- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Posko KKN
...
TS
kiara00
Misteri Posko KKN
Percaya atau tidak, setiap tempat itu ada
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
Diubah oleh kiara00 12-03-2017 13:22
0
51.3K
291
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kiara00
#71
[Amarah]
Kini rasanya aku lebih tenang setelah menghirup
udara segar pedesaan. Aku kembali menyusuri
jalan untuk kembali ke posko. Sesekali aku
berpapasan dengan warga yang hendak pergi ke
sawah atau ke kebun.
Aku lemparkan senyum semanis mungkin kepada
warga yang berpapasan denganku. Aku sapa
mereka dengan suara selembut kapas penuh
kesopanan.
"Nak....nak....tunggu," kata seseorang
memanggilku dari belakang.
Aku pun menoleh ke asal suara tersebut. Dari
jarak 20 meter aku melihat seorang perempuan
berlari tergopoh-gopoh ke arahku.
"Iya bu ada apa?" tanyaku saat dia telah berada
dihadapanku.
"Ini nak Diona kan mahasiswa KKN yang mengajar
di SD 2?" tanyanya.
"Ya bu saya Diona, ada apa ya bu?" kataku.
"Anak saya banyak cerita tentang nak Diona, dia
sangat suka sama nak Diona. Dia jadi paham
beberapa mata pelajaran setelah diajar nak
Diona," katanya.
"Dia sangat berlebihan, semua karena usahanya
sendiri," kataku.
"Ini nak ada sedikit makanan kampung untuk nak
Diona dan yang lainnya"katanya sambil
memberiku kresek yang cukup besar.
"Tidak usah repot-repot bu," kataku.
"Tidak nak,ini sekedarnya saja," katanya.
"Maaf, apa nak Diona semalam tidak tidur?"
tanyanya.
"Iya bu semalam saya tidak bisa tidur," jawabku.
"Hati-hati nak, keselamatan nak Diona dan yang
lainnya tergantung nak Diona," katanya
mengingatkan.
"Maksud ibu apa?" tanyaku.
"Saya tahu nak Diona bukan orang biasa. Nak
Diona memiliki kelebihan dan keturunan ningrat.
Rumah itu bukan rumah biasa. Banyak yang telah
menjadi korban," katanya.
"Maksud ibu apa? Bisa tolong jelaskan?" tanyaku.
"Maaf nak ibu tidak bisa berbicara banyak,"
katanya lalu pergi.
Ada apa sesungguhnya dengan rumah itu? Kenapa
ibu tadi begitu ketakutan untuk menjelaskan
semuanya mengenai rumah itu. Dan bagaimana
dia bisa tahu kalau aku mempunyai kelebihan dan
keturunan ningrat? Selama ini tak ada yang tahu
soal itu karena namaku tidak pakai raden.
Langkah demi langkah aku susuri jalanan yang
masih basah sisa di guyur hujan semalam. Pikirku
semakin berkecamuk kesana kemari. Entah
bagaimana akhir dari semua kisah ini. Apakah
kami akan selamat atau akan mati disini.
"Di....kamu harus jelasin semuanya," bentak Arif
saat aku baru saja melangkahkan kakiku masuk ke
dalam posko.
"Apa yang harus aku jelaskan?" tanyaku.
Semua mata teman-temanku tertuju padaku.
Matanya bagai pedang yang menghujam
jantungku. Sorot mata mereka sangat sulit untuk
aku artikan.
"Maksud ucapanmu kalau tindakan orang tua Lia
bisa membuat kita mati," kata Ferdi dingin.
"Ya....orang tua dia tidak memikirkan bagaimana
akibatnya pada kita yang ada disini," jawabku.
"Orang tuaku cuma takut aku kenapa-kenapa,"
jawab Lia marah.
"Ya....orang tuamu hanya takut kamu kenapa-
kenapa, takut kamu kesurupan lagi. Tapi apa
orang tuamu memikirkan nasib kami disini? Tidak
kan? Orang tuamu hanya memikirkan kamu saja
seorang diri," kataku mulai tersulut emosi.
"Mereka orang tuaku, wajar mereka
mengkhawatirkan aku," kata Lia.
"Setiap orang tua pasti mengkhawatirkan anaknya,
tapi apa dia harus mengorbankan anak orang
lain?" tanyaku.
"Orang tuaku tidak tahu kalau itu mengorbankan
yang lainnya," bela Lia.
"Bulshit!!!! Dukun itu pasti bicara resikonya. Tapi
apa mereka peduli? Tidak kan?" kataku.
"Tapi....tapi...." kata Lia.
"Diam!!!!" kataku berteriak.
Semua terdiam mendengar ucapanku.
