- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Posko KKN
...
TS
kiara00
Misteri Posko KKN
Percaya atau tidak, setiap tempat itu ada
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
Diubah oleh kiara00 12-03-2017 13:22
0
51.3K
291
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kiara00
#37
[Izin Pulang]
Disini matahari tak pernah bersinar terang
seperti saat aku dirumah. Disini aku tak
merasakan hangatnya mentari merasuk dalam
jiwaku. Udara disini sangat dingin walau tidak
turun hujan. Embun tak pernah beranjak
meninggalkan desa Bunga Wangi. Embun seolah
menjadi kawan yang setia menemani warga
beraktifitas di ladang dan sawah.
Jalan kaki setiap pagi menuju sekolah yang
dimana aku ikut membantu guru-guru disana
untuk mengajar siswanya seolah menjadi
keseharian selama aku disini. Peluh yang
bercucuran ku usap dengan sehelai tisu yang
putih dan bersih. Peluh dan jarak yang jauh tak
menghalangiku untuk sampai disana.
Disekolah ini hanya ada 5 mahasiswa yang
membantu termasuk aku. Selebihnya mereka
membantu disekolah yang dekat dengan posko.
Disana ada 3 sekolah, mulai dari Sekolah Dasar,
Madrasah Ibtidaiyah, dan Madrasah Tsanawiyah.
Sedang disini hanya ada satu dan jaraknya sangat
jauh.
Respon kepala sekolah jauh dari yang kami
bayangkan. Beliau sangat bahagia dan merasa
terbantu dengan hadirnya kami disekolah itu.
Mereka menitipkan asa yang tinggi bagi kami.
Aku terhenyak saat memasuki ruang kelas 5 di
sekolah. Bagaimana tidak, fasilitas disini jauh
sangat berbeda dengan sekolah yang ada di dekat
posko. Bagaimana disana meja dan kursi
tertumpuk digudng. Sedang disini.....bukan
kelebihan meja dan kursi yang ku lihat, tapi
kekurangan yang terpampang dihadapanku.
Tidak sedikit siswa yang duduk bertiga dalam 2
kursi. Hatiku terenyuh melihat pemandangan
yang sngat miris dihati. Aku tak pernah
menyangka jika kondisi ini ada di kotaku, kota
yang tak pernah terekspose tertinggal dalam
dunia pendidikan. Tapi disini.....murid duduk
bertiga dan tak ada kursi guru sama sekali.
Aku memberi pelajaran matematika kepada
mereka sesuai dengan buku pegangan yang
diberikan guru. Tapi.....lagi-lagi aku terhenyak
dengan kenyataan yang ada disini. Bagaimana
murid kelas 5 sekolah dasar tidak hapal perkalian.
Kenyataan itu bagai menjadi palu godam yang
sangat keras ke dalam diriku. Mereka akan
menghadapi Ujian Nasional tahun depan, tapi
mereka belum menguasai perkalian, sesuatu yang
sangat dasar.
Aku tutup buku pegangan yang diberikan guru. Ku
ajarkan anak-anak itu perkalian dari awal secara
berulang. Tujuanku bukan lagi mengajar sesuai
buku, tapi bagaimana mereka dapat hapal
perkalian dalam waktu yang singkat.
Ya.....aku memang bukan mahasiswa keguruan
yang mengerti cara mengajar. Aku hanya
mahasiswa ekonomi yang lebih memahami soal
penjualan dibanding dengan mengajar. Tapi hati
ini begitu terenyuh saat melihat mereka tak
mampu melakukan perkalian.
Perlahan tapi pasti, mereka mulai dapat
menguasai perkalian 1 sampai 9 dengan baik dan
benar. Hingga bel tanda sekolah berkhir berbunyi
dan mereka telah menguasai semua perkalian itu.
Selama perjalanan pulang aku bertukar pikiran
dengan teman-temanku. Dimana mereka
memang mahasiswa fakultas pendidikan yang
secara keseluruhan memahami cara mengajar
yang baik. Mereka pun benar-benar kaget melihat
kondisi disana, suatu kondisi yang tidak pernah
dibayangkan sekalipun.
Saat sampai posko aku kaget melihat motor
Wilman terparkir di depan posko. Aku tak pernah
menyangka kalau dia akan datang ke poskoku. Aku
pun tak pernah tahu dia tahu poskoku darimana.
