- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 2: Challenge Accepted
...
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted
Cover By: adriansatrio
Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+
Spoiler for QandA:
"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-
-Calon wakil ketua LEM-
Explanation
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 17:22
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
375.4K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#826
Part 39
"Kamu tuh ya! Kemarin udah enggak ada waktu buat aku, sekarang mau pergi lagi?!"
"Enggak ada waktu gimana?"
Tanpa menjawab pertanyaan gue, Emil keluar dari kamar dengan membanting pintu.
Setelah membersihkan kamar yang berantakan, pecahan kaca yang berserakan, dan mengunci pintu kamar, gue keluar mengikuti dia. Sewaktu gue keluar, ada beberapa penghuni kos lain yang ikut keluar.
Tok... Tok....
"Bukain pintunya," ucap gue mengetok pintu mobil. "Aku mau ngomong bentar."
"Udah," kata Emil membuka pintu mobil.
"Kamu tuh kenapa, sih?" tanya gue dari kursi navigator. "Kalo ada masalah cerita, dong."
"Kamu masih belum paham?! Kamu berubah Dawi! Buat kamu, aku tuh udah enggak penting lagi!"
"Kok jadi ngomong gitu?" Gue genggam tangan Emil. "Pernah kamu denger aku ngomong kalo kamu udah enggak penting? Pernah enggak?"
Emil menggeleng, "Enggak."
"Senin malem sama Kamis malem kita kan ketemu terus. Kosku ke asrama yang jauh aja aku jalanin malem-malem, masa iya kayak gitu enggak penting."
"Cuma dua hari! Kamu main DotA hampir tiap hari, harusnya kita bisa lebih sering ketemu!"
"Oh... jadi kamu pengin ketemu lebih sering? Yaudah, besok kita cari hari lain buat ketemu kalo gitu."
"Terus sekarang gimana?" tanya Emil lebih tenang. "Kamu mau jalan sama aku apa main DotA?"
"Ya main DotA-lah, aku kan udah janji sama temen-temen."
"Terus aja main DotA sama temen-temenmu!" bentak Emil. "Gausah peduliin aku lagi! Gausah peduliin duniaku lagi!"
"Emang salah kalo aku main DotA?! Kamu jangan egois gini dong!"
"Egois? Aku egois?! Aku jauh-jauh dari asrama ke kosmu cuma pengin ketemu sama kamu malah dibilang egois?! Kamu tuh yang egois! Enggak pernah mau kalah!"
"Bukannya enggak mau kalah, tapi aku udah janji sama temen-temenku!"
"Sama aja!"
"Beda! Aku enggak seegois kamu!"
"Egois!"
PLAAAAK!
Mimpiin Emil lagi, kayaknya emang gue bener-bener lagi kangen sama dia. Atau mungkin juga enggak, siapa yang tau. Lagipula ngapain juga gue kangenin orang yang udah ninggalin gue, enggak ada untungnya di gue juga. Tapi kenapa gue ngerasa ada yang janggal? Apa mimpi gue barusan ada arti lain selain kangen? Apa malah enggak berarti apa-apa? Entahlah, gue kurang paham sama hal-hal kayak gituan.
Siang ini gue janjian sama Disti di perpustakaan kampus. Karena gue jam satu ada kuliah, jadi gue suruh dia buat berangkat duluan dan ketemu disana langsung. Dia bilang kalo udah nemuin orang yang pantas jadi wakil gue buat maju pemilihan ketua LEM, jadi gue berniat menemui orang itu secara langsung.
===============
Jam dua lebih sepuluh, gue ijin ke dosen mau ke kamar mandi. Dari kelas, gue langsung menuju ke perpustakaan menemui Disti.
"Hei, Dis," sapa gue dari kejauhan.
"Hei, Kak!" jawabnya melambai ke arah gue. "Kenalin, ini temenku anak LEM, satu angkatan sama kakak."
"Halo, Wi," sapa orang itu.
