PART 29

Ada enggak sih presiden yang kelepesan ngomong kalo bakal jadi presiden padahal enggak ngerti apa-apa? Atau mungkin gubernur apa bupat deh, ada enggak sih?

Gue googling sana-sini mencari pembenaran atas kelepasan gue malam itu. Bego? Iya, gue akuin kalo gue bego karena enggak berpikir panjang. Itu jelas-jelas kesalahan yang seharusnya enggak gue lakuin.

Kalo emang enggak ada pemimpin di negri ini yang beneran jadi pemimpin gara-gara kelepasan, sebaiknya gue menyerah sebelum berperang. Atau sebaliknya, nekat maju dan kalo terpilih segera mendaftarkan ke rekor muri. Orang pertama yang tercatat sebagai pemimpin karena keceplosan, kayaknya keren juga.

Enggak! Pemikiran bodoh macam apa yang sudah gue lakukan!

Gawat, ini bener-bener gawat. Gue enggak pernah belajar dari pengalaman, harusnya gue bisa lebih berhati-hati dalam berbicara, keceplosan ini membunuhku.

Malam itu, setelah gue keceplosan. Disti enggak henti-hentinya memuji dengan kata 'keren.'

Sewaktu gue memanggil waitress, "Kakak beneran mau daftar jadi ketua LEM? Wih..., keren!"

Sewaktu gue meminum minuman gue, "Aku enggak nyangka, kakak keren banget!"

Bahkan ketika gue keluar dari toilet, "Kakak keren! Calon ketua LEM!"

Oke, itu berlebihan. Tapi intinya bukan itu, intinya adalah Disti makin terkesima dan excited setiap kali dia bahas kalo gue bakal nyalon ketua LEM.

Gue tersanjung? Iya. Jelas aja gue tersanjung, cewek yang gue suka muji, mana gue tahan. Pake kacamata hitam yang entah dateng darimana, naik ke atas meja, joget gangnam.

Enggak! Gue enggak freak kayak gitu! Setidaknya bukan kayak gitu. Gue cuma duduk di konter kasir, pake kacamata hitam, sambil joget harlem shake.

Enggak! Itu masih terbilang freak, bahkan lebih freak dari gangnam di atas meja! Gue cuma ketawa sambil garuk-garuk kepala tiap kali Disti muji gue, tiap kali.

"Kakak keren—"
"Hehehehe...," sambil garuk kepala pake garpu makan.

"Kakak ker—"
"Hehehehe...," sambil garuk pake piso makan.

"Kakak... Kak! Itu bahaya!"
"Hehehehe...," sambil garuk kepala pake kuku Wolverine.

Sementara Wolverine di sebelah gue ngeliatin kiri-kanan sambil berkata, "Where is Deadpool?! Where is Deadpool?!"

Oke, itu serem, tapi paling enggak kayak gitu, paling enggak pesan gue tersampaikan.

Gimana sama keadaan ngedate gue sama Disti? Yah... begitulah, bisa dibilang gagal, bisa dibilang berhasil juga. Dibilang gagal karena gue jadi kebiasa bohong sama dia, sementara kabar baiknya, gue jadi bisa melupakan hari-hari sial dalam pikiran gue.

"Makasih ya, Dis."
Disti menggeleng, "Enggak, kok. Justru Disti yang terima kasih sama kakak karena udah ajak Disti jalan."
"Sama-sama kalo gitu," kata gue. "Kan kamu yang bayarin martabaknya gara-gara dompetku ketinggalan."
"Iya, gapapa."
"Yaudah, aku pamit dulu, ya?"
"Iya, Kak. Ngomong-ngomong...." Disti berjinjit dan mengecup pipi gue, "Kakak keren banget malam ini."
"Hehehehe...," gue cuma bisa ketawa kecil sambil garuk-garuk kepala.
"WHERE IS DEADPOOOOOLL...?!"