- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#847
NYOLONG MANGGA
Spoiler for :
Ipul membuang botol air mineral kosong ke tempat sampah. Tak lama kemudian Sarah mendekat sambil berjalan hati-hati diantara batu nisan dan gundukan makam. Setelah membuang daun pisang pembungkus bunga tujuh rupa, ia menatap sekali lagi kuburan orangtuanya dan kuburan orangtua Ipul lalu berkata
“Ayo Sai, kita pulang.”
“Ayo.” Sambut Ipul singkat dengan kening sedikit berkerut.
Ketika perjalanan pulang dilanjutkan dengan mobil, tak ada satupun dialog yang terjadi diantara keduanya. Baru setelah kendaraan terparkir di halaman rumah Ipul memulai pembicaraan.
“Aku tahu namaku Saipul.”
“Saipul juga bagus, tak usah diganti yang macam-macam.”
“Nama memang tak perlu diganti, tapi cara manggilnyayang perlu diganti.”
“Memangnya sekarang jadi masalah kalau aku manggil Sai?”
“Sejak kecil kau panggil aku ‘Sai’ dan kau kupanggil ‘Sar’.”
“Romantis kan? Atmosfer couple-nya terasa banget. Suami istri panggilannya Cuma beda satu huruf.”
“Kalau antar kita saja sih romantis.”
“Tapi?”
“Kalau baby kita manggil kamu Sar dan manggil aku Sai juga karena ikut-ikutan orangtuanya kan gak lucu.” Kata Ipul sambil mengelus perut Sarah yang semakin membesar.
“Kalau begitu kita harus panggil satu sama lain pakai apa? Papi-mommy, Mom-Dad, Abi-Umi atau yang Indonesia seperti Ayah-Bunda atau Bapak-Ibu?”
“Soal itu kita pikir nanti saja.” Jawab Ipul yang ternyata juga masih bingung mau menggunakan panggilan apa.
“Iya masih ada lima bulan lagi, sekalian sambil cari nama yang bagus buat Si Kecil.” Sahut istrinya sambil membuka pintu.
“Kalau begitu sekarang kita makan siang dulu.”
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Mangga mudanya habis.”
“Ya sudah aku cariin dulu.”
Ipul keluar pagar. Ia melihat kanan- kiri. Kampung halamannnya yang dulu bukanlah yang sekarang. Tak ada lagi anak-anak main layangan atau petani membawa kerbaunya jalan-jalan di atas jalanan tanah. Sekarang jalan sudah diaspal, anak-anak sibuk dengan smartphone masing-masing dan lalu-lalang hewan berkaki empat sudah digantikan oleh sepeda motor beroda dua.
“Sai.” Sebuah suara memanggilnya dari balik rimbun pohon mangga.
“Adi?” Tanyanya sambil menoleh ke arah pria berkacamata yang sedang melakukan okulasi.
“Mau ke mana?”
“Ke pasar beli mangga, Sarah lagi ngidam.”
“Sarah? Anak Bu Sulis mantan primadona kampung, yang dulu masih bayi?” Adi terkejut.
“Sekarang malah lebih cantik dari ibunya.”
“Oh ya? Soal mangga nggak usah beli, ambil saja disini.”
“Ah jangan.”
“Oh kamu masih trauma ya.” Kata Adi sambil menutup buku pertanian yang sudah lecek di tangannya
“Masih ingat saja.” Sambung Ipul
“Tenang sekarang nggak ada yang nyuruh kamu push-up karena nyolong mangga.”
“Nyuri mangga dengan dituduh nyuri mangga itu beda Di.”
“Jadi waktu itu?”
“Aku kan sudah bilang bukan aku yang ngambil!”
“Tapi ayahku tidak percaya.”
“Kalau jadi ayahmu akupun tidak akan percaya kalau bukan aku pencurinya. Tapi percayalah bukan aku yang nyolong.”
“Lalu siapa?”
“Kamu ada waktu Di?”
“Kamu mau melakukan apa ?”
“Kita selidiki sama-sama.”
“Sekarang?”
“Kapan lagi.”
Waktu itu hujan turun rintik-rintik. Sambil bersiul-siul, Ipul lewat depan rumah Adi sambil memandang kagum ke arah pohon mangga yang mulai berbuah. Di bawah pohon itu Pak Gahar, ayah Adi sedang motret-motret tanamannya.
“Mari,Pak Gahar.”
“Hmmm.” Jawab Pak Gahar sangar sambil mengunci pintu pagar dari dalam.
