- Beranda
- Stories from the Heart
A Born Beauty (The Sequel)
...
TS
yohanaekky
A Born Beauty (The Sequel)

Bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bagi gadis yang berpenampilan tomboy ini untuk meraih segala impiannya. Pasalnya, dia adalah pejuang keras. Apapun yang ia inginkan selalu dikejarnya sampai dapat. Tidak heran, banyak prestasi yang ia raih di sepanjang perjalanan hidupnya, baik secara akademis maupun secara bakat.
Charice Patricia Lee, namanya. Jika remaja seusianya tidak pernah melepaskan gadgetdari tangannya, Charice justru seringkali melupakannya dan bahkan meninggalkannya di rumah. Hanya ada satu hal yang tak pernah ia lepaskan dari tangannya. Gitar yang sejak umur tujuh tahun dibelikan oleh Jackson, papanya.
Kecintaannya bermusik diturunkan dari kedua orang tuanya. Sejak pertama kali menyentuh gitar, tidak pernah satu hari pun ia melepaskannya. Setiap waktu senggang yang ia miliki selalu ia isi dengan bermain gitar. Bahkan ketika ia sibuk pun, sebisa mungkin ia menyediakan waktu luang setidaknya lima sampai sepuluh menit untuk sekedar memetik gitar. Itulah mengapa Charice sangat mahir memainkan gitar, bahkan melebihi pemuda yang lebih tua darinya.
Namun, kedua orang tuanya tidak lantas membiarkannya bergelut di dunia musik tanpa menyeimbangkan dengan sekolahnya. Charice dididik untuk mengerti prioritasnya dengan baik. Sekolah adalah yang utama, bakat adalah...
"Sama-sama utama." Begitulah jawab Charice ketika Ifone menanyainya mengenai prioritas yang benar untuk kesekian kalinya. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak pernah merubah pendapatnya mengenai hal ini.
Mendengarnya, Ifone hanya menggeleng-geleng heran.
"Anak papa ini memang keras kepala." Jackson yang sekilas mendengar percakapan istri dan anaknya di ruang keluarga, melewati Charice lalu mengacak-acak rambutnya.
Charice mengerucutkan bibirnya. "Siapa yang bikin coba? Bukannya papa juga gitu?" Ia tak mau kalah begitu saja.
Jackson menertawai tanggapan putrinya itu. "Bukan cuma papa yang keras kepala, tapi mamamu juga."
Lantas, sebuah bantal dilemparkan pada Jackson dari tangan Ifone, mengenai tepat di lengan kanannya.
"Nah, mulai deh. Papa sama mama nunjukin kemesraannya lagi." Brandon menyeletuk saat masuk ke dalam ruang keluarga, bergabung dengan keluarganya untuk bersenda gurau selepas belajar.
"Iya ih, papa mama." Charice ikut tidak terima. "Kak Brandon nanti jadi kepingin punya pacar lho, pa, ma. Tahu nggak sih? Dia juga udah suka sama cewek loh."
Brandon kemudian mencubit pelan pipi adiknya. "Apaan sih, dek?"
Yang dicubit pun mengerang lalu memukul lengan kakaknya hingga dengan cepat Brandon melepaskannya.
"Tapi kan aku udah dua puluh tahun. Udah boleh pacaran, ya kan, pa, ma?" Brandon meminta persetujuan yang kemudian ditanggapi dengan anggukan oleh kedua orang tuanya. "Cuma aku emang mau fokus sama sekolah sambil kerja-kerja dikit. Biar kalo nanti waktunya punya calon istri tuh udah siap segala materi yang diperluin. Kaya papa dulu. Ya nggak, pa?"
"Cakep," Jakcson yang kini sudah duduk menyebelahi istrinya itu mengacungkan jempol.
Charice mengangkat sebelah alisnya. "So what? Emangnya aku buru-buru mau punya pacar apa?" Ia memprotes ucapan kakaknya yang seakan sedang menyindirnya.
"Nah itu sih masalahnya. Kamu tuh terlalu cuek tahu nggak jadi cewek? Tar cowok-cowok pada pergi ninggalin kamu karena takut loh. Kamu udah kelas dua belas juga. Berubah dong." Brandon mengomentari balik. Ia menggerak-gerakkan kedua alisnya kepada papa mamanya seakan sedang saling berkomunikasi dalam pikiran.
