- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#857
BULLY
Spoiler for :
Anti menyeka keringat di dahinya dengan handuk. Jam tangan menunjukkan pukul 17:00, tak terasa sudah tiga jam ibu rumah tangga ini jogging mengitari lapangan kompleks. Hari ini cukup olahraga sorenya, besok disambung lagi. Demikian pikirnya ketika memasukkan barang-barang ke tas dan beranjak menuju tempat parkir di tepi jalan.
“Aduh, maaf Dik.”
Seperti iklan pasta gigi tahun 90-an, Anti bertabrakan dengan seseorang. Bukan pria dewasa, tetapi bocah lelaki berusia sepuluh atau sebelas tahunan, sepantaran-lah sama Boy anaknya.
“......”
Yang ditabrak tidak bereaksi, bocah itu bangun lalu berjalan lagi dengan tertunduk lesu.
“Dik, kamu tidak apa-apa?”
Baru Anti sadari ternyata baju anak itu kotor penuh lumpur. Bibirnya pecah-pecah dengan darah yang sudah mengering dan wajah kebiruan. Tangan kanan dan kiripun dipenuhi bekas lebam yang sama dengan yang ada di raut mukanya.
Untung Anti bawa kotak P3K. Segera ia tarik tangan anak itu ke bangku penonton si sisi lapangan. Dibersihkannya luka dengan air mineral, kompres bagian lebam dengan es dan balut luka yang terbuka dengan plester. Semua itu dilakukan oleh Ibu ini dengan cekatan,rapi dan cepat.
“Terima kasih Bu dokter.” Itu kalimat pertama yang diucapkan anak itu.
“Aku bukan dokter.”
“Ibu Perawat?”
“Juga bukan.”
“Tapi kok mahir sekali rawat luka?”
“Karena dulu aku juga sepertimu, sering terluka, biasa berdarah dan terlatih patah tulang.”
“Terluka karena apa?”
“Latihan beladiri.”
“Oh...”
“Oh kenapa?”
“Oh berarti kita beda.”
“Apanya?”
“Lukaku tak seperti luka ibu.”
“Tunggu....jangan-jangan kau terluka bukan karena olahraga tetapi karena dianiaya?”
Anak itu mengangguk.
“Astaga! Padahal kalau dilihat postur tubuhmu bagus, tulang-tulang dan ototmu juga kuat.”
“Itu karena terbiasa bantu ayah ngangkut beras di toko, bukan karena latihan beladiri. Soal berkelahi aku paling payah.”
“Soal itu serahkan saja padaku.”
“Maksud ibu?”
Keesokan harinya Anti bertemu lagi dengan anak SD yang ternyata bernama Galang itu. Ia mengajaknya melakukan pemanasan, berlari selama tiga puluh menit, push-up,shit-up dan....
“Kalau mukul jangan cuma pakai tangan.”
“Lalu pakai apa?”
“Pinggang dan kaki juga. Begini, untuk melakukan hook kakimu harus bergerak seperti orang memadamkan puntung rokok,putar pinggang dan pukul melingkar.”
“HUP”
“Yak begitu.”
Hari selanjutnya, kembali Ibu muda dan anak ini berlatih.
“Tangkisan ada dua, tangkisan ke dalam dan keluar.”
“Begini?”
“Ulangi sepuluh kali...yak bagus”
“Berhasilkah?”
“Besok Ibu ajari sprawl, teknik kuncian dan bantingan. Dari pengalamanku, 90 persen pertarungan pasti berakhir dengan ground fighting.”
Selama dua bulan latihan terus dilakukan. Kaki dan lengan Galang semakin berotot, gerakannya juga lincah dan yang penting kini ia tak lagi murung seperti dulu. Anti terkagum-kagum dengan bakat yang dimiliki bocah itu, dalam waktu singkat ia sudah menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Belum pernah Anti menemui atlet beladiri dengan kemajuan sepesat ini.
“anak yang mem-bully mu, bagaimana kabarnya?”
