- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Posko KKN
...
TS
kiara00
Misteri Posko KKN
Percaya atau tidak, setiap tempat itu ada
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
Diubah oleh kiara00 12-03-2017 13:22
0
51.3K
291
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kiara00
#44
[Kesurupan]
Aku rebahkan badanku di atas tempat tidur untuk
menghilangkan penatku setelah beraktivitas
seharian. Memang, tempat tidur di posko tak
senyaman di rumah, tapi tempat tidur ini cukup
membuatku nyaman untuk menghilangkan
penatku.
Aku regangkan otot-ototku untuk menghilangkan
pegalku setelah perjalanan dari rumah-posko
KKN. Rasanya perjalanan ini jauh lebih lama dari
saat aku pulang kemarin.
Dering handphoneku memaksaku untuk beranjak
dari tempat tidur dan mengambilnya di dalam tas
yang tergantung rapi di dinding berwarna putih.
Saat aku mengambil tas tiba-tiba....bruuukkkk....
sebuah pigura terjatuh tepat di hadapanku. Aku
mengambilnya dengan begitu hati-hati, khawatir
jika pigura itu pecah. Tapi beruntung, pigura itu
baik-baik saja.
"Hallo Di...." terdengar suara mamaku disebrang
sana.
"Ya mah," kataku.
"Kamu sudah sampai posko?" tanya mama.
"Sudah mah, baru saja sampai. Kenapa mah?"
kataku.
"Syukurlah....tidak apa-apa, hanya perasaan mama
tidak enak. Jaga diri baik-baik disana," pinta
mama.
"Ya mah," kataku.
"Ya sudah kamu istiraht sana," kata mama lalu
menutup teleponnya.
Aku menelisik pigura yang ada ditanganku. Disana
terpampang dengam jelas seorang perempuan
berambut panjang tengah berdiri di depan rumah
berlantai dua. Rumah itu merupakan rumah tua
namun terlihat begitu artistik.
Sepertinya aku pernah melihat rumah itu, tapi
aku tak ingat dimana aku melihat rumah itu
berada. Rumah itu benar-benar sangat indah dan
membuatku jatuh hati pada rumah itu.
Tapi tunggu.....darimana pigura itu berasal? Ini
adalah sebuah dinding bercat putih yang hanya
ada gantungan saja yang terpajang disana, tidak
ada pigura itu sebelumnya. Lalu darimana pigura
itu berasal?
"Di....." kata Evi mengagetkanku dari belakangku.
"Ehhhh.... ada apa Vi?" tanyaku kaget.
"Kamu dari tadi dipanggil ko ga jawab, lagi apa
sih?" tanyanya.
"Kamu liat pigura ditanganku ini?" tanyaku.
"Pigura apaan, gak ada apa-apa Di," kata Evi.
"Lho....tadi ada pigura Vi," kataku.
"Tapi itu ga ada Di," katanya.
"Ah....sudahlah. Tadi ada apa kamu manggil aku?"
tanyaku.
"Itu, daging ayam yang kamu bawa kamu mau
nyisain apanya sebelum anak-anak pada makan
dan kamu ga kebagian?" tanya Evi.
"Aku sisain hati ampela saja, sisanya makan saja,"
kataku dan Evi pun berlalu.
Bagaimana mungkin pigura itu tiba-tiba hilang?
Aku sangat yakin tadi pigura itu ada ditanganku,
tidak mungkin jika pigura itu tiba-tiba hilang. Aku
yakin aku tidak salah lihat.
"Huuuuuaaaa......" tiba-tiba aku mendengar suara
tangisan dari depan tv. Aku kira itu hanya suara
tangisan yang berasal dari acara di tv.
Tapi tangis itu semakin menjadi dan semakin
meraung. Aku langsung berlari, aku begitu kaget
saat melihat Lia tengah menangis dan meraung
bagitu hebatnya. Teman-teman yang lain
mencoba menghentikan tangisnya tapi gagal,
mereka malah dihempaskan oleh Lia.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ga tahu kenapa Lia tiba-tiba ngejerit keras dan
nangis," kata Evi.
"Kamu.....kamu sudah aku peringatkan, kenapa
kamu hanya diam?" terik Lia padaku.
Mata Lia terbelalak menyalang menyorotkan
permusuhan. Tidak ada tanda-tanda sifat lemah
lembutnya yang biasa dia tunjukkan sehari-hari.
Rambutnya terkesan acak-acakkan tak terurus.
Apakah yang ada di tubuhnya bukan Lia? Apakah
dia kesurupan?