Charice menunjukkan ekspresi khas-nya; ditariknya lidahnya keluar dan bibirnya membentuk persegi. "Apaan sih kak? 'Serah lah mau bilang apa."
"Udah, udah." Ifone menengahi sebelum suasana berubah menjadi tidak enak. Pasalnya kedua anaknya itu pernah bertikai hanya karena hal yang sepele. "Gimana kalo kita nge-jam sekarang?"
"Ayo." Brandon dan Charice menyahut bersamaan.
Momen bermain musik dan bernyanyi bersama adalah hal yang paling keluarga ini sukai. Terlebih karena ini hari Jumat dimana Charice dan Brandon sama-sama terbebas dari tugas sekolah atau kuliah.
Segera masing-masing mengambil bagian mereka. Jackson dengan bass, Ifone dengan piano, Brandon dengan drum dan Charice dengan gitar. Sama-sama memiliki suara yang bagus, mereka bernyanyi ria sampai larut malam.
~ ABB2
Hai! Sekuel dari A Born Beauty akhirnya hadir buat kamu yang udah setia baca buku pertamanya. Belum baca yang pertama? Baca disini 》A Born Beauty (Berkat atau Kutukan)
Kali ini karakter yang sempat disebut di ending cerita buku pertama jadi pemeran utamanya disini. Penasaran sama ceritanya? Ikutin terus ya. Jangan lupa komen ya! Thanks a lot!
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh yohanaekky 30-08-2018 08:00
anasabila memberi reputasi
1
4.8K
36
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yohanaekky
#24
A Born Beauty (The Sequel) - Chapter 4
"Yang bener nih?" Begitulah respon Mila ketika mendengar penjelasan mengapa band-nya ditunjuk untuk tampil di Pensi sekolah Charice dan Angga. Pasalnya ia selalu ingin untuk tampil secara live di depan banyak orang.
Charice mengangguk.
"Terus mau bawain lagu apa?" Jerry langsung menembak pada intinya karena ia pun turut merasa antusias.
"Gimana kalo kita bawain mashup gitu?" Angga mengusulkan.
Charice menjentikkan jari. "Sama. Aku juga kepikiran gitu," ia menyetujui. "Ada ide mau lagu apa aja?"
Angga mengambil gitar lalu mulai memetiknya. "It's been a long way, without you, my friend, and I'll tell you all about it when I see you again."
"So love me like you do, la-la-love me like you do, Love me like you do, la-la-love me like you do, Touch me like you do, ta-ta-touch me like you do, What are you waiting for?" Charice menyahut dan Angga mengikuti alur iramanya dengan permainan gitarnya.
"I'm only one call away, I'll be there to save the day, Superman got nothing on me, I'm only one call away." James ganti menyahut dan mengakhiri mashup mereka.
Mila bertepuk tangan riang mendengar secuplik mashup yang baru saja diperdengarkan. "Keren banget!" soraknya.
"Kalo gitu, coba kita sambil susun lagi supaya lebih rapi." Charice mengambil selembar kertas dan bolpen kemudian mencatat lirik lagu-lagu yang akan mereka tampilkan.
Beberapa menit setelahnya, mereka mulai latihan. Charice pada gitar dan vokal, Mila pada keyboard, Angga pada bass, Jerry pada biola, dan James pada saxophone.
Satu jam berlalu dan mereka menyelesaikan latihan hari ini. Charice bergegas untuk pulang karena tidak ingin terhalang oleh macet. Ia berpamitan dengan teman-temannya lalu pergi.
Jalanan yang macet memang satu yang sepele yang mampu membuat semua orang menjadi gusar. Charice paling tidak suka mengulang sesuatu yang tidak dia suka. Ia adalah orang yang cukup konsisten dalam hal ini.
Namun naasnya, belum jauh ia pergi dari basecamp band-nya, Charice merasakan ada sesuatu yang janggal dengan mobilnya. Laju menjadi sedikit lebih lambat dan ia merasa mobilnya menjadi lebih miring ke kanan. Dihentikannya mobilnya lalu memeriksa apa yang terjadi.
Tampaklah ban mobil belakangnya kempes. Charice cukup bingung karena sejauh yang ia tahu tidak ada bengkel di jalanan ini. Untuk memastikannya, ia bertanya pada warga sekitar dan menemukan bahwa keyakinannya benar. Tidak ingin terlalu lama berada disitu, ia pun segera mencari layanan online yang menyediakan jasa perbaikan mobil.