Ipul berlalu, ia kemudian berbelok ke rumah di samping rumah Pak Gahar untuk belajar kelompok. Sepulang dari kerja kelompok tahu-tahu ia dihadang pria sangar itu dan langsung dimarahi habis-habisan.
“Anak bandel, masih kecil sudah jadi maling.”
“Bukan saya Pak.”
“Kamu tadi lihatin mangga terus. Lalu di sandalmu juga ada daun mangga nyelip. Mau bohong bagaimana lagi?”
“Tapi mangganya kan tidak ada di saya Pak.”
“Pasti sudah kamu habiskan sama teman-temanmu di sebelah. Alasannya belajar kelompok tapi nyatanya nyolong berjamaah. Memalukan. Ayo pilih mana, dipukuli atau push up?”
“Push-up saja deh.”
“100 kali.”
Adi mendengarkan dengan cermat cerita sahabat masa kecilnya itu. Ia lalu masuk ke dalam lalu keluar lagi sambil membawa album foto.
“Pukul 14:00 mangga itu masih ada. Pukul 14:15 sudah tidak ada.”
Katanya sambil menunjuk jam dinding ruang tamu dalam foto yang diambil Pak Gahar.
“Kita kerja kelompok pukul 14 pas. Aku ingat betul.”
“Ya soal itu aku juga ingat.” Kata Adi.
“Kau masih ingat siapa saja yang belajar bareng di rumah Wiji waktu itu?”
“Tentu saja. Yang pertama Wiji sendiri sebagai tuan rumah. Aku, kau, sama satu lagi aku....ingat orangnya tapi lupa namanya.”
“Axel, anak agak gemuk pindahan dari kota Ikut ke sini karena ayahnya ditunjuk jadi lurah kampung kita.”
“Waktu itu yang keluar ruang belajar antara jam 14:00 sampai 14:15 siapa saja?”
“Aku ke kamar mandi.” Kenang Ipul.
“Wiji beli gorengan baru pulang jam 14:30, Axel pulang ngambil buku pulang 14:20.” Jawab Adi.
“Oh ya, aku ingat waktu itu selesai makan gorengan tisunya aku yang buang ke tempat sampah. Di tempat sampah tidak ada sisa kulit maupun biji mangga muda. Hanya kertas-kertas.” Kataku.
“Gorengannya masih hangat dan di tempat kita hanya ada satu penjual gorengan. Jadi kecil kemungkinan pelakunya Wiji.” Kata Adi lagi.
“Kalau Axel, menurutku terlalu gemuk untuk bisa memanjat pagar. Sebagai pemilik pohon mangga tak mungkin kau pelakunya. Satu-satunya yang alibinya tidak bisa dibuktikan hanya aku. Bisa saja kan aku masuk kamar mandi lalu keluar lewat jendela, manjat pagar rumah ayahmu dan mencuri mangga lalu kembali kemari.”
“Sudahlah, mungkin juga bukan kita berempat tapi orang lain yang mencurinya.”
“Ya. Betul juga.”
“Di! Telepon!” Tiba-tiba Pak Gahar versi tua keluar, memanggil Adi agar masuk ke dalam rumah.
“Pak Gahar.” Sapa Ipul.
“Hmmm.”
“Aku terima telepon dulu ya.”
Ipul merenung. Lalu bagaimana daun mangga yang pohonnya ada di dalam pagar bisa terselip ke bagian atas sandal japitnya? Kalau alibi Wiji dan Axel terbukti berarti yang bisa melakukannya cuma satu orang. Tetapi mengapa?
Orang ini tidak punya motif.
Sambil menarik nafas, Ipul berjalan-jalan di halaman rumah Pak Gahar. Tanamannya bertambah banyak, wajar karena Adi memang hobi berkebun. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bonsai tua di sudut halaman. Ipul melihat potnya ada ukiran bertuliskan 14 April 1994. Ia kenal pahatan itu, gaya penulisan huruf-hurufnya juga sama. Tak salah lagi pelakunya memang.....
“Adi.”
“Ya.” Jawab Adi yang kembali ke halaman.
“Anak SD mana punya uang sebanyak itu untuk beli bonsai? Siapa yang memberimu uang dan menyuruhmu mencuri mangga dari halaman rumahmu sendiri? Waktu nyolong pakai sandalku lagi. ”
“Akhirnya kau tahu juga.”
“Katakan siapa?”
“Aku sudah berjanji untuk merahasiakannya. Bonsai itu upah agar aku tutup mulut seumur hidup.”
