- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 2: Challenge Accepted
...
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted
Cover By: adriansatrio
Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+
Spoiler for QandA:
"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-
-Calon wakil ketua LEM-
Explanation
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 17:22
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
375.4K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#840
PART 40
Hasil dari pertemuan dengan Tommy di luar dugaan gue. Dia ternyata jauh lebih paham tentang kampus daripada gue. Bahkan, mungkin dia jauh lebih siap buat jadi ketua LEM daripada gue.
"Kalo lo udah tau keberadaan empat kubu di kampus kita, berarti lo udah tau ketua-ketua mereka, kan?"
"Kayaknya sebagian gue kenal."
"Good job!" Tommy menunjukkan sebuah buku berisi profile beberapa orang di kampus, "Lo pasti udah tau Arin, kan? Ketua perkumpulan klub baca, cewek angkatan kita yang paling berpotensi dapet beasiswa ke Jerman. Cukup berpengaruh di lingkungan kampus, beberapa anak LEM kayaknya ngikutin jalan dia. Bisa dibilang dia ini pentolannya Southern Smart Ass. Sayang banget dia jadi saingan kita, padahal kalo enggak ikutan nyalon mungkin kita bisa manfaatin dia."
"Manfaatin dia?" tanya gue. "Manfaatin dia gimana?"
"Dia mantan gebetan lo, kan? Bisa aja kita bikin dia buat dukung lo."
Manfaatin Arin? Manfaatin perasaan orang buat cari suara? Kayaknya itu kurang etis, deh. Gue emang pengin jadi ketua LEM, tapi gue kira enggak perlu sampe segitunya.
"Kalo dari muka lo, kayaknya lo enggak bakalan mau manfaatin dia. Mungkin kita bisa manfaatin yang ini." Tommy menunjukkan foto Grace, "Ketua Northern Mannequin."
"Grace?"
"Lo kenal deket sama dia, kan?"
"Kalo dibilang deket sih ya deket, tapi kalo masalah dukung jadi ketua LEM gue belum nanya."
"Itu tugas lo, bikin dia dukung kita."
"Oke, kalo dia gue setuju."
Dapetin suara Grace, kayaknya enggak bakal ada yang merasa dirugikan. Asal gue bisa meyakinkan dia, suara kubunya pasti jadi punya gue.
"Yang ketiga calon ketua West Block People," ucap Tommy menunjukkan foto yang familiar bagi gue.
"Firman?!" gumam gue. "Ini Firman, kan?"
"Iya, Firman anak futsal. Kakak angkatan kita, dua kali bawa tim basket kita masuk final basket nasional, dan satu kali berhasil bawa tim futsal juara nasional. Kalo enggak salah dia pernah ngejar-ngejar Disti."
"E-eh?!" Muka Disti memerah, "Kok kakak tau?"
"Informasi gue bener, kan?" tanya Tommy. "Jawab aja, gue rasa Dawi enggak bakalan marah."
"Iya, Kak," kata Disti malu-malu. "Firman emang pernah ngejar-ngejar aku."
"Kalo orangnya ngaku, berarti informasi gue valid." Tommy memutar bukunya menghadap Disti, "Dengerin, gue enggak maksa lo, tapi kalo lo pengin Dawi menang jadi ketua LEM, kayaknya lo harus deketin Firman lagi—"
"Enggak," potong gue. "Jangan bawa-bawa Disti."
"Oh... oke." Tommy mengetu-ketukan jarinya ke meja, "Kalo lo enggak mau Disti deketin Firman, berarti lo harus dapetin suara Grace buat kita. Gue rasa dapetin suara dari dua kubu udah cukup bisa bikin kita menang."
"Lo tenang aja, gue usahain cari suara dari kelompoknya Grace.
"Good job!"
"Terus kubu yang satunya?"
"Ketua kubu yang terakhir...." Tommy menunjukkan satu foto yang gue enggak kenal, "Wildan, ketua LEM kita yang sekarang. Kalo Arin pentolan SSA, Grace ketua NM, dan Firman calon ketua WBP—"
"Berarti dia ketua East Block Citizen," potong gue.