"Duh, kenapa ini aplikasi error melulu sih?" Charice menggaruk-garuk kepalanya yang sudah gatal akibat keringat dan polusi yang diakibatkan oleh kendaraan yang sedari tadi melewatinya.
Ia hampir putus asa, tetapi yang namanya Charice tidak mengenal kata menyerah. Ia menelepon Brandon untuk datang membantunya. Semenit, dua menit, Brandon tidak menjawab panggilannya.
"Ih, kakak nih kemana sih." Charice menggerutu. "Kalo mau telpon papa sama mama takutnya mereka kuatir. Terus kalo udah kuatir bisa panjang urusannya. Duh, gimana nih?"
Din!
Sebuah klakson pelan terdengar. Mobil Nissan Juke putih berhenti di dekatnya. Charice merasa tidak mengenal mobil itu sampai pemiliknya keluar dari dalamnya.
"Charice, kenapa mobilnya?" James bertanya sambil berjalan mendekatinya.
Charice menghapus keringatnya. "Ini ban belakang kempes." Ia menunjuk pada yang dimaksudnya.
"Belum dapet bengkel ya?"
Charice mengangguk mengiyakan.
"Gini aja. Aku teleponin bengkel langganan Jerry, nanti biar ada orang dari bengkel yang ambil mobilmu ini terus diperbaiki. Layanannya cepet kok. Kemarin mobilku juga ada masalah terus bengkel ini yang bantu." James menawarkan.
Charice tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran bantuan itu. "Makasih ya. Maaf ngerepotin."
James tersenyum. "Enggak masalah kok." Ia kemudian menelepon bengkel itu dan memberitahukan keberadaannya. "Katanya lima belas menit lagi sampai."
"Oh oke. Nggak papa. Makasih banyak," ucap Charice lega dan merasa beruntung bisa bertemu dengan James. Disandarkannya tubuhnya pada mobilnya.
James melakukan hal yang sama di sebelah Charice. "Aku sama Brandon pernah kenal dulu." Ia memulai topik yang tiba-tiba saja membuat Charice memasang telinga. "Ada satu camp yang dua tahun lalu dia ikuti di kampusku di UK."
"Ah, ya." Charice ingat ketika kakaknya meninggalkan Indonesia selama enam bulan karena mengikuti pertukaran pelajar.
"Dia dulu tinggal di rumahku. Jadi kami bener-bener deket. Ya, udah kaya saudara sendiri." Jerry menerawang ke atas. "Sampai suatu kali ada kesalahpahaman terjadi. Sampai sekarang aku belum bisa jelasin ke dia soalnya dia selalu tutup akses antara aku sama dia. Seolah Brandon beneran enggak mau ngomong sama aku lagi."
Charice kini memahami mengapa di malam pertunangan Ricardo sikap Brandon tampak benar-benar berbeda ketika James bergabung di meja keluarganya. "Kesalahpahaman apa?" tanya Charice penasaran.
James tersenyum. "Maaf, kalau dalam hal ini aku enggak bisa ceritain. Mungkin lebih baik Brandon sendiri yang cerita."
"Malam kalian ketemu itu aku udah bikin dia janji untuk cerita sih. Tapi ya enggak tahu. Dia bilang kalo udah waktunya baru mau cerita." Charice berkomentar. Ia memang penasaran, tetapi dalam kasus tertentu ia bisa menunggu dan tidak gegabah.
"Oh ya. Kamu sama Brandon berapa tahun jaraknya?" James mengalihkan pembicaraan.
"Aku tujuh belas. Dia tahun ini dua puluh." Charice menjawab secara tidak langsung, seakan membuat lawan bicaranya berpikir sendiri.
James mengangguk. "Kita cuma beda setahun ya," komentarnya.
"Iya, aku juga tahu. Secara kamu kembarannya Jerry." Charice terkikik pelan. "Jerry kan juga tua setahun, tapi karena pernah nggak sekolah satu tahun jadi dia masih kelas dua belas sama kaya aku, Angga sama Mila."
James tersenyum. "Aku denger kejadian itu. Jerry enggak sekolah satu tahun bukan karena dia enggak naik kelas. Waktu itu kehidupan ekonomi mama lagi enggak baik. Jadi enggak bisa bayar uang sekolah. Waktu itu papa sama mama lagi bertengkar hebat, jadi papa enggak kirim uang untuk bantuin bayar uang sekolah. Padahal aku udah coba desak papa."