“Seumur hidup? Sepenting itu kah?”
“Awalnya tidak tapi sekarang ya.”
“Ceritakan dengan jujur. “
“Harus di hadapanmu dan Sarah.”
“Sarah? Waktu itu Istriku belum lahir Di!”
“Kalau waktu itu Sarah sudah lahir pencurian ini tidak akan terjadi!”
Ipul mundur beberapa langkah lalu tertunduk lesu. Tak lama kemudian ia pulang ke rumah bersama Adi. Di hadapan Sarah dan Saipul, Adi bercerita kejadian siang itu.
Ipul ke kamar mandi, Wiji beli gorengan dan Axel mengambil buku. Seorang diri Adi di ruang tamu. Saat menyalin catatan matematika, terdengar suara dari arah pagar rumahnya.
“Aduh!” Kata seorang pria yang tangannya terluka tergores kawat berduri.
“Pak Bram?”
“Adi?”
“Sedang apa di sini?”
“Bisa tidak aku beli mangganya.”
“Masih muda Pak, belum matang. Nanti kalau sudah matang dan rasanya manis baru enak dimakan.”
“Aku tambahin deh uangnya, lagi butuh mangga muda nih.”
“Saya ambilkan.” Adi membuka pintu dengan kunci cadangan di saku lalu mengambilkan sekantong plastik mangga dan memberikannya kepada Pak Bram.
“Terima kasih, ini uangnya. Aku pulang dulu.”
“Loh Pak Bram, rumah Pak Bram kan di utara kok jalannya ke selatan?”
“Sttt jangan bilang siapa-siapa. Kebetulan tadi aku beli bonsai di pasar. Kalau tutup mulut bonsainya buat kamu.”
“Janji ya.”
“Sip.”
Kata Pak Bram sambil mengacungkan jempol dan berjalan menuju rumah Bu Sulis.
“Pantas saja mendiang ibu pernah bilang ayah sering membelikan mangga muda waktu hamil dulu. Tapi ayahku sama sekali tak pernah menyinggungnya.”
“Kalau begitu....aku dan kamu kakak adik. Kita saudara kandung Sar.”
“I...ini gawat Sai.”
“Benar-benar gawat Sar.”
“La...lalu anak ini nasibnya bagaimana? Apa...apakah kita harus cerai dulu atau bagaimana?”
“Aku....tidak tahu.” Jawab Ipul sambil bersandar ke dinding dengan lemas.
“Ayo Sai, kita pulang.”
“Ayo.” Sambut Ipul singkat dengan kening sedikit berkerut.
Ketika perjalanan pulang dilanjutkan dengan mobil, tak ada satupun dialog yang terjadi diantara keduanya. Baru setelah kendaraan terparkir di halaman rumah Ipul memulai pembicaraan.
“Aku tahu namaku Saipul.”
“Saipul juga bagus, tak usah diganti yang macam-macam.”
“Nama memang tak perlu diganti, tapi cara manggilnyayang perlu diganti.”
“Memangnya sekarang jadi masalah kalau aku manggil Sai?”
“Sejak kecil kau panggil aku ‘Sai’ dan kau kupanggil ‘Sar’.”
“Romantis kan? Atmosfer couple-nya terasa banget. Suami istri panggilannya Cuma beda satu huruf.”
“Kalau antar kita saja sih romantis.”
“Tapi?”
“Kalau baby kita manggil kamu Sar dan manggil aku Sai juga karena ikut-ikutan orangtuanya kan gak lucu.” Kata Ipul sambil mengelus perut Sarah yang semakin membesar.
“Kalau begitu kita harus panggil satu sama lain pakai apa? Papi-mommy, Mom-Dad, Abi-Umi atau yang Indonesia seperti Ayah-Bunda atau Bapak-Ibu?”
“Soal itu kita pikir nanti saja.” Jawab Ipul yang ternyata juga masih bingung mau menggunakan panggilan apa.
“Iya masih ada lima bulan lagi, sekalian sambil cari nama yang bagus buat Si Kecil.” Sahut istrinya sambil membuka pintu.
“Kalau begitu sekarang kita makan siang dulu.”
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Mangga mudanya habis.”
“Ya sudah aku cariin dulu.”
Ipul keluar pagar. Ia melihat kanan- kiri. Kampung halamannnya yang dulu bukanlah yang sekarang. Tak ada lagi anak-anak main layangan atau petani membawa kerbaunya jalan-jalan di atas jalanan tanah. Sekarang jalan sudah diaspal, anak-anak sibuk dengan smartphone masing-masing dan lalu-lalang hewan berkaki empat sudah digantikan oleh sepeda motor beroda dua.