"Aku sudah tak ingin mendengar alasan lagi, kalau
tak percaya silahkan telpon orang tuamu,"
Semua mata menatapku menelisik. Tak ada yang
berani berbicara sepatah katapun. Aku dapat
melihat jelas ketakutan di wajah mereka.
"Kita pindah saja ke rumah yang diatas," kata Fitri
memecah kesunyian.
"Kita tak bisa pindah," kataku dengan mata masih
penuh amarah.
"Kenapa? Kenapa kita tak bisa pindah? Apa karena
uang?" tanya Arif.
"Karena ulah orang tua Lia," jawabku lirih.
"Kenapa orang tuaku yang disalahkan?" kata Lia
marah.
"Karena semua memang karena mereka!"
bentakku.
"Kita tak bisa keluar dari sini karena orang tuaku,
lalu desas-desus di tetangga yang mengatakan
mentang-mentang pacarnya polisi jadi bisa
dijemput tiap minggu' itu ulah siapa? Kita semua
muak sama kamu Diona" kata Lia.
"Dia datang kesini karena aku mau bimbingan.
Aku tak mungkin pakai kendaraan umum jika
bimbingan pagi," kataku.
"Itu cuma alasan kamu biar kamu bisa berbuat
mesum sama pacarmu," kata Lia.
Mendengar ucapannya yang sudah sangat kelewat
batas membuatku hilang kendali. Aku benar-
benar muak dengan dia.
Dan...plllaaaakkkk....sebuah tamparan mendarat
di pipi Lia. Ya aku menampar dia yang telah
lancang berkata.
"Diona...." kata teman-temanku bersamaan.
"Kalian ingin tahu kenapa karena ulah orang tua
Lia bisa membuat kita mati? Dukun suruhan
orang tuanya gagal untuk mengusir penghuni sini.
Mereka marah! Dan yang kena amarahnya adalah
kita bukan dukun itu," kataku.
"Kenapa bisa begini," kata Arif lirih.
"Karena kita masuk tanpa permisi. Kita sadari
atau tidak, setiap tempat itu ada penunggunya
dan kita tidak meminta izin kepada mereka,"
kataku sambil mengatur amarah yang keluar dari
dalam diriku.
"Jadi....jadi..." kata Ria.
"Aku sudah tak ingin melindungi kalian semua
terutama kamu Lia. Semua terserah kalian,
lindungi diri sendiri kalian masing-masing saja!!"
kataku sambil berlalu meninggalkan mereka
dalam diam.
Kini rasanya aku lebih tenang setelah menghirup
udara segar pedesaan. Aku kembali menyusuri
jalan untuk kembali ke posko. Sesekali aku
berpapasan dengan warga yang hendak pergi ke
sawah atau ke kebun.
Aku lemparkan senyum semanis mungkin kepada
warga yang berpapasan denganku. Aku sapa
mereka dengan suara selembut kapas penuh
kesopanan.
"Nak....nak....tunggu," kata seseorang
memanggilku dari belakang.
Aku pun menoleh ke asal suara tersebut. Dari
jarak 20 meter aku melihat seorang perempuan
berlari tergopoh-gopoh ke arahku.
"Iya bu ada apa?" tanyaku saat dia telah berada
dihadapanku.
"Ini nak Diona kan mahasiswa KKN yang mengajar
di SD 2?" tanyanya.
"Ya bu saya Diona, ada apa ya bu?" kataku.
"Anak saya banyak cerita tentang nak Diona, dia
sangat suka sama nak Diona. Dia jadi paham
beberapa mata pelajaran setelah diajar nak
Diona," katanya.
"Dia sangat berlebihan, semua karena usahanya
sendiri," kataku.
"Ini nak ada sedikit makanan kampung untuk nak
Diona dan yang lainnya"katanya sambil
memberiku kresek yang cukup besar.
"Tidak usah repot-repot bu," kataku.
"Tidak nak,ini sekedarnya saja," katanya.
"Maaf, apa nak Diona semalam tidak tidur?"
tanyanya.
"Iya bu semalam saya tidak bisa tidur," jawabku.
"Hati-hati nak, keselamatan nak Diona dan yang
lainnya tergantung nak Diona," katanya
mengingatkan.
"Maksud ibu apa?" tanyaku.
"Saya tahu nak Diona bukan orang biasa. Nak
Diona memiliki kelebihan dan keturunan ningrat.
Rumah itu bukan rumah biasa. Banyak yang telah
menjadi korban," katanya.
"Maksud ibu apa? Bisa tolong jelaskan?" tanyaku.
"Maaf nak ibu tidak bisa berbicara banyak,"
katanya lalu pergi.
