- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#3337
PART 105
Baru sebentar di dalam kereta, mendadak kepala gue pusing banget. Mungkin gara-gara salah posisi tidur apa gimana. Tapi kalo beneran gara-gara salah posisi tidur, aturan juga badan gue yang pegel, bukannya kepala gue.
Mungkin gara-gara bangun kesiangan terus gue pake buru-buru ke stasiun. Iya, mungkin kepala gue enggak kuat, jadi gue mendadak pusing gini. tapi mungkin juga enggak.
Gue pake bantal leher yang tadi sempat di pake sama Emil, gue senderkan kepala gue perlahan ke bangku kereta. Rasanya nyaman, jauh lebih enak daripada sebelumnya.
Tapi, baru sebentar gue menyenderkan kepala, ada suara bapak-bapak manggil-manggil gue.
“Sstt! Dek!” bapak-bapak di seberang gue memanggil.
“Iya, Pak? Bapak manggil saya?”
“Bisa minta tolong ambilin tas bapak yang diatas?” pinta si bapak.
Gue beranjak dari bangku gue mengambilkan tas si bapak.
“Makasih ya, Dek?”
“Iya sama-sama, Pak”
“Ngomong-ngomong tujuan adek mau kemana?” tanya bapak-bapak itu lagi.
“Iya, Pak,” jawab gue singkat.
“Bapak juga,” kata si bapak sambil manggut-manggut. “Adek sendirian aja?”
Gue menggeleng, “Enggak Pak, sama temen saya.”
“Lha mana? daritadi bapak lihat adek sendiri terus.”
“Lagi di toilet orangnya, Pak.”
Bener juga kata si bapak, gue jadi kepikiran sama Emil. Dia bilang dia mau ke toilet sebentar, kenapa sampai kereta berhenti dua kali dia masih belum balik?
Gue segera melepas bantal leher dan berjalan ke toilet belakang yang tadi dituju Emil. Sewaktu gue lihat ternyata pintunya masih tertutup. Apa mungkin Emil di toilet selama itu?
Gue ketok pintu toilet itu, “Mil? kamu ngapain kok lama banget?”
Lama enggak ada jawaban gue jadi mulai panik.
“Mil, lo enggak kenapa-napa kan? kepala lo enggak kebentur lagi kan?!”
Gue mulai menggedor-gedor pintu itu, “Mil? Jawab!”
Akhirnya setelah gedoran ke sekian kalinya, pintu toilet itu terbuka. Bukan Emil yang gue lihat tapi anak kecil yang kelihatan takut melihat gue.
Setelah anak kecil itu lari, gue segera masuk ke toilet. Nihil, gue enggak menemukan Emil di dalam kecual tulisan di kaca dengan tinta permanen.
Gue yakin seratus persen kalo ini tulisan Emil, gue yakin banget. Tapi kenapa nulis kayak ginian? Terus sekarang dia dimana?
Setelah membaca tulisan itu, gue langsung telepon Emil. Walaupun telepon enggak dijawab, gue tetap coba buat hubungi dia dengan cara lain. Whatsapp, Line, BBM dan Instagram semuanya gue coba. Tapi walaupun gue udah coba segala cara, tetep aja enggak ada satupun usaha gue yang mendapat balasan dari Emil.
Dari toilet gue langsung menuju gerbong paling depan. Gue telusuri semua sisi, gue cari Emil dari satu gerbong ke gerbong lain. Enggak berhenti disitu, gue minta salah satu petugas buat melakukan panggilan buat mencari Emil, tapi setelah sepuluh menit menunggu, hasilnya nihil.
Dengan lutut lemas gue berjalan ke kursi gue lagi. Gue berpikir keras, kemana Emil sebenernya. Enggak mungkin dia hilang gitu aja, pasti ada hal yang gue lewatkan. Misalnya dia turun di salah satu stasiun, tapi dia mau kemana? Apa jangan-jangan dia malah enggak naik kereta ini sama sekali? Dia tinggal di stasiun awal dan balik ke kos? Iya! Pasti kayak gitu. Ini Emil, hal yang enggak masuk akal bisa jadi masuk akal kalo dia yang ngelakuin!
Entah darimana asalnya kekuatan, kaki gue yang tadinya sempat lemas kembali pulih.
