- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Posko KKN
...
TS
kiara00
Misteri Posko KKN
Percaya atau tidak, setiap tempat itu ada
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
Diubah oleh kiara00 12-03-2017 13:22
0
51.3K
291
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kiara00
#32
[Sambutan Selamat Datang]
Langit hitam menaungi Desa Bunga Wangi. Angin
berhembus begitu kencang menerbangkan debu
dan daun-daun kering dijalanan. Dari kejauhan
tampak para petani yang merupakan warga
sekitar berjalan dengan cepat meninggalkan
sawah dan ladang. Menghindari hujan yang akan
segera turun membasahi sawah dan ladang
mereka.
Perlahan langit mulai mengeluarkan rintik-rintik
bening untuk membersihkan jalanan yang selama
beberapa hari tidak dibersihkan. Semakin lama
rintik-rintik itu semakin lebat. Angin sudah tak
lagi bersahabat dan tiada lagi memberi kesejukan
bagi yang merasakan.
Alam mulai memberikan ancaman bagi siapa saja
penghuni di dalamnya. Pohon-pohon tinggi
terseok-terseok mengikuti arah angin
berhembus. PLN pun seolah tak ingin memberi
ketenangan bagi siapa yang ada disini, PLN tiba-
tiba memutuskan aliran listrik dan membuat
suasana semakin mencekam.
"Ayo....makannya mau kapan?" tanya Ria.
"Sudah makannya sekarang saja, takut malam
listriknya belum nyala nanti kita salah makan,"
kata Arif.
"Ya nanti kamu yang tercabik-cabik habis kita
makan ya Rif," kata Ferdi. Semua tertawa
mendengar candaan yang dilakukan Ferdi.
Dalam temaramnya sore hari yang ditemani
dengan hujan lebat kami menyantap makanan
yang telah dimasak hari ini. Cahaya lilin menjadi
satu-satunya penerangan yang ada disini. Canda
dan tawa menjadi teman dalam setiap santapan
kami.
"Braaakkk....." terdengar suara pintu belakang
terbuka dengan sangat keras. Semua terdiam dan
saling memandang satu sama lain. Bulu kudukku
mulai berdiri merasakan sesuatu yang tidak enak
dan tidak nyaman akan terjadi. Aku merasakan
sesuatu dari dunia lain berada di tengah-tengah
kami. Entah kapan dia mulai berada disini,
menempatkan diri di antara para mahasiswa yang
tengah beesantap.
"Ko pintu belakang terbuka, siapa yang buka?"
tanya Arif.
"Ketiup angin kali," kataku.
"Tadi sudah aku kunci," kata Fredi.
"Kamu lupa kali Fer," kata Arif.
"Beneran tadi sudah kukunci," kata Ferdi
meyakinkan.
"Mungkin kamu lupa kali....Sudah ayo kita kunci
lagi," kata Arif.
Aku teringat akan peringatan pemilik rumah ini
beberapa waktu lalu saat kami beru sampai.
"Jangan ada yang membuka pintu belakang apa
pun yang terjadi".
Tapi kenapa Ferdi bilang bahwa dia telah
mengunci pintu belakang? Bukankah pintu
belakang selalu dalam keadaan terkunci dan tak
pernah dibuka sama sekali? Apakah Ferdi
membuka pintu itu? Tapi untuk apa?
"Fer, kamu membuka pintu belakang?" tanyaku
setelah Ferdi mengunci pintu.
"Ya, kenapa?"
"Kenapa kamu buka Fer? Bukankah ibu pemilik
rumah sudah memperingatkannya?"
"Memperingatkan apa?"
"Pintu itu gak boleh di buka!"
Ferdi terdiam mendengar perkataanku. Entah dia
mengingat perkataan ibu sang pemilik rumah,
atau dia menyesali apa yang telah dia lakukan.
Sekarang entah apa yang akan terjadi dengan
kami semua yang ada disini. Satu kesalahan telah
kami lakukan, mau tak mau kami harus bersiap
menerima konsekuensinya.
Angin berhembus semakin kencang
menerbangkan spanduk posko kesana-kemari
hingga membuyarkan semua pemikiranku.
Rasanya ini bukan sesuatu yang baik dan ada
sesuatu yang aneh. Anginnya begitu besar dan
diluar kewajaran, dan sepertinya konsekuensi itu
akan segera kami terima. Perlahan tapi pasti,
mataku terasa berubah menjadi lebih tajam
seolah dapat menembus apa saja dengan
tatapanku.