“Sai.” Sebuah suara memanggilnya dari balik rimbun pohon mangga.
“Adi?” Tanyanya sambil menoleh ke arah pria berkacamata yang sedang melakukan okulasi.
“Mau ke mana?”
“Ke pasar beli mangga, Sarah lagi ngidam.”
“Sarah? Anak Bu Sulis mantan primadona kampung, yang dulu masih bayi?” Adi terkejut.
“Sekarang malah lebih cantik dari ibunya.”
“Oh ya? Soal mangga nggak usah beli, ambil saja disini.”
“Ah jangan.”
“Oh kamu masih trauma ya.” Kata Adi sambil menutup buku pertanian yang sudah lecek di tangannya
“Masih ingat saja.” Sambung Ipul
“Tenang sekarang nggak ada yang nyuruh kamu push-up karena nyolong mangga.”
“Nyuri mangga dengan dituduh nyuri mangga itu beda Di.”
“Jadi waktu itu?”
“Aku kan sudah bilang bukan aku yang ngambil!”
“Tapi ayahku tidak percaya.”
“Kalau jadi ayahmu akupun tidak akan percaya kalau bukan aku pencurinya. Tapi percayalah bukan aku yang nyolong.”
“Lalu siapa?”
“Kamu ada waktu Di?”
“Kamu mau melakukan apa ?”
“Kita selidiki sama-sama.”
“Sekarang?”
“Kapan lagi.”
Waktu itu hujan turun rintik-rintik. Sambil bersiul-siul, Ipul lewat depan rumah Adi sambil memandang kagum ke arah pohon mangga yang mulai berbuah. Di bawah pohon itu Pak Gahar, ayah Adi sedang motret-motret tanamannya.
“Mari,Pak Gahar.”
“Hmmm.” Jawab Pak Gahar sangar sambil mengunci pintu pagar dari dalam.
Ipul berlalu, ia kemudian berbelok ke rumah di samping rumah Pak Gahar untuk belajar kelompok. Sepulang dari kerja kelompok tahu-tahu ia dihadang pria sangar itu dan langsung dimarahi habis-habisan.
“Anak bandel, masih kecil sudah jadi maling.”
“Bukan saya Pak.”
“Kamu tadi lihatin mangga terus. Lalu di sandalmu juga ada daun mangga nyelip. Mau bohong bagaimana lagi?”
“Tapi mangganya kan tidak ada di saya Pak.”
“Pasti sudah kamu habiskan sama teman-temanmu di sebelah. Alasannya belajar kelompok tapi nyatanya nyolong berjamaah. Memalukan. Ayo pilih mana, dipukuli atau push up?”
“Push-up saja deh.”
“100 kali.”
Adi mendengarkan dengan cermat cerita sahabat masa kecilnya itu. Ia lalu masuk ke dalam lalu keluar lagi sambil membawa album foto.
“Pukul 14:00 mangga itu masih ada. Pukul 14:15 sudah tidak ada.”
Katanya sambil menunjuk jam dinding ruang tamu dalam foto yang diambil Pak Gahar.
“Kita kerja kelompok pukul 14 pas. Aku ingat betul.”
“Ya soal itu aku juga ingat.” Kata Adi.
“Kau masih ingat siapa saja yang belajar bareng di rumah Wiji waktu itu?”
“Tentu saja. Yang pertama Wiji sendiri sebagai tuan rumah. Aku, kau, sama satu lagi aku....ingat orangnya tapi lupa namanya.”
“Axel, anak agak gemuk pindahan dari kota Ikut ke sini karena ayahnya ditunjuk jadi lurah kampung kita.”
“Waktu itu yang keluar ruang belajar antara jam 14:00 sampai 14:15 siapa saja?”
“Aku ke kamar mandi.” Kenang Ipul.
“Wiji beli gorengan baru pulang jam 14:30, Axel pulang ngambil buku pulang 14:20.” Jawab Adi.
“Oh ya, aku ingat waktu itu selesai makan gorengan tisunya aku yang buang ke tempat sampah. Di tempat sampah tidak ada sisa kulit maupun biji mangga muda. Hanya kertas-kertas.” Kataku.
“Gorengannya masih hangat dan di tempat kita hanya ada satu penjual gorengan. Jadi kecil kemungkinan pelakunya Wiji.” Kata Adi lagi.