Gue harus segera turun dari kereta dan balik ke kos. Mungkin Emil sengaja mau menguji gue dengan sengaja turun meninggalkan gue dan balik ke kosan.
Setelah kereta berhenti di stasiun terdekat, gue langsung menurunkan tas bawaan gue. Dan kejanggalan mulai terjadi. Tas yang dari awal Emil bawa dan gue dilarang buat bawain ternyata enteng banget. Dan sewaktu gue buka tasnya, ada kertas dengan tinta yang sama di kaca toilet.
Gue robek kertas itu dan langsung turun dari kereta.
Begitu gue turun di stasiun terdekat, gue langsung cari tiket kereta lokal yang menuju ke arah Jogja, sayangnya kereta selanjutnya berangkat masih lama. Enggak berhenti disitu, gue langsung cari taksi dan minta dianter ke Jogja.
Gue enggak peduli bakalan semahal apa nanti argonya, apapun bakal gue lakuin, yang penting gue bisa ketemu Emil lagi.
Baru berjalan beberapa menit, taksi gue terhenti kemacetan. Jalan ditutup oleh beberapa polisi. Jalan yang gue lewati ada demo yang perlu menutup jalan.
“Demo apa, Mas?” tanya gue ke sopir taksi.
“Kurang tau, mas.” Sopir taksi menunjuk salah satu pendemo yang membawa spanduk, “Coba lihat spanduk yang dibawa.”
“Turunkan harga bbm?” Gue mendengus pelan, “Yakali demo weekend gini.”
Demo turunkan harga bahan bakar minyak, demo yang gue rasa bakalan terus ada sampe kiamat. Enggak, pas hari kiamat gue rasa mereka juga bakalan tetap demo. Bisa dibilang juga demo abadi, kalo belum turun sampe di gratisin pemerintah kayaknya mereka enggak bakalan puas.
Baru sebentar di dalam kereta, mendadak kepala gue pusing banget. Mungkin gara-gara salah posisi tidur apa gimana. Tapi kalo beneran gara-gara salah posisi tidur, aturan juga badan gue yang pegel, bukannya kepala gue.
Mungkin gara-gara bangun kesiangan terus gue pake buru-buru ke stasiun. Iya, mungkin kepala gue enggak kuat, jadi gue mendadak pusing gini. tapi mungkin juga enggak.
Gue pake bantal leher yang tadi sempat di pake sama Emil, gue senderkan kepala gue perlahan ke bangku kereta. Rasanya nyaman, jauh lebih enak daripada sebelumnya.
Tapi, baru sebentar gue menyenderkan kepala, ada suara bapak-bapak manggil-manggil gue.
“Sstt! Dek!” bapak-bapak di seberang gue memanggil.
“Iya, Pak? Bapak manggil saya?”
“Bisa minta tolong ambilin tas bapak yang diatas?” pinta si bapak.
Gue beranjak dari bangku gue mengambilkan tas si bapak.
“Makasih ya, Dek?”
“Iya sama-sama, Pak”
“Ngomong-ngomong tujuan adek mau kemana?” tanya bapak-bapak itu lagi.
“Iya, Pak,” jawab gue singkat.
“Bapak juga,” kata si bapak sambil manggut-manggut. “Adek sendirian aja?”
Gue menggeleng, “Enggak Pak, sama temen saya.”
“Lha mana? daritadi bapak lihat adek sendiri terus.”
“Lagi di toilet orangnya, Pak.”
Bener juga kata si bapak, gue jadi kepikiran sama Emil. Dia bilang dia mau ke toilet sebentar, kenapa sampai kereta berhenti dua kali dia masih belum balik?
Gue segera melepas bantal leher dan berjalan ke toilet belakang yang tadi dituju Emil. Sewaktu gue lihat ternyata pintunya masih tertutup. Apa mungkin Emil di toilet selama itu?
Gue ketok pintu toilet itu, “Mil? kamu ngapain kok lama banget?”
Lama enggak ada jawaban gue jadi mulai panik.
“Mil, lo enggak kenapa-napa kan? kepala lo enggak kebentur lagi kan?!”
Gue mulai menggedor-gedor pintu itu, “Mil? Jawab!”
Akhirnya setelah gedoran ke sekian kalinya, pintu toilet itu terbuka. Bukan Emil yang gue lihat tapi anak kecil yang kelihatan takut melihat gue.
