagi sayaang...",
"Sampe bibir kamu merah gitu..", ucapnya setelah beres menyeuka kening Gua.
"Mas..",
"Saya pesan satu gelas teh tawar hangat satu ya..", ucap Vera kali ini kepada penjual.
"Ini minum dulu yang anget",
"Kata aku juga kan jangan pesen es teh manis...",
"Gak akan hilang pedesnya Sayang...", ucapnya kali ini sambil mengelap bibir Gua dengan tisu.
Wih rasanya mantep kan tuh kalo kepedesan langsung minum yang anget ? Kebalikan dari yang dingin. Begitu diminum yang anget, bibir langsung kerasa panas pooollll, tapi udahnya cepet ilang, kalo yang dingin, diminum ilang pedesnya tapi udahnya langsung dah panas lagi sembari kayak ditusuk-tusuk jarum nih bibir.
Beres makan sahur, kami berdua masih santai di warung tenda ini. Cukup ramai pengunjung yang makan sahur disini. Gua membuka bungkus rokok, lalu menyelipkannya dibibir, baru saja mau menyalakan korek gas, Vera langsung mengucapkan kalimat syahdu.
"Katanya kalo ngerokok itu enak ya Sayang ?",
"Tapi kok kenapa ada yang meninggal karena suka ngerokok ya ?",
"Kalopun hidup, lehernya bisa bolong katanya...",
"Bener gak sayang ?", ucap Vera dengan nada lembut.
Gua langsung masukkan lagi itu korek gas ke saku celana jeans, lalu menaruh kembali sebatang rokok ke kandangnya.
"Iya-iya Vee...", ucap Gua dengan wajah kusut.
"Duuuh... Yang beteee...",
"Cinii-cinii aku cium aja pipinya..", ucapan manja itu dibarengi dengan tangannya yang melingkar kebelakang leher Gua.
"Vee...",
"Maluu ah...", jawab Gua cepat sambil melepaskan tangannya dari leher.
"Ha ha ha ha...",
"Abisnya cemberut gitu siiih...",
"Senyum dong..", ucapnya kali ini sambil menarik kedua pipi Gua dibagian atas ujung bibir.
Yap, Vera sukses membuat lengkung senyum dibibir Gua walaupun memaksa dengan kedua tangannya. Tapi Gua harus akui, dirinya paling bisa melarang Gua merokok dengan cara yang lembut, kalimat sarkasnya yang lembut tanpa bermaksud kasar. Intinya selalu bisa mengingatkan Gua dengan caranya yang lembut tanpa marah-marah.
Selesai berurusan dengan makan Sahur, Gua dan Vera kembali naik si Kiddo. Gua antar dia ke kost-annya di dekat kampusnya. Kost-an khusus perempuan, yang pasti membuat Gua hanya bisa mengantarkannya sampai gerbang pagar kost-an 20 pintu itu.
"Makasih ya sayang udah mau nemenin aku sahur, udah mau datang jauh-jauh kesini...", ucapnya setelah turun dari si Kiddo dan berdiri disamping Gua.
"Iya sama-sama ya Ve..",
"Makasih untuk makan sahurnya tadi, hehehe...",
"Ya udah aku pulang dulu ya Ve..", jawab Gua sambil berniat mengenakan helm fullface lagi.
Tapi tangan Gua ditahan olehnya, Vera melirik ke kanan dan ke kiri lalu menengok ke belakang, dimana kost-annya berada. Kemudian...
Cuuupp...Sebuah kecupan di pipi Gua mendarat dengan mulus dari bibir kissable-nya itu.
"Belum imsak kan ?",
"Hi hi hi hi...", ucapnya kemudian terkekeh pelan sambil menutup mulutnya.
"Dih, bisaan ya..",
"Dasar kamu Ve, kalo ada yang liat berabe nanti.. Ha ha ha...",
"Aku pulang ya..", ucap Gua lagi sebelum menutup kaca helm.
"Iya hati-hati dijalan ya..",
"Jangan kebut bawa motornya",
"Sms kalo udah sampai rumah ya Sayang...", jawab Vera.
"Sip..",
"Assalamualaikum..".
"Walaikumsalam..".
...
Begitulah kedekatan Gua dengan Vera akhir-akhir ini selama Gua sudah liburan kuliah. Kedekatan Gua dengan dirinya tidak berkurang sedikitpun, apapun yang terjadi antara Gua dengan Papahnya tidak membuat Gua mengurungkan niat untuk menjauhi Vera sedikitpun. Alasannya ? Vera si Nona Ukhti ternyata berpikir pendek. Bahaya kalau Gua sampai benar-benar menjauhinya. Niatnya tidak main-main untuk kabur dari rumah dan menetap di Ibu kota agar bisa bersama Gua.
Lalu, kenapa kok bisa dia ngekost di dekat kampusnya, padahal kalau dipikir, rumah Vera dan kampus masih satu kota, walaupun jaraknya jauh dari kota, dimana rumah Vera berada di Kotamadya, sedangkan kampusnya sudah masuk Kabupaten. Alasannya agar Vera tidak telat datang mengikuti perkuliahaan, dan akhirnya memilih jadi anak kost, dan itu hanyalah alasan untuk Papahnya. Lalu alasan kepada Gua adalah alasan yang sebenarnya. Dirinya sengaja kost agar bisa lebih leluasa bertemu dengan Gua. Dan soal Vera hari ini lebih memilih tidur di kost-an daripada pulang kerumah, padahal perkuliahannya sudah libur, ya karena dia bertengkar dengan Papahnya. Karena Gua ? Bukan. Karena Vera tidak suka dengan Ibu 'barunya'. (Jangan tanya kenapa ataupun siapa Ibu baru Vera, apakah yang sering ditelpon Ibu kandungnya atau bukan, itu privasi Nona Ukhti).
Niat Gua ingin menemaninya disaat dia sedang butuh teman untuk mengadu seperti sekarang. Tapi Gua pun tidak mungkin menginap di kost-annya. Mau dibawa ke rumah Nenek, lebih bahaya, maen bawa anak orang aja Gua.