"Sorry to hear that," ucap Charice iba. Ia tidak tahu bagaimana jadinya jika ia yang mengalaminya. "James,"
"Ya?"
"Dulu mamaku juga kaya kamu sama Jerry," Charice teringat kisah yang beberapa kali diceritakan oleh mamanya saat memiliki waktu senggang bersama.
"Oh ya?" James terdengar tertarik dengan ucapan Charice.
Charice mengangguk. "Kakek nenekku nggak pernah peduliin mamaku. Udah cerai juga. Tapi yah, mamaku bisanya cuma doa. Memang makan waktu yang lama banget, terus prosesnya juga menyakitkan. Tapi akhirnya, mereka nikah lagi." Ia tersenyum mengingat kisah mamanya yang berakhir bahagia. Baginya kisah itu lebih baik daripada kisah Cinderella atau Putri Tidur.
"Pasti mamamu bahagia banget." James kembali menerawang. "Kalo aku sih enggak tahu apa orang tuaku mau bersatu lagi. Soalnya masing-masing punya karakter keras."
Charice kemudian berdiri tegak, tidak lagi bersandar pada mobil, dan tubuhnya menghadap James.
James menaikkan kedua alisnya. "Kenapa kamu liatin aku gitu?" tanyanya heran.
"Nggak ada yang mustahil, James." Charice mengucapkannya dengan begitu serius. Diletakkannya telapak tangan kanannya di bahu kiri James. "Kamu enggak boleh pesimis lagi. Oke?"
James tersenyum melihat Charice dengan ucapan motivasinya itu. "Makasih ya."
Merasa kesal karena James tampak tidak meyakini ucapannya, Charice langsung menarik tangannya dari bahu pemuda yang ada di depannya itu. Ia kembali bersandar pada mobil. "Have faith."
"Susah."
"Enggak."
"Susah banget. Aku juga udah bertahun-tahun punya keyakinan kuat tapi enggak berhasil juga." James menjelaskan, mencoba meyakinkan Charice bahwa usahanya sia-sia saja.
"Ya jangan menyerah." Charice juga tidak mau kalah dari James. Ia merasa yakin bahwa bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dua orang yang sudah berpisah untuk bersatu lagi. "Sekarang aku mau tanya. Papamu udah menikah belum? Kalo mama kamu, yang aku tahu, belum menikah lagi.
"Belum."
"Nah," Charice kembali lagi menghadapkan tubuhnya pada James. "Itu tandanya masih ada harapan."
"Tapi papaku udah punya pacar."
"Berapa lama pacaran?"
"Baru-baru ini."
"Nah, ya kan. Aku yakin papamu masih cinta sama mamamu." Charice menyimpulkan dengan penuh keyakinan. "Belum waktunya untuk menyerah, James. Kamu harus optimis. Ya? Ya?"
James mengacak-acak rambut Charice. "Ternyata emang bener ya kamu bawel," ucapnya.
Charice mengerucutkan wajahnya. "Siapa yang bilang?"
"Aku inget Brandon sering cerita tentang kamu dulu. Dia bilang kalo dia punya adik yang bawel banget. Tapi dia sayang sama adiknya." James kembali mengingat perkataan Brandon saat masih tinggal dengannya di UK.
Charice tersenyum bangga. "Iya dong. Siapa yang nggak sayang sama Charice?"
"Iya, iya." James tersenyum. "Eh, itu orang bengkelnya." Ia menunjuk pada sebuah mobil bertuliskan 'Bengkel Jaya Abadi 24/7' yang berhenti di dekat mobil Charice.
Dua orang pun keluar dari dalam mobil itu dan salah satunya berkata, "Kami akan coba dulu cek ya kondisinya."
Charice mempersilakan petugas dari bengkel itu. Hanya satu menit petugas yang memeriksa kondisi roda mobil Charice memberikan sebuah laporan.
"Maaf. Ini harus dibawa ke bengkel. Lubangnya terlalu besar. Takutnya juga harus ganti roda," ucap bapak itu.
"Kok bisa, pak?" Charice yang merasa tidak pernah melewati jalanan yang buruk menanyakan alasannya.
"Saya kurang tahu pasti sampai rodanya dibuka." Bapak itu memberitahu.
"Yah, terus?" tanpa sadar Charice bertanya seolah kepada petugas itu untuk memberinya sebuah solusi.
