dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 2: Challenge Accepted




Cover By: adriansatrio


Cerita ini didasari oleh pemikiran otak gue yang banyak orang enggak suka, malah kebanyakan menghujat. Awalnya gue risih juga, otak juga otak gue, kenapa orang lain yang ributin. Tapi aneh bin nyata, enggak tau kenapa, lama-kelamaan gue malah suka setiap kali kena hujat. Nah, demi mendapat hujatan-hujatan itulah cerita ini dibuat. WARNING: 15TAHUN+

Spoiler for QandA:


"Bukannya apatis ato apa, gue cuma males urusan sama hal-hal yang mainstream. Buat lo mungkin itu menarik, buat gue itu kayak suara jangkrik. Kriik... Krikk... bikin geli."
-Calon wakil ketua LEM-


Explanation

Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 15-09-2017 10:22
alejandrosf13
anasabila
imamarbai
imamarbai dan 7 lainnya memberi reputasi
6
374.3K
1.4K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#118
PART 1

“Jadi gimana, kak? Diterima?” tanya cewek di depan gue.
Gue tatap cewek itu lekat-lekat, “Iya, aku mau jadi cowok kamu.”

“Ciiiieeee! Disti diterima! Arman patah hati! Cieeeee!”
“Dawi gesit! Makan-makan, Wi!”
“MMR boleh turun! Pacaran tetep jalan, Wi!”

Gue gandeng cewek yang ada di depan gue, “Yuk turun.”
“Eh? Tu-turun?”
“Turun ke bawah, mau sampe kapan di panggung gini? Dilihatin orang banyak ini.”

Cewek itu berlari turun dari panggung sambil menutupi mukanya. Meninggalkan gue yang mau menggandeng cewek tapi malah dicuekin.

Gue ditembak? Iya. Di atas panggung? Iya. Di depan ratusan mahasiswa lain? Iya. Mereka saksi ricuh akan kisah cinta gue yang baru. Enggak, gue bercanda. Yang barusan itu cuma game doang. Salah satu miba ketahuan nonton bokep sewaktu apel sore, jadi dia disuruh nembak cowok sebagai hukumannya. Dan tanpa disangka-sangka, guelah yang dipilih sebagai cowoknya.

Aneh? Iya gue juga tau. Kalo yang ketahuan nonton cowok, pasti enggak bakal serame ini. Bukannya dihukum rame-rame malah yang ada pada minta kirim lewat whatsapp. Masalahnya ini yang nonton cewek, cakep, kalem, dan kayaknya rajin ibadah. Jadi kayaknya wajar-wajar aja kalo banyak orang yang antusias.

“Gila ya, Wi,” komentar cewek disebelah gue sambil ngupas mangga. “Miba jaman sekarang kelakuannya pada enggak bener.”
“Halah, lo juga sama aja, sok suci,” timpal cewek disebelah kiri gue dengan pisang di tangan.
“Enak aja! Gue orangnya enggak kayak gitu tau!” Cewek dengan mangga menutupi dadanya, “Gue orangnya tertutup, main rapi, jaga diri.”
“Masa?” tanggap gue.
“Masa?” gumam mereka berdua. “Maksudnya?”
“Ya… kalian daritadi dempet-dempet ke gue.” Gue makan pisang yang dibawa cewek di sebelah kiri gue, “Padahal tempat yang lain masih banyak yang longgar. Kenapa coba? Apa iya cewek yang jaga diri dempet-dempet kayak gini?”
Cewek mangga seketika jaga jarak, “Pokoknya gue beda dari miba tahun ini!”
“Halah, bullshit,” komentar cewek pisang. “Kalo suka ya suka aja, enggak perlu dikasih jarak.”

Gue jedotin kepala gue ke cewek pisang yang masih dempet-dempet, DUG!

“Lo juga aturan jaga jarak sama cowok.”

