- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Posko KKN
...
TS
kiara00
Misteri Posko KKN
Percaya atau tidak, setiap tempat itu ada
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
penunggunya. Kita diharuskan untuk meminta izin
ketika memasuki setiap tempat baru.
Memang terdengarnya seperti sesutu yang mustahil.
Tapi jika tidak meminta izin maka keusilan sang
penunggu akan membawa petaka.
Index
Pembekalan KKN
Pemberangkatan
Daerah Terpencil
Sambutan Selamat Datang
Izin Pulang
Rumah
Kesurupan
Teror Pertama
Berunding
Penampakan
Nyanyian Di Tengah Malam
Lingsir Wengi
Amarah
Teror Kedua
Tidur Tapi Tak Tidur
Serangan
KuntilAnak
Hilang
Pencarian
Gadis Cantik
Santap Malam
Rute Pencarian
Berpikir
Hutan Pinus
Diubah oleh kiara00 12-03-2017 13:22
0
51.3K
291
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kiara00
#2
[Pembekalan KKN]
Derap langkah terdengar begitu jelas
memenuhi setiap relung telingaku.
Bukan hanya satu atau dua orang
saja, tapi ada lima orang yang tengah
menuju suatu tempat dengan begitu
terburu-buru. Aku menoleh ke arah
mereka dan melihatnya dengan
seksama, tak ada yang aku kenali
dari mereka satu pun. Ya....aku gak
mengenal mereka karena memang
bukan temanku, bukan teman
sefakultasku. a 1
Aku menatap mereka dengan
sesakma, begitupun mereka
menatapku. Tatapan mereka lurus
dan datar karena memang kami tak
aaling mengenal. Tapi tunggu, salah
satu diantara mereka yang memiliki
tubuh paling tinggi, putih dan
rambutnya tergetai dengan indahnya
menatapku dengan pandangan yang
sangat tajam dan di matanya tersirat
permusuhan dan kebencian. Tapi apa
yang membuat dia membenci dan
memusuhiku? Aku tak mengenal dia,
aku tak merasa pernah bertemu
dengannya. Tapi kenapa, kenapa dia
terlihat seperti begitu membenciku,
apa salahku padanya?
"Jangan ngalangin jalan dong,"
bentaknya padaku.
"Maaf," kataku. Tapi dia sepertinya
tak mendengar perkataanku, dia
hanya menatapku sinis dan penuh
kebencian. Dia membalikkan
badannya dan terus berjalan serta
berlalu begitu saja dari hadapanku.
Aku menatapnya mulai menjauh
dariku. Perlahan aku memfokuskan
pandanganku padanya, ada sesuatu
yang aneh dalam diri perempuan itu.
Aura dia begitu gelap dan kelam.
Entah apa yang membuay dia
memiliki aura yang begitu gelap dan
kelam. Sepertinya hidupnya
dirundung dengan kesusahan dan
kepedihan serta, dendam.
"Hai, mau bengong saja atau masuk
ke aula?" tanya seseorang dari
belakangku. Aku menoleh ke asal
suara itu, ternyata Gina yang berada
di belakangku. Dia adalah teman satu
fakultasku hanya dia mengambil
kelas karyawan sesang aku
mengambil kelas reguler.
"Eh....ya ayo masuk," kataku.
Aku dan Gina melangkahkan kaki
bersama menuju ke aula kampusku.
Tak kusangka dan tak kuduga aku
melihat Ria didepan pintu aula. Aku
terhenti sejenak sebelum
melanjutkan langkah kakiku, rasanya
begitu berat melanhkahkan kakiku ini
dan kembaki bertemu dengan dia.
Aku seolah tak percaya jika aku akan
bertemu kembali dengan dia, teman
yang telah menusukku dari belakang.
Teman yang telah membuat hati
kedua orang tuaku begitu terluka
dengan sikapnya.
Dua tahun sudah aku tak bertemu
dengan dia sejak kejadian itu, dan
sejak dia memutuskan untuk pindah
ke kelas karyawan. Dua tahun pula
aku mencoba mengubur semua
kepediham yang aku dan orang tuaku
rasakan. Tapi sekarang, sekarang aku
harus kembali bertemu dengannya.
Kembali menatap dia dan kembali
luka yang aku rasakan terbuka
menganga dan mengeluarkan darah
yang segar.
Suara mikrofon dari dalm ruangan
membawaku kembali ke duniaku saat
ini dan mengeluarkanku dari kisah
masa lalu yang sesungguhnya ingin
aku lupakan tapi aku belum mampu
untuk melupakannya. Aku dan Gina
bergegas memasuki aula kampus
dengan terburu-buru, begitupun
dengan Ria yang mengikuti langkah
kami.
