BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Menyatakan pendapat bukanlah pemaksaan kehendak


Muhammad Rizieq Shihab memimpin massa FPI (Front Pembela Islam) berdemonstrasi ke Mabes Polri pada hari Senin (16/1/2017). Aksi itu merupakan buntut dari insiden bentrokan antara FPI dengan ormas di Bandung ketika dirinya diperiksa di Mapolda Jabar, Kamis (12/1/2017) lalu.

Rizieq yang merupakan pemimpin FPI menolak aksi hari itu disebut sebagai unjuk rasa. "Kita di sini tidak berunjuk rasa. Tapi melapor ke polisi, melapor ramai-ramai," kata Rizieq seperti dikutip Detik.com.

Dalam orasinya menjelang pemberangkatan massa FPI ke Mabes Polri, Rizieq memang menyebut sejumlah hal yang akan dilaporkannya. Di antaranya adalah pidato Megawati 10 Januari lalu, gambar di uang baru pecahan Rp100.000, tudingan provokasi Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan saat bentrokan pada aksi 411, dan bentrokan massa FPI dengan ormas di Bandung itu.

Pengerahan massa FPI yang cukup besar pada hari Senin itu berjalan tertib. Tidak ada laporan insiden pada aksi tersebut.

Menanggapi pertanyaan wartawan terkait demonstrasi itu, Menko Polhukam Wiranto berharap pencarian solusi atas sebuah masalah dapat dimulai dengan komunikasi. Demonstrasi sebagai langkah terakhir jika komunikasi menghadapi jalan buntu.

"Jangan sampai," lanjut Wiranto seperti dikutip Detik.com, "demo menjadi tren. Tren untuk menekan, untuk menyulitkan seseorang, menjelekkan seseorang, menjelekkan pemerintah, menyudutkan pemerintahan."

Lebih lanjut Wiranto menyatakan, "Solusi ke depan, hak menyatakan pendapat di muka umum boleh, tapi ada rambu-rambunya dan ada syarat-syaratnya. Kalau syarat-syarat itu dilanggar, berhadapan dengan aparat keamanan."

Kita mengerti, pernyataan Menko Polhukam itu bukan melulu soal demonstrasi FPI ke Mabes Polri Senin lalu; melainkan juga terkait dengan serangkaian demonstrasi yang terjadi sejak akhir tahun lalu.

Sebetulnya, setelah era reformasi, demonstrasi bukanlah kegiatan yang sangat istimewa. Siapa saja boleh dan bisa berdemonstrasi. Sebagai bentuk ekspresi menyatakan pendapat, hak warga negara untuk melakukan demonstrasi itu dilindungi oleh undang-undang.

Undang-undang No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum menjadi dasar hukum yang melindungi hak warga negara untuk berdemonstrasi. Tentu selain menjamin hak, undang-undang tersebut juga memberikan sejumlah kewajiban dan mensyaratkan sejumlah tata cara.

Harus digarisbawahi, hak berdemonstrasi yang dilindungi oleh undang-undang adalah unjuk rasa sebagai pengejawantahan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Undang-undang tersebut menjamin hak warga negara untuk "menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Benar bahwa sekecil apapun jumlah pesertanya, setiap unjuk rasa pastilah bukan semata-mata menyampaikan pikiran. Di dalamnya terkandung energi politik yang berpotensi memberi tekanan kepada pengambil kebijakan. Itu lumrah dan alami saja. Besar atau kecilnya energi politik itu tergantung sejumlah faktor politik yang meliputinya.

Sementara demonstrasi yang tidak dilindungi oleh undang-undang adalah aksi yang dilakukan untuk memaksakan kehendak. Apalagi jika aksi tersebut dilakukan dengan pendekatan kekerasan.

Meski dibungkus dalam bentuk demonstrasi, aksi-aksi kekerasan yang bertujuan memaksakan kehendak bisa diseret ke ranah pidana; tak ada kaitannya dengan kemerdekaan menyatakan pendapat yang dilindungi oleh undang-undang.

Pernyataan Menko Polhukam Wiranto, yang berharap demonstrasi tidak menjadi cara yang cenderung dipakai untuk memberikan tekanan politik, menyiratkan bahwa pemerintah kewalahan dan terganggu dengan berbagai demonstrasi yang berlangsung belakangan ini.

Kita perlu menyayangkan pernyataan itu jika kemudian rakyat membacanya sebagai sinyal bahwa pemerintah sedang gugup menghadapi rentetan demonstrasi.

