- Beranda
- Stories from the Heart
Rein, Kayonna, dan Perempuan itu (True Horror Story)
...
TS
balawanta1
Rein, Kayonna, dan Perempuan itu (True Horror Story)
Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata. Bukan kisah saya sendiri.
Beberapa nama dan tempat disamarkan.
Tanggal dan tahun kejadian tidak disamarkan.
Rein
Namaku Rein, saat ini aku berumur delapan tahun. Aku blasteran, Ayahku Jerman sedangkan ibuku campuran Sunda dan Arab. Menurut ibuku aku adalah anak perempuan yang ceria, lincah dan agak susah diatur. Aku senang sekali memanjat pohon sambil sesekali mengambil buahnya dan juga berenang di kali sambil lompat2an, aku sangat hobi bermain lari2an bersama teman2ku. Ibuku kadang suka mencariku untuk pulang tidur siang atau makan atau juga mandi. Kalau sudah kesal, dia suka menghukumku. Seperti saat ini. Saat ini aku sedang dihukum Ibuku karena aku tidak pulang ke rumah dahulu setelah pulang sekolah sampai menjelang Maghrib. Aku tidak diperbolehkan masuk rumah oleh Ibuku. Aku harus berdiri di depan pintu hingga waktu yang tidak ditentukan. Jadi sampai Ibuku mengijinkan aku masuk rumah,baru aku boleh masuk rumah. Aku berdiri kesal di depan rumah sambil memandangi jendela rumah yg sudah agak lapuk kayunya. Keluarga kami adalah keluarga yang sangat sederhana. Rumahpun sederhana, rumahku tipe RSSSSSSS (Rumah Sangat Sangat Sederhana Sampai Selonjoran Saja Susah ehehehehe). Aku tinggal bertiga saja bersama Ibu dan adikku yang berumur 5 tahun.Tempat yang kami tinggali sekarang jauh dari perkotaan, aku dan adikku sangat senang tinggal di sini. Ayahku pergi meninggalkan Ibuku, aku dan adik laki2ku tanpa alasan yang jelas. Ayahku pergi sejak Ibuku sedang mengandung adikku. Entah dia berada di mana sekarang, Ibuku tidak peduli. Tetapi aku yakin dia kembali ke negara asalnya. Ibuku bekerja berjualan sayur saat pagi hari, siangnya dia pulang ke rumah. Kadang dia suka menerima pekerjaan di siang sampai sore hari. Apa saja dia kerjakan, aku kagum pada Ibuku. Sebelum Ayahku pergi, kami tinggal di kota. Rumah yang kami tempati saat itu ternyata milik kawan Ayahku yang berbaik hati mengijinkan Ayahku tinggal di rumahnya. Tetapi entah ada perjanjian apa antara Ayahku dan kawan Ayahku, kawan Ayahku menginginkan rumah itu kembali, kami di usir dari rumah. Beruntung Ibuku memiliki rumah di kampung, peninggalan nenek dan kakekku. Suatu hari Ayah berkata pada Ibuku bahwa dia akan pergi sebentar, mengurus segala hal. Ayahku berbohong pada Ibuku, pada kami, dia tidak pernah kembali sampai sekarang. Ada kerabatnya yang berkata bahwa dia pergi ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut. Entahlah, tetapi aku percaya bahwa memang benar Ayahku pergi ke luar negeri, akan tetapi Ibuku sudah tidak peduli pada Ayahku.
"Rein!" suara Ibuku membuyarkan lamunanku.
"Iya, kenapa Mih?" Aku memanggil Ibuku dengan sebutan Mamih.
"Kamu kenapa malah bengong di situ? tadi kan Mamih nyuruh kamu mandi habis itu shallat Magrib dulu. Kalau sudah shallat,terusin lagi berdiri di luar rumah!" Ibuku memang seorang yang tegas, A ya A, B ya B. Begitulah dia.