"Seratus!"
"Tapi gue enggak kenal sama sekali sama orang ini, Tom."
"Lo enggak perlu mikirin dia, yang satu ini tugas gue."
Gue harus bisa ambil suara dari Grace, dan kalo bisa gue juga harus mencuri suara dari kubu Arin. Ada beberapa kenalan gue yang anak LEM, mungkin gue bisa minta tolong sama mereka.
Gimanapun juga kubu di kampus ini ada empat, kalo gue bisa dapetin dua suara diantaranya, bisa dibilang jadi ketua LEM bukan cuma asal kelepasan.
-------------------------
Selesai kuliah hukum administrasi negara, gue dan Tommy mendaftarkan diri untuk maju sebagai ketua LEM. Pas foto, IPK minimal, mata kuliah pra-syarat, semuanya sudah terpenuhi. Sekarang kita bebas menyebarkan pamflet dan poster untuk mencari pendukung.
"Kak?"
"Ya, Dis?"
"Boleh aku ngomong berdua?"
"Boleh, ngomong aja."
"Jangan disini tapi.
"Kayaknya gue jadi pengganggu disini. Yaudah, kalo gitu gue pergi dulu." Tommy berjalan menjauh, "Lo gue bebasin pacaran, tapi inget, jangan lupa sama tugas lo, Wi."
"Iya, Tom." Gue acungkan jempol ke arah Tommy, "I'll do my best!"
Begitu Tommy udah enggak kelihatan, Disti menarik gue menuju halaman parkir belakang.
"Ke parkiran? Mau pulang sekarang?" tanya gue. "Katanya kamu mau ngomong? Enggak Jadi?"
"Jangan disinilah."
"Terus dimana? Di parkiran?"
"Bukan."
"Oh... di kosmu?"
"Bukan."
"Terus dimana? Mau ngajakin nongkrong?"
"Di kos kakak."
"Oh... oke."
"Biar lebih bebas."
"Eh?! Di kosku?"
Hasil dari pertemuan dengan Tommy di luar dugaan gue. Dia ternyata jauh lebih paham tentang kampus daripada gue. Bahkan, mungkin dia jauh lebih siap buat jadi ketua LEM daripada gue.
"Kalo lo udah tau keberadaan empat kubu di kampus kita, berarti lo udah tau ketua-ketua mereka, kan?"
"Kayaknya sebagian gue kenal."
"Good job!" Tommy menunjukkan sebuah buku berisi profile beberapa orang di kampus, "Lo pasti udah tau Arin, kan? Ketua perkumpulan klub baca, cewek angkatan kita yang paling berpotensi dapet beasiswa ke Jerman. Cukup berpengaruh di lingkungan kampus, beberapa anak LEM kayaknya ngikutin jalan dia. Bisa dibilang dia ini pentolannya Southern Smart Ass. Sayang banget dia jadi saingan kita, padahal kalo enggak ikutan nyalon mungkin kita bisa manfaatin dia."
"Manfaatin dia?" tanya gue. "Manfaatin dia gimana?"
"Dia mantan gebetan lo, kan? Bisa aja kita bikin dia buat dukung lo."
Manfaatin Arin? Manfaatin perasaan orang buat cari suara? Kayaknya itu kurang etis, deh. Gue emang pengin jadi ketua LEM, tapi gue kira enggak perlu sampe segitunya.
"Kalo dari muka lo, kayaknya lo enggak bakalan mau manfaatin dia. Mungkin kita bisa manfaatin yang ini." Tommy menunjukkan foto Grace, "Ketua Northern Mannequin."
"Grace?"
"Lo kenal deket sama dia, kan?"
"Kalo dibilang deket sih ya deket, tapi kalo masalah dukung jadi ketua LEM gue belum nanya."
"Itu tugas lo, bikin dia dukung kita."
"Oke, kalo dia gue setuju."