Tidak mungkin dia tahu dari orang rumah, karena
orang rumah hanya tahu nama desa aku KKN
bukan alamat poskoku.
"Nah....itu Diona sudah pulang pak," kata Arif.
Bapak.....kenapa Arif panggil bapak kepada
Wilman? Jangan-jangan dia datang pakai......
Aku begitu terkejut saat melihat Wilman masih
mengenakan pakaian dinasnya lengkap dengan
tanda pangkat palang dua di pundaknya. Ya....dia
seorang Inspektur Satu. Dia memutuskan untuk
berkuliah setahun setelah keluar dari AKPOL. Dan
setahun yang lalu dia naik pangkat tepat saat
anniversary jadian kami yang pertama.
"Mau apa kamu kesini?" tanyaku sambil melepas
sepatuku.
"Jemput kamu. Kata mama kamu hari ini atau
besok pulang dan senin mau bimbingan jadi aku
jemput," katanya menjelaskan.
Oh my God....aku baru ingat kemarin calon
mertuaku telpon dan bertanya letak poskoku dan
bertanya kapan aku pulang. Aku tak pernah
terpikir jika beliau akan memberitahukan soal itu
kepada Wilman, atau mungkin Wilman yang
memintanya untuk meneleponku.
"Aku pulang besok, kamu pulang saja," kataku.
"Mama memintamu besok menaminya bertemu
dengan ibu-ibu bhayangkari, katanya ada arisan,"
kata Wilman.
"Aku kan belum...." kataku.
"Itu baik buat kamu saat menjadi ibu bhayangkari
nanti," potong Wilman.
Bagaimana mungkin dia masih berpikir kalau aku
akan menjadi istrinya setelah apa yang dia
lakukan? Bagaimana mungkin aku mau menjadi
istrinya setelah ada perempuan lain yang
memanggil dia 'sayang' setelah semua pengajuan
pernikahan hampir selesai? Tapi aku tak mungkin
berdebat dengannya, teman-temanku tak tau dan
tak boleh tau masalahku.
"Aku masih ada yang harus diselesaikan,
pulanglah biar nanti ku telpon mama," kataku.
Ya....aku memanggil calon ibu mertuaku dengan
sebutan mama.
"Aku sudah izin sama Arif, sekarang
berkemaslah," suruh Wilman.
Aku tak mungkin lagi membantah perkataan
Wilman atau semua temanku akan tahu masalah
antara kami. Aku langsung bergegas ke kamar dan
membereskan beberapa barangku yang akan aku
bawa pulang.
"Ri, tolong handle beberapa tugasku ya. Aku
sudah menuliskan rinciannya dalam kertas yang
aku simpan di kamar. Aku baru kembali senin
sore karena aku sudah janji untuk bimbingan,"
kataku kepada Ria sebelum aku keluar dari posko.
"Kamu gak kembali habis dzuhur saja Di?"
tanyanya.
"Ga bisa Ri, aku janji bimbingan jam 11, lalu aku
harus izin dosen untuk tidak mengikuti
pertemuan pertama perkuliahan. Aku juga harus
menghadap prodi," jelasku.
"Kamu sampai sini jam berapa Di?" tanya Fitri.
"Aku ga tahu Fit, bagaimana selesainya urusanku
saja di kampus," kataku.
"Di....cepetan kalau terlalu sore takut hujan,"kata
Wilman.
"Bentar, aku tunjukan dulu rincian tugasku pada
Ria," kataku mengulur waktu dan kembali ke
kamar mengambil buku noteku.
Aku menjelaskan semua yang sudah aku tulis
secara rinci kepada Ria hingga dia benar-benar
memahami semuanya. Pekerjaan itu sebenarnya
bukan untuk hari ini atau besok, tapi untuk senin.
Kegiatan hari ini sudah selesai dan besok kami
libur dan tidak ada kegiatan apa pun yang akan
kami lakukan.
Jika aku memilih, sesungguhnya aku tak ingin
pulang bersama Wilman. Hatiku masih hancur
dengan apa yang aku lihat beberapa hari lalu. Tapi
aku tak mengerti bagaimana Wilman masih mau
menjemputku dan merasa tak bersalah dengan
apa yang telah dia lakukan. Dia pun seolah tak
ingin menjelaskan semuanya padaku. Tak tahukah
dia bahwa hatiku masih sakit, hatiku masih hancur
dengan apa yang telah dia lakukan kepadaku
beberapa waktu lalu?