“Belakangan tak lagi menghiraukan aku, sekarang punya target baru dia, anak orang kaya, pindahan dari ibu kota. Tadi kulihat anak itu dipalaknya di kantin.”
“Lalu bagaimana?”
“Aku hentikan, dia dan teman-temannya marah. Kubilang kalau berani satu lawan satu.”
“Kau menantangnya berkelahi?”
“Dan dia menerima, rencananya besok sepulang sekolah di lapangan. Entahlah....sepertinya ini bukan ide yang bagus, tapi sudah terlanjur mana bisa mundur.” Kata Gilang ragu.
“Kalau bisa menimbulkan efek jera mengapa tidak? Cukup satu kali berkelahi habis itu tak ada lagi yang kena bully.”
“Itu kalau menang. Kalau aku kalah bagaimana?”
“Ingat Lang, berani karena benar. Kalah itu menang yang tertunda. Lagipula dengan kemampuanmu sekarang, jangankan anak SD, anak SMU sekalipun pasti KO.”
“Baiklah...aku coba kalau begitu. Sampai besok Bu Anti.”
“Sampai besok Galang.”
Keesokan harinya ketika Anti sedang menyetrika baju yang akan dipakai ke kondangan pada malam harinya, Galang menelepon ponselnya.
“Bagaimana Lang?”
“Aku menang.”
“Tapi kok kamu kedengaran panik begitu?”
“Tadi setelah kena pukul lehernya, Dia jatuh dan tidak bergerak lagi. Denyut nadinya juga tidak ada.”
“Ha? Kenapa kau pukul lehernya?” Anti mengernyitkan dahi.
“Aku mau mukul rahang tapi Boy gerak jadinya kena leher.”
“Boy?” Anti mengernyitkan dahi.
Saat itulah telepon rumah berbunyi, Bibi Nah mengangkat lalu tergopoh-gopoh mengetuk pintu kamar.
“Nya...Nyonya ada telepon dari sekolah. Mas Boy berkelahi dan....dan....” Bi Nah terisak tak mampu meneruskan kata-katanya, sedangkan Anti jatuh pingsan dan tergeletak di lantai.
“Aduh, maaf Dik.”
Seperti iklan pasta gigi tahun 90-an, Anti bertabrakan dengan seseorang. Bukan pria dewasa, tetapi bocah lelaki berusia sepuluh atau sebelas tahunan, sepantaran-lah sama Boy anaknya.
“......”
Yang ditabrak tidak bereaksi, bocah itu bangun lalu berjalan lagi dengan tertunduk lesu.
“Dik, kamu tidak apa-apa?”
Baru Anti sadari ternyata baju anak itu kotor penuh lumpur. Bibirnya pecah-pecah dengan darah yang sudah mengering dan wajah kebiruan. Tangan kanan dan kiripun dipenuhi bekas lebam yang sama dengan yang ada di raut mukanya.
Untung Anti bawa kotak P3K. Segera ia tarik tangan anak itu ke bangku penonton si sisi lapangan. Dibersihkannya luka dengan air mineral, kompres bagian lebam dengan es dan balut luka yang terbuka dengan plester. Semua itu dilakukan oleh Ibu ini dengan cekatan,rapi dan cepat.
“Terima kasih Bu dokter.” Itu kalimat pertama yang diucapkan anak itu.
“Aku bukan dokter.”
“Ibu Perawat?”
“Juga bukan.”
“Tapi kok mahir sekali rawat luka?”
“Karena dulu aku juga sepertimu, sering terluka, biasa berdarah dan terlatih patah tulang.”
“Terluka karena apa?”
“Latihan beladiri.”
“Oh...”
“Oh kenapa?”
“Oh berarti kita beda.”
“Apanya?”
“Lukaku tak seperti luka ibu.”
“Tunggu....jangan-jangan kau terluka bukan karena olahraga tetapi karena dianiaya?”
Anak itu mengangguk.
