- Beranda
- Stories from the Heart
Cahaya Ratih (18+/Thriller Genre)
...
TS
paycho.author
Cahaya Ratih (18+/Thriller Genre)
Quote:
GanSis, ane mau ngesharecerita ane berikutnya. Ini cerita udah ane bikin 4 tahun yang lalu tapi baru ane sharesekarang.
BTW, ini cerita genre thriller, crime, and romance.
Jangan lupa komennya, yah GanSis
Ini cerita ane yang sebelumnya. Full Romance dan lumayan bikin

Tapi 18+ juga
Kunjungin GanSis
BTW, ini cerita genre thriller, crime, and romance.
Jangan lupa komennya, yah GanSis

Ini cerita ane yang sebelumnya. Full Romance dan lumayan bikin


Tapi 18+ juga

Kunjungin GanSis
Quote:
DAFTAR ISI
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
CHARACTER'S BIO: NARA
PART 33
PART 34
CHARACTER'S BIO: RATIH
PART 35
CHARACTER'S BIO: DR. OKTA
PART 36
CHARACTER'S BIO: DR. Gladys
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
EPILOGUE
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
CHARACTER'S BIO: NARA
PART 33
PART 34
CHARACTER'S BIO: RATIH
PART 35
CHARACTER'S BIO: DR. OKTA
PART 36
CHARACTER'S BIO: DR. Gladys
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
EPILOGUE
Quote:
20rb 
Makasih yahhhhh.......moga2 bisa nyampe 100rb one day......

Makasih yahhhhh.......moga2 bisa nyampe 100rb one day......
Diubah oleh paycho.author 13-05-2017 07:23
junti27 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
104.8K
Kutip
683
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
paycho.author
#98
PART 17
Quote:
Beberapa hari ini Nara sedang tidak mood untuk melakukan pekerjaannya, but who is he anyway?Bisa ditendang kalau Nara malas-malasan.
Kasus dilaporkan oleh tetangga korban, seorang pemuda yang ditemukan tewas dengan dada tertusuk pisau, tepat di jantungnya. Ketepatan yang luar biasa hingga para dokter forensik berdecak kagum. Tapi bisa dipahami, yang bunuh diri ini calon dokter, tidak aneh kalau ia bisa menusuk jantungnya tepat sekali.
“Kalau badannya sekurus ini, kayanya enggak mungkin korban menusuk diri sampai tewas. Buat nembus tulang rusuk kan butuh tenaga.”
Sementara itu, Nara melihat layar laptop korban yang masih menyala. Rupanya korban sedang melihat nilai-nilainya melalui website universitas. Hasilnya payah, kalau pasien tahu dokternya punya nilai begini pas kabur-kaburan. Di dekat laptopnya ada surat peringatan dari pihak yang memberikan beasiswa padanya bahwa beasiswanya akan dicabut kalau semester ini nilainya tidak meningkat. Dan sepertinya, peringatan itu akan menjadi kenyataan karena tidak ada peningkatan nilai dari korban.
“Korban ini anak rantau, ayahnya sudah lama meninggal, jadi mau tidak mau ia harus membiayai kuliahnya sendiri. Kalau beasiswanya dicabut, berarti ia akan putus kuliahnya.” Papar Nara pada Okta yang sedang berusaha mencabut pisau dari dada korban."
Ketika akhirnya lepas dari dada korban, Okta menaruh pisau dengan hati-hati pada sebuah wadah dan membiarkan Nara melihat mayatnya.
“Pembunuhan.” Putus Nara dalam beberapa detik setelah melihat.
“Alasannya?”
“Menarik. Tapi begini, posisi pisau adalah dengan bagian yang tajamnya ke atas, ke.....arah wajah.....yah pokoknya ke atas. Posisi seperti ini sulit kalau yang menusuk bukan diri sendiri. Kecuali.....” Okta mengambil sebuah termometer dan berdiri di belakang Nara. “Ini posisi paling mungkin kalau membunuh orang dengan posisi pisau seperti itu, dari belakang. Tangan lu diem dulu. Nah kalau posisi tangan bebas, maka tidak mungkin korban tidak memberontak. Kalau korban memberontak, tusukannya tidak serapi ini.”
“Gimana kalau, sorry.....” Nara mengangkat kedua lengannya dan meminta Okta melingkarkan lengan di bawah lengannya. “Kalau pelaku menghimpit korban seperti ini dan.....”
