- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 2: Challenge Accepted
...
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted
Cover By: adriansatrio
Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+
Spoiler for QandA:
"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-
-Calon wakil ketua LEM-
Explanation
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 17:22
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
375.4K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#621
PART 24
Gara-gara pak Bustono, riwayat presensi perkuliahan gue terganggu. Gara-gara pak Bustono juga, gue hampir enggak bisa ikut ujian hukum pidana. Dan gara-gara pak Bustono juga, gue enggak bisa ikut ujian hukum pembiayaan.
Tapi, berkat pak Bustono gue jadi tau nama rival di sebelah gue. Berkat pak Bustono juga gue jadi tau kalo rival gue setahun di atas gue. Dan berkat pak Bustono juga, gue jadi tau siapa rival gue ini sebenarnya.
Well, setiap keburukan pasti ada aja kebaikan, prinsip Yin Yang masih gue pegang teguh.
Namanya Firman, anak angkatan dua ribu dua belas, calon kapten tim basket fakultas. Badan gede, tegap, dan ototnya kemana-mana. Dibalik penampilan dan isu-isu keren tentang dia, ternyata dia cengeng.
Lo bisa bayangin, badan Agung Hercules dengan kepribadian Limbad, serem enggak tuh? Lo ngeyel dikit bisa dimakan sama dia, kurang serem gimana lagi? Tapi kalo udah ngomongin masa depan, mukanya mandadak suram.
Beneran, meski serem, dia itu cengeng. Dia phobia sama masa depan dia sendiri. Keluar dari ruangan pak Bustono, dia nangis.
"L-lo kenapa? Kok nangis?"
Sambil menyeka air mata, dia menatap gue, "Gue enggak bisa ikut ujian."
"Y-yaudah dong, kan bisa diulang."
"Diulang?"
"Iya, lo kan juga denger kalo gue enggak bisa ikut ujian hukum pembiayaan. Gue yang ngulang juga aja tetep santai, masa lo jadi kayak gini."
Dia menatap gue tajam, "Lo bandingin gue sama lo? Lo enak cuma ngulang satu mata kuliah! Nah gue?! Gue delapan mata kuliah ngulang semua!"
"S-santai dong—"
"Lo bayangin! Berapa tahun lagi gue bakal kelar?!" Mata orang itu mengarah ke atas, "Jadi veteran diantara newbie! Jiwa gue enggak kuat!"
"G-gue kayaknya harus ke toilet, deh."
"Lo bayangin! Kalo gue enggak ngerti sama materinya, masa iya gue harus nanya sama angkatan bawah?!" Matanya masih menatap langit, " 'Dek, kasih tau abang materi hukum pythagoras.' "
"I-iya udah, Bro—"
"Firman! Nama gue Firman."
"Y-yaudah nih, bro Firman. Lo bayangin sendiri aja kali, ya? Siapa tau dapet pencerahan, gue mau ke toilet dulu."
"Mau gue temenin?"
"Eng-enggak! Gue mandiri, gue bisa sendiri, resleting gue gampang kok bukanya."
Begitu Firman meleng, gue langsung cabut.
Gila aja, ternyata rival gue buat dapetin Disti freak banget. Jujur, pertamanya gue takjub bin kagum sama dia. Fisik oke, gosip tentang dia juga oke punya. Eh... tapi waktu dalam kondisi tertekan, sifat aslinya yang freak keluar.
Ngulang mata kuliah sampe delapan biji, itu mah sama aja ngulang satu semester. Maksimal ambil mata kuliah per semester itu dua belas, itu pun kalo pinter. Kalo sengklek ya paling maksimal sepuluh, itu pun kalo sengkleknya masih normal, nah... kalo dia?
Kalo dirata-rata, tingkat keberhasilan dia bertahan hidup satu semester itu cuma dua banding sepuluh, dua puluh persen. Itu juga kalo dua mata kuliah yang bisa ikut ujian itu nilainya bagus, nah kalo enggak? Bisa ngulang satu semester beneran.
Baru gue bayangin masa depan si Firman, ada BBM masuk ke hape gue.
'Wi, gue titip absen, yak!' Peppy.
'Tugas pengantar hukum internasional udah aku kerjain, kamu tinggal masuk, tenang aja!' by Grace.
'Kakak dimana? Aku udah selesai kuliah, nih!' by Disti.
Enggak kaget, Peppy mah sebelas dua belas sama Firman, masa depannya masih meragukan. Beda lagi sama Grace, enggak gue minta buat bikinin tugas aja udah dibikinin, masa depannya secerah jidat Ultraman.
Tapi heran juga kalo ngomongin mereka berdua. Dua orang yang bertolak belakang kayak gini kenapa bisa pacaran coba? Kalo dilogika kan enggak bakalan nyambung. Yang satu males, yang satu kebelet rajin, mana bisa sejalan. Apa ini yang disebut saling melengkapi? Entahlah, terkadang cinta memang enggak mengenal logika.
'Ruang C lantai tiga, aku ada kuliah pengantar hukum internasional,' balas gue ke Disti.