"Iya" aku mengiyakan saja perintah Ibuku, tidak ada niat sama sekali untuk shallat Magrib. Perutku keroncongan. Selesai Ibuku ambil air wudhu,aku cepat2 ambil air juga, pura2 wudhu. Asal basah saja di muka, tangan dan kaki. Tidak lama kulihat Ibuku dan adikku mulai shallat di kamarnya, aku diam2 ke dapur mengambil dua potong tempe goreng, dan satu potong tahu goreng. Lumayan untuk mengganjal perutku yang lapar, Ibuku tidak mengijinkanku makan saat aku pulang main tadi. Menurut Ibuku, aku pasti sudah kenyang karena tidak pulan ke rumah sampai menjelang magrib. Tidak lama aku meneruskan lagi hukumanku di luar rumah. Sudah hampir gelap di luar rumah, sepi sekali tidak ada orang yang lewat. Jarak rumah antara satu rumah dengan yang lain tidak berdekatan seperti rumah di perkotaan. Aku memandang pohon beringin di pekarangan rumah tetangga depan rumahku. Aku dan teman2ku terkadang sangat suka sekali bermain di bawah pohon beringin tersebut. Kata orang2 pohon itu angker, tetapi menurutku pohon itu sangat indah,kokoh dan meneduhkan. Tidak ada bagi kami anak2 perasaan takut sama sekali pada pohon beringin itu. Apalagi Aki2 yang tinggal di rumah itu mengijinkan kami untuk bermain di pekarangan rumahnya. Pekarangan rumahnya sangat indah, pemiliknya bernama Kusuma. Kami memanggilnya Ki Engkus. Ki Engkus seorang kakek tua yang sangat ramah akan tetapi tidak banyak berbicara, beliau agak pendiam. Beliau juga begitu baik pada kami anak2, malah kadang beliau suka menghidangkan teh manis dan gorengan pada kami saat kami bermain di pekarangan rumahnya atau sekedar berteduh di bawah pohon beringin miliknya. Biasanya beliau menghidangkan pisang goreng, ubi goreng dan talas goreng. Nikmat sekali. Ibuku juga lebih senang apabila aku dan teman2ku bermain di pekarangan rumah Ki Engkus, daripada kelayapan tidak jelas kata Ibuku. Terkadang Ibuku juga suka memberi sayur mayur dagangannya pada Ki Engkus. Ki Engkus tinggal sendirian, anaknya yang perempuan telah tiada akibat sakit keras saat masih kelas 3 Sekolah Dasar. Istrinya juga telah tiada akibat kecelakaan kereta api saat dia hendak pergi ke rumah saudaranya di luar kota. Isterinya meninggal sekitar 5 bulan setelah anaknya meninggal. Sejak itu Ki Engkus tidak lagi memiliki pendamping hidup, dia sangat mencintai istrinya yang sudah dia kenal sejak kecil. Beliau tidak lagi berniat memiliki istri.
"Rein, Mamih tutup ya pintunya. Banyak nyamuk! Selamat berdiri." Kata Ibuku sambil menutup pintu rumah, bibirnya tersenyum manis. Alisku mengkerut 'ih Mamih tega banget, masa pintunya di tutup? Nyamuk apaan sih?gak ada nyamuk kok!' Aku berkata kesal dalam hati. Aku lalu duduk selonjoran menyender ke pintu rumah karena kesal sambil melihat pemandangan depan rumah yang sepi.
"REIN! BERDIRI!!" Ibuku berteriak dari dalam rumah. 'Mamih kok tau aja sih?' Aku langsung berdiri kembali dengan kesal dan ber sungut2. Tiba2 kulihat dari ujung mataku yang sebelah kanan, kulihat seorang perempuan muda berjalan cepat menuju ke rumah Ki Engkus. Dia mengenakan kemeja putih lusuh lengan panjang dan rok lebar panjang berwarna cokelat susu panjangnya sebetis. Sepatunya berwarna cokelat tua model pantofel, tapi yang aneh di kakinya yang sebelah kanan tidak mengenakan sepatu. Dia berjalan sembari kedua tangannya menempel di paha depannya. Aku tidak begitu bisa melihat wajahnya, karena rambutnya yang di bagian depan menutupi wajahnya, di karenakan dia berjalan sambil menundukan kepalanya. Lalu dia berhenti di depan pintu rumah Ki Engkus. Agak lama dia hanya berdiri di depan pintu. Aku berniat untuk berteriak menyuruh dia untuk mengetuk pintu Ki Engkus, karena aku sangat yakin Ki Engkus ada di dalam rumah. Sepeda kesayangan beliau kulihat ada di pekarangan rumahnya, beliau selalu berpergian mengendarai sepeda tuanya. Wajahnya sudah tidak menunduk, dia memandangi pintu rumah Ki Engkus, tetapi aku tetap tidak bisa melihat wajahnya, karena dia berdiri membelakangiku. Perempuan itu benar-benar hanya berdiri diam sambil memandangi pintu rumah Ki Engkus, dia tidak mencoba untuk mengetok rumah Ki Engkus. 'Aneh sekali' pikirku 'perempuan itu kenapa sih?' Aku penasaran sekaligus merasakan ada perasaan aneh terhadapnya. Ragu2 aku melangkahkan kakiku pelan untuk melihat perempuan itu lebih dekat. Mungkin dia butuh bantuanku pikirku. Saat sudah tiga langkah, tiba2 perempuan itu menghentikan kegiatan anehnya. Dia membalikan badannya menghadap ke arahku, kepalanya kembali tertunduk sehingga wajahnya tak terlihat, jari2nya yang di sebelah kanan dia gerak2an secara perlahan di atas pahanya. Aku menghentikan langkahku, tiba2 saja aku menjadi agak takut terhadap perempuan itu.
"Miih..." aku memanggil Ibuku dengan suara agak berbisik.