“Kecuali dijepit sama Hulk, korban pasti akan lemas, tapi kalau manusia normal? Pasti korban masih bisa berontak, bisa jadi malah susah soalnya pelaku harus menusuk dari belakang. Lagian, himpitan ringan tbakal ninggalin bekas. Dan tidak ada bekas seperti itu. Posisi seperti ini hanya mungkin dilakukan kalau pelaku menyerang korban dari atas. Yang paling mudah untuk menyerang korban dari atas adalah ketika ia terbaring.”
“Terus kenapa enggak?”
“Aneh sih emang kalau korban tidak meminta tolong minimal berusaha meminta tolong.” Sementara Nara berpikir, Okta memeriksa jenazah yang mulai membusuk karena sudah hampir dua hari terbengkalai. “Bagaimana kalau.....assisted suicide?”
“Assisted suicide?”
“Macam seppuku. Ini jalan tengah antara pikiran lu dan pikiran gue. Dia tidak dibunuh, tapi ada orang lain yang bikin dia mati.”
Ide ini memang membuat Okta tertarik, namun ia sangat ragu.
Tidak banyak kejadian assisted suicide yang terjadi di negara ini, lagian assisted suicidebiasanya dilakukan oleh orang yang sakit keras, bukan cuma gara-gara beasiswa. Kalau hanya karena beasiswa, kenapa ia tidak bunuh diri dengan cara yang lain saja? Yang bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain, lebih cepat, dan lebih tidak meyakinkan,
Besoknya Nara datang membawa tulisan-tulisan korban, tulisan untuk tugas, tulisan di blog, tulisan untuk artikel koran dan majalah, serta beberapa buku yang ia ambil dari rumah korban dan catatan dari perpustakaan fakultasnya. Semua yang dibawa Nara adalah bukti-bukti bahwa korban adalah pendukung euthanasia.
“Euthanasia dan assisted suicide itu beda, Nara. Euthanasia hanya dilakukan oleh dokter dan jelas tidak dilakukan dengan pisau, tapi dengan obat.”
“Ya tapi ini saja sudah membuktikan bahwa ia setuju dengan…..haknya untuk mati. Lagipula kalau dibaca baik-baik ia setuju kalau semua orang bebas menentukan hidup dan matinya, bukan hanya karena masalah sakit. Budaya kita mengajarkan bunuh diri itu tabu, tapi ketika seseorang sakit sangat keras, justru keluarganya lah yang menentukan hidup dan matinya, pada saat orang itu tidak mampu membuat keputusan lagi. Ia ingin agar setiap orang bisa membuat keputusan tersebut sendiri, karena orang yang mederita sakit adalah orang yang paling mengetahui sakitnya.”
“Terus dia sakit apa? Enggak, ini…..ini bukan assisted suicide. Sorry, ini terlalu mengada-ada.”
Okta berjalan keluar dari kamar mayat dan berpapasan dengan Gladys yang baru masuk. Ia memperhatikan Nara yang bengong karena tiba-tiba Okta marah dan meninggalkannya. Memangnya apa yang ia katakan sampai temannya marh seperti itu? Nara dan Okta sering berdebat tapi tidak pernah sampai ada yang marah, mereka bisa menerima perbedaan pendapat dengan dewasa dan menunggu sampai ada hasil yang bisa dianggap sebagai pemecahan masalah.
“Dr. Okta itu…..ia adalah salah satu dari sedikit dokter di sini yang mendukung euthanasia. Sepertinya ia hanya takut kalau publik mendengarnya sebagai assisted suicide, maka akan bertambah alasan untuk mengkriminalisasikan euthanasia.” Dr. Gladys mengambil kesempatan untuk mengajak Nara yang masih terkejut untuk duduk dengannya dan mengobrol berdua. Ia sudah berada di bawah bimbingan Okta sejak lama, karena itu ia tahu bagaimana pola pikirnya terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah kedokteran.
“Tapi, dia sendiri bilang kalau euthanasia berbeda dengan assisted suicide…..”
“Kera dan monyet itu berbeda, tapi apa orang peduli?”
Iya juga, hanya orang yang benar-benar mempelajari hal-hal seperti itu yang peduli pada perbedaan. Ditegur berapa kalipun tetap saja banyak yang mengatakan kera itu monyet dan monyet itu kera.
“Terus gimana aku yang benar? Gimana kalau ini benar-benar assisted suicide?”
“Dr. Okta bukan orang yang sulit, kok. Selama kamu bisa membuktikan padanya kamu benar. Ia tidak akan memusuhi seseorang hanya karena apa yang ia percaya diguncang.”
Meski baru bekerja di laboratorium forensik kepolisian, Dr. Gladys sudah diajar oleh Okta sejak ia di fakultas kedokteran, bahkan ketika magang pun Dr. Gladys berada di bawah bimbingan Okta dan sebelum ia sibuk berdiskusi dengan Nara, Dr. Gladys lah teman diskusi Okta, karenanya tidak heran kalau Dr. Gladys paham betul dengan pandangan-pandangannya.