"Gini aja. Mobil kamu dibawa ke bengkel aja. Aku anter kamu pulang ke rumah. Kalo sudah selesai dibetulin, nanti layanan bengkel bisa bantu anterin ke rumah kamu. Iya kan, pak?"
Bapak itu mengangguk. "Gitu aja, non. Ini juga sudah gelap kan." Ia mendukung ucapan James.
Ini adalah satu-satunya pilihan. Charice langsung menyetujuinya.
Mobil Charice pun kemudian ditarik masuk ke mobil derek, kemudian petugas itu membawanya pergi untuk diperbaiki. Sementara itu, James mengantarkan Charice pulang ke rumahnya.
~ ABB2
Entah masih ada yang baca apa enggak, tapi saya update nih. Sedih juga kalo ternyata nggak ada yang baca. huhu. Semoga tetap ada yang baca. :/
Charice mengangguk.
"Terus mau bawain lagu apa?" Jerry langsung menembak pada intinya karena ia pun turut merasa antusias.
"Gimana kalo kita bawain mashup gitu?" Angga mengusulkan.
Charice menjentikkan jari. "Sama. Aku juga kepikiran gitu," ia menyetujui. "Ada ide mau lagu apa aja?"
Angga mengambil gitar lalu mulai memetiknya. "It's been a long way, without you, my friend, and I'll tell you all about it when I see you again."
"So love me like you do, la-la-love me like you do, Love me like you do, la-la-love me like you do, Touch me like you do, ta-ta-touch me like you do, What are you waiting for?" Charice menyahut dan Angga mengikuti alur iramanya dengan permainan gitarnya.
"I'm only one call away, I'll be there to save the day, Superman got nothing on me, I'm only one call away." James ganti menyahut dan mengakhiri mashup mereka.
Mila bertepuk tangan riang mendengar secuplik mashup yang baru saja diperdengarkan. "Keren banget!" soraknya.
"Kalo gitu, coba kita sambil susun lagi supaya lebih rapi." Charice mengambil selembar kertas dan bolpen kemudian mencatat lirik lagu-lagu yang akan mereka tampilkan.
Beberapa menit setelahnya, mereka mulai latihan. Charice pada gitar dan vokal, Mila pada keyboard, Angga pada bass, Jerry pada biola, dan James pada saxophone.
Satu jam berlalu dan mereka menyelesaikan latihan hari ini. Charice bergegas untuk pulang karena tidak ingin terhalang oleh macet. Ia berpamitan dengan teman-temannya lalu pergi.
Jalanan yang macet memang satu yang sepele yang mampu membuat semua orang menjadi gusar. Charice paling tidak suka mengulang sesuatu yang tidak dia suka. Ia adalah orang yang cukup konsisten dalam hal ini.
Namun naasnya, belum jauh ia pergi dari basecamp band-nya, Charice merasakan ada sesuatu yang janggal dengan mobilnya. Laju menjadi sedikit lebih lambat dan ia merasa mobilnya menjadi lebih miring ke kanan. Dihentikannya mobilnya lalu memeriksa apa yang terjadi.
Tampaklah ban mobil belakangnya kempes. Charice cukup bingung karena sejauh yang ia tahu tidak ada bengkel di jalanan ini. Untuk memastikannya, ia bertanya pada warga sekitar dan menemukan bahwa keyakinannya benar. Tidak ingin terlalu lama berada disitu, ia pun segera mencari layanan online yang menyediakan jasa perbaikan mobil.
"Duh, kenapa ini aplikasi error melulu sih?" Charice menggaruk-garuk kepalanya yang sudah gatal akibat keringat dan polusi yang diakibatkan oleh kendaraan yang sedari tadi melewatinya.
Ia hampir putus asa, tetapi yang namanya Charice tidak mengenal kata menyerah. Ia menelepon Brandon untuk datang membantunya. Semenit, dua menit, Brandon tidak menjawab panggilannya.
"Ih, kakak nih kemana sih." Charice menggerutu. "Kalo mau telpon papa sama mama takutnya mereka kuatir. Terus kalo udah kuatir bisa panjang urusannya. Duh, gimana nih?"
Din!
Sebuah klakson pelan terdengar. Mobil Nissan Juke putih berhenti di dekatnya. Charice merasa tidak mengenal mobil itu sampai pemiliknya keluar dari dalamnya.