Ruangan yang begitu luas ini telah
dipenuhi oleh ribuan mahasiswa yang
akan mengikuti pembekalan KKN.
Aku mencari-cari kursi yang masih
kosong agar aku bisa duduk dan
mendengarkan pembekalan dengan
nyaman.
Tapi malang nasibku, kursi yang
tersisa hanya ada 2 saja. Tidak
mungkin jika aku dan Gina duduk
sedang Ria berdiri. Memang ada
permasalahan yang belum selesai
antara kami, tapi bagaimana pun dia
tetap teman sefakultasku. Tak
mungkin aku membiarkan dia berdiri
dan membuat temanku bertanya apa
yang telah terjadi di antara kami.
Mau tidak mau kami pun harus
berbagi agar dapat duduk bersama.
Aku melihat ke kanan dan kiri,
berharap ada yang aku kenali selain
Gina dan Ria. Tapi tidak ada yang aku
kenali sama sekali disini. Dari
fakultasku memang hanya ada
beberapa orang saja yang mengikuti
KKN pada gelombang kali ini, karena
yang lain telah KKN pada awal tahun
ajaran kemarin.
Pemateri demi pemateri
menyampaikan pembekalannya
dengan sangat jelas dan terperinci.
Tidak ada satu bagian pun yang
mereka lewatkan untuk membekali
mahasiswanya sebelum berangkat
KKN. Tapi entah kenapa rasanya aku
tak dapat memahami semuanya, aku
tak dapat fokus terhadap materi-
materi yang mereka berikan.
"Untuk kelompok KKN, kalian dapat
melihatnya di GOR," kata pembawa
acara yang menandakan bahwa
pembekalan secara keseluruhan
telah berakhir dan akan berlanjut
dengan pembekalan perdaerah
sesuai dengan tempat penempatan
KKN.
Ah....akhirnya aku bisa terbebas dari
beban yang aku rasakan. Beban
tmrasa sakit dan beban menahan
canggung karena kehadran Ria.
Memang dia yang salah dan aku tak
perlu canggung, tapi tetap saja
kehadirannya benar-benar
membuatku tak nyaman.
Semua mahasiswa mulai
meninggalkan aula dan menuju GOR,
termasuk aku, RiaN dan Gina. Lagi-
lagi saat sampi GOR suasana GOR
sudah sangat penuh dengan sesak.
Disatu sisi aku mendengar sorak
bahagia dari mahasiswa yang
mendapatkan kelompok yang sama
dengan kawannya, tapi di sisi lain ada
mahasiswa yang bersedih karena
harus terpisah dengan kawannya.
Dengan penuh cemas aku mulai
mencari namaku pada setip
kelompok. Begitu sulitnya mencari
nama dalam papan pengumuman
yan dikelilingi oleh ratusan
mahasiswa. Setelah aku mencari
dengan penuh perjuangan, akhirnya
aku menemukan namaku
terpampang dengam jelas pada
sebuah kertas. Tapi tunggu.....aku
begitu shock saat melihat dibawah
namaku tertulis satu nama, RIA.
Rasanya bagai disambar petir
ditengah bolong melihat nama dia
terpampang dalam satu kelompok
denganku. Ini bukan sesuatu yang
baik, apalagi hubunganku dengannya
tidaklah sebaik dengan kawan-kawan
yang lain.
Aku tak tahu entah bagaimana
jadinya saat di posko nanti. Pada
kelompokku hanya aku dan Ria saja
yang berasal dari Fakultas Ekonomi,
hingga mau tak mau kami harus
bekerja sama.
Bekerja sama dengannya kembali
membuatku merasakan seauatu yang
sakit di dadaku. Semua berawal dari
kelompok yang sama, bekerja sama,
dan akhirnya luka yang kudapatkan.
Bukan hanya aku saja yang
mendapatkan luka itu, tapi kedua
orang tuaku juga.
Dengan langkah gontai aku pergi
menuju ke tempat pembekalan
perdaerah KKN. Banyak hal yang aku
pikirkan mengenai tempat KKN nanti,
bukan mengenai kondisinya, tapi
mengenai Ria. Aku masih belum bisa
menerima dia akan sekelompok
denganku, bekerja sama denganku.
"Di...Diona," terdengar suara Ria
memanggilku.
"Ya Ri,"
"Kamu satu kelompok dengankukan?
Nanti rencana fakuktasnya biar aku
yang buat ya?"
