dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted




Cover By: adriansatrio


Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+

Spoiler for QandA:


"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-


Explanation

Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 10:22
alejandrosf13
anasabila
imamarbai
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
374.3K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#796
PART 36

"Penawaran terakhir...!" seru gue. "Penawaran terakhir misi perdamaian...!"

Segala cara gue coba untuk meyakinkan anak kos, supaya mengikuti misi perdamaian gue. Mulai dari teriak-teriak di kosan, bikin pamflet perdamaian, sampe memberikan penawaran nomor hape cewek cantik.

Nomor cewek cantik? Emang gue punya? Banyak. Gue ikutan ospek tahun ini bukan gara-gara hobi, tapi karena ada maksud tertentu. Karena tingkat berkomunikasi gue dengan cewek lama-kelamaan kian meningkat, gue mencoba buat sepik-sepik sedikit. Hasilnya..., segudang nomor cewek di hape gue.

"Gratis nomor cewek...!" Gue ketokin pintu kosan satu-satu, "Gratis nomor cewek cantik...!"

Awalnya gue pesimis, masa iya cara konyol begini bisa menarik perhatian orang. Tapi di luar dugaan, ternyata ada orang yang membukakan pintu untuk gue.

"Psst...!"
"Ha?!"
"Wi, sebelah sini."
"Eh... kamu toh, Wis." Gue samperin pintu kamar Wisnu, "Gimana? Mau gabung misi perdamaian?"
"Males," tolaknya mengusap-usap mata.
"Nah, terus ngapain manggil-manggil."
"Kamu enggak sadar ini jam berapa?"
Gue lihat jam tangan gue, "Jam setengah dua malem."
"Besok pagi aja kampanyemu, suaramu bikin aku enggak bisa tidur, berisik!"
"Ye... biarin. Kalo nunggu pagi enggak menarik perhatianlah, dodol!"
"Menarik perhatian apaan?!
"Menarik perhatian anak-anaklah." Gue berjalan menjauh, ""Gratis nomor cewek...!"
"Woe sarap!" seru Wisnu. "Menarik perhatian sama gangguin orang tidur itu beda!"
"Bodo...!"

Setelah kelepasan ngomong mau jadi rival Arin, hari-hari gue jadi berubah. Kalo biasanya gue selesai kuliah bisa main DotA dan ke kafe, sekarang gue udah enggak ada waktu lagi untuk melakukan itu semua. Sebagai calon ketua LEM, kegiatan gue makin hari makin padet. Mulai dari cari tau gimana cara mendaftar sebagai ketua LEM, seleksi calon wakil ketua LEM yang bakal mendampingi gue, bahkan sampe mencari cara mendapatkan dukungan dari mahasiswa yang enggak gue kenal.

Berat? Jelas. Puncak rantai makanan di dunia mahasiswa memang butuh perjuangan. Enggak bakalan gue bisa terpilih kalo cuma jalannin hari-hari seperti biasa.

Menurut gue, mencari suara di pemilihan ketua LEM ini lebih susah daripada pemilihan kepala daerah. Kenapa? Karena seluruh pemilih adalah mahasiswa, yang bisa dibilang sarangnya sebagian orang-orang berpemikiran luas.

Gue enggak bilang kalo selain mahasiswa pemikirannya enggak luas, tapi kenyataannya, masih banyak orang yang enggak memilih pake hati. Masih banyak orang yang memilih karena politik uang, dipilih padahal kelakuannya bejat. Bahkan, sekarang asal sama-sama satu golongan pasti dipilih. Lama-kelamaan cuma gara-gara sama satu golongan darah juga bakalan dipilih.

"Tadi lo nyoblos siapa?"
"Itu, yang punya kumis."
"Kok nyoblos dia, sih?"
"Lhah, emangnya kenapa? Dia kan orangnya baik."
"Lo enggak tau? Dia itu golongan darahnya AB, tau!"
"AB?! Waduh! Gue salah pilih, dong! Golongan darah gue C!"
"Yaudah, balik ke TPU sana."
"Ngapain?"
"Minta ralat."

Selain itu, masih ada juga orang yang memilih dengan asal-asalan. Seolah-olah suara mereka masuk apa enggak tuh percuma. Padahal, satu suara bisa mempengaruhi siapa pemimpin kita, satu suara bisa mengubah masyarakat kita, dan satu suara bisa menyelamatakan bangsa kita. Kesindir? No offense, itu kenyataan.

Untungnya, segala sesuatu yang gue perlukan untuk menjadi ketua LEM enggak gue lakukan sendirian. Teman-teman gue banyak yang antusias dan mau membantu, meski ada aja musuh yang masuk dalam selimut.

Sreeet!