"Charice, kenapa mobilnya?" James bertanya sambil berjalan mendekatinya.
Charice menghapus keringatnya. "Ini ban belakang kempes." Ia menunjuk pada yang dimaksudnya.
"Belum dapet bengkel ya?"
Charice mengangguk mengiyakan.
"Gini aja. Aku teleponin bengkel langganan Jerry, nanti biar ada orang dari bengkel yang ambil mobilmu ini terus diperbaiki. Layanannya cepet kok. Kemarin mobilku juga ada masalah terus bengkel ini yang bantu." James menawarkan.
Charice tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran bantuan itu. "Makasih ya. Maaf ngerepotin."
James tersenyum. "Enggak masalah kok." Ia kemudian menelepon bengkel itu dan memberitahukan keberadaannya. "Katanya lima belas menit lagi sampai."
"Oh oke. Nggak papa. Makasih banyak," ucap Charice lega dan merasa beruntung bisa bertemu dengan James. Disandarkannya tubuhnya pada mobilnya.
James melakukan hal yang sama di sebelah Charice. "Aku sama Brandon pernah kenal dulu." Ia memulai topik yang tiba-tiba saja membuat Charice memasang telinga. "Ada satu camp yang dua tahun lalu dia ikuti di kampusku di UK."
"Ah, ya." Charice ingat ketika kakaknya meninggalkan Indonesia selama enam bulan karena mengikuti pertukaran pelajar.
"Dia dulu tinggal di rumahku. Jadi kami bener-bener deket. Ya, udah kaya saudara sendiri." Jerry menerawang ke atas. "Sampai suatu kali ada kesalahpahaman terjadi. Sampai sekarang aku belum bisa jelasin ke dia soalnya dia selalu tutup akses antara aku sama dia. Seolah Brandon beneran enggak mau ngomong sama aku lagi."
Charice kini memahami mengapa di malam pertunangan Ricardo sikap Brandon tampak benar-benar berbeda ketika James bergabung di meja keluarganya. "Kesalahpahaman apa?" tanya Charice penasaran.
James tersenyum. "Maaf, kalau dalam hal ini aku enggak bisa ceritain. Mungkin lebih baik Brandon sendiri yang cerita."
"Malam kalian ketemu itu aku udah bikin dia janji untuk cerita sih. Tapi ya enggak tahu. Dia bilang kalo udah waktunya baru mau cerita." Charice berkomentar. Ia memang penasaran, tetapi dalam kasus tertentu ia bisa menunggu dan tidak gegabah.
"Oh ya. Kamu sama Brandon berapa tahun jaraknya?" James mengalihkan pembicaraan.
"Aku tujuh belas. Dia tahun ini dua puluh." Charice menjawab secara tidak langsung, seakan membuat lawan bicaranya berpikir sendiri.
James mengangguk. "Kita cuma beda setahun ya," komentarnya.
"Iya, aku juga tahu. Secara kamu kembarannya Jerry." Charice terkikik pelan. "Jerry kan juga tua setahun, tapi karena pernah nggak sekolah satu tahun jadi dia masih kelas dua belas sama kaya aku, Angga sama Mila."
James tersenyum. "Aku denger kejadian itu. Jerry enggak sekolah satu tahun bukan karena dia enggak naik kelas. Waktu itu kehidupan ekonomi mama lagi enggak baik. Jadi enggak bisa bayar uang sekolah. Waktu itu papa sama mama lagi bertengkar hebat, jadi papa enggak kirim uang untuk bantuin bayar uang sekolah. Padahal aku udah coba desak papa."
"Sorry to hear that," ucap Charice iba. Ia tidak tahu bagaimana jadinya jika ia yang mengalaminya. "James,"
"Ya?"
"Dulu mamaku juga kaya kamu sama Jerry," Charice teringat kisah yang beberapa kali diceritakan oleh mamanya saat memiliki waktu senggang bersama.
"Oh ya?" James terdengar tertarik dengan ucapan Charice.
Charice mengangguk. "Kakek nenekku nggak pernah peduliin mamaku. Udah cerai juga. Tapi yah, mamaku bisanya cuma doa. Memang makan waktu yang lama banget, terus prosesnya juga menyakitkan. Tapi akhirnya, mereka nikah lagi." Ia tersenyum mengingat kisah mamanya yang berakhir bahagia. Baginya kisah itu lebih baik daripada kisah Cinderella atau Putri Tidur.