Nara bangkit dari kursinya untuk kembali ke ruangannya, tapi sebelum ia pergi, Dr. Gladys menahannya dan memintanya untuk menemaninya berbincang dan menghabiskan sisa waktu makan siang.
“Kamu belum pernah mengiyakan ajakan saya kalau saya ajak keluar.....Is it because you’ve already dated someone and you’re afraid that you’re gonna make her mad? Or him?”
Him? Lagi-lagi ada yang mengira Nara homo. Ganteng tapi jomblo, susah emang.
“Bukan begitu, kok. Cuma.....belakangan saya sibuk. Jadi kalau Hari Minggu, enaknya di rumah saja. Sekalian ngurus ibu. Dan kenapa, sih orang selalu berpikiran saya tidak suka perempuan?” resiko melajang hingga seusia Nara, bukan sekali dua kali ia disangka sebagai seorang homoseksual, bahkan Ratih saja kemarin bilang begitu. Apa wajahnya terlihat seperti seorang gay? Doter Gladys tertawa sebentar dan kembali serius lagi.
“Have you.....already had an SO?”
Dr. Gladys menggunakan istilah SO, significant other karena ia tidak yakin apakah Nara masih sendiri dan hubungan apa yang sedang ia jalani. Apakah itu hubungan pernikahan, atau pacaran, atau hanya dating tanpa status.
“Belum, kok.”
“Kalau begitu, enggak bakal ada yang marah, dong kalau kita.....I don’t know.....there’s nothing wrong if I ask you out, right? I mean, it’s just.....hanging out, bukan dating.”
Sebenarnya telinga Nara sedikit panas karena terus-terusan mendengar Gladys yang bercakap setengah matang sepeeti ini, mencampur aduk dua bahasa. Ia lebih senang kalau Gladys mengajaknya berbicara Bahasa Inggris tanpa mencampuraduk dengan bahasa lain. Ia paham benar kalau Dr. Gladys Anastasia Carter ini blasteran, ayahnya berasal dari Amerika Serikat dan ia mengambil sekolah S2 di Inggris, tapi bukan berarti ia harus mencampuradukan bahasa seperti ini. Alasan ini pulalah yang membuat Nara sering menolak Dr. Gladys kalau diajak jalan. Ajakan Dr. Gladys kali inipun ditolak oleh Nara karena ia lebih memilih untuk mengunjungi Ratih dan berbicara dengannya.
Kasus dilaporkan oleh tetangga korban, seorang pemuda yang ditemukan tewas dengan dada tertusuk pisau, tepat di jantungnya. Ketepatan yang luar biasa hingga para dokter forensik berdecak kagum. Tapi bisa dipahami, yang bunuh diri ini calon dokter, tidak aneh kalau ia bisa menusuk jantungnya tepat sekali.
“Kalau badannya sekurus ini, kayanya enggak mungkin korban menusuk diri sampai tewas. Buat nembus tulang rusuk kan butuh tenaga.”
Sementara itu, Nara melihat layar laptop korban yang masih menyala. Rupanya korban sedang melihat nilai-nilainya melalui website universitas. Hasilnya payah, kalau pasien tahu dokternya punya nilai begini pas kabur-kaburan. Di dekat laptopnya ada surat peringatan dari pihak yang memberikan beasiswa padanya bahwa beasiswanya akan dicabut kalau semester ini nilainya tidak meningkat. Dan sepertinya, peringatan itu akan menjadi kenyataan karena tidak ada peningkatan nilai dari korban.
“Korban ini anak rantau, ayahnya sudah lama meninggal, jadi mau tidak mau ia harus membiayai kuliahnya sendiri. Kalau beasiswanya dicabut, berarti ia akan putus kuliahnya.” Papar Nara pada Okta yang sedang berusaha mencabut pisau dari dada korban."
Ketika akhirnya lepas dari dada korban, Okta menaruh pisau dengan hati-hati pada sebuah wadah dan membiarkan Nara melihat mayatnya.
“Pembunuhan.” Putus Nara dalam beberapa detik setelah melihat.
“Alasannya?”
Quote:
“Kan tadi gue udah bilang. Lagipula.....” Nara memperlihatkan foto posisi pisau di dada korban. “Agak miring bukan? Kalau lu bunuh diri, biasanya posisi pisau itu lurus, miring sedikit, pasti gagal. Di sini, posisinya lebih seperti sudah ditancapkan kemudian ditarik ke atas sedikit. Mungkin maksudnya pelaku ingin menarik pisau korban, tapi terburu-buru.”