"MAMIIIIIIHHHH" Aku yakin sekali memanggil Ibuku dengan suara lantang, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah seperti bisikan. Tenggorokanku terasa seperti tercekat. Kali ini perempuan itu berjalan tiga langkah menuju arahku, lalu berhenti, kepalanya masih tertunduk. Dia berdiri diam. Pelan2 perempuan itu mendongakkan wajahnya, jantungku berdebar sangat keras. Aku memalingkan wajahku, entah kenapa aku tidak ingin melihatnya. Tetapi aku tidak bisa menggerakkan wajahku
"Rein! Mamih jadi keinget, kamu kan tadi Mamih suruh mandi. Kok kamu belum mandi?mandi dulu sekarang,habis itu belajar. Ayo masuk!" Suara Ibuku terdengar bagaikan suara malaikat bagiku saat itu. "Mamiiih!" Aku berlari menuju ke Ibuku "Mih, kenal perempuan itu gak?" aku berbicara setengah berbisik pada Ibuku. "Rein, Mamih mau kamu mandi" Aku menurut, Ibuku menutup pintu rumah tanpa menoleh sedikitpun ke arah perempuan itu berdiri. Selesai mandi aku langsung belajar, sesekali aku terbayang akan perempuan yang kulihat tadi. Aku tidak bisa melupakan sosoknya, dan segala gerakan2 yang wanita itu lakukan. Aku bingung kenapa dia hanya diam saja di depan pintu rumah Ki Engkus, kenapa dia tidak mengetuk pintu atau mengucapkan salam. Dan kenapa aku menjadi takut terhadap wanita itu. Aku menepis segala bayangan tentang wanita itu. Aku mencoba fokus belajar. Selesai belajar aku langsung ikut bergabung dengan Ibu dan adikku yang sedang menonton televisi. Televisi milik kami kecil. Televisi itu merupakan hadiah dari sahabat Ibuku, memang hanya televisi bekas. Tapi Ibuku sangat bersyukur sahabatnya memberikan televisinya untuk kami. Nama sahabat Ibuku adalah bibi Elis. Kadang bibi Elis suka membantu Ibuku untuk menjagaku dan adikku di rumah saat Ibuku sedang sibuk bekerja. Bibi Elis dan suaminya tidak memiliki keturunan, dia sangat senang menjagaku dan adikku.
"Makan dulu Rein" kulihat Ibuku sedang nonton tv sambil makan kacang rebus, adikku ketiduran di pangkuannya. Adikku bernama Regen, umurnya baru 5 tahun. Aku duduk di samping Ibuku dekat dengan pintu rumah, kami duduk beralaskan tiker, tidak ada sofa di rumah kami. "Rein gak laper Mih" kataku sambil mencomot kacang rebus di mangkok yang di letakkan di depan Ibuku. "Kenapa?kamu tadi udah ngambil tahu sama tempe ya?ya kan?" Ibuku bertanya sambil menaikkan kedua alisnya yang tebal. "Hehe, Rein tadi perutnya keroncongan Mih" kubuat wajahku semanis mungkin. "Oh kirain Mamih udah pesta makan sama temen2 kamu tadi siang" ujar Ibuku bernada sinis. "Ih si Mamih, makan apaan? Makan daun kali" kataku dengan bibir cemberut. "Ya kenapa gak makan aja daun2nya? biar gak kelaperan,kan kamu gak mau pulang dulu ke rumah." Aku menatap Ibuku dengan kesal sekaligus merasa bersalah. "Ya deh Mih, besok2 Rein gak pulang sore2 lagi. Maafin Rein Mih." Aku meminta maaf pada Ibuku rada memelas. "Besok2 kalo kamu pulang sekolah gak langsung pulang ke rumah dulu, Mamih iket kamu di pohon" aku meng-angguk2an kepalaku mendengar ancaman Ibuku.
"Mih, tadi waktu berdiri di depan pintu rumah, Rein lihat perempuan berdiri di depan rumah Ki Engkus. Aneh deh Mih" aku memutuskan menceritakan pengalamanku tadi kepada Ibuku. "Mamih gak lihat siapa2 tadi di luar kok" kata Ibuku memotong pembicaraanku. "Bisa aja yg kamu lihat itu setan, soalnya kamu suka gak nurut sama Mamih." Lanjut Ibuku enteng. 'Ih Mamih bisa2nya hubung2in setan sama gak nurut' kataku dalam hati, aku diam saja dan memutuskan untuk tidak membahas lagi kejadian yang tadi pada Ibuku.
"Kreeeeeeek" terdengar seperti derit suara pintu yang terbuka. Aku menoleh ke arah samping kananku, kulihat memang pintu sedikit terbuka. Mungkin angin pikirku, lalu aku menutup kembali pintunya sampai rapat. Tidak lama pintunya terbuka lagi sedikit seperti sebelumnya. Lalu kututup lagi pintunya, akan tetapi pintunya tidak bisa tertutup. Kembali terbuka lagi. "Udah, biarin aja Rein kebuka pintunya, biar nanti Mamih kunci" Ibuku ternyata memperhatikanku yang sedang berusaha untuk menutup pintu. Kubiarkan pintu sedikit terbuka, kurasakan sedikit hembusan angin. Lalu aku kembali nonton tv sambil makan kacang rebus yang sudah tinggal sedikit di mangkok.