"Lhoh, Pep?!"
"Apaan?"
"Itu kan kertas pendaftaran ketua LEM? Kenapa lo sobek?!"
"Oh... yang barusan penting?"
"Ya pentinglah, kalo enggak ada itu gimana caranya gue daftar jadi ketua LEM?"

Sreeeeeet!

Pepy menyobek kertas lain, "Mana lagi yang bisa bikin lo jadi ketua LEM?"

Disti, Grace, Pepy, temen-temen sekelas semester satu, temen-temen kenalan waktu ospek, semuanya membantu gue. Bener-bener berbeda dari perkiraan gue, ternyata sebagian besar temen gue banyak yang mendukung.

--------------------------------

"Jadi gimana?" tanya Disti. "Kakak mau maju sama siapa?"
"Maju sama siapa?"
"Wakil ketua LEM." Disti menyedot jusnya, "Enggak mungkin kan kakak maju sendiri."
"Oh..., kirain maju apaan."
"Jadi sama siapa?"
"Belum tau sih, Dis." Gue buka galeri hape gue, "Ada beberapa orang yang udah aku siapin. Tapi kurang yakin juga kalo mereka mau maju. Coba deh kamu lihat di hapeku."

Kandidat wakil yang pertama, Pak RT alias ketua divisi publikdok. Sisi positifnya dia orangnya penuh tanggung jawab, apa aja dia kerjain asal kerjaan divisi dia beres. Sisi jeleknya, dia gampang tertarik sama hal-hal yang enggak penting, contohnya, lihat orang kesurupan.

Kandidat kedua, Novilda. Cakep dan terkenal di segala angkatan. Positifnya, dia gampang diajak kerja sama. Negatifnya, dia sering bikin gue gagal fokus.

Kandidat ketiga, Karin. Suaranya menggoda banget, lebih seksi dari deru ombak, lebih seksi dari suara cewek jepang waktu ngomong kimochi. Sisi bagusnya, dia punya album lagu sendiri. Sisi jeleknya, cuma dia sendiri yang dengerin lagunya.

"Ini kok kandidatnya cewek-cewek? Aku enggak kenal sama mereka juga. Kenapa enggak cari yang kira-kira bisa bantu kakak aja, sih?"
"Justru itu, Dis. Mereka tuh dazling tau, Dis. Novilda sama Karin tuh disukain sama banyak cowok, kalo mereka jadi wakilku, pasti banyak cowok yang bakal milih—"

Disti menatap gue dengan muka datar.

"O-oke, aku paham." Gue hapus foto Novilda sama Karin, "Mereka enggak cocok jadi wakilku, a-aku paham."
"Kenapa kakak enggak minta kak Pepy?"
"Pepy? Kamu tau sendiri, dia Aja enggak mau kalo aku daftar ketua lem, apalagi sampe jadi ketua LEM beneran."
"Iya juga, sih."
"Bukannya ngedukung, malah ngejebak biar kalah."
"Kalo temen kakak yang satunya? Yang dulu waktu kasih kejutan ulang tahun ikutan."
"Siapa?"
"Ketua divisi keamanan."
"Oh... si Arya?"
"Iya, dia kan ketua divisi, pasti temennya banyak. Kalo kakak gabung sama dia, pasti yang dukung kakak jadi ketua makin banyak."
"Arya? Jadi wakilku?" Gue menggeleng, "enggak ada harapan. Dia aja aku kabarin kalo mau daftar jadi ketua LEM aja enggak bales. Apalagi kalo aku ajakin daftar jadi wakil ketua, bisa-bisa berontak jadi Pepy kedua."
"Oh...."
"Kalo kamu?"
"A-aku?! Aku mana ada potongan jadi wakil ketua, Kak."
"Bukan.... Kalo kamu ada pandangan enggak? Kan kalo masih tahun pertama belum boleh daftar juga.
"Oh...."
"Gimana? Ada?"
"Kayaknya ada satu orang, deh. Nanti coba aku tanyain dulu kali, ya?"
"Iya, tolong diusahain, ya?"

Di tengah obrolan soal ketua LEM sama Disti, hape gue bunyi. Ada pesan masuk dari anak kos.

"Wi, pendaftarannya belum ditutup, kan?" Boleh aku daftar?" pengirim Wisnu.

"Boleh, kok. Kalo bisa ajakin yang lain sekalian," balas gue.

"Siip! Ini aku enggak sendiri kok."

Satu terjerat! Tinggal lima orang lagi. Tunggu, Uchup kan udah setuju sama misi perdamaian, berarti tersisa empat orang, mas Freddy, mas Bowo, bang Galang dan Edo. Gue harus putar otak lagi, kalo cara-cara gue kemarin kurang ampuh, gue harus berinovasi dengan cara yang lain.
JabLai cOY
JabLai cOY memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.