Disini matahari tak pernah bersinar terang
seperti saat aku dirumah. Disini aku tak
merasakan hangatnya mentari merasuk dalam
jiwaku. Udara disini sangat dingin walau tidak
turun hujan. Embun tak pernah beranjak
meninggalkan desa Bunga Wangi. Embun seolah
menjadi kawan yang setia menemani warga
beraktifitas di ladang dan sawah.
Jalan kaki setiap pagi menuju sekolah yang
dimana aku ikut membantu guru-guru disana
untuk mengajar siswanya seolah menjadi
keseharian selama aku disini. Peluh yang
bercucuran ku usap dengan sehelai tisu yang
putih dan bersih. Peluh dan jarak yang jauh tak
menghalangiku untuk sampai disana.
Disekolah ini hanya ada 5 mahasiswa yang
membantu termasuk aku. Selebihnya mereka
membantu disekolah yang dekat dengan posko.
Disana ada 3 sekolah, mulai dari Sekolah Dasar,
Madrasah Ibtidaiyah, dan Madrasah Tsanawiyah.
Sedang disini hanya ada satu dan jaraknya sangat
jauh.
Respon kepala sekolah jauh dari yang kami
bayangkan. Beliau sangat bahagia dan merasa
terbantu dengan hadirnya kami disekolah itu.
Mereka menitipkan asa yang tinggi bagi kami.
Aku terhenyak saat memasuki ruang kelas 5 di
sekolah. Bagaimana tidak, fasilitas disini jauh
sangat berbeda dengan sekolah yang ada di dekat
posko. Bagaimana disana meja dan kursi
tertumpuk digudng. Sedang disini.....bukan
kelebihan meja dan kursi yang ku lihat, tapi
kekurangan yang terpampang dihadapanku.
Tidak sedikit siswa yang duduk bertiga dalam 2
kursi. Hatiku terenyuh melihat pemandangan
yang sngat miris dihati. Aku tak pernah
menyangka jika kondisi ini ada di kotaku, kota
yang tak pernah terekspose tertinggal dalam
dunia pendidikan. Tapi disini.....murid duduk
bertiga dan tak ada kursi guru sama sekali.
Aku memberi pelajaran matematika kepada
mereka sesuai dengan buku pegangan yang
diberikan guru. Tapi.....lagi-lagi aku terhenyak
dengan kenyataan yang ada disini. Bagaimana
murid kelas 5 sekolah dasar tidak hapal perkalian.
Kenyataan itu bagai menjadi palu godam yang
sangat keras ke dalam diriku. Mereka akan
menghadapi Ujian Nasional tahun depan, tapi
mereka belum menguasai perkalian, sesuatu yang
sangat dasar.
Aku tutup buku pegangan yang diberikan guru. Ku
ajarkan anak-anak itu perkalian dari awal secara
berulang. Tujuanku bukan lagi mengajar sesuai
buku, tapi bagaimana mereka dapat hapal
perkalian dalam waktu yang singkat.
Ya.....aku memang bukan mahasiswa keguruan
yang mengerti cara mengajar. Aku hanya
mahasiswa ekonomi yang lebih memahami soal
penjualan dibanding dengan mengajar. Tapi hati
ini begitu terenyuh saat melihat mereka tak
mampu melakukan perkalian.
Perlahan tapi pasti, mereka mulai dapat
menguasai perkalian 1 sampai 9 dengan baik dan
benar. Hingga bel tanda sekolah berkhir berbunyi
dan mereka telah menguasai semua perkalian itu.
Selama perjalanan pulang aku bertukar pikiran
dengan teman-temanku. Dimana mereka
memang mahasiswa fakultas pendidikan yang
secara keseluruhan memahami cara mengajar
yang baik. Mereka pun benar-benar kaget melihat
kondisi disana, suatu kondisi yang tidak pernah
dibayangkan sekalipun.
Saat sampai posko aku kaget melihat motor
Wilman terparkir di depan posko. Aku tak pernah
menyangka kalau dia akan datang ke poskoku. Aku
pun tak pernah tahu dia tahu poskoku darimana.
Tidak mungkin dia tahu dari orang rumah, karena
orang rumah hanya tahu nama desa aku KKN
bukan alamat poskoku.