Waktu kita bertiga lagi ngobrol, salah satu temen satu divisi gue yang lain dateng.
“Wi, dicariin Mahmud tuh. Katanya suruh pilih foto yang bakal dipake bikin spanduk perpisahan.”
Gue beranjak dari tempat duduk gue, “Harus banget gue, ya?”
Cewek di sebelah kiri gue menahan tangan gue, “Udah sih biar yang lain, disini dulu aja.”
Gue tarik lepas tangan gue, “Inget, jaga diri. Enggak seharusnya kayak barusan.”
“Kayak barusan? Lo bertiga abis ngapain?!” kata temen gue sewaktu gue lewatin dia.

Milih foto buat dipake buat spanduk? Buat apa? Bingung? Oke, gue jelasin.

Ini adalah tahun kedua gue di kampus ini. Enggak seperti sebelumnya, gue telah berevolusi dari mahasiswa kupu-kupu menjadi mahasiswa kura-kura. Gue yang sebelumnya ke kampus cuma buat kuliah, sekarang udah berubah, gue mulai mengikuti oraganisasi kampus. Dan organisasi pertama gue adalah panitia ospek, dan jabatan gue yang pertama gue adalah kordinator lapangan divisi publikasi dan dokumentasi. Kece, kan? Jelas.

Kalo dibayangin kerjaan gue sebenernya enak, tinggal nyuruh-nyuruh orang buat kerja, ingetin deadline anggota pubdok yang lain. Tapi kalo bicara masalah kenyataan di lapangan, gue nangis darah gara-gara kerjaan enggak ada abisnya.

“Wi... ini dipake buat besok malem, masa iya belum selesai gini,” kata Mahmud.
“Ya-yaudah dong, tinggal kamu kerjain aja, toh cuma edit-edit sedikit fotonya.”
“Oh… gitu, ya?” Tanya Mahmud sambil menyibakkan rambut. “Hmmmh… jadi tinggal di-edit dikit?”

Wangi banget! Kalo kelamaan berduaan sama dia bisa-bisa gue khilaf beneran. Khilaf? Sama Mahmud?! Iyalah, sama Mahmud. Oh, tunggu, gue paham. Kalian pasti mikirnya Mahmud ini laki? Ya, kan? Bukan, Mahmud itu singkatan dari ‘mama muda.’ Panggilan ini diberikan gara-gara sifat Mahmud yang ke-ibu-an dan peduli sama orang-orang didekatnya, persis banget sama mama muda yang peduli banget sama keluarganya.

“Dawi sini minum cucu dulu~”

Gue usap hidung gue, lhoh... merah?!

“I-iya, tinggal minum cucu dikit, eh… maksud gue di edit dikit. Kamu buka photoshop, terus kamu crop sama trim dulu aja fotonya.”
Mahmud gebrak-gebrak meja tanda dia mulai badmood, “Masalahnya aku enggak ngerti cara editnya. Photoshop?! Apa itu?! Kalo photocopy aku paham, Wi. Kasih seribuan ke abang yang jaga nanti dibikinin lembaran lain yang sama persis dari yang kita bawa.”
“Bu-bukan fotokopi juga sih.” Gue singkirkan mouse sama keyboard dari hadapan dia, “Udah kamu tenang dulu, nanti kita crop sama-sama.”
“Crop?! Itu apa?! Sejenis barisan anggota kepolisan?” kata Mahmud memukul-mukul pundak gue.

Barisan kepolisian? Astaga! Itu corps! Itu corps! Jauh banget crop jadi corps!

“Ya-yaudah, mungkin enggak perlu di-crop aja kali, ya? Kita trim aja kalo gitu.”
“Trim?! Buat apa juga terima kasih sama barisan kepolisian? Apa hubungannya sama spanduk yang udah deadline?!”
“Kamu jangan histeris gini, aku jadi agak gimana gitu. Se-sekarang aku aja yang kerjain, kamu nonton dulu.”
Mahmud mengusap air matanya, “Yaudah, sambil belajar cara edit, kamu kasih tau aku arti bahasa inggrisnya.”
“Kalo bahasa inggris kayaknya udah enggak ketolong,” gumam gue.