Ada apa sesungguhnya dengan rumah itu? Kenapa
ibu tadi begitu ketakutan untuk menjelaskan
semuanya mengenai rumah itu. Dan bagaimana
dia bisa tahu kalau aku mempunyai kelebihan dan
keturunan ningrat? Selama ini tak ada yang tahu
soal itu karena namaku tidak pakai raden.
Langkah demi langkah aku susuri jalanan yang
masih basah sisa di guyur hujan semalam. Pikirku
semakin berkecamuk kesana kemari. Entah
bagaimana akhir dari semua kisah ini. Apakah
kami akan selamat atau akan mati disini.
"Di....kamu harus jelasin semuanya," bentak Arif
saat aku baru saja melangkahkan kakiku masuk ke
dalam posko.
"Apa yang harus aku jelaskan?" tanyaku.
Semua mata teman-temanku tertuju padaku.
Matanya bagai pedang yang menghujam
jantungku. Sorot mata mereka sangat sulit untuk
aku artikan.
"Maksud ucapanmu kalau tindakan orang tua Lia
bisa membuat kita mati," kata Ferdi dingin.
"Ya....orang tua dia tidak memikirkan bagaimana
akibatnya pada kita yang ada disini," jawabku.
"Orang tuaku cuma takut aku kenapa-kenapa,"
jawab Lia marah.
"Ya....orang tuamu hanya takut kamu kenapa-
kenapa, takut kamu kesurupan lagi. Tapi apa
orang tuamu memikirkan nasib kami disini? Tidak
kan? Orang tuamu hanya memikirkan kamu saja
seorang diri," kataku mulai tersulut emosi.
"Mereka orang tuaku, wajar mereka
mengkhawatirkan aku," kata Lia.
"Setiap orang tua pasti mengkhawatirkan anaknya,
tapi apa dia harus mengorbankan anak orang
lain?" tanyaku.
"Orang tuaku tidak tahu kalau itu mengorbankan
yang lainnya," bela Lia.
"Bulshit!!!! Dukun itu pasti bicara resikonya. Tapi
apa mereka peduli? Tidak kan?" kataku.
"Tapi....tapi...." kata Lia.
"Diam!!!!" kataku berteriak.
Semua terdiam mendengar ucapanku.
"Aku sudah tak ingin mendengar alasan lagi, kalau
tak percaya silahkan telpon orang tuamu,"
Semua mata menatapku menelisik. Tak ada yang
berani berbicara sepatah katapun. Aku dapat
melihat jelas ketakutan di wajah mereka.
"Kita pindah saja ke rumah yang diatas," kata Fitri
memecah kesunyian.
"Kita tak bisa pindah," kataku dengan mata masih
penuh amarah.
"Kenapa? Kenapa kita tak bisa pindah? Apa karena
uang?" tanya Arif.
"Karena ulah orang tua Lia," jawabku lirih.
"Kenapa orang tuaku yang disalahkan?" kata Lia
marah.
"Karena semua memang karena mereka!"
bentakku.
"Kita tak bisa keluar dari sini karena orang tuaku,
lalu desas-desus di tetangga yang mengatakan
mentang-mentang pacarnya polisi jadi bisa
dijemput tiap minggu' itu ulah siapa? Kita semua
muak sama kamu Diona" kata Lia.
"Dia datang kesini karena aku mau bimbingan.
Aku tak mungkin pakai kendaraan umum jika
bimbingan pagi," kataku.
"Itu cuma alasan kamu biar kamu bisa berbuat
mesum sama pacarmu," kata Lia.
Mendengar ucapannya yang sudah sangat kelewat
batas membuatku hilang kendali. Aku benar-
benar muak dengan dia.
Dan...plllaaaakkkk....sebuah tamparan mendarat
di pipi Lia. Ya aku menampar dia yang telah
lancang berkata.
"Diona...." kata teman-temanku bersamaan.
"Kalian ingin tahu kenapa karena ulah orang tua
Lia bisa membuat kita mati? Dukun suruhan
orang tuanya gagal untuk mengusir penghuni sini.
Mereka marah! Dan yang kena amarahnya adalah
kita bukan dukun itu," kataku.
"Kenapa bisa begini," kata Arif lirih.
"Karena kita masuk tanpa permisi. Kita sadari
atau tidak, setiap tempat itu ada penunggunya
dan kita tidak meminta izin kepada mereka,"
kataku sambil mengatur amarah yang keluar dari
dalam diriku.
"Jadi....jadi..." kata Ria.
"Aku sudah tak ingin melindungi kalian semua
terutama kamu Lia. Semua terserah kalian,
lindungi diri sendiri kalian masing-masing saja!!"
kataku sambil berlalu meninggalkan mereka
dalam diam.
0