"Terserah,"
Aku tak ingin membantahnya, bukan
aku tak mampu tapi karena aku
memang tak ingin. Aku tak ingin
membuat luka dihatiku semakin
membesar dan menganga. Aku ingin
menjaga hatiku agar tak terluka lagi
dan tak ingin membenci dia.
Aku kembali melangkahkan kakiku
dengan Ria disampingku. Dia terus
saja berbicara hal-hal yang tidak
penting yang tak ingin aku dengarkan.
Tapi tak ada sedikit pun kata 'maaf'
dari dia.
Derap langkah terdengar begitu jelas
memenuhi setiap relung telingaku.
Bukan hanya satu atau dua orang
saja, tapi ada lima orang yang tengah
menuju suatu tempat dengan begitu
terburu-buru. Aku menoleh ke arah
mereka dan melihatnya dengan
seksama, tak ada yang aku kenali
dari mereka satu pun. Ya....aku gak
mengenal mereka karena memang
bukan temanku, bukan teman
sefakultasku. a 1
Aku menatap mereka dengan
sesakma, begitupun mereka
menatapku. Tatapan mereka lurus
dan datar karena memang kami tak
aaling mengenal. Tapi tunggu, salah
satu diantara mereka yang memiliki
tubuh paling tinggi, putih dan
rambutnya tergetai dengan indahnya
menatapku dengan pandangan yang
sangat tajam dan di matanya tersirat
permusuhan dan kebencian. Tapi apa
yang membuat dia membenci dan
memusuhiku? Aku tak mengenal dia,
aku tak merasa pernah bertemu
dengannya. Tapi kenapa, kenapa dia
terlihat seperti begitu membenciku,
apa salahku padanya?
"Jangan ngalangin jalan dong,"
bentaknya padaku.
"Maaf," kataku. Tapi dia sepertinya
tak mendengar perkataanku, dia
hanya menatapku sinis dan penuh
kebencian. Dia membalikkan
badannya dan terus berjalan serta
berlalu begitu saja dari hadapanku.
Aku menatapnya mulai menjauh
dariku. Perlahan aku memfokuskan
pandanganku padanya, ada sesuatu
yang aneh dalam diri perempuan itu.
Aura dia begitu gelap dan kelam.
Entah apa yang membuay dia
memiliki aura yang begitu gelap dan
kelam. Sepertinya hidupnya
dirundung dengan kesusahan dan
kepedihan serta, dendam.
"Hai, mau bengong saja atau masuk
ke aula?" tanya seseorang dari
belakangku. Aku menoleh ke asal
suara itu, ternyata Gina yang berada
di belakangku. Dia adalah teman satu
fakultasku hanya dia mengambil
kelas karyawan sesang aku
mengambil kelas reguler.
"Eh....ya ayo masuk," kataku.
Aku dan Gina melangkahkan kaki
bersama menuju ke aula kampusku.
Tak kusangka dan tak kuduga aku
melihat Ria didepan pintu aula. Aku
terhenti sejenak sebelum
melanjutkan langkah kakiku, rasanya
begitu berat melanhkahkan kakiku ini
dan kembaki bertemu dengan dia.
Aku seolah tak percaya jika aku akan
bertemu kembali dengan dia, teman
yang telah menusukku dari belakang.
Teman yang telah membuat hati
kedua orang tuaku begitu terluka
dengan sikapnya.
Dua tahun sudah aku tak bertemu
dengan dia sejak kejadian itu, dan
sejak dia memutuskan untuk pindah
ke kelas karyawan. Dua tahun pula
aku mencoba mengubur semua
kepediham yang aku dan orang tuaku
rasakan. Tapi sekarang, sekarang aku
harus kembali bertemu dengannya.
Kembali menatap dia dan kembali
luka yang aku rasakan terbuka
menganga dan mengeluarkan darah
yang segar.
Suara mikrofon dari dalm ruangan
membawaku kembali ke duniaku saat
ini dan mengeluarkanku dari kisah
masa lalu yang sesungguhnya ingin
aku lupakan tapi aku belum mampu
untuk melupakannya. Aku dan Gina
bergegas memasuki aula kampus
dengan terburu-buru, begitupun
dengan Ria yang mengikuti langkah
kami.
Ruangan yang begitu luas ini telah
dipenuhi oleh ribuan mahasiswa yang
akan mengikuti pembekalan KKN.
Aku mencari-cari kursi yang masih
kosong agar aku bisa duduk dan
mendengarkan pembekalan dengan
nyaman.
