Quote:
Pria itu melihat kami dan langsung berkata, “Mas, maaf motornya pindahin dulu, saya mau keluar.”
Aku pun bangkit dan melepas pelukan Mita, kami berdua berjalan ke parkiran. “Mas, emangnya ngg bisa ya geser sendiri?” tanyaku.
“Enggak Mas, udah sempit gitu, lagian saya takut kalian kelewatan,” ucap Wisnu.
“Ah, saya juga enggak akan gitu kali Mas, malu sama temen-temen kantor.”
“Bercanda Mas, ya enggak apa-apa, asal dikunci pintunya,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku pun membantu memindahkan motorku, memang tempat parkir di sini terlalu sempit. “Mau kemana, Mas?” tanyaku.
“Biasa Mas, cari angin, mau ikut?” tanyanya.
“Enggak tahu nih mas, asalnya Mbak Mita ngajak jalan-jalan sih.”
“Yaudah bareng.” Aku hanya mengangguk menolak ajakannya, aku takut Mita tidak mau ikut denganku.
Wisnu pun pergi lenyap ditelan ujung jalan, aku pun kembali ke kamar. Mita sedang merapikan pakaiannya saat aku masuk ke kamarku.
“Yuk!” katanya singkat. Aku tidak tahu ajakan apa sekarang.
“Yuk kemana?, Yuk ngapain?” tanyaku dengan penasaran.
Mita mendekat ke arahku, kedua tangannya dia simpan di pundakku dan tatapan matanya tajam. “Katanya mau main,” ucapnya.
“Yaudah aku pake jaket dulu,” ucapku sambil menuju lemariku melepas tangannya yang ada di pundakku.
Aku menggunakan jaket tipis kali ini, kemudian mengambil helm dan segera mengajaknya pergi dari kamar ini.
“Mau kemana?” tanyaku singkat.
“Taman pantai aja deh, pengen liat air.” Mita pun sudah duduk dan memelukku dari belakang.
Aku tidak tahu arah jalan, tapi syukurlah dia mau sedikit berkata untuk memberitahukan jalan yang harus aku lalui.
Pelukan yang cukup hangat aku rasakan di kota yang panas di hari minggu ini. Aku senang jalanan tidak terlalu padat seperti di kotaku
sebelumnya. Dan kami bisa sampai setelah tiga puluh menit perjalanan.
Kami masuk dan aku tak lupa mengambil karcis parkir dan masuk menuju parkiran. Angin laut yang cukup kencang di bulan ini. Kami pun mencari tempat duduk yang tepat.
Tak berapa lama kami duduk di salah satu bangku yang menghadap langsung ke sebuah jembatan yang ikonik di kota ini. “Kamu baru pertama ke sini?” tanya Mita.
“Iyah, ini yang pertama dan mudah-mudahan aku datang sama yang terakhir,” ucapku sambil melihat Mita. Mukanya langsung berubah memerah tersipu malu.
Wajahnya tak lepas dari pundakku dan benar-benar hari ini adalah hari aku bisa menerimanya, setelah aku mengecewakannya dan setelah aku tahu rahasianya.
Terkadang cinta tidak harus sempurna memang, tetapi dia bisa menyempurnakan.
Mita menatap ke arahku. “Eh, bener kamu mau jadi yang terakhir buat aku?” tanyanya.
“Iyah, kenapa emang?” tanganku mengelus pipinya.
“Cium dong,”
“Enggak ah, banyak orang,” ucapku.
“Di kening aja,” sambil jarinya menunjuk.
Dan sebuah kecupan aku daratkan di keningnya. Sebuah kecupan penuh cinta dari hati paling dalam.
“Aku janji bakal nikahin kamu,” ucapku sambil memeluknya.
“Aku juga ingin nikah sama kamu,” pelukannya tambah erat.
Kami hanya menghabiskan hari ini di sini, sampai gelap datang.