"Sini...sini.." terdengar suara wanita berbisik. Aku melihat ke arah Ibuku, kulihat Ibuku sedang asik nonton televisi. "Sini..kemari.." terdengar lagi suara wanita berbisik, kali ini aku sadar bahwa suaranya berasal dari arah pintu. Perlahan aku menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka di samping kananku. Aku terdiam sambil memperhatikan pintu dan melihat apakah ada seseorang di sana. Kulihat tidak ada siapapun di balik pintu melalui celah pintu yang sedikit t erbuka. Aku palingkan lagi wajahku dari arah pintu, dan berusaha untuk menonton tv.
"Siniiii" terdengar lagi suara bisikan, aku langsung menoleh lagi ke arah pintu. "Braaaaaak" tiba2 pintu tertutup sendiri, tertutup rapat dan tidak terbuka sendiri lagi. Aku sangat terkejut melihat pintu rumah tertutup sendiri. "Anginnya kenceng banget ya kayaknya Rein?mau hujan sepertinya." Ibuku santai melihat pintu yang tertutup sendiri. Aku ingin sekali menceritakan bisikan suara seorang
yang kudengar dengan sangat jelas pada Ibuku. Tapi melihat gerak-gerik Ibuku yang biasa saja, aku yakin dia pasti tidak mendengar apa yang kudengar. Ku urungkan saja niatku untuk bercerita pada Ibuku. Aku lalu pamit untuk tidur pada Ibuku. Aku merasa sangat capek dan berniat untuk tidur saja.
Brrrr brrrr...aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Aku meringkuk di dalam selimut."Duh pengen kencing" aku malas2an bangun dari tempat tidurku. Aku sangat malas sekali apabila sedang tidur, lalu terbangun hanya karena harus buang air kecil. Ditambah udara malam ini sangat dingin sekali. Aku hanya mengenakan baju tidurku yang bahannya tipis, karena tadi udara agak panas. Tapi sekarang benar2 dingin. Aku tidur sendirian di kamar, adikku tidur berdua dengan ibuku. Aku senang sekali tidur sendiri,tidak harus berbagi kamar dengan adikku. Aku tidak benci dengan adikku, aku sangat menyayanginya. Hanya kadang dia suka iseng terhadapku, dan barang2 milikku. Jadi aku sangat senang kamar ini hanya untuk aku. Aku keluar dari kamar dan menuju ruang tamu sekaligus ruang tv untuk melihat jam. Kulihat jam di dinding sudah pukul 3 lewat 7 menit. Aku menuju ke arah jendela, dan kusibakkan sedikit gordennya. Aku melihat ke arah rumah Ki Engkus, tampak sepi sekali di luar. Aku sebenarnya masih sangat penasaran dengan perempuan yang kulihat tadi. Tapi perempuan itu sudah tidak ada. Mungkin dia sudah pergi, atau dia sudah masuk ke dalam rumah Ki Engkus. Entahlah. Lalu aku menutup gordennya kembali, dan cepat2 menuju ke arah kamar mandi. Aku sudah tidak dapat menahan rasa ingin kencing. Kamar mandi terletak di bagian paling belakang rumah. Ruang paling belakang ini adalah ruang yang atapnya terbuka. Di ruang ini ada kamar mandi, sumur, tali untuk menjemur pakaian dan tempat mencuci pakaian. Setelah selesai buang air kecil, aku langsung ingin cepat2 tidur kembali. Udaranya amat sangat dingin sekali di luar sini. Lalu aku membuka pintu yg memisahkan antara ruang dapur dan ruang sumur. Aku menutup pelan pintunya, dan kulihat sedikit ke arah ruang sumur setelah pintunya agak menutup. Aku sangat sangat terkejut dengan apa yg kulihat di pojok dekat sumur. Aku memincingkan mataku berusaha untuk memperjelas dan meyakinkan diriku dengan apa yang kulihat. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tubuhku tiba2 mematung, pandanganku menatap lurus kepadanya. Sosok itu adalah perempuan yang kulihat tadi saat aku dihukum berdiri di luar. Perempuan itu berdiri diam di pojok , kepalanya tertunduk, kakinya tidak terlihat terhalang oleh sumur. Dia tidak bergerak sama sekali, sama seperti aku. 'Bagaimana dia bisa masuk?' Pikirku heran. 'Apakah benar kata Ibuku bahwa perempuan itu adalah hantu?' Aku menjadi sangat takut, lidahku menjadi kelu, aku tidak dapat berteriak. Aku hanya bisa menatap perempuan itu lemas, aku malah berharap agar aku pingsan saja. Lalu tiba2 aku dapat menggerakkan tanganku lalu seluruh tubuhku, terasa agak berat, tetapi tubuhku bisa bergerak. Itu yang paling penting bagiku saat ini. Aku berusaha menutup pintu dapur yang tiba2 terasa berat. Setelah berhasil kututup, segera kukunci pintunya. Aku berusaha berlari cepat ke arah kamarku. Nafasku tersengal, jantungku berdegup sangat kencang. Aku naik ke tempat tidurku dan memejamkan mataku, dan berharap untuk cepat tertidur.
(Terimakasih banyak untuk agan pardjono yg sdh membantu saya)
indeks
Beberapa nama dan tempat disamarkan.
Tanggal dan tahun kejadian tidak disamarkan.