"Kenapa kamu diam?" tanyanya lagi.
"Kamu tau maksudnya dia apa?" tanya Evi.
"Aku gak tahu Vi, dia sepertinya kesurupan. Mana
anak-anak laki-laki?" kataku.
"Mereka tadi di undang ikut tahlilan di rumah pak
RT," jawab Fitri.
"Siapa pun tolong panggil anak laki-laki sama
siapa saja warga sini yang bisa bantu," kataku
panik.
Fitri dan Ria bergegas memanggil anak-anak laki-
laki dan warga sekitar, sedang aku, Evi dan yang
lainnya mencoba untuk menenangkan Lia.
Kami menjaga agar Lia tidak membahayakan
orang lain dan dirinya sendiri. Lia terus meracau
dan berusaha untuk mencakar apa saja yang bisa
dia jangkau. Sebisa mungkim kami
menghindrinya. Tapi sepertinya hal itu tak dapat
terus kami lakukan karena cakaran Lia akhirnya
melukai kami walau hanya sedikit.
Menghindari amukan Lia bukanlah sesuatu yang
mudah. Kami juga tidak boleh melakukan hal
yang salah atau itu akan menyakiti Lia. Ini sebuah
dilema bagi kami dalam menghadapinya. Sebuah
pilihan yang sangat sulit, melawan Lia akan
membuatnya terluka, tapi jika tak melawannya
maka kami yang akan terluka karena ulahnya
"Di, coba kamu ajak bicara. Tadi dia bicara sama
kamu," kata Evi.
"Apa salah kami kepadamu?" tanyaku.
"Kalian telah menggangguku," kata Lia.
"Baik kami minta maaf, sekarang keluarlah dari
tubuh Lia," kataku.
"Tidak, aku tidak mau sebelum kamu bicara sama
aku," kata Lia.
"Vi, kamu ada kelebihankan?" bisikku pada Evi.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Evi kaget karena
aku mengetahui hal itu.
"Tak penting aku tahu darimana, yang penting
sekarang kita nolong Lia. Jika menunggu anak-
anak laki-laki dan warga pasti lama karena rumah
Pak RT jauh, apalagi ini malam pasti Ria dan Fitri
kesulitan sampai sana dengan cepat," terangku.
"Baik....apa yang harus aku lakukan?" tanya Evi.
"Kita pegang tangannya sebelah-sebelah,
selebihnya urusanku....kalian menjauhlah dan apa
pun yang terjadi jangan mendekat!" perintahku.
Setelah semua menjauh, dalam sekali lompatan
aku dan Evi berhasil mencengkram tangan Lia,
tapi sayang Lia berhasil menghempaskan kami
dan memcakar tangan serta wajah kami.
Kami tak berputus asa, kami mencobanya lagi dan
lagi. Bekas cakaran telah memenuhi tangan dan
wajah kami, tenaga pun telah mulai terkuras.
Untuk kesekian kalinya kami berusaha
menangkap tangan Lia dan menahannya.
Dan......kali ini kami berhasil. Aku langsung
membaca ayat kursi dan meniupkannya ke ubun-
ubun Lia secara berulang hingga perlahan dia
melemah dan kemabali seperti biasa.
"Lia kenapa?" tanya Arif yang baru datang
bersama anak-anak laki-laki dan beberapa warga.
"Dia kesurupan tadi, sekarang sudah gak apa-apa,"
kata Evi lemah.
"Coba Pak Ustadz cek kondisi dia," pintaku. Pak
Ustadz menghampiri Lia, dia memeriksa keadaan
Lia.
"Dia sudah tidak apa-apa, kalian melakukanmya
dengan cepat dan tepat jadi dia selamat," kata
Pak Ustadz.
Tak lama kemudian warga pun izin untuk pulang.
Aku dan Evi beranjak dari samping Lia dan mulai
berdiri meninghalkan Lia untuk beristirahat. Aku
meminta anak-anak laki-laki memindahkan Lia ke
kamar dan beberapa orang menemaninya sambil
membaca ayat kursi.
"Kalian gak apa-apa?" tanya Arif.
"Gak apa-apa" kata aku dan Evi sambil menahan
sakit.
Aku sendiri tak yakin bahwa aku tak apa-apa
karena luka cakar yang aku alami lebih parah dari
yang dialami oleh Evi. Aku tahu luka ini bukan
luka biasa, aku dapat merasakan semuanya tapi
aku tak tahu harus berbuat apa.