Soal panggilan sayang ? Gua jadian sama Vera ? Belum. Itu hanya dirinya yang ingin memanggil Gua sayang setelah mengetahui putusnya hubungan Gua dengan Wulan kemarin-kemarin. Jadi biarlah sesuka hatinya dia mau manggil Gua apa. Asalkan dia bahagia dan tersenyum saja Gua ikut senang. Kasihan Nona Ukhti, materi tercukupi tapi keluarganya tidak bisa memenuhi perasaannya yang rindu akan sebuah keluarga bahagia. Like me in the past.. So Pathetic.
***
Saat momen menjelang lebaran biasanya sebuah keluarga sering jalan bersama ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian dan barang baru. Sebuah budaya yang sudah melekat dari dahulu. Tapi bagi Gua semua itu sudah tidak ada lagi semenjak perpisahan kedua orangtua Gua. Sampai Gua lupa kapan terakhir kali Gua, almh. Ibu dan Ayah pergi bersama untuk sekedar main ke mall disaat menjelang lebaran seperti sekarang. Tapi tahun ini sedikit berbeda, ada rasa bahagia karena Gua bisa pergi bersama Ayah. Bukan karena barang baru yang dibelikan atau belanja pakaian, tapi momen antara Ayah dan anaklah yang membuat Gua bahagia, sekalipun tidak lengkap karena tidak adanya sosok Ibu.
Dua hari sebelum lebaran, Gua sedang jalan-jalan dengan Ayah di sore hari di sebuah mall ibu kota. Ayah meminjam mobil Om Gua yang sudah berniat untuk lebaran bersama di rumah Nenek tahun ini.
Dua kantung belanjaan sudah berada dalam kedua genggaman tangan kanan-kiri Gua, sedangkan di tangan kanan Ayah ada satu kantung belanjaan.
Kalau kalian pikir isi kantung belanjaan adalah pakaian baru untuk Gua dan Ayah, kalian salah. Kami lebih banyak belanja pakaian untuk Nenek, Om, Tante dan keponakan Gua. Dibandingkan belanja untuk dirinya sendiri. Memang tidak semua pakaian yang kami beli untuk keluarga, ada beberapa untuk Gua dan Beliau sendiri.
"A, sini..", ucap Beliau ketika kami sedang melintasi sebuah outlet jam tangan.
"Kenapa Yah ?", tanya Gua.
"Sini, masuk dulu...",
"Ayah mau lihat jam tangan".
Kami berdua akhirnya masuk ke outlet tersebut, lalu Gua mengekor dari belakang ketika Beliau melihat-lihat jejeran jam tangan disebuah etalase.
Banyak jam tangan dari merk-merk terkenal yang dijual di outlet ini, cuma yang Gua dengar dari Ayah, beberapa barang memang original dan sebagian ada juga yang kw. Ayah bisa tau karena Beliau memang kolektor jam tangan. Gua jelas tidak meragukan pendapatnya soal aksesoris yang satu itu. Ketika ayah masih melihat-lihat jam tangan, mata Gua tidak sengaja melihat ke sebuah jam tangan dengan tali jam berwarna biru muda dengan logo 'ceklist' terkenal dunia. Gua melangkah kearah jam tangan itu terpajang. Lalu Gua panggil pramuniaga outlet untuk menunjukkan jam tersebut.
"Berapa Mba yang ini ?", tanya Gua sambil memutar-mutar jam tangan tersebut.
"Sekian juta Mas",
"Itu barang Original Mas..", jawabnya.
"Beneran Ori ini Mba ?",
"Harganya bisa kurang berapa Mba ?", tanya Gua lagi.
"Ada sertifikat autentifikasinya Mas, bisa di cek nanti kodenya dari websitenya Mas, jadi pasti original", ucapnya menjelaskan,
"Kebetulan sedang ada diskon lebaran Mas, 25% untuk semua produk yang dijual..", lanjutnya.
Gua berpikir sejenak, diskon 25% dari sekian juta harganya, Gua menemukan angka sekian ratus ribu. Lumayan juga nih. Lumayan mahal maksudnya jiirr. Duh, bagus sih, rasa sayang akan mengeluarkan uang sekian rupiah tiba-tiba saja muncul, kampret nih. Masih galau untuk dibeli atau tidak, tiba-tiba suara Ayah terdengar dari sisi kiri Gua.
"Bagus A..",
"Asli tuh A..", ucap Beliau.
"Eh ?",
"Iya ya Yah ?",
"Bagus sih, cuma harganya sekian ratus ribu setelah di diskon..", jawab Gua kepada Beliau.
"Heum ?",
"Murah A, barang ori gitu di luar negeri gak dapet segitu..",
"Model terbaru juga kan itu...", ucap Beliau lagi.
Gua berpikir sejenak, wah ini Ayah sama pramuniaga kompakan banget ngojok-ngojok Gua untuk beli ini barang. Okelah Gua beli aja deh, namun sebelum Gua mengatakan deal dan beli ini barang, mata Gua melihat jam tangan yang sama, model yang sama dan hanya warnanya yang berbeda. Tapi karena warnanya itulah Gua langsung ingat seseorang.
"Mba, coba lihat yang warna itu Mba..", ucap Gua kepada pramuniaga,
"Iya yang itu..", ucap Gua lagi ketika pramuniaga menunjuk barang yang dimaksud.
Gua kembali melihat jam tangan yang satu ini, hanya beda warna. Gua jadi galau lagi, beli dua atau satu. Dan kegalauan Gua sepertinya mengusik Ayah.
"Kenapa A ?",
"Bingung sama warnanya ?", tanya Beliau.
"Memang 'dia' suka warna apa ?", lanjut Beliau.
Gua hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala kepada Beliau. Dan gua yakin seyakin-yakinnya, Beliau paham maksud Gua.
"Ha ha ha ha...",
"Ya sudah angkut dua-duanya..", jawab Beliau sambil berlalu menuju kasir.
Waaah sumringah langsung Gua, enggak pake pikir panjang lagi, langsung Gua minta dua jam tangan satu model dengan warna yang berbeda tersebut dibungkus kepada si pramuniaga.
Gua berada disamping Beliau di depan kasir, Beliau membayar jam tangan yang dia pilih untuknya sendiri lalu tersenyum kearah Gua. Sedangkan gua masih tidak mengerti maksud senyumnya itu.
"Kalo Mas, pesananya yang ini ya ?", tanya si kasir kepada Gua seraya menunjukkan dua buah jam tangan.
"Eh, iya Mba..", jawab Gua.