“Menarik. Tapi begini, posisi pisau adalah dengan bagian yang tajamnya ke atas, ke.....arah wajah.....yah pokoknya ke atas. Posisi seperti ini sulit kalau yang menusuk bukan diri sendiri. Kecuali.....” Okta mengambil sebuah termometer dan berdiri di belakang Nara. “Ini posisi paling mungkin kalau membunuh orang dengan posisi pisau seperti itu, dari belakang. Tangan lu diem dulu. Nah kalau posisi tangan bebas, maka tidak mungkin korban tidak memberontak. Kalau korban memberontak, tusukannya tidak serapi ini.”
“Gimana kalau, sorry.....” Nara mengangkat kedua lengannya dan meminta Okta melingkarkan lengan di bawah lengannya. “Kalau pelaku menghimpit korban seperti ini dan.....”
“Kecuali dijepit sama Hulk, korban pasti akan lemas, tapi kalau manusia normal? Pasti korban masih bisa berontak, bisa jadi malah susah soalnya pelaku harus menusuk dari belakang. Lagian, himpitan ringan tbakal ninggalin bekas. Dan tidak ada bekas seperti itu. Posisi seperti ini hanya mungkin dilakukan kalau pelaku menyerang korban dari atas. Yang paling mudah untuk menyerang korban dari atas adalah ketika ia terbaring.”
“Terus kenapa enggak?”
Quote:
“Aliran darahnya. Lebih banyak aliran darah yang ke bawah. Ketika seseorang ditusuk, kebanyakan orang tidak merasakan sakit. Serius. Karena dia syok yang mengalahkan rasa sakit sampai terasa......kaku. Yang akan dirasakannya adalah kesulitan bernafas seperti ketika orang sakit jantung, lama-lama ia akan lemas. Pada saat itu, mungkin tubuh korban sempat condong ke depan, sehingga ada darah menetes di depannya. Dalam keadaan berbaring, korban akan merasa terlalu berat dadanya untuk bangkit lagi, karena itu lebih baik ia diam dan mati. Atau.....menyeret dirinya untuk meminta tolong. Tapi jelas itu tidak terjadi.”
“Aneh sih emang kalau korban tidak meminta tolong minimal berusaha meminta tolong.” Sementara Nara berpikir, Okta memeriksa jenazah yang mulai membusuk karena sudah hampir dua hari terbengkalai. “Bagaimana kalau.....assisted suicide?”
“Assisted suicide?”
“Macam seppuku. Ini jalan tengah antara pikiran lu dan pikiran gue. Dia tidak dibunuh, tapi ada orang lain yang bikin dia mati.”
Ide ini memang membuat Okta tertarik, namun ia sangat ragu.
Tidak banyak kejadian assisted suicide yang terjadi di negara ini, lagian assisted suicidebiasanya dilakukan oleh orang yang sakit keras, bukan cuma gara-gara beasiswa. Kalau hanya karena beasiswa, kenapa ia tidak bunuh diri dengan cara yang lain saja? Yang bisa dilakukan sendiri tanpa bantuan orang lain, lebih cepat, dan lebih tidak meyakinkan,
Besoknya Nara datang membawa tulisan-tulisan korban, tulisan untuk tugas, tulisan di blog, tulisan untuk artikel koran dan majalah, serta beberapa buku yang ia ambil dari rumah korban dan catatan dari perpustakaan fakultasnya. Semua yang dibawa Nara adalah bukti-bukti bahwa korban adalah pendukung euthanasia.
“Euthanasia dan assisted suicide itu beda, Nara. Euthanasia hanya dilakukan oleh dokter dan jelas tidak dilakukan dengan pisau, tapi dengan obat.”
“Ya tapi ini saja sudah membuktikan bahwa ia setuju dengan…..haknya untuk mati. Lagipula kalau dibaca baik-baik ia setuju kalau semua orang bebas menentukan hidup dan matinya, bukan hanya karena masalah sakit. Budaya kita mengajarkan bunuh diri itu tabu, tapi ketika seseorang sakit sangat keras, justru keluarganya lah yang menentukan hidup dan matinya, pada saat orang itu tidak mampu membuat keputusan lagi. Ia ingin agar setiap orang bisa membuat keputusan tersebut sendiri, karena orang yang mederita sakit adalah orang yang paling mengetahui sakitnya.”
“Terus dia sakit apa? Enggak, ini…..ini bukan assisted suicide. Sorry, ini terlalu mengada-ada.”
