- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#3222
PART 102 - D
“Mil? Beli tiket sekarang yuk?” ajak gue ke Emil yang baru datang.
“Sekarang?” Alis emil naik sebelah, “Kamu kan belum ujian?”
“Ya enggak masalah, kan? Takutnya besok kehabisan.”
Emil melempar kunci mobilnya ke gue, “Emang masih buka?”
“Kita lihat dulu, siapa tau masih, kan?”
Emil yang baru dateng dari EO sama mbak Irma langsung gue ajakin buat ke stasiun, gue enggak mau membuang-buang waktu lagi. Apa yang ada di pikiran langsung gue keluarin semuanya, enggak pedulli apapun resikonya.
Jam sembilan malam gue ke stasiun cari tiket, sepengetahuan gue stasiun buka dua puluh empat jam. Dan se-enggak-pengetahuan gue, stasiun enggak buka dua puluh empat jam. Sampe di stasiun, loketnya udah pada tutup. Emil yang tau loketnya tutup mendadak kelihatan kesal.
“Kok tutup ya, Mil?”
“Aku enggak mau komen.”
“Biasanya jam segini masih buka kok.”
“Tetep enggak mau komen.”
Dari stasiun kita enggak mampir kemana-mana, Emil masih kesel sama loket yang tutupnya kecepetan. Bukan kesel gara-gara gue, iya, bukan gara-gara gue. Dan sampe di kosan, ada mobil yang enggak kita kenal terparkir di depan.
Begitu kita masuk, barulah kita kenal siapa pemilik mobil itu. Arin di ruang tamu sama bokapnya.
Emil gue minta langsung ke kamar, sementara gue menemui mereka.
“Malam, oom,” sapa gue
“Malam,” jawabnya ketus. “Enggak usah basa-basi, ini udah malam. Kamu tau kenapa oom kesini?”
Gue menggeleng, “Maaf, saya kurang tau, oom.”
“Omong kosong! Kamu jelas-jelas sudah mempermainkan keluarga saya!”
Berasa kayak sinetron banget gue. Tokoh antagonis dengan mata menyala-nyala menatap peran protagonis dengan penuh dendam.
“Maksudnya gimana ya, oom? Saya enggak ngerti.”
“Tadi sore kamu habis pamit ngapain, Arin?! Dia nangis gara-gara kamu!”
“Saya bener-bener enggak tau, oom.” Gue pandang Arin tajam-tajam, “Lagipula… Arin sendiri yang usir saya sendiri.”
“Oom udah denger semuanya dari Arin, dan menurut oom, kamu bersalah! Jadi sekarang kamu minta maaf sama Arin, atau oom bawa masalah ini ke polisi!”
Udah denger semuanya dari Arin? Bentar, jadi Arin lapor bokapnya? Emang dia lapor apaan sampe bokapnya datengin gue gini? Terus gimana ceritanya bikin nangis anak orang sampe ke polisi?!
“Lhoh, oom?! Salah saya apa? Kok jadi bawa-bawa polisi?”
“Kamu sudah melanggar pasal 335 ayat 1 KUHP! Kamu juga sudah melanggar pasal 394 KUHP!” Bokapnya Arin terlihat mencoba menginga-ingat sesuatu, “Iya, minimal pasal 335 ayat 1 KUHP kamu kena!”
Yaelah, pake bawa-bawa KUHP lagi. Tau aja bokapnya Arin kalo nilai gue ilmu hukum pidana lagi jelek-jeleknya. Tapi kalo gue sampe beneran kena penjara gawat juga. Apa kata bokap gue nanti kalo dia tau anaknya masuk penjara?!
“Oom enggak perlu sampe bawa-bawa polisi.” Gue menatap tajam-tajam ke arah Arin untuk yang terakhir kalinya, “Mbak, saya minta maaf atas apa yang sudah saya lakukan selama ini. Setelah hari ini, saya berjanji enggak akan mencampuri urusan mbak lagi.”
Bukannya bokapnya Arin puas, dia malah tambah bringas.
”Enggak! Bukan ini yang oom mau! Kamu harus bawa orangtua kamu menghadap oom secepatnya! Iya, secepatnya!”
“Lhoh, oom?! Kok jadi bawa-bawa orangtua saya?
“Pokoknya oom enggak mau ta–”
“PERGI!”
Begitu gue tengok, mas Roni dengan tampang serem yang belum pernah gue lihat sebelumnya menunjuk pintu kosan.
“Siapa kamu?! Berani-beraninya bentak saya?” Bokapnya Arin berdiri menantang mas Roni, “Kamu pikir kamu ini siapa?!”
“Bapak yang harusnya mikir kayak gitu!” Mas Roni berdiri tepat di depan bokapnya Arin, “Bapak pikir bapak siapa? Nekat mengganggu kenyamanan penghuni kos disini! Bapak enggak tau kalo ini udah malam?!”
Bokapnya Arin nunjuk-nunjuk muka gue, “Urusan saya sama dia–”
“Dia adek saya!” potong mas Roni. “Kalo bapak berurusan sama dia, berarti bapak berurusan dengan saya!”