Si kasir memasukkan nominal kepada mesin kasirnya, lalu bill belanja pun tercetak keluar dan disodorkan kepada Gua.
"Ini totalnya Mas, sudah termasuk diskon setiap itemnya..",
"Pembayarannya tunai atau debet Mas ?", tanya si kasir kemudian.
Gw masih memegang bill tersebut, lalu Gua melirik kepada Ayah yang berada disisi kiri Gua.
"Ayah tunggu diluar ya A..", ucap Beliau sambil berbalik menghadap pintu keluar outlet.
"Eh ? Yah, ini gima..", ucapan Gua terpotong.
"Debet saja A, uang tabunganmu kan banyak",
"Ha ha ha ha...", ucap Beliau tanpa menengok sedikitpun sambil berlalu meninggalkan Gua yang masih melongo di depan kasir.
Dengan hati yang menclos Gua pun mengeluarkan dompet lalu mengambil kartu debet dan memberikannya kepada si kasir. Gua sempat melihat Mba kasir terkekeh pelan ketika Gua memberikan kartu debet kepadanya. Sompret bener nih si Mba, seneng dia liat Gua dikerjain Bokap, hadeeuuh.
Kami berdua sudah selesai belanja di mall ini, waktu pun sudah menunjukkan pukul 17.00 wib, tandanya waktu berbuka puasa akan tiba sebentar lagi. Sekarang kami sudah sudah berada di parkiran mobil mall, Ayah meminta Gua yang membawa mobil kali ini. Sebelumnya beliau yang mengemudi ketika berangkat tadi.
"A, kita cari tempat makan di sekitar sini saja",
"Enggak akan keburu kalau buka bersama di rumah...", ucap Ayah ketika mobil sudah keluar parkiran mall.
"Lewat tol aja Yah",
"Pasti keburu, cepet kok", jawab Gua.
"Sama aja A",
"Jalanan pasti macet baik di tol atau lewat Jaktim", balas Beliau.
"Oh, ya udah oke",
"Mau makan apa Yah ?", tanya Gua lagi.
"Tunjukkin tempat makan yang paling enak disini A",
"Yang penting menu lokal",
"Bosan ayah kalau makan western food..", ucap Beliau lagi.
Gua berpikir sejenak, memikirkan tempat makan dengan menu lokal yang paling enak dimana ya. Bukan apa-apa, Gua selama kuliah belum pernah makan ditempat yang tergolong restoran, kecuali saat bersama Kinan, itu pun menunya bukan menu lokal, kecuali kolaknya. Selama puasa Gua kebanyakan buka di rumah bersama Nenek. Dan daerah yang sedang Gua dan Ayah kelilingi kali ini berada di Pusat, bukan di Selatan Jakarta.
"Kamu gak hapal jalan A ?",
"Kok dari tadi muter kesini lagi ?", tanyanya.
"He he he...",
"Iya Yah, A'a kan enggak pernah ke pusat, kampus juga di selatan..", jawab Gua.
"Hmm..", Beliau mendengus pelan,
"Ya sudah tuh disitu saja, kita makan disitu", ucapnya setelah menunjuk sebuah rumah makan besar menu sunda yang cabangnya ada dimana-mana.
Setelah memarkirkan mobil, kami berdua turun, lalu masuk kedalam RM sunda ini. Ternyata sudah penuh meja makannya dengan pengunjung yang rata-rata mereka semua bersama keluarganya. Kami masih beruntung karena pelayan RM menyediakan meja dan bangku tambahan untuk kami berdua.
Singkat cerita, menu makanan yang secara prasmanan dan kami pilih sendiri sebelumnya, telah tersaji diatas meja makan di depan kami berdua. Sambil menunggu bedug maghrib yang masih beberapa menit kedepan, Ayah membuka kultum untuk Gua.
"A, kegiatan kamu kenapa cuma pulang pergi rumah dan kampus ?", tanya Beliau.
"Heum ?",
"Enggak apa-apa Yah, kan di Jakarta juga baru, belum sebulan", jawab Gua.
"Kamu banyak teman di kampus ?", lanjutnya.
"Kalo sekedar teman sih ada Yah",
"Ngomong-ngomong ada apa memangnya Yah ?", tanya gua balik.
"Gini A",
"Kamu laki-laki, masih muda",
"Tapi kok Ayah perhatikan selama Ayah disini Kamu jarang main keluar atau nongkrong bareng temanmu ?",
"Sekalinya kamu pamit, ketempat teman perempuan mu..", ucapnya lagi.
Selama Ayah Gua liburan dari awal bulan hingga sekarang Gua kuliah, memang Gua selalu jujur kepadanya jika akan keluar untuk pergi bersama siapa saja, dan rata-rata Gua memang pergi bersama Vera selama bulan puasa ini. Otomatis Beliau tau kalau Gua selalu jalan hanya dengan perempuan. Btw, Beliau dan Vera belum sempat bertemu selama Beliau liburan di rumah. Ketika Vera datang di malam hari, saat dia pertama kalinya memakai busana gamis dihadapan Gua, Ayah Gua sedang keluar saat itu, jadi tidak ada pertemuan diantara mereka berdua.
"Ayah bukan melarang mu bergaul dengan perempuan ataupun laki-laki..", lanjutnya,
"Ayah malah ingin kamu pergi dari rumah...", ucapnya penuh penekanan.
Weleh ? Diusir kah Gua ? Ajigile bener nih Bokap, sekalinya liburan di rumah malah nyuruh anaknya minggat. But...
"Maksudnya gimana Yah ?", tanya Gua heran.
"Kamu harusnya kost di Ibu Kota ini..",
"Jadilah lelaki yang haus akan tantangan, jadilah lelaki yang penuh rasa ingin tau akan kehidupan yang sebenarnya..",
"Di kota kita ruang lingkupnya sempit",
"Tapi disini ? Di Ibu Kota ruang lingkupnya luas A..", ucapnya.
Gua masih menerka-nerka arah pembicaraan Beliau.
"Kamu bisa melihat kehidupan yang sebenarnya disini, di Jakarta ini..",
"Dari mulai orang yang susah hingga orang yang kaya raya pun ada disini..",
"Dari mulai preman pasar, hingga penjahat kelas kakap pun ada disini..",
"Buka mata kamu akan realita hidup",
"Bergaul lah dengan siapapun kamu mau..", lanjutnya.