Okta berjalan keluar dari kamar mayat dan berpapasan dengan Gladys yang baru masuk. Ia memperhatikan Nara yang bengong karena tiba-tiba Okta marah dan meninggalkannya. Memangnya apa yang ia katakan sampai temannya marh seperti itu? Nara dan Okta sering berdebat tapi tidak pernah sampai ada yang marah, mereka bisa menerima perbedaan pendapat dengan dewasa dan menunggu sampai ada hasil yang bisa dianggap sebagai pemecahan masalah.
“Dr. Okta itu…..ia adalah salah satu dari sedikit dokter di sini yang mendukung euthanasia. Sepertinya ia hanya takut kalau publik mendengarnya sebagai assisted suicide, maka akan bertambah alasan untuk mengkriminalisasikan euthanasia.” Dr. Gladys mengambil kesempatan untuk mengajak Nara yang masih terkejut untuk duduk dengannya dan mengobrol berdua. Ia sudah berada di bawah bimbingan Okta sejak lama, karena itu ia tahu bagaimana pola pikirnya terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah kedokteran.
“Tapi, dia sendiri bilang kalau euthanasia berbeda dengan assisted suicide…..”
“Kera dan monyet itu berbeda, tapi apa orang peduli?”
Iya juga, hanya orang yang benar-benar mempelajari hal-hal seperti itu yang peduli pada perbedaan. Ditegur berapa kalipun tetap saja banyak yang mengatakan kera itu monyet dan monyet itu kera.
“Terus gimana aku yang benar? Gimana kalau ini benar-benar assisted suicide?”
“Dr. Okta bukan orang yang sulit, kok. Selama kamu bisa membuktikan padanya kamu benar. Ia tidak akan memusuhi seseorang hanya karena apa yang ia percaya diguncang.”
Meski baru bekerja di laboratorium forensik kepolisian, Dr. Gladys sudah diajar oleh Okta sejak ia di fakultas kedokteran, bahkan ketika magang pun Dr. Gladys berada di bawah bimbingan Okta dan sebelum ia sibuk berdiskusi dengan Nara, Dr. Gladys lah teman diskusi Okta, karenanya tidak heran kalau Dr. Gladys paham betul dengan pandangan-pandangannya.
Nara bangkit dari kursinya untuk kembali ke ruangannya, tapi sebelum ia pergi, Dr. Gladys menahannya dan memintanya untuk menemaninya berbincang dan menghabiskan sisa waktu makan siang.
“Kamu belum pernah mengiyakan ajakan saya kalau saya ajak keluar.....Is it because you’ve already dated someone and you’re afraid that you’re gonna make her mad? Or him?”
Him? Lagi-lagi ada yang mengira Nara homo. Ganteng tapi jomblo, susah emang.
“Bukan begitu, kok. Cuma.....belakangan saya sibuk. Jadi kalau Hari Minggu, enaknya di rumah saja. Sekalian ngurus ibu. Dan kenapa, sih orang selalu berpikiran saya tidak suka perempuan?” resiko melajang hingga seusia Nara, bukan sekali dua kali ia disangka sebagai seorang homoseksual, bahkan Ratih saja kemarin bilang begitu. Apa wajahnya terlihat seperti seorang gay? Doter Gladys tertawa sebentar dan kembali serius lagi.
“Have you.....already had an SO?”
Dr. Gladys menggunakan istilah SO, significant other karena ia tidak yakin apakah Nara masih sendiri dan hubungan apa yang sedang ia jalani. Apakah itu hubungan pernikahan, atau pacaran, atau hanya dating tanpa status.
“Belum, kok.”
“Kalau begitu, enggak bakal ada yang marah, dong kalau kita.....I don’t know.....there’s nothing wrong if I ask you out, right? I mean, it’s just.....hanging out, bukan dating.”
Sebenarnya telinga Nara sedikit panas karena terus-terusan mendengar Gladys yang bercakap setengah matang sepeeti ini, mencampur aduk dua bahasa. Ia lebih senang kalau Gladys mengajaknya berbicara Bahasa Inggris tanpa mencampuraduk dengan bahasa lain. Ia paham benar kalau Dr. Gladys Anastasia Carter ini blasteran, ayahnya berasal dari Amerika Serikat dan ia mengambil sekolah S2 di Inggris, tapi bukan berarti ia harus mencampuradukan bahasa seperti ini. Alasan ini pulalah yang membuat Nara sering menolak Dr. Gladys kalau diajak jalan. Ajakan Dr. Gladys kali inipun ditolak oleh Nara karena ia lebih memilih untuk mengunjungi Ratih dan berbicara dengannya.
Diubah oleh paycho.author 12-03-2017 20:36
indrag057 memberi reputasi
1
Kutip
Balas