See? Itu baru Mahmud yang minta tolong, belum anggota yang lain yang satu divisi, belum lagi anggota divisi yang lain. Ikutan ospek menguji gue untuk menjadi laki-laki yang bisa diandalkan.

Inget dua cewek yang di awal? Yang ngomongin masalah suci namanya Karin, dan yang sedikit bitchy namanya Novilda. Mereka berdua juga termasuk panitia ospek, lebih tepatnya divisi kesehatan. Penempatan mereka berdua di divisi itu cukup strategis. Pasalnya tahun ini banyak banget mahasiswa yang jatuh sakit tanpa sebab, dateng ke ruang kesehatan cuma buat minta obat terus ke kamar mandi. Sementara itu, kabar baiknya mahasiswi pada sehat semua, mereka males deket-deket divisi kesehatan. Kelakuan dan tingkah laku staff divisi kesehatan bikin stok obat hipertensi menipis, lebih berbahaya dari sate kambing setengah muda.

“Udah lo bantuin Mahmud?”
“Gue ajarin crop sama trim foto doang, sih Jak.”
“Bagus deh, asal enggak nangis di kantor aja.” Jaka menggidik, “Serem juga kalo malem-malem denger cewek nangis malem-malem.”

“Deadline… huhuhu….” Tiba-tiba terdengar suara Mahmud terisak, “Deadlineeee….”

Gue nyalakan sebatang rokok, “Semacem kayak uka-uka, gitu?”
“Setuju! Cakep sih cakep, tapi serem.”
“Lagian panitia ospek tahun ini yang dicari tampangnya doang, kemampuan enggak dicari, recruitnya parah.”

Kepala gue di getok benda rada keras. Sewaktu gue nengok, Grace dibelakang gue.

“Sembarangan aja kalo ngomong.”
“Eh? Grace?!”
“Kita tim recruit udah kerja keras tau!” Grace muterin gue sambil menyenggol-nyenggol bahu gue, “Dikira gampang cari volunteer yang mau dibayar nasi kotak?” keluh Grace.
“Iya deh, bukan salah tim recruit.” Gue acungkan peace, “Salah volunteernya sendiri.”
Grace memandang gue penuh curiga, “Tadi ke divisi kesehatan ngapain? Godain Karin sama Novilda?”
“En-enggak! Hari ini belum kesana.”
“Bohong dia Grace,” kata Jaka. “Barusan gue samperin dia di divisi kesehatan, gelendotan sama mereka.”
“Lo ngajakin ribut,” bisik gue ke Jaka. “Kalo ngajakin ke lapangan aja ayok.”
“Grace, dia bisik-bisik mau ngajakin ribut.”
“Ribut sama aku aja sini, Wi. Enggak usah sama yang lain.” Grace mendorong Jaka ke gue, “Aku sengaja nyuruh Jaka main sama kamu biar gampang diawasin, kalo kamu ngajak ribut dia, berarti kamu ngajak ribut aku.”
Gue silangkan tangan gue ke depan, “Ampun! Aku bocahmu!”

Baru sebentar Grace ngomel, ada beberapa miba yang nyamperin kita.

“Permisi, kak? Maaf ganggu,” kata salah satu miba.
“Ya, dek?” jawab Grace, “Ada apa, ya?”
Miba itu langsung menunjuk gue, “Kita mau ngomong sama kak Dawi.”
“Gu-gue?”
“Kalo boleh tau ada apa, ya?” tanya Grace.

Miba-miba itu berbisik dan saling dorong satu sama lain.

“Ngomong aja, gapapa kok,” kata gue.
“Disti pingsan, kak,” kata mereka serentak.
“Disti?” gumam Jaka.
Grace memandang gue penuh curiga, “Oh… jadi Disti namanya.”
“Di-Disti? Disti siapa?!”
Diubah oleh dasadharma10 02-02-2017 11:57
bajinghsengh
JabLai cOY
JabLai cOY dan bajinghsengh memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.