Gua disini masih bingung, bukan tidak paham soal pergaulan, tapi kenapa harus preman dan penjahat sebagai contohnya.
"Maksudnya..",
"Ayah menyuruh A'a bergaul dengan penjahat ?", tanya Gua.
Beliau tersenyum simpul, lalu wejangan itu pun keluar dari mulutnya.
"Kalo perlu kenapa enggak A ?",
"Gini A..",
"Kamu tau, kalau kita bukan perokok kemudian duduk di dekat orang yang sedang merokok, bau asap rokoknya pun akan menempel di pakaian kita, walaupun hanya sedikit..",
"Begitupun dalam pergaulan A",
"Kalau kamu bukan penjahat dan bergaul dengan seorang penjahat, sedikitnya kamu akan terlibat..",
"Entah hanya sebagai pendengar rencana sebuah kejahatan, atau malah membantu mereka untuk merampok..", ucap Beliau lagi.
"Berarti, A'a diizinin bermain dengan kejahatan ?", tanya Gua semakin heran.
"Satu hal yang kamu harus tau A",
"Hidup ini enggak mudah, keras",
"Tergantung bagaimana kita menyikapinya..",
"Tuhan sudah menunjukkan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk pada firman-NYA yang tertuang dalam kitab suci..",
"Kalau kita berpegang teguh kepada-NYA, mau kamu bergaul dengan siapapun, iman mu tak akan goyah..",
"Dan Ayah pribadi tidak melarang kamu bergaul dengan seorang penjahat..",
"Karena bau rokok yang Ayah maksud bukan agar kamu bisa ikut terlibat di dalamnya, namun agar kamu jadikan pandangan dan bisa menela'ah realita kelam dalam hidup ini secara langsung, bukan dari 'drama' yang selalu dipertontonkan pada acara berita di tv-tv..".
Pada akhirnya Gua paham maksud Beliau. Ayah memang seseorang yang punya pergaulan luas, teman-temannya dari kalangan pengemis di dekat rumah hingga pejabat pemerintahan pusat pun ada. Satu hal lainnya, Beliau tidak pernah percaya 100% dengan sebuah berita kriminal di media manapun, karena baginya, selalu ada kepentingan suatu golongan pada berita tersebut. Dan apa yang diyakininya terbukti hingga jaman sekarang.
Lalu, kesimpulannya untuk Gua adalah, Beliau membebaskan Gua untuk bergaul dengan siapapun, baik itu seorang penjahat ataupun tidak. Konsekuesi selalu ada dalam kehidupan, maka bertanggungjawablah pada apa yang telah kita perbuat. Apalagi Gua sebagai laki-laki, tanggungjawabnya lebih besar daripada seorang perempuan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan pandangan Beliau soal pergaulan, agar Gua bisa memperbanyak pengalaman hidup selagi muda.
"A, perluas pengalaman masa muda kamu, sayang kalau kamu hanya diam di zona nyamanmu",
"Laki-laki itu butuh tantangan",
"Agar bisa menempa mental dan kesabaran mu kelak ketika nanti sudah berkeluarga..",
"Janganlah jadi laki-laki yang bermental tempe, karena kepada siapa nanti istri dan anakmu berlindung kalau kepala keluarganya pun hanya bisa menerima nasib tanpa bisa berusaha..".
"Iya Yah",
"Aku paham..", jawab Gua dengan jantung yang berdegup kencang.
"Ayah yakin, kamu akan menjadi laki-laki yang kuat, bertanggungjawab dan bermental baja..",
"Jangan buat kecewa ya A",
"Bukan untuk Ayah, tapi untuk keluargamu nanti A', kalimat terakhir itupun disertai dengan bedug maghrib.
Kultum kali ini memang beda, penuh dengan wejangan dari Ayahanda. Gua pun bersyukur bisa bercengkrama lagi dengan Beliau. Love you Dad, but... Please forgive me for what i've done later.
.........
Dalam perjalanan pulang, kembali Gua yang mengemudikan mobil.
"A, kamu pacaran sama perempuan yang sering kamu ajak jalan itu ?", tanyanya ketika mobil sudah berada di jalan tol.
"Eum.... Belum Yah..", jawab Gua.
"Lalu, siapa yang kamu suka ?",
"Biru atau Hijau ?", tanyanya lagi.
"Biru ? Hijau ?", ucap Gua bingung.
"Jam yang kamu beli satu model",
"Hanya beda warna",
"Menurut Ayah, rasa sayang kamu sama besarnya sama kedua perempuan itu...", tebak Beliau.
Memang ya, yang namanya orangtua itu pengalamannya lebih banyak dan luas. Cuma dua buah jam tangan yang Gua beli saja Beliau langsung paham apa yang Gua rasakan untuk kedua perempuan itu. Malu-malu cuking nih Gua, ke gep sama Ayahanda. Ha ha ha...
"Dan Ayah rasa, si Biru itu peluangnya lebih besar ya A ?", tanyanya mulai menebak lagi.
"Hah ? Kok bisa berpikir gitu Yah ?", tanya Gua heran.
"Yang Hijau kamu pilih kedua karena tidak sengaja melihatnya kan ?",
"Kemungkinannya, si Hijau adalah plan B kamu",
"Atau dia sudah memiliki pasangan..".
Double kill!!! Mode detektif Bokap mode on ini, gila bener, cuma karena sebuah jam tangan merembet sampai isi hati dan fakta. Salute Dad...
"Siapa namanya A ?", tanya beliau lagi.
"Eumm...",
"Yang... Yang mana Yah ?", ucap Gua gerogi.
"Biru..",
"Vera namanya..", jawab Gua.
"Lalu yang Hijau ?", tanyanya lagi.
"Sherlin..".
Sahur kali ini Gua sedang makan diluar bersama Nona Ukhti. Disalah satu warung tenda yang menyediakan ayam geprek atau penyet sambal ijo. Wuissh mantep pedesnya nih, dan gak kira-kira tempatnya jauh banget. Masih di kota Gua tapi deket kampusnya Nona Ukhti ini.
"Huuaa.. Gile pedes Vee..", ucap Gua sambil memonyongkan bibir.
Vera lalu mengambil tisu dan menyeuka kening Gua yang mengeluarkan butiran keringat kecil-kecil.