Hari terus beranjak berubah menjadi malam dan
hujan belum juga kunjung reda. Satu persatu
anggota kelompokku mulai tertidur dalam
dekapan malam yang begitu dingin. Hanya tinggal
aku dan beberapa teman saja yang belum dapat
memejamkan mata ini.
Dalam dinginnya malam yang semakin
mencekam, perlahan hujan dan angin mulai reda,
listrik pun mulai menyala memberi penerangan
kepada setiap runah yang ada disini. Saat melihat
jam menunjukkan pukul 12 malam lebih 5 menit.
Mataku belum juga mau terpejam, begitu pun
dengn teman-temanku.
"Kita main kartu yuk," ajak Ferdi kepada 4 teman
laki-laki yang lain.
Aku dan Evi menyaksikan mereka main kartu
sambil menonton televisi. Tawa dan canda pecah
saat ada yang kalah dan harus berlagak seperti
seorang photo model profesional.
"Tok....tok...tok," terdengar suara tongkat yang
diketuk-ketuk ke jalanan seperti seorang kakek
yang tengah berjalan menyusuri jalan disamping
posko. Kami semua terdiam tidak ada yang
bersuara dan memasang telingan tajam mencoba
mendengarkan kembali bunyi itu.
"Tok...tok...tok," suara itu terdengar lagi dan
begitu jelas berada di jalan samping posko.
Kurnia berdiri dan meninggalkan permainan
kartunya. Dia membuka gorden dan melihat ke
arah jalan.
"Siapa?" tanya Evi.
"Ga ada siapa-siapa," jawab Kurnia.
"Ah bohong kamu. Jangan nakut-nakutin gitulah,"
kata Evi sambil beranjak dan ikut membuka
gorden.
"Gimana?" tanyaku penasaran.
"Bener ga ada apa-apa diluar," jawab Evi.
Seketika kami langsung mengambil posisi untuk
tidur. Kami tidak berani untuk tidur dikamar dan
memutuskan untuk tidur di depan tv. Aku sempat
melihat jam, ternyata sudah jam 01.00 dini hari.
Waktu yang sangat wajar untuk beekeliarannya
makhkuk-makhkuk yang tak kaaat mata.
Perlahan mataku mulai terpejam dan
menenggelamkanku ke alam mimpi yang kuharap
indah setelah apa yang terjadi. Saat aku tengah
nyaman dalam tidurku, aku terbangun karena
terasa ada yang mengganjal di punggungku.
Dengan perasaan bersebar aku mulai melihat ke
belakang, ternyata kepala kurnia tepat dibelakang
punggungku.
****
"Satu, dua, tiga, empat,....lho kok kurang satu
sih," terdengar suara Evi membelah dinginnya
subuh.
"Apa yang hilang Vi?" tanya Arif dalam kantuknya.
"Diona ga ada,dia kemana?" tanya Evi panik.
"Aku disini Vi di kursi. Tadi aku pindah soalnya
kepala kurnia nyeruduk punggungku," kataku
sambil mengikat rambutku dan bersiap untuk
mengambil air wudhu.
"Kamu itu bikin aku khawatir saja Di," kata Evi.
"Sudah jangan berisik, nanti anak-anak ikutan
bangun dan khawatir," kataku.
Mentari mulai menampakkan diri menyinari
dunia. Burung-burung bernyanyi dengan begitu
riangnya. Perlahan kami mulai membersihkan
halaman yang kotor oleh daun-daun yang
berjatuhan semalam oleh angin.
"Sudah bangun nak?" tanya Pak Lurah yang lewat
ke dekat posko kami.
"Sudah pak. Bapak darimana?" tanya Arif.
"Itu bapak baru bergotong royong membantu
warga yang rumahnya terkena longsor," jawab
Pak Lurah.
"Kenapa tidak mengajak kami pak?" tanya Arif.
"Tadi bapak takut kalian masih tidur," jawab Pak
Lurah.
"Maaf pak, semalam kami mendengar ada bunyi
orang berjalan pakai tongkat di jalan, apa suka
ada kakek-kakek lewat sini pak kalau malam?"
tanyaku.
Mendengar pertanyaanku seketika wajah Pak
Lurah berubah menjadi pucat. Dia seperti kaget
dan mencoba mencari jawaban yang tepat untuk
pertanyaanku.
"Mungkin.....mungkin kakek dibelakang yang
lewat. Bapak permisi dulu," jawab Pak Lurah.
Kakek dibelakang?.....Aku tahu betul dibelakang
posko kami tidak ada kakek-kakek yang
menggunakan tongkat. Aku memang baru disini,
tapi setiap hari warga berkumpul tempat di
belakang posko dan aku tak pernah melihat kakek
itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat
ini? Apa yang disembunyikan pak lurah dari kami?