'Aku ikut boleh?'
'Ikut aja, sini, ada Grace juga.'
Gara-gara pak Bustono, riwayat presensi perkuliahan gue terganggu. Gara-gara pak Bustono juga, gue hampir enggak bisa ikut ujian hukum pidana. Dan gara-gara pak Bustono juga, gue enggak bisa ikut ujian hukum pembiayaan.
Tapi, berkat pak Bustono gue jadi tau nama rival di sebelah gue. Berkat pak Bustono juga gue jadi tau kalo rival gue setahun di atas gue. Dan berkat pak Bustono juga, gue jadi tau siapa rival gue ini sebenarnya.
Well, setiap keburukan pasti ada aja kebaikan, prinsip Yin Yang masih gue pegang teguh.
Namanya Firman, anak angkatan dua ribu dua belas, calon kapten tim basket fakultas. Badan gede, tegap, dan ototnya kemana-mana. Dibalik penampilan dan isu-isu keren tentang dia, ternyata dia cengeng.
Lo bisa bayangin, badan Agung Hercules dengan kepribadian Limbad, serem enggak tuh? Lo ngeyel dikit bisa dimakan sama dia, kurang serem gimana lagi? Tapi kalo udah ngomongin masa depan, mukanya mandadak suram.
Beneran, meski serem, dia itu cengeng. Dia phobia sama masa depan dia sendiri. Keluar dari ruangan pak Bustono, dia nangis.
"L-lo kenapa? Kok nangis?"
Sambil menyeka air mata, dia menatap gue, "Gue enggak bisa ikut ujian."
"Y-yaudah dong, kan bisa diulang."
"Diulang?"
"Iya, lo kan juga denger kalo gue enggak bisa ikut ujian hukum pembiayaan. Gue yang ngulang juga aja tetep santai, masa lo jadi kayak gini."
Dia menatap gue tajam, "Lo bandingin gue sama lo? Lo enak cuma ngulang satu mata kuliah! Nah gue?! Gue delapan mata kuliah ngulang semua!"
"S-santai dong—"
"Lo bayangin! Berapa tahun lagi gue bakal kelar?!" Mata orang itu mengarah ke atas, "Jadi veteran diantara newbie! Jiwa gue enggak kuat!"
"G-gue kayaknya harus ke toilet, deh."
"Lo bayangin! Kalo gue enggak ngerti sama materinya, masa iya gue harus nanya sama angkatan bawah?!" Matanya masih menatap langit, " 'Dek, kasih tau abang materi hukum pythagoras.' "
"I-iya udah, Bro—"
"Firman! Nama gue Firman."
"Y-yaudah nih, bro Firman. Lo bayangin sendiri aja kali, ya? Siapa tau dapet pencerahan, gue mau ke toilet dulu."
"Mau gue temenin?"
"Eng-enggak! Gue mandiri, gue bisa sendiri, resleting gue gampang kok bukanya."
Begitu Firman meleng, gue langsung cabut.
Gila aja, ternyata rival gue buat dapetin Disti freak banget. Jujur, pertamanya gue takjub bin kagum sama dia. Fisik oke, gosip tentang dia juga oke punya. Eh... tapi waktu dalam kondisi tertekan, sifat aslinya yang freak keluar.
Ngulang mata kuliah sampe delapan biji, itu mah sama aja ngulang satu semester. Maksimal ambil mata kuliah per semester itu dua belas, itu pun kalo pinter. Kalo sengklek ya paling maksimal sepuluh, itu pun kalo sengkleknya masih normal, nah... kalo dia?
Kalo dirata-rata, tingkat keberhasilan dia bertahan hidup satu semester itu cuma dua banding sepuluh, dua puluh persen. Itu juga kalo dua mata kuliah yang bisa ikut ujian itu nilainya bagus, nah kalo enggak? Bisa ngulang satu semester beneran.
Baru gue bayangin masa depan si Firman, ada BBM masuk ke hape gue.
'Wi, gue titip absen, yak!' Peppy.
'Tugas pengantar hukum internasional udah aku kerjain, kamu tinggal masuk, tenang aja!' by Grace.
'Kakak dimana? Aku udah selesai kuliah, nih!' by Disti.
Enggak kaget, Peppy mah sebelas dua belas sama Firman, masa depannya masih meragukan. Beda lagi sama Grace, enggak gue minta buat bikinin tugas aja udah dibikinin, masa depannya secerah jidat Ultraman.
Tapi heran juga kalo ngomongin mereka berdua. Dua orang yang bertolak belakang kayak gini kenapa bisa pacaran coba? Kalo dilogika kan enggak bakalan nyambung. Yang satu males, yang satu kebelet rajin, mana bisa sejalan. Apa ini yang disebut saling melengkapi? Entahlah, terkadang cinta memang enggak mengenal logika.
'Ruang C lantai tiga, aku ada kuliah pengantar hukum internasional,' balas gue ke Disti.
'Aku ikut boleh?'
'Ikut aja, sini, ada Grace juga.'
JabLai cOY memberi reputasi
1