"Sambelnya jangan dimakan lagi sayaang...",
"Sampe bibir kamu merah gitu..", ucapnya setelah beres menyeuka kening Gua.
"Mas..",
"Saya pesan satu gelas teh tawar hangat satu ya..", ucap Vera kali ini kepada penjual.
"Ini minum dulu yang anget",
"Kata aku juga kan jangan pesen es teh manis...",
"Gak akan hilang pedesnya Sayang...", ucapnya kali ini sambil mengelap bibir Gua dengan tisu.
Wih rasanya mantep kan tuh kalo kepedesan langsung minum yang anget ? Kebalikan dari yang dingin. Begitu diminum yang anget, bibir langsung kerasa panas pooollll, tapi udahnya cepet ilang, kalo yang dingin, diminum ilang pedesnya tapi udahnya langsung dah panas lagi sembari kayak ditusuk-tusuk jarum nih bibir.
Beres makan sahur, kami berdua masih santai di warung tenda ini. Cukup ramai pengunjung yang makan sahur disini. Gua membuka bungkus rokok, lalu menyelipkannya dibibir, baru saja mau menyalakan korek gas, Vera langsung mengucapkan kalimat syahdu.
"Katanya kalo ngerokok itu enak ya Sayang ?",
"Tapi kok kenapa ada yang meninggal karena suka ngerokok ya ?",
"Kalopun hidup, lehernya bisa bolong katanya...",
"Bener gak sayang ?", ucap Vera dengan nada lembut.
Gua langsung masukkan lagi itu korek gas ke saku celana jeans, lalu menaruh kembali sebatang rokok ke kandangnya.
"Iya-iya Vee...", ucap Gua dengan wajah kusut.
"Duuuh... Yang beteee...",
"Cinii-cinii aku cium aja pipinya..", ucapan manja itu dibarengi dengan tangannya yang melingkar kebelakang leher Gua.
"Vee...",
"Maluu ah...", jawab Gua cepat sambil melepaskan tangannya dari leher.
"Ha ha ha ha...",
"Abisnya cemberut gitu siiih...",
"Senyum dong..", ucapnya kali ini sambil menarik kedua pipi Gua dibagian atas ujung bibir.
Yap, Vera sukses membuat lengkung senyum dibibir Gua walaupun memaksa dengan kedua tangannya. Tapi Gua harus akui, dirinya paling bisa melarang Gua merokok dengan cara yang lembut, kalimat sarkasnya yang lembut tanpa bermaksud kasar. Intinya selalu bisa mengingatkan Gua dengan caranya yang lembut tanpa marah-marah.
Selesai berurusan dengan makan Sahur, Gua dan Vera kembali naik si Kiddo. Gua antar dia ke kost-annya di dekat kampusnya. Kost-an khusus perempuan, yang pasti membuat Gua hanya bisa mengantarkannya sampai gerbang pagar kost-an 20 pintu itu.
"Makasih ya sayang udah mau nemenin aku sahur, udah mau datang jauh-jauh kesini...", ucapnya setelah turun dari si Kiddo dan berdiri disamping Gua.
"Iya sama-sama ya Ve..",
"Makasih untuk makan sahurnya tadi, hehehe...",
"Ya udah aku pulang dulu ya Ve..", jawab Gua sambil berniat mengenakan helm fullface lagi.
Tapi tangan Gua ditahan olehnya, Vera melirik ke kanan dan ke kiri lalu menengok ke belakang, dimana kost-annya berada. Kemudian...
Cuuupp...Sebuah kecupan di pipi Gua mendarat dengan mulus dari bibir kissable-nya itu.
"Belum imsak kan ?",
"Hi hi hi hi...", ucapnya kemudian terkekeh pelan sambil menutup mulutnya.
"Dih, bisaan ya..",
"Dasar kamu Ve, kalo ada yang liat berabe nanti.. Ha ha ha...",
"Aku pulang ya..", ucap Gua lagi sebelum menutup kaca helm.
"Iya hati-hati dijalan ya..",
"Jangan kebut bawa motornya",
"Sms kalo udah sampai rumah ya Sayang...", jawab Vera.
"Sip..",
"Assalamualaikum..".
"Walaikumsalam..".
...
Begitulah kedekatan Gua dengan Vera akhir-akhir ini selama Gua sudah liburan kuliah. Kedekatan Gua dengan dirinya tidak berkurang sedikitpun, apapun yang terjadi antara Gua dengan Papahnya tidak membuat Gua mengurungkan niat untuk menjauhi Vera sedikitpun. Alasannya ? Vera si Nona Ukhti ternyata berpikir pendek. Bahaya kalau Gua sampai benar-benar menjauhinya. Niatnya tidak main-main untuk kabur dari rumah dan menetap di Ibu kota agar bisa bersama Gua.
Lalu, kenapa kok bisa dia ngekost di dekat kampusnya, padahal kalau dipikir, rumah Vera dan kampus masih satu kota, walaupun jaraknya jauh dari kota, dimana rumah Vera berada di Kotamadya, sedangkan kampusnya sudah masuk Kabupaten. Alasannya agar Vera tidak telat datang mengikuti perkuliahaan, dan akhirnya memilih jadi anak kost, dan itu hanyalah alasan untuk Papahnya. Lalu alasan kepada Gua adalah alasan yang sebenarnya. Dirinya sengaja kost agar bisa lebih leluasa bertemu dengan Gua. Dan soal Vera hari ini lebih memilih tidur di kost-an daripada pulang kerumah, padahal perkuliahannya sudah libur, ya karena dia bertengkar dengan Papahnya. Karena Gua ? Bukan. Karena Vera tidak suka dengan Ibu 'barunya'. (Jangan tanya kenapa ataupun siapa Ibu baru Vera, apakah yang sering ditelpon Ibu kandungnya atau bukan, itu privasi Nona Ukhti).
Niat Gua ingin menemaninya disaat dia sedang butuh teman untuk mengadu seperti sekarang. Tapi Gua pun tidak mungkin menginap di kost-annya. Mau dibawa ke rumah Nenek, lebih bahaya, maen bawa anak orang aja Gua.