“Kalau Axel, menurutku terlalu gemuk untuk bisa memanjat pagar. Sebagai pemilik pohon mangga tak mungkin kau pelakunya. Satu-satunya yang alibinya tidak bisa dibuktikan hanya aku. Bisa saja kan aku masuk kamar mandi lalu keluar lewat jendela, manjat pagar rumah ayahmu dan mencuri mangga lalu kembali kemari.”
“Sudahlah, mungkin juga bukan kita berempat tapi orang lain yang mencurinya.”
“Ya. Betul juga.”
“Di! Telepon!” Tiba-tiba Pak Gahar versi tua keluar, memanggil Adi agar masuk ke dalam rumah.
“Pak Gahar.” Sapa Ipul.
“Hmmm.”
“Aku terima telepon dulu ya.”
Ipul merenung. Lalu bagaimana daun mangga yang pohonnya ada di dalam pagar bisa terselip ke bagian atas sandal japitnya? Kalau alibi Wiji dan Axel terbukti berarti yang bisa melakukannya cuma satu orang. Tetapi mengapa?
Orang ini tidak punya motif.
Sambil menarik nafas, Ipul berjalan-jalan di halaman rumah Pak Gahar. Tanamannya bertambah banyak, wajar karena Adi memang hobi berkebun. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah bonsai tua di sudut halaman. Ipul melihat potnya ada ukiran bertuliskan 14 April 1994. Ia kenal pahatan itu, gaya penulisan huruf-hurufnya juga sama. Tak salah lagi pelakunya memang.....
“Adi.”
“Ya.” Jawab Adi yang kembali ke halaman.
“Anak SD mana punya uang sebanyak itu untuk beli bonsai? Siapa yang memberimu uang dan menyuruhmu mencuri mangga dari halaman rumahmu sendiri? Waktu nyolong pakai sandalku lagi. ”
“Akhirnya kau tahu juga.”
“Katakan siapa?”
“Aku sudah berjanji untuk merahasiakannya. Bonsai itu upah agar aku tutup mulut seumur hidup.”
“Seumur hidup? Sepenting itu kah?”
“Awalnya tidak tapi sekarang ya.”
“Ceritakan dengan jujur. “
“Harus di hadapanmu dan Sarah.”
“Sarah? Waktu itu Istriku belum lahir Di!”
“Kalau waktu itu Sarah sudah lahir pencurian ini tidak akan terjadi!”
Ipul mundur beberapa langkah lalu tertunduk lesu. Tak lama kemudian ia pulang ke rumah bersama Adi. Di hadapan Sarah dan Saipul, Adi bercerita kejadian siang itu.
Ipul ke kamar mandi, Wiji beli gorengan dan Axel mengambil buku. Seorang diri Adi di ruang tamu. Saat menyalin catatan matematika, terdengar suara dari arah pagar rumahnya.
“Aduh!” Kata seorang pria yang tangannya terluka tergores kawat berduri.
“Pak Bram?”
“Adi?”
“Sedang apa di sini?”
“Bisa tidak aku beli mangganya.”
“Masih muda Pak, belum matang. Nanti kalau sudah matang dan rasanya manis baru enak dimakan.”
“Aku tambahin deh uangnya, lagi butuh mangga muda nih.”
“Saya ambilkan.” Adi membuka pintu dengan kunci cadangan di saku lalu mengambilkan sekantong plastik mangga dan memberikannya kepada Pak Bram.
“Terima kasih, ini uangnya. Aku pulang dulu.”
“Loh Pak Bram, rumah Pak Bram kan di utara kok jalannya ke selatan?”
“Sttt jangan bilang siapa-siapa. Kebetulan tadi aku beli bonsai di pasar. Kalau tutup mulut bonsainya buat kamu.”
“Janji ya.”
“Sip.”
Kata Pak Bram sambil mengacungkan jempol dan berjalan menuju rumah Bu Sulis.
“Pantas saja mendiang ibu pernah bilang ayah sering membelikan mangga muda waktu hamil dulu. Tapi ayahku sama sekali tak pernah menyinggungnya.”
“Kalau begitu....aku dan kamu kakak adik. Kita saudara kandung Sar.”
“I...ini gawat Sai.”
“Benar-benar gawat Sar.”
“La...lalu anak ini nasibnya bagaimana? Apa...apakah kita harus cerai dulu atau bagaimana?”
“Aku....tidak tahu.” Jawab Ipul sambil bersandar ke dinding dengan lemas.
THE END
Diubah oleh reloaded0101 19-12-2016 00:07
0
Kutip
Balas