Langit hitam menaungi Desa Bunga Wangi. Angin
berhembus begitu kencang menerbangkan debu
dan daun-daun kering dijalanan. Dari kejauhan
tampak para petani yang merupakan warga
sekitar berjalan dengan cepat meninggalkan
sawah dan ladang. Menghindari hujan yang akan
segera turun membasahi sawah dan ladang
mereka.
Perlahan langit mulai mengeluarkan rintik-rintik
bening untuk membersihkan jalanan yang selama
beberapa hari tidak dibersihkan. Semakin lama
rintik-rintik itu semakin lebat. Angin sudah tak
lagi bersahabat dan tiada lagi memberi kesejukan
bagi yang merasakan.
Alam mulai memberikan ancaman bagi siapa saja
penghuni di dalamnya. Pohon-pohon tinggi
terseok-terseok mengikuti arah angin
berhembus. PLN pun seolah tak ingin memberi
ketenangan bagi siapa yang ada disini, PLN tiba-
tiba memutuskan aliran listrik dan membuat
suasana semakin mencekam.
"Ayo....makannya mau kapan?" tanya Ria.
"Sudah makannya sekarang saja, takut malam
listriknya belum nyala nanti kita salah makan,"
kata Arif.
"Ya nanti kamu yang tercabik-cabik habis kita
makan ya Rif," kata Ferdi. Semua tertawa
mendengar candaan yang dilakukan Ferdi.
Dalam temaramnya sore hari yang ditemani
dengan hujan lebat kami menyantap makanan
yang telah dimasak hari ini. Cahaya lilin menjadi
satu-satunya penerangan yang ada disini. Canda
dan tawa menjadi teman dalam setiap santapan
kami.
"Braaakkk....." terdengar suara pintu belakang
terbuka dengan sangat keras. Semua terdiam dan
saling memandang satu sama lain. Bulu kudukku
mulai berdiri merasakan sesuatu yang tidak enak
dan tidak nyaman akan terjadi. Aku merasakan
sesuatu dari dunia lain berada di tengah-tengah
kami. Entah kapan dia mulai berada disini,
menempatkan diri di antara para mahasiswa yang
tengah beesantap.
"Ko pintu belakang terbuka, siapa yang buka?"
tanya Arif.
"Ketiup angin kali," kataku.
"Tadi sudah aku kunci," kata Fredi.
"Kamu lupa kali Fer," kata Arif.
"Beneran tadi sudah kukunci," kata Ferdi
meyakinkan.
"Mungkin kamu lupa kali....Sudah ayo kita kunci
lagi," kata Arif.
Aku teringat akan peringatan pemilik rumah ini
beberapa waktu lalu saat kami beru sampai.
"Jangan ada yang membuka pintu belakang apa
pun yang terjadi".
Tapi kenapa Ferdi bilang bahwa dia telah
mengunci pintu belakang? Bukankah pintu
belakang selalu dalam keadaan terkunci dan tak
pernah dibuka sama sekali? Apakah Ferdi
membuka pintu itu? Tapi untuk apa?
"Fer, kamu membuka pintu belakang?" tanyaku
setelah Ferdi mengunci pintu.
"Ya, kenapa?"
"Kenapa kamu buka Fer? Bukankah ibu pemilik
rumah sudah memperingatkannya?"
"Memperingatkan apa?"
"Pintu itu gak boleh di buka!"
Ferdi terdiam mendengar perkataanku. Entah dia
mengingat perkataan ibu sang pemilik rumah,
atau dia menyesali apa yang telah dia lakukan.
Sekarang entah apa yang akan terjadi dengan
kami semua yang ada disini. Satu kesalahan telah
kami lakukan, mau tak mau kami harus bersiap
menerima konsekuensinya.
Angin berhembus semakin kencang
menerbangkan spanduk posko kesana-kemari
hingga membuyarkan semua pemikiranku.
Rasanya ini bukan sesuatu yang baik dan ada
sesuatu yang aneh. Anginnya begitu besar dan
diluar kewajaran, dan sepertinya konsekuensi itu
akan segera kami terima. Perlahan tapi pasti,
mataku terasa berubah menjadi lebih tajam
seolah dapat menembus apa saja dengan
tatapanku.
Hari terus beranjak berubah menjadi malam dan
hujan belum juga kunjung reda. Satu persatu
anggota kelompokku mulai tertidur dalam
dekapan malam yang begitu dingin. Hanya tinggal
aku dan beberapa teman saja yang belum dapat
memejamkan mata ini.