Soal panggilan sayang ? Gua jadian sama Vera ? Belum. Itu hanya dirinya yang ingin memanggil Gua sayang setelah mengetahui putusnya hubungan Gua dengan Wulan kemarin-kemarin. Jadi biarlah sesuka hatinya dia mau manggil Gua apa. Asalkan dia bahagia dan tersenyum saja Gua ikut senang. Kasihan Nona Ukhti, materi tercukupi tapi keluarganya tidak bisa memenuhi perasaannya yang rindu akan sebuah keluarga bahagia. Like me in the past.. So Pathetic.
***
Saat momen menjelang lebaran biasanya sebuah keluarga sering jalan bersama ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian dan barang baru. Sebuah budaya yang sudah melekat dari dahulu. Tapi bagi Gua semua itu sudah tidak ada lagi semenjak perpisahan kedua orangtua Gua. Sampai Gua lupa kapan terakhir kali Gua, almh. Ibu dan Ayah pergi bersama untuk sekedar main ke mall disaat menjelang lebaran seperti sekarang. Tapi tahun ini sedikit berbeda, ada rasa bahagia karena Gua bisa pergi bersama Ayah. Bukan karena barang baru yang dibelikan atau belanja pakaian, tapi momen antara Ayah dan anaklah yang membuat Gua bahagia, sekalipun tidak lengkap karena tidak adanya sosok Ibu.
Dua hari sebelum lebaran, Gua sedang jalan-jalan dengan Ayah di sore hari di sebuah mall ibu kota. Ayah meminjam mobil Om Gua yang sudah berniat untuk lebaran bersama di rumah Nenek tahun ini.
Dua kantung belanjaan sudah berada dalam kedua genggaman tangan kanan-kiri Gua, sedangkan di tangan kanan Ayah ada satu kantung belanjaan.
Kalau kalian pikir isi kantung belanjaan adalah pakaian baru untuk Gua dan Ayah, kalian salah. Kami lebih banyak belanja pakaian untuk Nenek, Om, Tante dan keponakan Gua. Dibandingkan belanja untuk dirinya sendiri. Memang tidak semua pakaian yang kami beli untuk keluarga, ada beberapa untuk Gua dan Beliau sendiri.
"A, sini..", ucap Beliau ketika kami sedang melintasi sebuah outlet jam tangan.
"Kenapa Yah ?", tanya Gua.
"Sini, masuk dulu...",
"Ayah mau lihat jam tangan".
Kami berdua akhirnya masuk ke outlet tersebut, lalu Gua mengekor dari belakang ketika Beliau melihat-lihat jejeran jam tangan disebuah etalase.
Banyak jam tangan dari merk-merk terkenal yang dijual di outlet ini, cuma yang Gua dengar dari Ayah, beberapa barang memang original dan sebagian ada juga yang kw. Ayah bisa tau karena Beliau memang kolektor jam tangan. Gua jelas tidak meragukan pendapatnya soal aksesoris yang satu itu. Ketika ayah masih melihat-lihat jam tangan, mata Gua tidak sengaja melihat ke sebuah jam tangan dengan tali jam berwarna biru muda dengan logo 'ceklist' terkenal dunia. Gua melangkah kearah jam tangan itu terpajang. Lalu Gua panggil pramuniaga outlet untuk menunjukkan jam tersebut.
"Berapa Mba yang ini ?", tanya Gua sambil memutar-mutar jam tangan tersebut.
"Sekian juta Mas",
"Itu barang Original Mas..", jawabnya.
"Beneran Ori ini Mba ?",
"Harganya bisa kurang berapa Mba ?", tanya Gua lagi.
"Ada sertifikat autentifikasinya Mas, bisa di cek nanti kodenya dari websitenya Mas, jadi pasti original", ucapnya menjelaskan,
"Kebetulan sedang ada diskon lebaran Mas, 25% untuk semua produk yang dijual..", lanjutnya.
Gua berpikir sejenak, diskon 25% dari sekian juta harganya, Gua menemukan angka sekian ratus ribu. Lumayan juga nih. Lumayan mahal maksudnya jiirr. Duh, bagus sih, rasa sayang akan mengeluarkan uang sekian rupiah tiba-tiba saja muncul, kampret nih. Masih galau untuk dibeli atau tidak, tiba-tiba suara Ayah terdengar dari sisi kiri Gua.
"Bagus A..",
"Asli tuh A..", ucap Beliau.
"Eh ?",
"Iya ya Yah ?",
"Bagus sih, cuma harganya sekian ratus ribu setelah di diskon..", jawab Gua kepada Beliau.
"Heum ?",
"Murah A, barang ori gitu di luar negeri gak dapet segitu..",
"Model terbaru juga kan itu...", ucap Beliau lagi.
Gua berpikir sejenak, wah ini Ayah sama pramuniaga kompakan banget ngojok-ngojok Gua untuk beli ini barang. Okelah Gua beli aja deh, namun sebelum Gua mengatakan deal dan beli ini barang, mata Gua melihat jam tangan yang sama, model yang sama dan hanya warnanya yang berbeda. Tapi karena warnanya itulah Gua langsung ingat seseorang.
"Mba, coba lihat yang warna itu Mba..", ucap Gua kepada pramuniaga,
"Iya yang itu..", ucap Gua lagi ketika pramuniaga menunjuk barang yang dimaksud.
Gua kembali melihat jam tangan yang satu ini, hanya beda warna. Gua jadi galau lagi, beli dua atau satu. Dan kegalauan Gua sepertinya mengusik Ayah.
"Kenapa A ?",
"Bingung sama warnanya ?", tanya Beliau.
"Memang 'dia' suka warna apa ?", lanjut Beliau.
Gua hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala kepada Beliau. Dan gua yakin seyakin-yakinnya, Beliau paham maksud Gua.
"Ha ha ha ha...",
"Ya sudah angkut dua-duanya..", jawab Beliau sambil berlalu menuju kasir.
Waaah sumringah langsung Gua, enggak pake pikir panjang lagi, langsung Gua minta dua jam tangan satu model dengan warna yang berbeda tersebut dibungkus kepada si pramuniaga.
Gua berada disamping Beliau di depan kasir, Beliau membayar jam tangan yang dia pilih untuknya sendiri lalu tersenyum kearah Gua. Sedangkan gua masih tidak mengerti maksud senyumnya itu.
"Kalo Mas, pesananya yang ini ya ?", tanya si kasir kepada Gua seraya menunjukkan dua buah jam tangan.