"Hei...." balas gue. "Jadi lo yang bakal jadi wakil gue?"
"Iya, salam kenal, ya?" Dia mengajukan tangan kanannya, "Gue Tommy."
"Oh... iya." Gue jabat tangan dia, "Gue Dawi—"
"Muhdawi, kemana-mana naik motor matic pink yang di depannya ada gambar beruangnya, kan?"
"Kok lo tau?"
"Siapa sih yang enggak tau lo—"
"Ah... langsung aja, ya?" potong gue. "Gue lagi ada kelas soalnya."
"Kakak ada kelas?" tanya Disti. "Kuliah apa?"
"Hukum administrasi negara, pak Misyar."
"Serius?! Itukan dosen killer, Wi."
"Enggak sekiller itu, kok."
"Katanya kalo ketahuan ada mahasiswa bolos dari kelasnya bakal langsung didrop-out.
"Ah... mana bisa dosen main drop-out gitu aja."
"Bisalah... dia kan dekan kita."
"Se-serius?!"
Bangke! Kenapa gue bisa sampe enggak tau kalo ada dosen sekiller itu?! Kenapa juga gue bisa kelewatan kalo dia itu dekan gue?! Kalo gini caranya bisa-bisa gue beneran kena drop-out!
"Lo percaya?" tanya Tommy. "Lo percaya dia bisa main drop-out?!"
"Eh?"
"Lo percaya kalo bakalan langsung di drop-out kalo ketahuan bolos?!"
""Eng-enggaklah."
"Oh... bagus, deh." Tommy mengeluarkan sebuah buku, "Kalo lo tadi langsung percaya, berarti gue harus cari partner lain. Masa iya ketua LEM bisa dibegoin segampang itu."
"Setuju," sahut Disti. "Orang yang gampang dibegoin kayak gitu emang enggak pantas jadi ketua LEM. Iya kan, Kak?"
"I-iya."
Kampret! Ini orang bahaya banget kalo sampe jadi musuh gue. Baru ketemu pertama aja gue udah dipojokin, gimana kalo ketemu terus-terusan sebagai musuh?!
"Kamu tuh ya! Kemarin udah enggak ada waktu buat aku, sekarang mau pergi lagi?!"
"Enggak ada waktu gimana?"
Tanpa menjawab pertanyaan gue, Emil keluar dari kamar dengan membanting pintu.
Setelah membersihkan kamar yang berantakan, pecahan kaca yang berserakan, dan mengunci pintu kamar, gue keluar mengikuti dia. Sewaktu gue keluar, ada beberapa penghuni kos lain yang ikut keluar.
Tok... Tok....
"Bukain pintunya," ucap gue mengetok pintu mobil. "Aku mau ngomong bentar."
"Udah," kata Emil membuka pintu mobil.
"Kamu tuh kenapa, sih?" tanya gue dari kursi navigator. "Kalo ada masalah cerita, dong."
"Kamu masih belum paham?! Kamu berubah Dawi! Buat kamu, aku tuh udah enggak penting lagi!"
"Kok jadi ngomong gitu?" Gue genggam tangan Emil. "Pernah kamu denger aku ngomong kalo kamu udah enggak penting? Pernah enggak?"
Emil menggeleng, "Enggak."
"Senin malem sama Kamis malem kita kan ketemu terus. Kosku ke asrama yang jauh aja aku jalanin malem-malem, masa iya kayak gitu enggak penting."
"Cuma dua hari! Kamu main DotA hampir tiap hari, harusnya kita bisa lebih sering ketemu!"
"Oh... jadi kamu pengin ketemu lebih sering? Yaudah, besok kita cari hari lain buat ketemu kalo gitu."
"Terus sekarang gimana?" tanya Emil lebih tenang. "Kamu mau jalan sama aku apa main DotA?"
"Ya main DotA-lah, aku kan udah janji sama temen-temen."
"Terus aja main DotA sama temen-temenmu!" bentak Emil. "Gausah peduliin aku lagi! Gausah peduliin duniaku lagi!"
