Luapan Emosi
Quote:
Akupun memegang tangan Rathi.
“makasih yang”, kata Rathi sambil memeluku
Aku sama sekali tidak melihat kea rah Luna, karena aku tidak mau menyakitinya lebih dari ini.
“kamu memang sayang banget ya sama Rathi”, kata Luna
Rathi melepaskan pelukanku
“Lun, maaf ya selama ini kamu ngerasain sakitnya ngeliat kita, aku juga ngerasain sakitnya waktu Teo sama kamu”, kata Rathi
Akupun hanya mampu mendengar sebentar lalu ku langkahkan kaki menuju ruang tamu dan merebahkan diri di sofa. Saat ku lihat jam ternyata sudah jam 3 dan aku harus kembali ke tempat lomba. Aku pun merapikan diriku kembali.
“Thi aku tunggu di luar”, kataku lalu beranjak pergi
Tak lama Rathi pun keluar, dia menggandeng tangan Luna.
“yang sini”, kata Rathi
Namun aku menggelengkan kepala, dan berjalan di depan mereka. Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang mereka lakukan namun bisa ku dengar tawa mereka. Sesampainya di tempat lomba akupun langsung masuk ke dalam barisan, sekitar 30 menit lagi hasil perlombaan akan di bacakan. Pak Wan memberikan wejangan terakhirnya agar kami mampu menerima keputusan juri nanti. Kamipun duduk di lapangan tempat kami berlomba, temanku yang lain menyibukan diri mereka sedangkan aku masih memikirkan keputusan yang telah aku buat. Tak lama acara penutupan pun di mulai. Ada sambutan dan lain-lain. Sampai waktunya pengumuman sekolah kami tidak di sebut di juara harapan 1, 2, 3 maupun juara 3. Suasana mulai tegang, saat juara 2 di umumkan nama sekolah kami tetap tidak disebut. Pengumuman juara 1 pun mulai di umumkan. Terlihat wajah temanku antara pasrah dan masih berharap.
“juara 1 lomba LKBB tingkat SMP, dari SMP ***”, kata MC lomba
Tepuk tangan memenuhi lapangan dan nama sekolah kami di teriak-teriakkan. Tapi kami diam terpaku sampai akhirnya pak Wan datang dari belakng.
“kita menang”, kata pak Wan
“ayo maju”, lanjut pak Wan sambil mendorongku
Akupun maju, entah apa yang kurasakan saat itu. Senang, sedih, gugup semua bercampur menjadi 1. Penyerahan piala pun dilakukan, setelah semua sekolah memegang pialanya, ada pula juara individu, komandan terbaik di pegang oleh sekolah kami, sedangkan untuk formasi dan mc terbaik kami di juara 3 dan 2. Selesai pembagian hadiah, kami membentuk kelompok dan melingkar.
“Liat ini apa”, kata pak Wan sambil menunjuk ke arah piala
“dari sekian banyak orang yang ada di sini, 22 orang berjuang buat dapetin piala ini, sisanya terus menerus kasih support. Ini hasil kerja keras kalian. Bukan saya dan bukan pelatih lainnya. Kalian latihan entah itu hujan atau panas, kalian bersaing untuk jadi 22 orang yang bisa berdiri di tengah lapangan. Kalian tidak menyerah walaupun kalian bukan tim inti. MC, komandan, penjuru maju sini.”, kata pak Wan
Kami bertigapun maju
“liat komandan kalian, orangnya tengil, ga pernah bisa serius. Penjuru kalian kemana-mana bawa dayang, MC kalian malu-malunya minta ampun. Tapi gada komandan tim ini pasti acak-acakan, ga ada penjuru kalian ga akan punya titik tumpu. Ga ada MC sekolah kita ga akan di kenal sekolah lain. 3 orang belakang coba maju”, lanjut pak Wan
3 orang yang baris di belakang pun maju.
“ga ada mereka kalian pasti ancur berantakan karena mereka yang ngontrol jarak langkah, dan mereka yang bekerja paling keras karena langkah mereka harus benar-benar bisa sesuai dengan orang paling depan. Saya tidak bilang yang lain biasa saja, tapi kalian liat sendiri bagaimana mereka saya didik habis-habisan, paling sering dihukum, di marahi, dan mereka yang latihannya paling lama akhir-akhir ini”, lanjut pak Wan
Tanpa kusadari ternyata yang lain mulai menangis. Bahkan kulihat komandan yang tengilpun meneteskan air mata.
“sekarang kalian bisa istirahat, jangan puas sama hasil hari ini, kalian liat sekolah di sekeliling kalian tadi, mereka mau piala yang kalian pegang sekarang. Sekarang kita berdoa”, kata Pak Wan sambil memegang piala
“kalian hati-hati di jalan, kalau ada yang se arah bisa ikut mobil dari sekolah”, kata Pak Wan lalu pamit pulang.
Satu persatu kamipun keluar tempat lomba. Luna dan Rathi mengantarku sampai rumah, lalu Rathi berdiri di hadapanku
“kamu hebat yang ga nangis, padahal semua temen kamu nangis loh”, kata Rathi
Akupun langsung memeluk Rathi melepaskan semua yang kutahan dari tadi. Perasaan senang, sedih, suasana di atas panggung saat penerimaan piala semua tercurah sekarang. Rathi dan Lunapun menepuk punggungku dengan lembut.