Rakyat lebih merasa tenteram jika pemerintah bersikap lebih kalem dalam memberikan pernyataan untuk menyikapi demonstrasi belakang ini. Selain menenteramkan, bagi warga negara, sikap tenang itu menunjukkan kewibawaan pemerintah.

Bahwa di dalam demonstrasi itu terdapat energi politik yang mengandung tekanan, seperti sudah disampaikan tadi, itu lumrah dan alami. Tak perlu gugup menghadapinya.

Lagi pula, terbiasa mencermati berbagai demonstrasi yang pernah berlangsung, rakyat sekarang cukup cerdas untuk menaksir energi politik sebuah demonstrasi. Rakyat bisa membedakan demonstrasi yang mengandung energi politik yang kuat dan yang lemah.

Rakyat tidak lagi mudah terpesona dengan jumlah peserta dan retorika yang muncul. Sebuah demonstrasi bisa saja dihadiri oleh banyak orang dan berisi pernyataan-pernyatan yang bombastis, tetapi hal itu tidak selalu mencerminkan besarnya energi politik yang ada di dalamnya. Rakyat sudah paham itu.

Demonstrasi untuk menyampaikan pendapat sungguh berbeda dengan aksi-aksi untuk memaksakan kehendak.

Rakyat ingin pemerintah memberikan ruang yang memadai bagi demonstrasi untuk menyampaikan pendapat, seperti dijamin oleh undang-undang. Pada saat yang sama rakyat juga ingin pemerintah bersikap tegas dan menegakkan hukum atas aksi-aksi pemaksaan kehendak yang lazimnya disertai dengan cara kekerasan dan penuh hasutan.

Kita sudah mulai terbiasa menghadapi perbedaan pendapat. Namun kita tidak boleh terintimidasi dengan aksi pemaksaan kehendak. Di situlah kita berharap pemerintah bertindak tegas sesuai dengan hukum.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ksaan-kehendak

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Jangan tunda lagi pembentukan Badan OtoritasPangan

- Berhentilah memperuncing perbedaan

- Tinggalkan kekerasan dalam pendidikan

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
3.5K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Tampilkan semua post
BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
#1
Menyatakan pendapat bukanlah pemaksaan kehendak


Muhammad Rizieq Shihab memimpin massa FPI (Front Pembela Islam) berdemonstrasi ke Mabes Polri pada hari Senin (16/1/2017). Aksi itu merupakan buntut dari insiden bentrokan antara FPI dengan ormas di Bandung ketika dirinya diperiksa di Mapolda Jabar, Kamis (12/1/2017) lalu.

Rizieq yang merupakan pemimpin FPI menolak aksi hari itu disebut sebagai unjuk rasa. "Kita di sini tidak berunjuk rasa. Tapi melapor ke polisi, melapor ramai-ramai," kata Rizieq seperti dikutip Detik.com.

Dalam orasinya menjelang pemberangkatan massa FPI ke Mabes Polri, Rizieq memang menyebut sejumlah hal yang akan dilaporkannya. Di antaranya adalah pidato Megawati 10 Januari lalu, gambar di uang baru pecahan Rp100.000, tudingan provokasi Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan saat bentrokan pada aksi 411, dan bentrokan massa FPI dengan ormas di Bandung itu.

Pengerahan massa FPI yang cukup besar pada hari Senin itu berjalan tertib. Tidak ada laporan insiden pada aksi tersebut.

Menanggapi pertanyaan wartawan terkait demonstrasi itu, Menko Polhukam Wiranto berharap pencarian solusi atas sebuah masalah dapat dimulai dengan komunikasi. Demonstrasi sebagai langkah terakhir jika komunikasi menghadapi jalan buntu.

"Jangan sampai," lanjut Wiranto seperti dikutip Detik.com, "demo menjadi tren. Tren untuk menekan, untuk menyulitkan seseorang, menjelekkan seseorang, menjelekkan pemerintah, menyudutkan pemerintahan."

Lebih lanjut Wiranto menyatakan, "Solusi ke depan, hak menyatakan pendapat di muka umum boleh, tapi ada rambu-rambunya dan ada syarat-syaratnya. Kalau syarat-syarat itu dilanggar, berhadapan dengan aparat keamanan."

Kita mengerti, pernyataan Menko Polhukam itu bukan melulu soal demonstrasi FPI ke Mabes Polri Senin lalu; melainkan juga terkait dengan serangkaian demonstrasi yang terjadi sejak akhir tahun lalu.