"Emang salah kalo aku main DotA?! Kamu jangan egois gini dong!"
"Egois? Aku egois?! Aku jauh-jauh dari asrama ke kosmu cuma pengin ketemu sama kamu malah dibilang egois?! Kamu tuh yang egois! Enggak pernah mau kalah!"
"Bukannya enggak mau kalah, tapi aku udah janji sama temen-temenku!"
"Sama aja!"
"Beda! Aku enggak seegois kamu!"
"Egois!"
PLAAAAK!
Mimpiin Emil lagi, kayaknya emang gue bener-bener lagi kangen sama dia. Atau mungkin juga enggak, siapa yang tau. Lagipula ngapain juga gue kangenin orang yang udah ninggalin gue, enggak ada untungnya di gue juga. Tapi kenapa gue ngerasa ada yang janggal? Apa mimpi gue barusan ada arti lain selain kangen? Apa malah enggak berarti apa-apa? Entahlah, gue kurang paham sama hal-hal kayak gituan.
Siang ini gue janjian sama Disti di perpustakaan kampus. Karena gue jam satu ada kuliah, jadi gue suruh dia buat berangkat duluan dan ketemu disana langsung. Dia bilang kalo udah nemuin orang yang pantas jadi wakil gue buat maju pemilihan ketua LEM, jadi gue berniat menemui orang itu secara langsung.
===============
Jam dua lebih sepuluh, gue ijin ke dosen mau ke kamar mandi. Dari kelas, gue langsung menuju ke perpustakaan menemui Disti.
"Hei, Dis," sapa gue dari kejauhan.
"Hei, Kak!" jawabnya melambai ke arah gue. "Kenalin, ini temenku anak LEM, satu angkatan sama kakak."
"Halo, Wi," sapa orang itu.
"Hei...." balas gue. "Jadi lo yang bakal jadi wakil gue?"
"Iya, salam kenal, ya?" Dia mengajukan tangan kanannya, "Gue Tommy."
"Oh... iya." Gue jabat tangan dia, "Gue Dawi—"
"Muhdawi, kemana-mana naik motor matic pink yang di depannya ada gambar beruangnya, kan?"
"Kok lo tau?"
"Siapa sih yang enggak tau lo—"
"Ah... langsung aja, ya?" potong gue. "Gue lagi ada kelas soalnya."
"Kakak ada kelas?" tanya Disti. "Kuliah apa?"
"Hukum administrasi negara, pak Misyar."
"Serius?! Itukan dosen killer, Wi."
"Enggak sekiller itu, kok."
"Katanya kalo ketahuan ada mahasiswa bolos dari kelasnya bakal langsung didrop-out.
"Ah... mana bisa dosen main drop-out gitu aja."
"Bisalah... dia kan dekan kita."
"Se-serius?!"
Bangke! Kenapa gue bisa sampe enggak tau kalo ada dosen sekiller itu?! Kenapa juga gue bisa kelewatan kalo dia itu dekan gue?! Kalo gini caranya bisa-bisa gue beneran kena drop-out!
"Lo percaya?" tanya Tommy. "Lo percaya dia bisa main drop-out?!"
"Eh?"
"Lo percaya kalo bakalan langsung di drop-out kalo ketahuan bolos?!"
""Eng-enggaklah."
"Oh... bagus, deh." Tommy mengeluarkan sebuah buku, "Kalo lo tadi langsung percaya, berarti gue harus cari partner lain. Masa iya ketua LEM bisa dibegoin segampang itu."
"Setuju," sahut Disti. "Orang yang gampang dibegoin kayak gitu emang enggak pantas jadi ketua LEM. Iya kan, Kak?"
"I-iya."
Kampret! Ini orang bahaya banget kalo sampe jadi musuh gue. Baru ketemu pertama aja gue udah dipojokin, gimana kalo ketemu terus-terusan sebagai musuh?!
JabLai cOY memberi reputasi
1