“Astaga! Padahal kalau dilihat postur tubuhmu bagus, tulang-tulang dan ototmu juga kuat.”
“Itu karena terbiasa bantu ayah ngangkut beras di toko, bukan karena latihan beladiri. Soal berkelahi aku paling payah.”
“Soal itu serahkan saja padaku.”
“Maksud ibu?”
Keesokan harinya Anti bertemu lagi dengan anak SD yang ternyata bernama Galang itu. Ia mengajaknya melakukan pemanasan, berlari selama tiga puluh menit, push-up,shit-up dan....
“Kalau mukul jangan cuma pakai tangan.”
“Lalu pakai apa?”
“Pinggang dan kaki juga. Begini, untuk melakukan hook kakimu harus bergerak seperti orang memadamkan puntung rokok,putar pinggang dan pukul melingkar.”
“HUP”
“Yak begitu.”
Hari selanjutnya, kembali Ibu muda dan anak ini berlatih.
“Tangkisan ada dua, tangkisan ke dalam dan keluar.”
“Begini?”
“Ulangi sepuluh kali...yak bagus”
“Berhasilkah?”
“Besok Ibu ajari sprawl, teknik kuncian dan bantingan. Dari pengalamanku, 90 persen pertarungan pasti berakhir dengan ground fighting.”
Selama dua bulan latihan terus dilakukan. Kaki dan lengan Galang semakin berotot, gerakannya juga lincah dan yang penting kini ia tak lagi murung seperti dulu. Anti terkagum-kagum dengan bakat yang dimiliki bocah itu, dalam waktu singkat ia sudah menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Belum pernah Anti menemui atlet beladiri dengan kemajuan sepesat ini.
“anak yang mem-bully mu, bagaimana kabarnya?”
“Belakangan tak lagi menghiraukan aku, sekarang punya target baru dia, anak orang kaya, pindahan dari ibu kota. Tadi kulihat anak itu dipalaknya di kantin.”
“Lalu bagaimana?”
“Aku hentikan, dia dan teman-temannya marah. Kubilang kalau berani satu lawan satu.”
“Kau menantangnya berkelahi?”
“Dan dia menerima, rencananya besok sepulang sekolah di lapangan. Entahlah....sepertinya ini bukan ide yang bagus, tapi sudah terlanjur mana bisa mundur.” Kata Gilang ragu.
“Kalau bisa menimbulkan efek jera mengapa tidak? Cukup satu kali berkelahi habis itu tak ada lagi yang kena bully.”
“Itu kalau menang. Kalau aku kalah bagaimana?”
“Ingat Lang, berani karena benar. Kalah itu menang yang tertunda. Lagipula dengan kemampuanmu sekarang, jangankan anak SD, anak SMU sekalipun pasti KO.”
“Baiklah...aku coba kalau begitu. Sampai besok Bu Anti.”
“Sampai besok Galang.”
Keesokan harinya ketika Anti sedang menyetrika baju yang akan dipakai ke kondangan pada malam harinya, Galang menelepon ponselnya.
“Bagaimana Lang?”
“Aku menang.”
“Tapi kok kamu kedengaran panik begitu?”
“Tadi setelah kena pukul lehernya, Dia jatuh dan tidak bergerak lagi. Denyut nadinya juga tidak ada.”
“Ha? Kenapa kau pukul lehernya?” Anti mengernyitkan dahi.
“Aku mau mukul rahang tapi Boy gerak jadinya kena leher.”
“Boy?” Anti mengernyitkan dahi.
Saat itulah telepon rumah berbunyi, Bibi Nah mengangkat lalu tergopoh-gopoh mengetuk pintu kamar.
“Nya...Nyonya ada telepon dari sekolah. Mas Boy berkelahi dan....dan....” Bi Nah terisak tak mampu meneruskan kata-katanya, sedangkan Anti jatuh pingsan dan tergeletak di lantai.
THE END
Diubah oleh reloaded0101 16-03-2017 02:51
0
Kutip
Balas