Sebetulnya, setelah era reformasi, demonstrasi bukanlah kegiatan yang sangat istimewa. Siapa saja boleh dan bisa berdemonstrasi. Sebagai bentuk ekspresi menyatakan pendapat, hak warga negara untuk melakukan demonstrasi itu dilindungi oleh undang-undang.

Undang-undang No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum menjadi dasar hukum yang melindungi hak warga negara untuk berdemonstrasi. Tentu selain menjamin hak, undang-undang tersebut juga memberikan sejumlah kewajiban dan mensyaratkan sejumlah tata cara.

Harus digarisbawahi, hak berdemonstrasi yang dilindungi oleh undang-undang adalah unjuk rasa sebagai pengejawantahan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Undang-undang tersebut menjamin hak warga negara untuk "menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Benar bahwa sekecil apapun jumlah pesertanya, setiap unjuk rasa pastilah bukan semata-mata menyampaikan pikiran. Di dalamnya terkandung energi politik yang berpotensi memberi tekanan kepada pengambil kebijakan. Itu lumrah dan alami saja. Besar atau kecilnya energi politik itu tergantung sejumlah faktor politik yang meliputinya.

Sementara demonstrasi yang tidak dilindungi oleh undang-undang adalah aksi yang dilakukan untuk memaksakan kehendak. Apalagi jika aksi tersebut dilakukan dengan pendekatan kekerasan.

Meski dibungkus dalam bentuk demonstrasi, aksi-aksi kekerasan yang bertujuan memaksakan kehendak bisa diseret ke ranah pidana; tak ada kaitannya dengan kemerdekaan menyatakan pendapat yang dilindungi oleh undang-undang.

Pernyataan Menko Polhukam Wiranto, yang berharap demonstrasi tidak menjadi cara yang cenderung dipakai untuk memberikan tekanan politik, menyiratkan bahwa pemerintah kewalahan dan terganggu dengan berbagai demonstrasi yang berlangsung belakangan ini.

Kita perlu menyayangkan pernyataan itu jika kemudian rakyat membacanya sebagai sinyal bahwa pemerintah sedang gugup menghadapi rentetan demonstrasi.

Rakyat lebih merasa tenteram jika pemerintah bersikap lebih kalem dalam memberikan pernyataan untuk menyikapi demonstrasi belakang ini. Selain menenteramkan, bagi warga negara, sikap tenang itu menunjukkan kewibawaan pemerintah.

Bahwa di dalam demonstrasi itu terdapat energi politik yang mengandung tekanan, seperti sudah disampaikan tadi, itu lumrah dan alami. Tak perlu gugup menghadapinya.

Lagi pula, terbiasa mencermati berbagai demonstrasi yang pernah berlangsung, rakyat sekarang cukup cerdas untuk menaksir energi politik sebuah demonstrasi. Rakyat bisa membedakan demonstrasi yang mengandung energi politik yang kuat dan yang lemah.

Rakyat tidak lagi mudah terpesona dengan jumlah peserta dan retorika yang muncul. Sebuah demonstrasi bisa saja dihadiri oleh banyak orang dan berisi pernyataan-pernyatan yang bombastis, tetapi hal itu tidak selalu mencerminkan besarnya energi politik yang ada di dalamnya. Rakyat sudah paham itu.

Demonstrasi untuk menyampaikan pendapat sungguh berbeda dengan aksi-aksi untuk memaksakan kehendak.

Rakyat ingin pemerintah memberikan ruang yang memadai bagi demonstrasi untuk menyampaikan pendapat, seperti dijamin oleh undang-undang. Pada saat yang sama rakyat juga ingin pemerintah bersikap tegas dan menegakkan hukum atas aksi-aksi pemaksaan kehendak yang lazimnya disertai dengan cara kekerasan dan penuh hasutan.

Kita sudah mulai terbiasa menghadapi perbedaan pendapat. Namun kita tidak boleh terintimidasi dengan aksi pemaksaan kehendak. Di situlah kita berharap pemerintah bertindak tegas sesuai dengan hukum.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/editori...ksaan-kehendak

---

Baca juga dari kategori EDITORIAL :

- Jangan tunda lagi pembentukan Badan OtoritasPangan

- Berhentilah memperuncing perbedaan

- Tinggalkan kekerasan dalam pendidikan

0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.