"Eh, iya Mba..", jawab Gua.
Si kasir memasukkan nominal kepada mesin kasirnya, lalu bill belanja pun tercetak keluar dan disodorkan kepada Gua.
"Ini totalnya Mas, sudah termasuk diskon setiap itemnya..",
"Pembayarannya tunai atau debet Mas ?", tanya si kasir kemudian.
Gw masih memegang bill tersebut, lalu Gua melirik kepada Ayah yang berada disisi kiri Gua.
"Ayah tunggu diluar ya A..", ucap Beliau sambil berbalik menghadap pintu keluar outlet.
"Eh ? Yah, ini gima..", ucapan Gua terpotong.
"Debet saja A, uang tabunganmu kan banyak",
"Ha ha ha ha...", ucap Beliau tanpa menengok sedikitpun sambil berlalu meninggalkan Gua yang masih melongo di depan kasir.
Dengan hati yang menclos Gua pun mengeluarkan dompet lalu mengambil kartu debet dan memberikannya kepada si kasir. Gua sempat melihat Mba kasir terkekeh pelan ketika Gua memberikan kartu debet kepadanya. Sompret bener nih si Mba, seneng dia liat Gua dikerjain Bokap, hadeeuuh.
Kami berdua sudah selesai belanja di mall ini, waktu pun sudah menunjukkan pukul 17.00 wib, tandanya waktu berbuka puasa akan tiba sebentar lagi. Sekarang kami sudah sudah berada di parkiran mobil mall, Ayah meminta Gua yang membawa mobil kali ini. Sebelumnya beliau yang mengemudi ketika berangkat tadi.
"A, kita cari tempat makan di sekitar sini saja",
"Enggak akan keburu kalau buka bersama di rumah...", ucap Ayah ketika mobil sudah keluar parkiran mall.
"Lewat tol aja Yah",
"Pasti keburu, cepet kok", jawab Gua.
"Sama aja A",
"Jalanan pasti macet baik di tol atau lewat Jaktim", balas Beliau.
"Oh, ya udah oke",
"Mau makan apa Yah ?", tanya Gua lagi.
"Tunjukkin tempat makan yang paling enak disini A",
"Yang penting menu lokal",
"Bosan ayah kalau makan western food..", ucap Beliau lagi.
Gua berpikir sejenak, memikirkan tempat makan dengan menu lokal yang paling enak dimana ya. Bukan apa-apa, Gua selama kuliah belum pernah makan ditempat yang tergolong restoran, kecuali saat bersama Kinan, itu pun menunya bukan menu lokal, kecuali kolaknya. Selama puasa Gua kebanyakan buka di rumah bersama Nenek. Dan daerah yang sedang Gua dan Ayah kelilingi kali ini berada di Pusat, bukan di Selatan Jakarta.
"Kamu gak hapal jalan A ?",
"Kok dari tadi muter kesini lagi ?", tanyanya.
"He he he...",
"Iya Yah, A'a kan enggak pernah ke pusat, kampus juga di selatan..", jawab Gua.
"Hmm..", Beliau mendengus pelan,
"Ya sudah tuh disitu saja, kita makan disitu", ucapnya setelah menunjuk sebuah rumah makan besar menu sunda yang cabangnya ada dimana-mana.
Setelah memarkirkan mobil, kami berdua turun, lalu masuk kedalam RM sunda ini. Ternyata sudah penuh meja makannya dengan pengunjung yang rata-rata mereka semua bersama keluarganya. Kami masih beruntung karena pelayan RM menyediakan meja dan bangku tambahan untuk kami berdua.
Singkat cerita, menu makanan yang secara prasmanan dan kami pilih sendiri sebelumnya, telah tersaji diatas meja makan di depan kami berdua. Sambil menunggu bedug maghrib yang masih beberapa menit kedepan, Ayah membuka kultum untuk Gua.
"A, kegiatan kamu kenapa cuma pulang pergi rumah dan kampus ?", tanya Beliau.
"Heum ?",
"Enggak apa-apa Yah, kan di Jakarta juga baru, belum sebulan", jawab Gua.
"Kamu banyak teman di kampus ?", lanjutnya.
"Kalo sekedar teman sih ada Yah",
"Ngomong-ngomong ada apa memangnya Yah ?", tanya gua balik.
"Gini A",
"Kamu laki-laki, masih muda",
"Tapi kok Ayah perhatikan selama Ayah disini Kamu jarang main keluar atau nongkrong bareng temanmu ?",
"Sekalinya kamu pamit, ketempat teman perempuan mu..", ucapnya lagi.
Selama Ayah Gua liburan dari awal bulan hingga sekarang Gua kuliah, memang Gua selalu jujur kepadanya jika akan keluar untuk pergi bersama siapa saja, dan rata-rata Gua memang pergi bersama Vera selama bulan puasa ini. Otomatis Beliau tau kalau Gua selalu jalan hanya dengan perempuan. Btw, Beliau dan Vera belum sempat bertemu selama Beliau liburan di rumah. Ketika Vera datang di malam hari, saat dia pertama kalinya memakai busana gamis dihadapan Gua, Ayah Gua sedang keluar saat itu, jadi tidak ada pertemuan diantara mereka berdua.
"Ayah bukan melarang mu bergaul dengan perempuan ataupun laki-laki..", lanjutnya,
"Ayah malah ingin kamu pergi dari rumah...", ucapnya penuh penekanan.
Weleh ? Diusir kah Gua ? Ajigile bener nih Bokap, sekalinya liburan di rumah malah nyuruh anaknya minggat. But...
"Maksudnya gimana Yah ?", tanya Gua heran.
"Kamu harusnya kost di Ibu Kota ini..",
"Jadilah lelaki yang haus akan tantangan, jadilah lelaki yang penuh rasa ingin tau akan kehidupan yang sebenarnya..",
"Di kota kita ruang lingkupnya sempit",
"Tapi disini ? Di Ibu Kota ruang lingkupnya luas A..", ucapnya.
Gua masih menerka-nerka arah pembicaraan Beliau.
"Kamu bisa melihat kehidupan yang sebenarnya disini, di Jakarta ini..",
"Dari mulai orang yang susah hingga orang yang kaya raya pun ada disini..",
"Dari mulai preman pasar, hingga penjahat kelas kakap pun ada disini..",
"Buka mata kamu akan realita hidup",
"Bergaul lah dengan siapapun kamu mau..", lanjutnya.