Rein
Namaku Rein, saat ini aku berumur delapan tahun. Aku blasteran, Ayahku Jerman sedangkan ibuku campuran Sunda dan Arab. Menurut ibuku aku adalah anak perempuan yang ceria, lincah dan agak susah diatur. Aku senang sekali memanjat pohon sambil sesekali mengambil buahnya dan juga berenang di kali sambil lompat2an, aku sangat hobi bermain lari2an bersama teman2ku. Ibuku kadang suka mencariku untuk pulang tidur siang atau makan atau juga mandi. Kalau sudah kesal, dia suka menghukumku. Seperti saat ini. Saat ini aku sedang dihukum Ibuku karena aku tidak pulang ke rumah dahulu setelah pulang sekolah sampai menjelang Maghrib. Aku tidak diperbolehkan masuk rumah oleh Ibuku. Aku harus berdiri di depan pintu hingga waktu yang tidak ditentukan. Jadi sampai Ibuku mengijinkan aku masuk rumah,baru aku boleh masuk rumah. Aku berdiri kesal di depan rumah sambil memandangi jendela rumah yg sudah agak lapuk kayunya. Keluarga kami adalah keluarga yang sangat sederhana. Rumahpun sederhana, rumahku tipe RSSSSSSS (Rumah Sangat Sangat Sederhana Sampai Selonjoran Saja Susah ehehehehe). Aku tinggal bertiga saja bersama Ibu dan adikku yang berumur 5 tahun.Tempat yang kami tinggali sekarang jauh dari perkotaan, aku dan adikku sangat senang tinggal di sini. Ayahku pergi meninggalkan Ibuku, aku dan adik laki2ku tanpa alasan yang jelas. Ayahku pergi sejak Ibuku sedang mengandung adikku. Entah dia berada di mana sekarang, Ibuku tidak peduli. Tetapi aku yakin dia kembali ke negara asalnya. Ibuku bekerja berjualan sayur saat pagi hari, siangnya dia pulang ke rumah. Kadang dia suka menerima pekerjaan di siang sampai sore hari. Apa saja dia kerjakan, aku kagum pada Ibuku. Sebelum Ayahku pergi, kami tinggal di kota. Rumah yang kami tempati saat itu ternyata milik kawan Ayahku yang berbaik hati mengijinkan Ayahku tinggal di rumahnya. Tetapi entah ada perjanjian apa antara Ayahku dan kawan Ayahku, kawan Ayahku menginginkan rumah itu kembali, kami di usir dari rumah. Beruntung Ibuku memiliki rumah di kampung, peninggalan nenek dan kakekku. Suatu hari Ayah berkata pada Ibuku bahwa dia akan pergi sebentar, mengurus segala hal. Ayahku berbohong pada Ibuku, pada kami, dia tidak pernah kembali sampai sekarang. Ada kerabatnya yang berkata bahwa dia pergi ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut. Entahlah, tetapi aku percaya bahwa memang benar Ayahku pergi ke luar negeri, akan tetapi Ibuku sudah tidak peduli pada Ayahku.
"Rein!" suara Ibuku membuyarkan lamunanku.
"Iya, kenapa Mih?" Aku memanggil Ibuku dengan sebutan Mamih.
"Kamu kenapa malah bengong di situ? tadi kan Mamih nyuruh kamu mandi habis itu shallat Magrib dulu. Kalau sudah shallat,terusin lagi berdiri di luar rumah!" Ibuku memang seorang yang tegas, A ya A, B ya B. Begitulah dia.
"Iya" aku mengiyakan saja perintah Ibuku, tidak ada niat sama sekali untuk shallat Magrib. Perutku keroncongan. Selesai Ibuku ambil air wudhu,aku cepat2 ambil air juga, pura2 wudhu. Asal basah saja di muka, tangan dan kaki. Tidak lama kulihat Ibuku dan adikku mulai shallat di kamarnya, aku diam2 ke dapur mengambil dua potong tempe goreng, dan satu potong tahu goreng. Lumayan untuk mengganjal perutku yang lapar, Ibuku tidak mengijinkanku makan saat aku pulang main tadi. Menurut Ibuku, aku pasti sudah kenyang karena tidak pulan ke rumah sampai menjelang magrib. Tidak lama aku meneruskan lagi hukumanku di luar rumah. Sudah hampir gelap di luar rumah, sepi sekali tidak ada orang yang lewat. Jarak rumah antara satu rumah dengan yang lain tidak berdekatan seperti rumah di perkotaan. Aku memandang pohon beringin di pekarangan rumah tetangga depan rumahku. Aku dan teman2ku terkadang sangat suka sekali bermain di bawah pohon beringin tersebut. Kata orang2 pohon itu angker, tetapi menurutku pohon itu sangat indah,kokoh dan meneduhkan. Tidak ada bagi kami anak2 perasaan takut sama sekali pada pohon beringin itu. Apalagi Aki2 yang tinggal di rumah itu mengijinkan kami untuk bermain di pekarangan rumahnya. Pekarangan rumahnya sangat indah, pemiliknya bernama Kusuma. Kami memanggilnya Ki Engkus. Ki Engkus seorang kakek tua yang sangat ramah akan tetapi tidak banyak berbicara, beliau agak pendiam. Beliau juga begitu baik pada kami anak2, malah kadang beliau suka menghidangkan teh manis dan gorengan pada kami saat kami bermain di pekarangan rumahnya atau sekedar berteduh di bawah pohon beringin miliknya. Biasanya beliau menghidangkan pisang goreng, ubi goreng dan talas goreng. Nikmat sekali. Ibuku juga lebih senang apabila aku dan teman2ku bermain di pekarangan rumah Ki Engkus, daripada kelayapan tidak jelas kata Ibuku. Terkadang Ibuku juga suka memberi sayur mayur dagangannya pada Ki Engkus. Ki Engkus tinggal sendirian, anaknya yang perempuan telah tiada akibat sakit keras saat masih kelas 3 Sekolah Dasar. Istrinya juga telah tiada akibat kecelakaan kereta api saat dia hendak pergi ke rumah saudaranya di luar kota. Isterinya meninggal sekitar 5 bulan setelah anaknya meninggal. Sejak itu Ki Engkus tidak lagi memiliki pendamping hidup, dia sangat mencintai istrinya yang sudah dia kenal sejak kecil. Beliau tidak lagi berniat memiliki istri.