Dapetin suara Grace, kayaknya enggak bakal ada yang merasa dirugikan. Asal gue bisa meyakinkan dia, suara kubunya pasti jadi punya gue.
"Yang ketiga calon ketua West Block People," ucap Tommy menunjukkan foto yang familiar bagi gue.
"Firman?!" gumam gue. "Ini Firman, kan?"
"Iya, Firman anak futsal. Kakak angkatan kita, dua kali bawa tim basket kita masuk final basket nasional, dan satu kali berhasil bawa tim futsal juara nasional. Kalo enggak salah dia pernah ngejar-ngejar Disti."
"E-eh?!" Muka Disti memerah, "Kok kakak tau?"
"Informasi gue bener, kan?" tanya Tommy. "Jawab aja, gue rasa Dawi enggak bakalan marah."
"Iya, Kak," kata Disti malu-malu. "Firman emang pernah ngejar-ngejar aku."
"Kalo orangnya ngaku, berarti informasi gue valid." Tommy memutar bukunya menghadap Disti, "Dengerin, gue enggak maksa lo, tapi kalo lo pengin Dawi menang jadi ketua LEM, kayaknya lo harus deketin Firman lagi—"
"Enggak," potong gue. "Jangan bawa-bawa Disti."
"Oh... oke." Tommy mengetu-ketukan jarinya ke meja, "Kalo lo enggak mau Disti deketin Firman, berarti lo harus dapetin suara Grace buat kita. Gue rasa dapetin suara dari dua kubu udah cukup bisa bikin kita menang."
"Lo tenang aja, gue usahain cari suara dari kelompoknya Grace.
"Good job!"
"Terus kubu yang satunya?"
"Ketua kubu yang terakhir...." Tommy menunjukkan satu foto yang gue enggak kenal, "Wildan, ketua LEM kita yang sekarang. Kalo Arin pentolan SSA, Grace ketua NM, dan Firman calon ketua WBP—"
"Berarti dia ketua East Block Citizen," potong gue.
"Seratus!"
"Tapi gue enggak kenal sama sekali sama orang ini, Tom."
"Lo enggak perlu mikirin dia, yang satu ini tugas gue."
Gue harus bisa ambil suara dari Grace, dan kalo bisa gue juga harus mencuri suara dari kubu Arin. Ada beberapa kenalan gue yang anak LEM, mungkin gue bisa minta tolong sama mereka.
Gimanapun juga kubu di kampus ini ada empat, kalo gue bisa dapetin dua suara diantaranya, bisa dibilang jadi ketua LEM bukan cuma asal kelepasan.
-------------------------
Selesai kuliah hukum administrasi negara, gue dan Tommy mendaftarkan diri untuk maju sebagai ketua LEM. Pas foto, IPK minimal, mata kuliah pra-syarat, semuanya sudah terpenuhi. Sekarang kita bebas menyebarkan pamflet dan poster untuk mencari pendukung.
"Kak?"
"Ya, Dis?"
"Boleh aku ngomong berdua?"
"Boleh, ngomong aja."
"Jangan disini tapi.
"Kayaknya gue jadi pengganggu disini. Yaudah, kalo gitu gue pergi dulu." Tommy berjalan menjauh, "Lo gue bebasin pacaran, tapi inget, jangan lupa sama tugas lo, Wi."
"Iya, Tom." Gue acungkan jempol ke arah Tommy, "I'll do my best!"
Begitu Tommy udah enggak kelihatan, Disti menarik gue menuju halaman parkir belakang.
"Ke parkiran? Mau pulang sekarang?" tanya gue. "Katanya kamu mau ngomong? Enggak Jadi?"
"Jangan disinilah."
"Terus dimana? Di parkiran?"
"Bukan."
"Oh... di kosmu?"
"Bukan."
"Terus dimana? Mau ngajakin nongkrong?"
"Di kos kakak."
"Oh... oke."
"Biar lebih bebas."
"Eh?! Di kosku?"
JabLai cOY memberi reputasi
1