Dalam dinginnya malam yang semakin
mencekam, perlahan hujan dan angin mulai reda,
listrik pun mulai menyala memberi penerangan
kepada setiap runah yang ada disini. Saat melihat
jam menunjukkan pukul 12 malam lebih 5 menit.
Mataku belum juga mau terpejam, begitu pun
dengn teman-temanku.
"Kita main kartu yuk," ajak Ferdi kepada 4 teman
laki-laki yang lain.
Aku dan Evi menyaksikan mereka main kartu
sambil menonton televisi. Tawa dan canda pecah
saat ada yang kalah dan harus berlagak seperti
seorang photo model profesional.
"Tok....tok...tok," terdengar suara tongkat yang
diketuk-ketuk ke jalanan seperti seorang kakek
yang tengah berjalan menyusuri jalan disamping
posko. Kami semua terdiam tidak ada yang
bersuara dan memasang telingan tajam mencoba
mendengarkan kembali bunyi itu.
"Tok...tok...tok," suara itu terdengar lagi dan
begitu jelas berada di jalan samping posko.
Kurnia berdiri dan meninggalkan permainan
kartunya. Dia membuka gorden dan melihat ke
arah jalan.
"Siapa?" tanya Evi.
"Ga ada siapa-siapa," jawab Kurnia.
"Ah bohong kamu. Jangan nakut-nakutin gitulah,"
kata Evi sambil beranjak dan ikut membuka
gorden.
"Gimana?" tanyaku penasaran.
"Bener ga ada apa-apa diluar," jawab Evi.
Seketika kami langsung mengambil posisi untuk
tidur. Kami tidak berani untuk tidur dikamar dan
memutuskan untuk tidur di depan tv. Aku sempat
melihat jam, ternyata sudah jam 01.00 dini hari.
Waktu yang sangat wajar untuk beekeliarannya
makhkuk-makhkuk yang tak kaaat mata.
Perlahan mataku mulai terpejam dan
menenggelamkanku ke alam mimpi yang kuharap
indah setelah apa yang terjadi. Saat aku tengah
nyaman dalam tidurku, aku terbangun karena
terasa ada yang mengganjal di punggungku.
Dengan perasaan bersebar aku mulai melihat ke
belakang, ternyata kepala kurnia tepat dibelakang
punggungku.
****
"Satu, dua, tiga, empat,....lho kok kurang satu
sih," terdengar suara Evi membelah dinginnya
subuh.
"Apa yang hilang Vi?" tanya Arif dalam kantuknya.
"Diona ga ada,dia kemana?" tanya Evi panik.
"Aku disini Vi di kursi. Tadi aku pindah soalnya
kepala kurnia nyeruduk punggungku," kataku
sambil mengikat rambutku dan bersiap untuk
mengambil air wudhu.
"Kamu itu bikin aku khawatir saja Di," kata Evi.
"Sudah jangan berisik, nanti anak-anak ikutan
bangun dan khawatir," kataku.
Mentari mulai menampakkan diri menyinari
dunia. Burung-burung bernyanyi dengan begitu
riangnya. Perlahan kami mulai membersihkan
halaman yang kotor oleh daun-daun yang
berjatuhan semalam oleh angin.
"Sudah bangun nak?" tanya Pak Lurah yang lewat
ke dekat posko kami.
"Sudah pak. Bapak darimana?" tanya Arif.
"Itu bapak baru bergotong royong membantu
warga yang rumahnya terkena longsor," jawab
Pak Lurah.
"Kenapa tidak mengajak kami pak?" tanya Arif.
"Tadi bapak takut kalian masih tidur," jawab Pak
Lurah.
"Maaf pak, semalam kami mendengar ada bunyi
orang berjalan pakai tongkat di jalan, apa suka
ada kakek-kakek lewat sini pak kalau malam?"
tanyaku.
Mendengar pertanyaanku seketika wajah Pak
Lurah berubah menjadi pucat. Dia seperti kaget
dan mencoba mencari jawaban yang tepat untuk
pertanyaanku.
"Mungkin.....mungkin kakek dibelakang yang
lewat. Bapak permisi dulu," jawab Pak Lurah.
Kakek dibelakang?.....Aku tahu betul dibelakang
posko kami tidak ada kakek-kakek yang
menggunakan tongkat. Aku memang baru disini,
tapi setiap hari warga berkumpul tempat di
belakang posko dan aku tak pernah melihat kakek
itu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat
ini? Apa yang disembunyikan pak lurah dari kami?
0