"Rein, Mamih tutup ya pintunya. Banyak nyamuk! Selamat berdiri." Kata Ibuku sambil menutup pintu rumah, bibirnya tersenyum manis. Alisku mengkerut 'ih Mamih tega banget, masa pintunya di tutup? Nyamuk apaan sih?gak ada nyamuk kok!' Aku berkata kesal dalam hati. Aku lalu duduk selonjoran menyender ke pintu rumah karena kesal sambil melihat pemandangan depan rumah yang sepi.
"REIN! BERDIRI!!" Ibuku berteriak dari dalam rumah. 'Mamih kok tau aja sih?' Aku langsung berdiri kembali dengan kesal dan ber sungut2. Tiba2 kulihat dari ujung mataku yang sebelah kanan, kulihat seorang perempuan muda berjalan cepat menuju ke rumah Ki Engkus. Dia mengenakan kemeja putih lusuh lengan panjang dan rok lebar panjang berwarna cokelat susu panjangnya sebetis. Sepatunya berwarna cokelat tua model pantofel, tapi yang aneh di kakinya yang sebelah kanan tidak mengenakan sepatu. Dia berjalan sembari kedua tangannya menempel di paha depannya. Aku tidak begitu bisa melihat wajahnya, karena rambutnya yang di bagian depan menutupi wajahnya, di karenakan dia berjalan sambil menundukan kepalanya. Lalu dia berhenti di depan pintu rumah Ki Engkus. Agak lama dia hanya berdiri di depan pintu. Aku berniat untuk berteriak menyuruh dia untuk mengetuk pintu Ki Engkus, karena aku sangat yakin Ki Engkus ada di dalam rumah. Sepeda kesayangan beliau kulihat ada di pekarangan rumahnya, beliau selalu berpergian mengendarai sepeda tuanya. Wajahnya sudah tidak menunduk, dia memandangi pintu rumah Ki Engkus, tetapi aku tetap tidak bisa melihat wajahnya, karena dia berdiri membelakangiku. Perempuan itu benar-benar hanya berdiri diam sambil memandangi pintu rumah Ki Engkus, dia tidak mencoba untuk mengetok rumah Ki Engkus. 'Aneh sekali' pikirku 'perempuan itu kenapa sih?' Aku penasaran sekaligus merasakan ada perasaan aneh terhadapnya. Ragu2 aku melangkahkan kakiku pelan untuk melihat perempuan itu lebih dekat. Mungkin dia butuh bantuanku pikirku. Saat sudah tiga langkah, tiba2 perempuan itu menghentikan kegiatan anehnya. Dia membalikan badannya menghadap ke arahku, kepalanya kembali tertunduk sehingga wajahnya tak terlihat, jari2nya yang di sebelah kanan dia gerak2an secara perlahan di atas pahanya. Aku menghentikan langkahku, tiba2 saja aku menjadi agak takut terhadap perempuan itu.
"Miih..." aku memanggil Ibuku dengan suara agak berbisik.