Gua disini masih bingung, bukan tidak paham soal pergaulan, tapi kenapa harus preman dan penjahat sebagai contohnya.
"Maksudnya..",
"Ayah menyuruh A'a bergaul dengan penjahat ?", tanya Gua.
Beliau tersenyum simpul, lalu wejangan itu pun keluar dari mulutnya.
"Kalo perlu kenapa enggak A ?",
"Gini A..",
"Kamu tau, kalau kita bukan perokok kemudian duduk di dekat orang yang sedang merokok, bau asap rokoknya pun akan menempel di pakaian kita, walaupun hanya sedikit..",
"Begitupun dalam pergaulan A",
"Kalau kamu bukan penjahat dan bergaul dengan seorang penjahat, sedikitnya kamu akan terlibat..",
"Entah hanya sebagai pendengar rencana sebuah kejahatan, atau malah membantu mereka untuk merampok..", ucap Beliau lagi.
"Berarti, A'a diizinin bermain dengan kejahatan ?", tanya Gua semakin heran.
"Satu hal yang kamu harus tau A",
"Hidup ini enggak mudah, keras",
"Tergantung bagaimana kita menyikapinya..",
"Tuhan sudah menunjukkan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk pada firman-NYA yang tertuang dalam kitab suci..",
"Kalau kita berpegang teguh kepada-NYA, mau kamu bergaul dengan siapapun, iman mu tak akan goyah..",
"Dan Ayah pribadi tidak melarang kamu bergaul dengan seorang penjahat..",
"Karena bau rokok yang Ayah maksud bukan agar kamu bisa ikut terlibat di dalamnya, namun agar kamu jadikan pandangan dan bisa menela'ah realita kelam dalam hidup ini secara langsung, bukan dari 'drama' yang selalu dipertontonkan pada acara berita di tv-tv..".
Pada akhirnya Gua paham maksud Beliau. Ayah memang seseorang yang punya pergaulan luas, teman-temannya dari kalangan pengemis di dekat rumah hingga pejabat pemerintahan pusat pun ada. Satu hal lainnya, Beliau tidak pernah percaya 100% dengan sebuah berita kriminal di media manapun, karena baginya, selalu ada kepentingan suatu golongan pada berita tersebut. Dan apa yang diyakininya terbukti hingga jaman sekarang.
Lalu, kesimpulannya untuk Gua adalah, Beliau membebaskan Gua untuk bergaul dengan siapapun, baik itu seorang penjahat ataupun tidak. Konsekuesi selalu ada dalam kehidupan, maka bertanggungjawablah pada apa yang telah kita perbuat. Apalagi Gua sebagai laki-laki, tanggungjawabnya lebih besar daripada seorang perempuan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan pandangan Beliau soal pergaulan, agar Gua bisa memperbanyak pengalaman hidup selagi muda.
"A, perluas pengalaman masa muda kamu, sayang kalau kamu hanya diam di zona nyamanmu",
"Laki-laki itu butuh tantangan",
"Agar bisa menempa mental dan kesabaran mu kelak ketika nanti sudah berkeluarga..",
"Janganlah jadi laki-laki yang bermental tempe, karena kepada siapa nanti istri dan anakmu berlindung kalau kepala keluarganya pun hanya bisa menerima nasib tanpa bisa berusaha..".
"Iya Yah",
"Aku paham..", jawab Gua dengan jantung yang berdegup kencang.
"Ayah yakin, kamu akan menjadi laki-laki yang kuat, bertanggungjawab dan bermental baja..",
"Jangan buat kecewa ya A",
"Bukan untuk Ayah, tapi untuk keluargamu nanti A', kalimat terakhir itupun disertai dengan bedug maghrib.
Kultum kali ini memang beda, penuh dengan wejangan dari Ayahanda. Gua pun bersyukur bisa bercengkrama lagi dengan Beliau. Love you Dad, but... Please forgive me for what i've done later.
.........
Dalam perjalanan pulang, kembali Gua yang mengemudikan mobil.
"A, kamu pacaran sama perempuan yang sering kamu ajak jalan itu ?", tanyanya ketika mobil sudah berada di jalan tol.
"Eum.... Belum Yah..", jawab Gua.
"Lalu, siapa yang kamu suka ?",
"Biru atau Hijau ?", tanyanya lagi.
"Biru ? Hijau ?", ucap Gua bingung.
"Jam yang kamu beli satu model",
"Hanya beda warna",
"Menurut Ayah, rasa sayang kamu sama besarnya sama kedua perempuan itu...", tebak Beliau.
Memang ya, yang namanya orangtua itu pengalamannya lebih banyak dan luas. Cuma dua buah jam tangan yang Gua beli saja Beliau langsung paham apa yang Gua rasakan untuk kedua perempuan itu. Malu-malu cuking nih Gua, ke gep sama Ayahanda. Ha ha ha...
"Dan Ayah rasa, si Biru itu peluangnya lebih besar ya A ?", tanyanya mulai menebak lagi.
"Hah ? Kok bisa berpikir gitu Yah ?", tanya Gua heran.
"Yang Hijau kamu pilih kedua karena tidak sengaja melihatnya kan ?",
"Kemungkinannya, si Hijau adalah plan B kamu",
"Atau dia sudah memiliki pasangan..".
Double kill!!! Mode detektif Bokap mode on ini, gila bener, cuma karena sebuah jam tangan merembet sampai isi hati dan fakta. Salute Dad...
"Siapa namanya A ?", tanya beliau lagi.
"Eumm...",
"Yang... Yang mana Yah ?", ucap Gua gerogi.
"Biru..",
"Vera namanya..", jawab Gua.
"Lalu yang Hijau ?", tanyanya lagi.
"Sherlin..".
Diubah oleh glitch.7 22-03-2017 16:04
fatqurr memberi reputasi
4
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/18/9605475_20170318104940.jpg)
![[TAMAT] L.I.E (LOVE in ELEGY)](https://s.kaskus.id/images/2017/03/19/9605475_20170319120710.jpg)



love u too bun...ahaha..

). 
(Jangan lupa tempura seminggu sekali ya Yah) 