Tapi tunggu....aku bisa melakukan itu, dan mau
tak mau malam ini aku harus melakukan
semuanya. Aku tak ingin ada yang menjadi korban
lagi. Aku ingin semuanya baik-baik saja. Tanpa ada
yang terluka lagi
Aku rebahkan badanku di atas tempat tidur untuk
menghilangkan penatku setelah beraktivitas
seharian. Memang, tempat tidur di posko tak
senyaman di rumah, tapi tempat tidur ini cukup
membuatku nyaman untuk menghilangkan
penatku.
Aku regangkan otot-ototku untuk menghilangkan
pegalku setelah perjalanan dari rumah-posko
KKN. Rasanya perjalanan ini jauh lebih lama dari
saat aku pulang kemarin.
Dering handphoneku memaksaku untuk beranjak
dari tempat tidur dan mengambilnya di dalam tas
yang tergantung rapi di dinding berwarna putih.
Saat aku mengambil tas tiba-tiba....bruuukkkk....
sebuah pigura terjatuh tepat di hadapanku. Aku
mengambilnya dengan begitu hati-hati, khawatir
jika pigura itu pecah. Tapi beruntung, pigura itu
baik-baik saja.
"Hallo Di...." terdengar suara mamaku disebrang
sana.
"Ya mah," kataku.
"Kamu sudah sampai posko?" tanya mama.
"Sudah mah, baru saja sampai. Kenapa mah?"
kataku.
"Syukurlah....tidak apa-apa, hanya perasaan mama
tidak enak. Jaga diri baik-baik disana," pinta
mama.
"Ya mah," kataku.
"Ya sudah kamu istiraht sana," kata mama lalu
menutup teleponnya.
Aku menelisik pigura yang ada ditanganku. Disana
terpampang dengam jelas seorang perempuan
berambut panjang tengah berdiri di depan rumah
berlantai dua. Rumah itu merupakan rumah tua
namun terlihat begitu artistik.
Sepertinya aku pernah melihat rumah itu, tapi
aku tak ingat dimana aku melihat rumah itu
berada. Rumah itu benar-benar sangat indah dan
membuatku jatuh hati pada rumah itu.
Tapi tunggu.....darimana pigura itu berasal? Ini
adalah sebuah dinding bercat putih yang hanya
ada gantungan saja yang terpajang disana, tidak
ada pigura itu sebelumnya. Lalu darimana pigura
itu berasal?
"Di....." kata Evi mengagetkanku dari belakangku.
"Ehhhh.... ada apa Vi?" tanyaku kaget.
"Kamu dari tadi dipanggil ko ga jawab, lagi apa
sih?" tanyanya.
"Kamu liat pigura ditanganku ini?" tanyaku.
"Pigura apaan, gak ada apa-apa Di," kata Evi.
"Lho....tadi ada pigura Vi," kataku.
"Tapi itu ga ada Di," katanya.
"Ah....sudahlah. Tadi ada apa kamu manggil aku?"
tanyaku.
"Itu, daging ayam yang kamu bawa kamu mau
nyisain apanya sebelum anak-anak pada makan
dan kamu ga kebagian?" tanya Evi.
"Aku sisain hati ampela saja, sisanya makan saja,"
kataku dan Evi pun berlalu.
Bagaimana mungkin pigura itu tiba-tiba hilang?
Aku sangat yakin tadi pigura itu ada ditanganku,
tidak mungkin jika pigura itu tiba-tiba hilang. Aku
yakin aku tidak salah lihat.
"Huuuuuaaaa......" tiba-tiba aku mendengar suara
tangisan dari depan tv. Aku kira itu hanya suara
tangisan yang berasal dari acara di tv.
Tapi tangis itu semakin menjadi dan semakin
meraung. Aku langsung berlari, aku begitu kaget
saat melihat Lia tengah menangis dan meraung
bagitu hebatnya. Teman-teman yang lain
mencoba menghentikan tangisnya tapi gagal,
mereka malah dihempaskan oleh Lia.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ga tahu kenapa Lia tiba-tiba ngejerit keras dan
nangis," kata Evi.
"Kamu.....kamu sudah aku peringatkan, kenapa
kamu hanya diam?" terik Lia padaku.
Mata Lia terbelalak menyalang menyorotkan
permusuhan. Tidak ada tanda-tanda sifat lemah
lembutnya yang biasa dia tunjukkan sehari-hari.
Rambutnya terkesan acak-acakkan tak terurus.
Apakah yang ada di tubuhnya bukan Lia? Apakah
dia kesurupan?
"Kenapa kamu diam?" tanyanya lagi.
"Kamu tau maksudnya dia apa?" tanya Evi.