"MAMIIIIIIHHHH" Aku yakin sekali memanggil Ibuku dengan suara lantang, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah seperti bisikan. Tenggorokanku terasa seperti tercekat. Kali ini perempuan itu berjalan tiga langkah menuju arahku, lalu berhenti, kepalanya masih tertunduk. Dia berdiri diam. Pelan2 perempuan itu mendongakkan wajahnya, jantungku berdebar sangat keras. Aku memalingkan wajahku, entah kenapa aku tidak ingin melihatnya. Tetapi aku tidak bisa menggerakkan wajahku
"Rein! Mamih jadi keinget, kamu kan tadi Mamih suruh mandi. Kok kamu belum mandi?mandi dulu sekarang,habis itu belajar. Ayo masuk!" Suara Ibuku terdengar bagaikan suara malaikat bagiku saat itu. "Mamiiih!" Aku berlari menuju ke Ibuku "Mih, kenal perempuan itu gak?" aku berbicara setengah berbisik pada Ibuku. "Rein, Mamih mau kamu mandi" Aku menurut, Ibuku menutup pintu rumah tanpa menoleh sedikitpun ke arah perempuan itu berdiri. Selesai mandi aku langsung belajar, sesekali aku terbayang akan perempuan yang kulihat tadi. Aku tidak bisa melupakan sosoknya, dan segala gerakan2 yang wanita itu lakukan. Aku bingung kenapa dia hanya diam saja di depan pintu rumah Ki Engkus, kenapa dia tidak mengetuk pintu atau mengucapkan salam. Dan kenapa aku menjadi takut terhadap wanita itu. Aku menepis segala bayangan tentang wanita itu. Aku mencoba fokus belajar. Selesai belajar aku langsung ikut bergabung dengan Ibu dan adikku yang sedang menonton televisi. Televisi milik kami kecil. Televisi itu merupakan hadiah dari sahabat Ibuku, memang hanya televisi bekas. Tapi Ibuku sangat bersyukur sahabatnya memberikan televisinya untuk kami. Nama sahabat Ibuku adalah bibi Elis. Kadang bibi Elis suka membantu Ibuku untuk menjagaku dan adikku di rumah saat Ibuku sedang sibuk bekerja. Bibi Elis dan suaminya tidak memiliki keturunan, dia sangat senang menjagaku dan adikku.
"Makan dulu Rein" kulihat Ibuku sedang nonton tv sambil makan kacang rebus, adikku ketiduran di pangkuannya. Adikku bernama Regen, umurnya baru 5 tahun. Aku duduk di samping Ibuku dekat dengan pintu rumah, kami duduk beralaskan tiker, tidak ada sofa di rumah kami. "Rein gak laper Mih" kataku sambil mencomot kacang rebus di mangkok yang di letakkan di depan Ibuku. "Kenapa?kamu tadi udah ngambil tahu sama tempe ya?ya kan?" Ibuku bertanya sambil menaikkan kedua alisnya yang tebal. "Hehe, Rein tadi perutnya keroncongan Mih" kubuat wajahku semanis mungkin. "Oh kirain Mamih udah pesta makan sama temen2 kamu tadi siang" ujar Ibuku bernada sinis. "Ih si Mamih, makan apaan? Makan daun kali" kataku dengan bibir cemberut. "Ya kenapa gak makan aja daun2nya? biar gak kelaperan,kan kamu gak mau pulang dulu ke rumah." Aku menatap Ibuku dengan kesal sekaligus merasa bersalah. "Ya deh Mih, besok2 Rein gak pulang sore2 lagi. Maafin Rein Mih." Aku meminta maaf pada Ibuku rada memelas. "Besok2 kalo kamu pulang sekolah gak langsung pulang ke rumah dulu, Mamih iket kamu di pohon" aku meng-angguk2an kepalaku mendengar ancaman Ibuku.
"Mih, tadi waktu berdiri di depan pintu rumah, Rein lihat perempuan berdiri di depan rumah Ki Engkus. Aneh deh Mih" aku memutuskan menceritakan pengalamanku tadi kepada Ibuku. "Mamih gak lihat siapa2 tadi di luar kok" kata Ibuku memotong pembicaraanku. "Bisa aja yg kamu lihat itu setan, soalnya kamu suka gak nurut sama Mamih." Lanjut Ibuku enteng. 'Ih Mamih bisa2nya hubung2in setan sama gak nurut' kataku dalam hati, aku diam saja dan memutuskan untuk tidak membahas lagi kejadian yang tadi pada Ibuku.
"Kreeeeeeek" terdengar seperti derit suara pintu yang terbuka. Aku menoleh ke arah samping kananku, kulihat memang pintu sedikit terbuka. Mungkin angin pikirku, lalu aku menutup kembali pintunya sampai rapat. Tidak lama pintunya terbuka lagi sedikit seperti sebelumnya. Lalu kututup lagi pintunya, akan tetapi pintunya tidak bisa tertutup. Kembali terbuka lagi. "Udah, biarin aja Rein kebuka pintunya, biar nanti Mamih kunci" Ibuku ternyata memperhatikanku yang sedang berusaha untuk menutup pintu. Kubiarkan pintu sedikit terbuka, kurasakan sedikit hembusan angin. Lalu aku kembali nonton tv sambil makan kacang rebus yang sudah tinggal sedikit di mangkok.
"Sini...sini.." terdengar suara wanita berbisik. Aku melihat ke arah Ibuku, kulihat Ibuku sedang asik nonton televisi. "Sini..kemari.." terdengar lagi suara wanita berbisik, kali ini aku sadar bahwa suaranya berasal dari arah pintu. Perlahan aku menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka di samping kananku. Aku terdiam sambil memperhatikan pintu dan melihat apakah ada seseorang di sana. Kulihat tidak ada siapapun di balik pintu melalui celah pintu yang sedikit t erbuka. Aku palingkan lagi wajahku dari arah pintu, dan berusaha untuk menonton tv.