Tapi malang nasibku, kursi yang
tersisa hanya ada 2 saja. Tidak
mungkin jika aku dan Gina duduk
sedang Ria berdiri. Memang ada
permasalahan yang belum selesai
antara kami, tapi bagaimana pun dia
tetap teman sefakultasku. Tak
mungkin aku membiarkan dia berdiri
dan membuat temanku bertanya apa
yang telah terjadi di antara kami.
Mau tidak mau kami pun harus
berbagi agar dapat duduk bersama.
Aku melihat ke kanan dan kiri,
berharap ada yang aku kenali selain
Gina dan Ria. Tapi tidak ada yang aku
kenali sama sekali disini. Dari
fakultasku memang hanya ada
beberapa orang saja yang mengikuti
KKN pada gelombang kali ini, karena
yang lain telah KKN pada awal tahun
ajaran kemarin.
Pemateri demi pemateri
menyampaikan pembekalannya
dengan sangat jelas dan terperinci.
Tidak ada satu bagian pun yang
mereka lewatkan untuk membekali
mahasiswanya sebelum berangkat
KKN. Tapi entah kenapa rasanya aku
tak dapat memahami semuanya, aku
tak dapat fokus terhadap materi-
materi yang mereka berikan.
"Untuk kelompok KKN, kalian dapat
melihatnya di GOR," kata pembawa
acara yang menandakan bahwa
pembekalan secara keseluruhan
telah berakhir dan akan berlanjut
dengan pembekalan perdaerah
sesuai dengan tempat penempatan
KKN.
Ah....akhirnya aku bisa terbebas dari
beban yang aku rasakan. Beban
tmrasa sakit dan beban menahan
canggung karena kehadran Ria.
Memang dia yang salah dan aku tak
perlu canggung, tapi tetap saja
kehadirannya benar-benar
membuatku tak nyaman.
Semua mahasiswa mulai
meninggalkan aula dan menuju GOR,
termasuk aku, RiaN dan Gina. Lagi-
lagi saat sampi GOR suasana GOR
sudah sangat penuh dengan sesak.
Disatu sisi aku mendengar sorak
bahagia dari mahasiswa yang
mendapatkan kelompok yang sama
dengan kawannya, tapi di sisi lain ada
mahasiswa yang bersedih karena
harus terpisah dengan kawannya.
Dengan penuh cemas aku mulai
mencari namaku pada setip
kelompok. Begitu sulitnya mencari
nama dalam papan pengumuman
yan dikelilingi oleh ratusan
mahasiswa. Setelah aku mencari
dengan penuh perjuangan, akhirnya
aku menemukan namaku
terpampang dengam jelas pada
sebuah kertas. Tapi tunggu.....aku
begitu shock saat melihat dibawah
namaku tertulis satu nama, RIA.
Rasanya bagai disambar petir
ditengah bolong melihat nama dia
terpampang dalam satu kelompok
denganku. Ini bukan sesuatu yang
baik, apalagi hubunganku dengannya
tidaklah sebaik dengan kawan-kawan
yang lain.
Aku tak tahu entah bagaimana
jadinya saat di posko nanti. Pada
kelompokku hanya aku dan Ria saja
yang berasal dari Fakultas Ekonomi,
hingga mau tak mau kami harus
bekerja sama.
Bekerja sama dengannya kembali
membuatku merasakan seauatu yang
sakit di dadaku. Semua berawal dari
kelompok yang sama, bekerja sama,
dan akhirnya luka yang kudapatkan.
Bukan hanya aku saja yang
mendapatkan luka itu, tapi kedua
orang tuaku juga.
Dengan langkah gontai aku pergi
menuju ke tempat pembekalan
perdaerah KKN. Banyak hal yang aku
pikirkan mengenai tempat KKN nanti,
bukan mengenai kondisinya, tapi
mengenai Ria. Aku masih belum bisa
menerima dia akan sekelompok
denganku, bekerja sama denganku.
"Di...Diona," terdengar suara Ria
memanggilku.
"Ya Ri,"
"Kamu satu kelompok dengankukan?
Nanti rencana fakuktasnya biar aku
yang buat ya?"
"Terserah,"
Aku tak ingin membantahnya, bukan
aku tak mampu tapi karena aku
memang tak ingin. Aku tak ingin
membuat luka dihatiku semakin
membesar dan menganga. Aku ingin
menjaga hatiku agar tak terluka lagi
dan tak ingin membenci dia.
Aku kembali melangkahkan kakiku
dengan Ria disampingku. Dia terus
saja berbicara hal-hal yang tidak
penting yang tak ingin aku dengarkan.
Tapi tak ada sedikit pun kata 'maaf'
dari dia.
0