Setelah anak kecil itu lari, gue segera masuk ke toilet. Nihil, gue enggak menemukan Emil di dalam kecual tulisan di kaca dengan tinta permanen.
“Kalo kamu baca tulisan ini, kamu udah berhasil bangkit dari lika-liku kehidupanmu yang sulit sampe detik ini. Kamu udah selamat dari yang namanya ditikung temen, ditinggal sahabat, nilai jelek, patah hati dan ujian jadi orang kuat. Setelah ini banyak lagi masa sulit yang bakalan dateng dan disitulah kamu bakalan bangkit lagi. Tapi sebelumnya, bangkit dulu dari masalah yang satu ini. Hadapi, jangan lari. Aku tau kamu bakalan bisa. You are awesome!”
Gue yakin seratus persen kalo ini tulisan Emil, gue yakin banget. Tapi kenapa nulis kayak ginian? Terus sekarang dia dimana?
Setelah membaca tulisan itu, gue langsung telepon Emil. Walaupun telepon enggak dijawab, gue tetap coba buat hubungi dia dengan cara lain. Whatsapp, Line, BBM dan Instagram semuanya gue coba. Tapi walaupun gue udah coba segala cara, tetep aja enggak ada satupun usaha gue yang mendapat balasan dari Emil.
Dari toilet gue langsung menuju gerbong paling depan. Gue telusuri semua sisi, gue cari Emil dari satu gerbong ke gerbong lain. Enggak berhenti disitu, gue minta salah satu petugas buat melakukan panggilan buat mencari Emil, tapi setelah sepuluh menit menunggu, hasilnya nihil.
Dengan lutut lemas gue berjalan ke kursi gue lagi. Gue berpikir keras, kemana Emil sebenernya. Enggak mungkin dia hilang gitu aja, pasti ada hal yang gue lewatkan. Misalnya dia turun di salah satu stasiun, tapi dia mau kemana? Apa jangan-jangan dia malah enggak naik kereta ini sama sekali? Dia tinggal di stasiun awal dan balik ke kos? Iya! Pasti kayak gitu. Ini Emil, hal yang enggak masuk akal bisa jadi masuk akal kalo dia yang ngelakuin!
Entah darimana asalnya kekuatan, kaki gue yang tadinya sempat lemas kembali pulih.
Gue harus segera turun dari kereta dan balik ke kos. Mungkin Emil sengaja mau menguji gue dengan sengaja turun meninggalkan gue dan balik ke kosan.
Setelah kereta berhenti di stasiun terdekat, gue langsung menurunkan tas bawaan gue. Dan kejanggalan mulai terjadi. Tas yang dari awal Emil bawa dan gue dilarang buat bawain ternyata enteng banget. Dan sewaktu gue buka tasnya, ada kertas dengan tinta yang sama di kaca toilet.
“Jangan turun! Semuanya udah terlambat!”
Gue robek kertas itu dan langsung turun dari kereta.
Begitu gue turun di stasiun terdekat, gue langsung cari tiket kereta lokal yang menuju ke arah Jogja, sayangnya kereta selanjutnya berangkat masih lama. Enggak berhenti disitu, gue langsung cari taksi dan minta dianter ke Jogja.
Gue enggak peduli bakalan semahal apa nanti argonya, apapun bakal gue lakuin, yang penting gue bisa ketemu Emil lagi.
Baru berjalan beberapa menit, taksi gue terhenti kemacetan. Jalan ditutup oleh beberapa polisi. Jalan yang gue lewati ada demo yang perlu menutup jalan.
“Demo apa, Mas?” tanya gue ke sopir taksi.
“Kurang tau, mas.” Sopir taksi menunjuk salah satu pendemo yang membawa spanduk, “Coba lihat spanduk yang dibawa.”
“Turunkan harga bbm?” Gue mendengus pelan, “Yakali demo weekend gini.”
Demo turunkan harga bahan bakar minyak, demo yang gue rasa bakalan terus ada sampe kiamat. Enggak, pas hari kiamat gue rasa mereka juga bakalan tetap demo. Bisa dibilang juga demo abadi, kalo belum turun sampe di gratisin pemerintah kayaknya mereka enggak bakalan puas.
Diubah oleh dasadharma10 24-12-2016 22:13
0