"Siniiii" terdengar lagi suara bisikan, aku langsung menoleh lagi ke arah pintu. "Braaaaaak" tiba2 pintu tertutup sendiri, tertutup rapat dan tidak terbuka sendiri lagi. Aku sangat terkejut melihat pintu rumah tertutup sendiri. "Anginnya kenceng banget ya kayaknya Rein?mau hujan sepertinya." Ibuku santai melihat pintu yang tertutup sendiri. Aku ingin sekali menceritakan bisikan suara seorang
yang kudengar dengan sangat jelas pada Ibuku. Tapi melihat gerak-gerik Ibuku yang biasa saja, aku yakin dia pasti tidak mendengar apa yang kudengar. Ku urungkan saja niatku untuk bercerita pada Ibuku. Aku lalu pamit untuk tidur pada Ibuku. Aku merasa sangat capek dan berniat untuk tidur saja.
Brrrr brrrr...aku merasakan tubuhku menggigil kedinginan. Aku meringkuk di dalam selimut."Duh pengen kencing" aku malas2an bangun dari tempat tidurku. Aku sangat malas sekali apabila sedang tidur, lalu terbangun hanya karena harus buang air kecil. Ditambah udara malam ini sangat dingin sekali. Aku hanya mengenakan baju tidurku yang bahannya tipis, karena tadi udara agak panas. Tapi sekarang benar2 dingin. Aku tidur sendirian di kamar, adikku tidur berdua dengan ibuku. Aku senang sekali tidur sendiri,tidak harus berbagi kamar dengan adikku. Aku tidak benci dengan adikku, aku sangat menyayanginya. Hanya kadang dia suka iseng terhadapku, dan barang2 milikku. Jadi aku sangat senang kamar ini hanya untuk aku. Aku keluar dari kamar dan menuju ruang tamu sekaligus ruang tv untuk melihat jam. Kulihat jam di dinding sudah pukul 3 lewat 7 menit. Aku menuju ke arah jendela, dan kusibakkan sedikit gordennya. Aku melihat ke arah rumah Ki Engkus, tampak sepi sekali di luar. Aku sebenarnya masih sangat penasaran dengan perempuan yang kulihat tadi. Tapi perempuan itu sudah tidak ada. Mungkin dia sudah pergi, atau dia sudah masuk ke dalam rumah Ki Engkus. Entahlah. Lalu aku menutup gordennya kembali, dan cepat2 menuju ke arah kamar mandi. Aku sudah tidak dapat menahan rasa ingin kencing. Kamar mandi terletak di bagian paling belakang rumah. Ruang paling belakang ini adalah ruang yang atapnya terbuka. Di ruang ini ada kamar mandi, sumur, tali untuk menjemur pakaian dan tempat mencuci pakaian. Setelah selesai buang air kecil, aku langsung ingin cepat2 tidur kembali. Udaranya amat sangat dingin sekali di luar sini. Lalu aku membuka pintu yg memisahkan antara ruang dapur dan ruang sumur. Aku menutup pelan pintunya, dan kulihat sedikit ke arah ruang sumur setelah pintunya agak menutup. Aku sangat sangat terkejut dengan apa yg kulihat di pojok dekat sumur. Aku memincingkan mataku berusaha untuk memperjelas dan meyakinkan diriku dengan apa yang kulihat. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tubuhku tiba2 mematung, pandanganku menatap lurus kepadanya. Sosok itu adalah perempuan yang kulihat tadi saat aku dihukum berdiri di luar. Perempuan itu berdiri diam di pojok , kepalanya tertunduk, kakinya tidak terlihat terhalang oleh sumur. Dia tidak bergerak sama sekali, sama seperti aku. 'Bagaimana dia bisa masuk?' Pikirku heran. 'Apakah benar kata Ibuku bahwa perempuan itu adalah hantu?' Aku menjadi sangat takut, lidahku menjadi kelu, aku tidak dapat berteriak. Aku hanya bisa menatap perempuan itu lemas, aku malah berharap agar aku pingsan saja. Lalu tiba2 aku dapat menggerakkan tanganku lalu seluruh tubuhku, terasa agak berat, tetapi tubuhku bisa bergerak. Itu yang paling penting bagiku saat ini. Aku berusaha menutup pintu dapur yang tiba2 terasa berat. Setelah berhasil kututup, segera kukunci pintunya. Aku berusaha berlari cepat ke arah kamarku. Nafasku tersengal, jantungku berdegup sangat kencang. Aku naik ke tempat tidurku dan memejamkan mataku, dan berharap untuk cepat tertidur.
(Terimakasih banyak untuk agan pardjono yg sdh membantu saya)
indeks
Diubah oleh balawanta1 21-08-2018 07:15
anasabila dan andrian990 memberi reputasi
2
31.3K
157
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.1KThread•45.7KAnggota
Tampilkan semua post
mockingjay22
#55
Bener2 cerita yg bagus, menegangkan, bikin penasaran, tetep diLanjuuttt ya gan, sy sangat menikmatinya.. Semoga smpai tamat mat mattt hehhehe
0