"Aku gak tahu Vi, dia sepertinya kesurupan. Mana
anak-anak laki-laki?" kataku.
"Mereka tadi di undang ikut tahlilan di rumah pak
RT," jawab Fitri.
"Siapa pun tolong panggil anak laki-laki sama
siapa saja warga sini yang bisa bantu," kataku
panik.
Fitri dan Ria bergegas memanggil anak-anak laki-
laki dan warga sekitar, sedang aku, Evi dan yang
lainnya mencoba untuk menenangkan Lia.
Kami menjaga agar Lia tidak membahayakan
orang lain dan dirinya sendiri. Lia terus meracau
dan berusaha untuk mencakar apa saja yang bisa
dia jangkau. Sebisa mungkim kami
menghindrinya. Tapi sepertinya hal itu tak dapat
terus kami lakukan karena cakaran Lia akhirnya
melukai kami walau hanya sedikit.
Menghindari amukan Lia bukanlah sesuatu yang
mudah. Kami juga tidak boleh melakukan hal
yang salah atau itu akan menyakiti Lia. Ini sebuah
dilema bagi kami dalam menghadapinya. Sebuah
pilihan yang sangat sulit, melawan Lia akan
membuatnya terluka, tapi jika tak melawannya
maka kami yang akan terluka karena ulahnya
"Di, coba kamu ajak bicara. Tadi dia bicara sama
kamu," kata Evi.
"Apa salah kami kepadamu?" tanyaku.
"Kalian telah menggangguku," kata Lia.
"Baik kami minta maaf, sekarang keluarlah dari
tubuh Lia," kataku.
"Tidak, aku tidak mau sebelum kamu bicara sama
aku," kata Lia.
"Vi, kamu ada kelebihankan?" bisikku pada Evi.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Evi kaget karena
aku mengetahui hal itu.
"Tak penting aku tahu darimana, yang penting
sekarang kita nolong Lia. Jika menunggu anak-
anak laki-laki dan warga pasti lama karena rumah
Pak RT jauh, apalagi ini malam pasti Ria dan Fitri
kesulitan sampai sana dengan cepat," terangku.
"Baik....apa yang harus aku lakukan?" tanya Evi.
"Kita pegang tangannya sebelah-sebelah,
selebihnya urusanku....kalian menjauhlah dan apa
pun yang terjadi jangan mendekat!" perintahku.
Setelah semua menjauh, dalam sekali lompatan
aku dan Evi berhasil mencengkram tangan Lia,
tapi sayang Lia berhasil menghempaskan kami
dan memcakar tangan serta wajah kami.
Kami tak berputus asa, kami mencobanya lagi dan
lagi. Bekas cakaran telah memenuhi tangan dan
wajah kami, tenaga pun telah mulai terkuras.
Untuk kesekian kalinya kami berusaha
menangkap tangan Lia dan menahannya.
Dan......kali ini kami berhasil. Aku langsung
membaca ayat kursi dan meniupkannya ke ubun-
ubun Lia secara berulang hingga perlahan dia
melemah dan kemabali seperti biasa.
"Lia kenapa?" tanya Arif yang baru datang
bersama anak-anak laki-laki dan beberapa warga.
"Dia kesurupan tadi, sekarang sudah gak apa-apa,"
kata Evi lemah.
"Coba Pak Ustadz cek kondisi dia," pintaku. Pak
Ustadz menghampiri Lia, dia memeriksa keadaan
Lia.
"Dia sudah tidak apa-apa, kalian melakukanmya
dengan cepat dan tepat jadi dia selamat," kata
Pak Ustadz.
Tak lama kemudian warga pun izin untuk pulang.
Aku dan Evi beranjak dari samping Lia dan mulai
berdiri meninghalkan Lia untuk beristirahat. Aku
meminta anak-anak laki-laki memindahkan Lia ke
kamar dan beberapa orang menemaninya sambil
membaca ayat kursi.
"Kalian gak apa-apa?" tanya Arif.
"Gak apa-apa" kata aku dan Evi sambil menahan
sakit.
Aku sendiri tak yakin bahwa aku tak apa-apa
karena luka cakar yang aku alami lebih parah dari
yang dialami oleh Evi. Aku tahu luka ini bukan
luka biasa, aku dapat merasakan semuanya tapi
aku tak tahu harus berbuat apa.
Tapi tunggu....aku bisa melakukan itu, dan mau
tak mau malam ini aku harus melakukan
semuanya. Aku tak ingin ada yang menjadi korban
lagi. Aku ingin semuanya baik-baik saja. Tanpa ada
yang terluka lagi
0