“Kamu berani, ya? Dasar berandal!” bentak bokapnya Arin. “Saya ini hakim yang ditakuti orang-orang kayak kamu! Kenalan saya yang jauh lebih barbar dari berandalan kayak kamu banyak! Saya bikin habis kamu nanti!”
“Mau berapa banyak orang yang bapak bawa kesini saya enggak takut!”
“Kamu nantangin saya? Kamu pikir kamu ini siapa?!”
“Saya reserse kriminal! Dari awal saya bertugas saya pendidikan sudah dididik rela mati demi membela yang benar! Mati dalam penyelidikan yang belum tentu menangkap orang dzalim saja saya enggak takut, apalagi mati belain adek saya yang didzalimi!”
Mas Roni badass banget! Enggak nyangka gue kalo mas Roni seorang polisi. Dari penampilannya dia kayak orang sipil biasa, malahan gue pernah mikir kalo dia kurir narkoba. Seumur-umur baru kali ini gue lihat mas Roni kayak gini.
“Sekarang saya minta dengan baik-baik bapak pergi dari sini. Kalo bapak masih ragu saya seorang reserse, silahkan tanya kenalan bapak yang tadi katanya lebih bar-bar dari saya. Kalo perlu bapak minta sama kenalan bapak buat keroyok saya sekalian! Kita lihat siapa yang bakalan abis!”
DAMN! Mas Roni bener-bener badass! Gue langsung kebayang mas Roni jadi Neo the Matrix. Iya, Neo the Matrix yang kebanyakan makan sampe perutnya buncit. Dikeroyok musuh dari segala penjuru tapi tetep enggak gentar. Mas Roni keren banget!
Bokapnya Arin memberi kode ke Arin buat pulang. Dan... mereka pulang beneran.
Begitu mereka pulang, mas Roni langsung mengunci pintu kosan. Sementara gue, masih mematung, speechless jadi saksi mas Roni versus bokapnya Arin.
“Kamu kalo ada orang yang mulai bawa-bawa pasal kayak gitu lawan aja. Kamu anak hukum, kalo kamu enggak salah ya lawan aja,” kata mas Roni.
“I-iya, mas.”
“Kalo ada kejadian kayak barusan bilang aku.” Mas Roni tiduran di sofa ruang tamu, “Ganggu jam istirahat orang aja. Matiin lampunya!”
Gue mematikan lampu sesuai permintaan mas Roni. “Tapi, mas?”
“Apalagi? Lawan aja, enggak usah takut.”
“Mas beneran reserse?”
“Ya bukanlah, emang pantes aku jadi reserse?”
“Mil? Beli tiket sekarang yuk?” ajak gue ke Emil yang baru datang.
“Sekarang?” Alis emil naik sebelah, “Kamu kan belum ujian?”
“Ya enggak masalah, kan? Takutnya besok kehabisan.”
Emil melempar kunci mobilnya ke gue, “Emang masih buka?”
“Kita lihat dulu, siapa tau masih, kan?”
Emil yang baru dateng dari EO sama mbak Irma langsung gue ajakin buat ke stasiun, gue enggak mau membuang-buang waktu lagi. Apa yang ada di pikiran langsung gue keluarin semuanya, enggak pedulli apapun resikonya.
Jam sembilan malam gue ke stasiun cari tiket, sepengetahuan gue stasiun buka dua puluh empat jam. Dan se-enggak-pengetahuan gue, stasiun enggak buka dua puluh empat jam. Sampe di stasiun, loketnya udah pada tutup. Emil yang tau loketnya tutup mendadak kelihatan kesal.
“Kok tutup ya, Mil?”
“Aku enggak mau komen.”
“Biasanya jam segini masih buka kok.”
“Tetep enggak mau komen.”
Dari stasiun kita enggak mampir kemana-mana, Emil masih kesel sama loket yang tutupnya kecepetan. Bukan kesel gara-gara gue, iya, bukan gara-gara gue. Dan sampe di kosan, ada mobil yang enggak kita kenal terparkir di depan.
Begitu kita masuk, barulah kita kenal siapa pemilik mobil itu. Arin di ruang tamu sama bokapnya.
Emil gue minta langsung ke kamar, sementara gue menemui mereka.
“Malam, oom,” sapa gue
“Malam,” jawabnya ketus. “Enggak usah basa-basi, ini udah malam. Kamu tau kenapa oom kesini?”
Gue menggeleng, “Maaf, saya kurang tau, oom.”
“Omong kosong! Kamu jelas-jelas sudah mempermainkan keluarga saya!”
Berasa kayak sinetron banget gue. Tokoh antagonis dengan mata menyala-nyala menatap peran protagonis dengan penuh dendam.
“Maksudnya gimana ya, oom? Saya enggak ngerti.”
“Tadi sore kamu habis pamit ngapain, Arin?! Dia nangis gara-gara kamu!”
“Saya bener-bener enggak tau, oom.” Gue pandang Arin tajam-tajam, “Lagipula… Arin sendiri yang usir saya sendiri.”
“Oom udah denger semuanya dari Arin, dan menurut oom, kamu bersalah! Jadi sekarang kamu minta maaf sama Arin, atau oom bawa masalah ini ke polisi!”