"Pasti mamamu bahagia banget." James kembali menerawang. "Kalo aku sih enggak tahu apa orang tuaku mau bersatu lagi. Soalnya masing-masing punya karakter keras."
Charice kemudian berdiri tegak, tidak lagi bersandar pada mobil, dan tubuhnya menghadap James.
James menaikkan kedua alisnya. "Kenapa kamu liatin aku gitu?" tanyanya heran.
"Nggak ada yang mustahil, James." Charice mengucapkannya dengan begitu serius. Diletakkannya telapak tangan kanannya di bahu kiri James. "Kamu enggak boleh pesimis lagi. Oke?"
James tersenyum melihat Charice dengan ucapan motivasinya itu. "Makasih ya."
Merasa kesal karena James tampak tidak meyakini ucapannya, Charice langsung menarik tangannya dari bahu pemuda yang ada di depannya itu. Ia kembali bersandar pada mobil. "Have faith."
"Susah."
"Enggak."
"Susah banget. Aku juga udah bertahun-tahun punya keyakinan kuat tapi enggak berhasil juga." James menjelaskan, mencoba meyakinkan Charice bahwa usahanya sia-sia saja.
"Ya jangan menyerah." Charice juga tidak mau kalah dari James. Ia merasa yakin bahwa bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dua orang yang sudah berpisah untuk bersatu lagi. "Sekarang aku mau tanya. Papamu udah menikah belum? Kalo mama kamu, yang aku tahu, belum menikah lagi.
"Belum."
"Nah," Charice kembali lagi menghadapkan tubuhnya pada James. "Itu tandanya masih ada harapan."
"Tapi papaku udah punya pacar."
"Berapa lama pacaran?"
"Baru-baru ini."
"Nah, ya kan. Aku yakin papamu masih cinta sama mamamu." Charice menyimpulkan dengan penuh keyakinan. "Belum waktunya untuk menyerah, James. Kamu harus optimis. Ya? Ya?"
James mengacak-acak rambut Charice. "Ternyata emang bener ya kamu bawel," ucapnya.
Charice mengerucutkan wajahnya. "Siapa yang bilang?"
"Aku inget Brandon sering cerita tentang kamu dulu. Dia bilang kalo dia punya adik yang bawel banget. Tapi dia sayang sama adiknya." James kembali mengingat perkataan Brandon saat masih tinggal dengannya di UK.
Charice tersenyum bangga. "Iya dong. Siapa yang nggak sayang sama Charice?"
"Iya, iya." James tersenyum. "Eh, itu orang bengkelnya." Ia menunjuk pada sebuah mobil bertuliskan 'Bengkel Jaya Abadi 24/7' yang berhenti di dekat mobil Charice.
Dua orang pun keluar dari dalam mobil itu dan salah satunya berkata, "Kami akan coba dulu cek ya kondisinya."
Charice mempersilakan petugas dari bengkel itu. Hanya satu menit petugas yang memeriksa kondisi roda mobil Charice memberikan sebuah laporan.
"Maaf. Ini harus dibawa ke bengkel. Lubangnya terlalu besar. Takutnya juga harus ganti roda," ucap bapak itu.
"Kok bisa, pak?" Charice yang merasa tidak pernah melewati jalanan yang buruk menanyakan alasannya.
"Saya kurang tahu pasti sampai rodanya dibuka." Bapak itu memberitahu.
"Yah, terus?" tanpa sadar Charice bertanya seolah kepada petugas itu untuk memberinya sebuah solusi.
"Gini aja. Mobil kamu dibawa ke bengkel aja. Aku anter kamu pulang ke rumah. Kalo sudah selesai dibetulin, nanti layanan bengkel bisa bantu anterin ke rumah kamu. Iya kan, pak?"
Bapak itu mengangguk. "Gitu aja, non. Ini juga sudah gelap kan." Ia mendukung ucapan James.
Ini adalah satu-satunya pilihan. Charice langsung menyetujuinya.
Mobil Charice pun kemudian ditarik masuk ke mobil derek, kemudian petugas itu membawanya pergi untuk diperbaiki. Sementara itu, James mengantarkan Charice pulang ke rumahnya.
~ ABB2
Entah masih ada yang baca apa enggak, tapi saya update nih. Sedih juga kalo ternyata nggak ada yang baca. huhu. Semoga tetap ada yang baca. :/
0