"Nah....itu Diona sudah pulang pak," kata Arif.
Bapak.....kenapa Arif panggil bapak kepada
Wilman? Jangan-jangan dia datang pakai......
Aku begitu terkejut saat melihat Wilman masih
mengenakan pakaian dinasnya lengkap dengan
tanda pangkat palang dua di pundaknya. Ya....dia
seorang Inspektur Satu. Dia memutuskan untuk
berkuliah setahun setelah keluar dari AKPOL. Dan
setahun yang lalu dia naik pangkat tepat saat
anniversary jadian kami yang pertama.
"Mau apa kamu kesini?" tanyaku sambil melepas
sepatuku.
"Jemput kamu. Kata mama kamu hari ini atau
besok pulang dan senin mau bimbingan jadi aku
jemput," katanya menjelaskan.
Oh my God....aku baru ingat kemarin calon
mertuaku telpon dan bertanya letak poskoku dan
bertanya kapan aku pulang. Aku tak pernah
terpikir jika beliau akan memberitahukan soal itu
kepada Wilman, atau mungkin Wilman yang
memintanya untuk meneleponku.
"Aku pulang besok, kamu pulang saja," kataku.
"Mama memintamu besok menaminya bertemu
dengan ibu-ibu bhayangkari, katanya ada arisan,"
kata Wilman.
"Aku kan belum...." kataku.
"Itu baik buat kamu saat menjadi ibu bhayangkari
nanti," potong Wilman.
Bagaimana mungkin dia masih berpikir kalau aku
akan menjadi istrinya setelah apa yang dia
lakukan? Bagaimana mungkin aku mau menjadi
istrinya setelah ada perempuan lain yang
memanggil dia 'sayang' setelah semua pengajuan
pernikahan hampir selesai? Tapi aku tak mungkin
berdebat dengannya, teman-temanku tak tau dan
tak boleh tau masalahku.
"Aku masih ada yang harus diselesaikan,
pulanglah biar nanti ku telpon mama," kataku.
Ya....aku memanggil calon ibu mertuaku dengan
sebutan mama.
"Aku sudah izin sama Arif, sekarang
berkemaslah," suruh Wilman.
Aku tak mungkin lagi membantah perkataan
Wilman atau semua temanku akan tahu masalah
antara kami. Aku langsung bergegas ke kamar dan
membereskan beberapa barangku yang akan aku
bawa pulang.
"Ri, tolong handle beberapa tugasku ya. Aku
sudah menuliskan rinciannya dalam kertas yang
aku simpan di kamar. Aku baru kembali senin
sore karena aku sudah janji untuk bimbingan,"
kataku kepada Ria sebelum aku keluar dari posko.
"Kamu gak kembali habis dzuhur saja Di?"
tanyanya.
"Ga bisa Ri, aku janji bimbingan jam 11, lalu aku
harus izin dosen untuk tidak mengikuti
pertemuan pertama perkuliahan. Aku juga harus
menghadap prodi," jelasku.
"Kamu sampai sini jam berapa Di?" tanya Fitri.
"Aku ga tahu Fit, bagaimana selesainya urusanku
saja di kampus," kataku.
"Di....cepetan kalau terlalu sore takut hujan,"kata
Wilman.
"Bentar, aku tunjukan dulu rincian tugasku pada
Ria," kataku mengulur waktu dan kembali ke
kamar mengambil buku noteku.
Aku menjelaskan semua yang sudah aku tulis
secara rinci kepada Ria hingga dia benar-benar
memahami semuanya. Pekerjaan itu sebenarnya
bukan untuk hari ini atau besok, tapi untuk senin.
Kegiatan hari ini sudah selesai dan besok kami
libur dan tidak ada kegiatan apa pun yang akan
kami lakukan.
Jika aku memilih, sesungguhnya aku tak ingin
pulang bersama Wilman. Hatiku masih hancur
dengan apa yang aku lihat beberapa hari lalu. Tapi
aku tak mengerti bagaimana Wilman masih mau
menjemputku dan merasa tak bersalah dengan
apa yang telah dia lakukan. Dia pun seolah tak
ingin menjelaskan semuanya padaku. Tak tahukah
dia bahwa hatiku masih sakit, hatiku masih hancur
dengan apa yang telah dia lakukan kepadaku
beberapa waktu lalu?
0