Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Yaudah, gue mati aja

Cover By: kakeksegalatahu


Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.





Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue



emoticon-Bettyemoticon-Betty emoticon-Betty



----------




SECOND STORY VOTE:
A. #teambefore
B. #teamafter
C. #teamfuture

PREDIKSI KASKUSER = EMIL



----------



PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.



----------


Spoiler for QandA:


WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+



NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY


Spoiler for Ilustrasi:


Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.


Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
JabLai cOYAvatar border
mazyudyudAvatar border
xue.shanAvatar border
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#3192
PART 102 - B

Dari rumah Arin gue enggak langsung pulang ke kosan. Gue berhenti di sebuah kafe kopi di pinggir jalan buat nenangin pikiran.

Rencana gue gagal total, harusnya hari ini gue ketemu nyokapnya Arin, jadi besok sewaktu Emil ketemu nyokap, gue bisa tau gimana rasanya diposisi Emil. Bukannya malah ketemu sama bokapnya Arin dan jadi kayak gini.

Arin juga yang salah, kenapa dia malah mikir kalo gue mau serius sama dia coba? Aturan dia bantuin gue mikir masalah Emil, bukannya malah bikin gue tambah pikiran.

Sewaktu gue lagi ngedumel sendirian, ada telepon dari nomor tidak dikenal. Berkali-kali telepon, berkali-kali juga gue tolak.
Begitu mas-mas waiter dateng, gue minta tolong sama dia buat angkat telepon itu sementara gue membuka-buka buku menu. Gue tulis pesenan gue sendiri, dan gue sendiri juga yang nulis nomer meja gue sendiri.

“Mas, tadi yang telepon cewek. Dia bilang dia minta di terima undangan BBMnya terus kasih tau mas lagi dimana.”
“Terus?”
“Udah saya terima terus saya kirim foto sama lokasi kafe ini,” kata waiter itu lagi.
“Makasih ya, mas.”
“Iya, sama-sama, mas.”

Siapa yang telepon? Mau apa dia nanyain gue lagi dimana? Kenapa dia minta buat nerima undangan BBM segala? Gimana kalo itu Arin? Apa Arin mau datengin gue buat minta maaf? Gue enggak tau semua jawaban itu. Yang jelas kepala gue lagi diisi sama pertanyaan yang banyak banget. Kalo gue jawab semuanya, mungkin bisa-bisa seketika gue mual.

Begitu waiter datang membawa pesanan, gue langsung meminum kopi itu sekal teguk. Sampe-sampe waiter sama pengunjung lain kelihatan bingung.

“Satu lagi, mas,” kata gue.
“I-Iya, mas. Tolong ditunggu.”

Kejadian itu berlangsung sampe lima kali. Gue tau kopi itu lagi panas-panasnya, tapi itu sama sekali enggak mengganggu gue. Yang mengganggu gue adalah ucapan terima kasih dari Arin tadi. Siapa yang salah kalo Arin ngucapin terima kasih ke gue kayak gitu.

“Satu lagi, mas?” tanya waiter itu lagi.
“Iya, satu lagi,” jawab gue.
“Dua lagi, mas,” kata cewek yang tiba-tiba duduk di kursi depan gue. “Tapi yang satu lagi jangan kasih gula, terus airnya dikit, sama jangan sampe ada ampas kopinya.
Sewaktu gue tengok, ternyata Icha yang duduk di depan gue.
“Mas yang angkat telepon saya tadi, kan?” tanya Icha ke waiter itu.
“Iya, mbak.”
“Makasih, ya.”
“Sama-sama, mbak.”

Begitu waiter itu pergi, gue letakkan dahi gue di atas meja. Kepala gue berat banget, rasanya pusing, tapi bukan pusing kayak yang biasanya.

“Lo apa kabar, Cha?”
“Baik, kamu sendiri?”
“Buruk.” Gue benturkan dahi gue ke meja, “Buruk banget malahan.”
“Kamu kenapa, Wi?” tanya Icha. “Lagi ada masalah?”

Gue lagnsung mengangkat kepala gue dan memasang muka senyum di depan Icha, “Enggak, gue enggak lagi ada masalah. Nih, gue senyum.”

“Serem tau enggak.”
“Bodo.”
“Jadwalku di Jogja lagi padet banget, aku enggak bisa lama-lama disini,” kata Icha. “Angkat kepalamu terus fokus ke aku bentar, ada hal penting yang aku mau sampein.”
Gue mengangkat kepala gue lagi dan gue pasang muka fokus ke Icha, “Apa? Mau terima kasih jug–”
Icha menempelkan sebuah amplop ke muka gue, “Ada titipan surat buat kamu.”
“Dari Ayu?”
“Dari, Ayu, Oom, Tante, sama satu lagi dari mantannya Ayu. Aku jadiin satu biar enggak ribet.”
“Halah, paling juga udah lo baca.”
“Terserah deh, Wi.”
Begitu Waiter tiba, Icha langsung beranjak dari duduknya. “Udah, aku ada kerjaan.”
“Eh? Kopi lo?”
Icha mengambil secangkir kopi, “Ini yang enggak pake ampas?”
“Waiter itu mengangguk, “Iya, mbak–”

Tanpa ba-bi-bu, Icha menyiramkan kopinya ke muka gue.

“Apa-apaan sih lo, Cha?!”
“Jangan kaget, dia udah kurang ajar sama saya,” kata Icha meniggalkan gue. “Dia yang bayar semuanya, mas.”

Setelah Icha meninggalkan kafe, gue beranjak dari kursi dan berniat ke toilet buat bersihin sisa-sisia kopi di muka dan baju gue.

Waiter itu menahan gue, “Mas mau kemana? Bayar dulu!”
“Ke toilet bentar, muka gue asem. Enggak bakalan gue kabur tanpa bayar, tungguin aja.”

Begitu muka sama badan gue udah bersih, gue balik lagi ke meja gue.

Gue baca surat-surat yang tadi di kasih sama Icha sambil minum kopi gue dengan perlahan.
Surat pertama dair bokapnya Ayu, isinya cuma ucapan terima kasih yang dipanjang-panjangin. Surat kedua dari nyokapnya Ayu, enggak beda jauh dari surat suaminya, tapi yang ini lebih melambai-lambai. Otak gue puyeng bacain surat mereka berdua, sampe-sampe gue mulai kerasa ada yang mau keluar dari dalam perut gue.

Surat ketiga dari mantannya Masayu, sengaja gue baca surat Masayu terakhir karena gue penganut quote ‘Save best last for.’ Gue tau itu salah, gue cuma males buka google translate buat cari tulisan yang bener.

Quote:


Bangke ini orang, kalo ketemu gue sambit juga kepalanya.
Begitu gue balik, ada tulisan yang pake huruf kecil dan bahasa yang lebih enak dibaca.

Quote:


Ini surat terkampret yang pernah gue baca, bukan cuma bahasanya, tapi juga cara dia bikinnya. Gue aja sampe salah baca bagian belakangnya duluan.

Mungkin kita emang bukan yang terbaik buat dia, Ver. Tapi satu hal yang jelas banget, lo cowok terkampret dari salah satu mantan gue. All Hail Kampret!
Diubah oleh dasadharma10 19-12-2016 05:09
-2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.