Udah denger semuanya dari Arin? Bentar, jadi Arin lapor bokapnya? Emang dia lapor apaan sampe bokapnya datengin gue gini? Terus gimana ceritanya bikin nangis anak orang sampe ke polisi?!
“Lhoh, oom?! Salah saya apa? Kok jadi bawa-bawa polisi?”
“Kamu sudah melanggar pasal 335 ayat 1 KUHP! Kamu juga sudah melanggar pasal 394 KUHP!” Bokapnya Arin terlihat mencoba menginga-ingat sesuatu, “Iya, minimal pasal 335 ayat 1 KUHP kamu kena!”
Yaelah, pake bawa-bawa KUHP lagi. Tau aja bokapnya Arin kalo nilai gue ilmu hukum pidana lagi jelek-jeleknya. Tapi kalo gue sampe beneran kena penjara gawat juga. Apa kata bokap gue nanti kalo dia tau anaknya masuk penjara?!
“Oom enggak perlu sampe bawa-bawa polisi.” Gue menatap tajam-tajam ke arah Arin untuk yang terakhir kalinya, “Mbak, saya minta maaf atas apa yang sudah saya lakukan selama ini. Setelah hari ini, saya berjanji enggak akan mencampuri urusan mbak lagi.”
Bukannya bokapnya Arin puas, dia malah tambah bringas.
”Enggak! Bukan ini yang oom mau! Kamu harus bawa orangtua kamu menghadap oom secepatnya! Iya, secepatnya!”
“Lhoh, oom?! Kok jadi bawa-bawa orangtua saya?
“Pokoknya oom enggak mau ta–”
“PERGI!”
Begitu gue tengok, mas Roni dengan tampang serem yang belum pernah gue lihat sebelumnya menunjuk pintu kosan.
“Siapa kamu?! Berani-beraninya bentak saya?” Bokapnya Arin berdiri menantang mas Roni, “Kamu pikir kamu ini siapa?!”
“Bapak yang harusnya mikir kayak gitu!” Mas Roni berdiri tepat di depan bokapnya Arin, “Bapak pikir bapak siapa? Nekat mengganggu kenyamanan penghuni kos disini! Bapak enggak tau kalo ini udah malam?!”
Bokapnya Arin nunjuk-nunjuk muka gue, “Urusan saya sama dia–”
“Dia adek saya!” potong mas Roni. “Kalo bapak berurusan sama dia, berarti bapak berurusan dengan saya!”
“Kamu berani, ya? Dasar berandal!” bentak bokapnya Arin. “Saya ini hakim yang ditakuti orang-orang kayak kamu! Kenalan saya yang jauh lebih barbar dari berandalan kayak kamu banyak! Saya bikin habis kamu nanti!”
“Mau berapa banyak orang yang bapak bawa kesini saya enggak takut!”
“Kamu nantangin saya? Kamu pikir kamu ini siapa?!”
“Saya reserse kriminal! Dari awal saya bertugas saya pendidikan sudah dididik rela mati demi membela yang benar! Mati dalam penyelidikan yang belum tentu menangkap orang dzalim saja saya enggak takut, apalagi mati belain adek saya yang didzalimi!”
Mas Roni badass banget! Enggak nyangka gue kalo mas Roni seorang polisi. Dari penampilannya dia kayak orang sipil biasa, malahan gue pernah mikir kalo dia kurir narkoba. Seumur-umur baru kali ini gue lihat mas Roni kayak gini.
“Sekarang saya minta dengan baik-baik bapak pergi dari sini. Kalo bapak masih ragu saya seorang reserse, silahkan tanya kenalan bapak yang tadi katanya lebih bar-bar dari saya. Kalo perlu bapak minta sama kenalan bapak buat keroyok saya sekalian! Kita lihat siapa yang bakalan abis!”
DAMN! Mas Roni bener-bener badass! Gue langsung kebayang mas Roni jadi Neo the Matrix. Iya, Neo the Matrix yang kebanyakan makan sampe perutnya buncit. Dikeroyok musuh dari segala penjuru tapi tetep enggak gentar. Mas Roni keren banget!
Bokapnya Arin memberi kode ke Arin buat pulang. Dan... mereka pulang beneran.
Begitu mereka pulang, mas Roni langsung mengunci pintu kosan. Sementara gue, masih mematung, speechless jadi saksi mas Roni versus bokapnya Arin.
“Kamu kalo ada orang yang mulai bawa-bawa pasal kayak gitu lawan aja. Kamu anak hukum, kalo kamu enggak salah ya lawan aja,” kata mas Roni.
“I-iya, mas.”
“Kalo ada kejadian kayak barusan bilang aku.” Mas Roni tiduran di sofa ruang tamu, “Ganggu jam istirahat orang aja. Matiin lampunya!”
Gue mematikan lampu sesuai permintaan mas Roni. “Tapi, mas?”
“Apalagi? Lawan aja, enggak usah takut.”
“Mas beneran reserse?”
“Ya bukanlah, emang pantes aku jadi reserse?”
END OF CHAPTER 9
phntm.7 memberi reputasi
1


