“Aku sama temen, Sayang.” Balas pesanku.
“Temennya perempuan, yah?” tanya Mita.
“Iyah sayang,” balasku.
“Naik Motor?” tanyanya lagi.
“Iyah,” jawabku singkat.
“Ouh, gitu, awas yah kalau dia meluk kamu,” ucap Mita kesal.
“Enggak koq, dia juga ngerti aku punya kamu,” jawabku harap menenangkannya.
“Hmm, yaudah deh aku percaya, aku juga punya salah ke kamu, tapi jangan kamu balas lebih yah, Rud.” Petir serasa menyambar malam yang gelap ini, memecahkan keheningan yang aku tak dapat mendengar suara selain detak jantungku yang berdetak cepat.
“Iyah, enggak akan,” bohongku.
“Seru ngg di sana?, kapan-kapan ajak aku ke sana yah.” Balasnya lagi.
“Iyah nanti aku ajak.” Balasku lagi.
Sepertinya itu hanya janjiku, karena jika dia main ke sini aku takut dia tahu. Aku lalu pergi mandi, sore ini memang suasana hatiku berbeda.
Di sini tidak ada televisi dan alat hiburan lainnya, tetapi listrik sudah tersedia, mungkin hanya digunakan untuk penerangan dan pompa air saja.
Selesai mandi aku kemudian hanya bermain ponselku dan saling bertukar kabar dengan Mita sampai aku tertidur.
***
Aku sudah siap-siap untuk kembali ke Surabaya semenjak tadi pagi, mungkin sekitar satu jam lagi atau tepat jam satu aku pergi ke Surabaya.
“Koq kamu cepet-cepet mau ke Surabaya lagi sih, Rud?” Tanya Mamaku.
“Jauh Ma, Rudi capek nanti.” Ucapku.
Aku sebenarnya sudah janjian dengan Mita, karena hari Minggu besok aku akan main-main dengannya berkeliling Surabaya.
Aku hanya bermain-main dengan ponselku saja, karena Ibuku sibuk dengan urusan dapurnya.
Mesin motor aku panaskan membuat sekitar rumahku sedikit berasap dan polusi bertebaran.
“Ma, Rudi pergi dulu yah,” ucapku pamitan.
“Iyah, hati-hati, Rud,” jawabnya.
“Salam ke Papa.” Aku memulai menarik gas dan melepaskan kopling motor.
Aku melewati jalan ke kota, menyusuri jalanan-jalanan luar kota. Aspal dan lubang seperti mesra selalu melekat dimana pun berada.
Bersambung...