Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Yaudah, gue mati aja

Cover By: kakeksegalatahu


Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.





Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue



emoticon-Bettyemoticon-Betty emoticon-Betty



----------




SECOND STORY VOTE:
A. #teambefore
B. #teamafter
C. #teamfuture

PREDIKSI KASKUSER = EMIL



----------



PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.



----------


Spoiler for QandA:


WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+



NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY


Spoiler for Ilustrasi:


Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.


Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
JabLai cOYAvatar border
mazyudyudAvatar border
xue.shanAvatar border
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#3024
PREDIKSI KETIGA

A. Arin = 17
B. Masayu = 3
C. Emil = 35
D. Grace = 0
E. Icha = 5
F. Nyokap Masayu = 3
G. Etc. (Mas Roni, Bentigo, Supir Taksi, dll.) = 9

Kayaknya masa #TeamEmil lebih mendominasi, #TeamArin yang sempet di depan sekarang ketinggalan jauh amat emoticon-Ngakak
Masih ada part 101 sebelum vote ditutup. Gue bakal buka di chapter 10, bukan di chapter 9.
Kalo kalian salah prediksi, ya anggep aja kalian enggak jauh lebih peka dari gue emoticon-Ngakak


PART 100

Kita bertiga udah berada di halaman parkir, tapi kita dari tadi masih di dalem mobil. Entahlah, kita bertiga galau.

“Kalian yakin mau masuk?” tanya mas Roni.
“Aku sih ngikut kalian aja,” kata koh Wahyu. “Asal Sintya enggak tau enggak bakalan jadi masalah.”
“Waduh, iya juga. Kalo Irma tau gimana, ya?”
Alis koh Wahyu naik sebelah, “Mas enggak mikir sampe kesitu?”
“Ya… enggaklah. Baru kali ini aku mau dugem tapi udah ada calon istri, baru kali ini ngerasain atmosfernya.”
“Terus?” tanya gue. “Mau balik aja?”
“ENGGAKLAH!” jawab mereka berdua serentak.
“Wow, santai dong bro,” gue menjaga jarak.
“Tadi sore aku udah kasih minuman Sintya obat tidur, masa iya sekarang aku pulang gitu aja.”

Obat tidur?! Koh Wahyu udah gila! Gimana ceritanya dia bisa setega itu kasih obat tidur ke istrinya sendiri demi dugem bertiga? Parah, enggak seharusnya gue mengajak mereka. Gue sengaja lebih memilih mengajak mereka karena mereka tau permasalahan gue, selain itu mereka enggak bakalan muntahin temennya sendiri atau berantem di dalem. Harusnya gue ngajakin Arya sama Pepy daripada mereka berdua.

“Oh… jadi obat tidur di tong sampah itu punyamu, to?”
“Hehe… jangan kasih tau siapa-siapa tapi, mas.”
“Enggak. Berkat kamu Irma juga jadi tidur cepet.”

Gue tatap mata mas Roni lekat-lekat, “Mas juga pakein obat tidur ke mbak Irma?!”
Ya Tuhan! Gue menyesali keputusan gue yang telah memilih mas Roni dan koh Wahyu sebagai partner dugem gue malem ini. Bukannya berasa dugem sama temen sendiri, ini malah lebih ke waspada karena dugem sama psikopat.

“Aturan tadi Emil sama Arin juga gue minumin itu,” gumam gue.

Tepat jam sebelas malam kita bertiga memutuskan buat masuk. Mas Roni sudah memesan meja lewat temannya jadi kita tetap kebagian meja meski masuknya malem. Iya, gue tau, orangtua yang satu ini emang kenalan di dunia hitamnya banyak banget. Gembong narkoba, dia juga kenal, mucikari prostitusi, dia temenan deket, bahkan sampe pedagang ayam tiren dia sering tidur bareng.

Blue Label, Vadko, Mirtanes, dan Waski udah ada di meja. Masing-masing udah di buka tutupnya, tinggal mulut orangnya yang ke buka buat minum. Kalo kemarin gue minum bareng Bentigo sama Pepy pakenya gelas kecil, mas Roni minta tambahan gelas gede yang biasa buat minum beer.

“Kalo kita cuma minum doang, itu enggak seru!” Mas Roni menuang salah satu minuman ke dalam gelas gede, “Nanti kita main game, yang kalah harus minum ini gelas.”
“Terus kenapa dituang sekarang?” tanya gue.
“Iya, mas. Kita mulai main juga belum, nanti malah keburu kebauan ketek orang.”
Mas Roni berhenti menuang minuman itu, “Oh, iya juga, ya?”
“Belum juga dua puteran udah mabok nih orangtua,” sindir gue.
Dia menoyor gue, “Sontoloyo! Kita main bola pantul. Yu, keluarin!”
Koh Wahyu mengeluarkan bola pingpong berwwarna putih,” Ini nih, Wi. Bola yang bisa bikin seru kalo lagi kayak gini.”
“Bolanya diapain?”
“Sabar, aku jelasin dulu. Jadi gini satu putaran tiap orang harus mantulin bola ini ke meja, tujuannya biar bisa masuk ke gelas kecil. Kalo berhasil dia harus minum gelas kecil itu, dan kalo gagal….” Koh Wahyu menaik turunkan alisnya, “Dia harus habisin gelas gede! Selain itu, selesai minum dia wajib buat mencurahkan apa yang ada dipikirannya!”

Ini gila! Gue kira cuma Bentigo sama Grace doang yang punya ritual gila sewaktu mabok, ternyata mas Roni sama Koh Wahyu sama gilanya. Bayangin aja kalo gue sampe kalah, selain gue bakal dibikin kembung bin mabok, gue juga harus curhat. Permainan macam apa ini?!

“Wooohooooo!” teriak mas Roni kegirangan. “Doyan aku nek ngene iki!”

Ronde pertama dimulai, kita bertiga hompimpah untuk menentukan siapa yang main duluan. Gue hitam, koh Wahyu hitam, mas Roni putih. Mas Roni jalan duluan sementara gue dan koh Wahyu suit. Bola dipantulkan, pantulan pertama terlalu tinggi, pantulan kedua sedikit lebih rendah, plung! Bola itu masuk ke salah satu gelas kecil.

Bangke! Orangtua yang satu ini jago banget, gue kira bakalan kejauhan atau mental kemana, enggak tau malah tepat sasaran.

“Giliranmu, Yu!”
“Oke!”
Koh Wahyu memantulkan bolanya, sekali pantul tapi sesuai jalur. Plung! Bola itu masuk di gelas tengah.
“Woohoooo!” teriak koh Wahyu.
“Kalian berdua curang! Kalian udah tau caranya!”
“Halah, nek cupu yo cupu wae.”
Gue ambil bola dari tangan koh Wahyu, “Watch this!”

Ketek gue sedikit gue buka ke samping, tangan membentuk siku yang meyakinkan. Tok! Gue mulai memantulkan bola itu. Enggak sampe, bahkan kena gelasnya aja enggak.

“Eeeaaaaaa!” teriak mas Roni girang.
“Minum, Wi! Sportif!”
“Iya sabar,” kata gue mengangkat gelas gede.

Enggak ada pilihan lain, terpaksa gue minum habis itu gelas gede. Rasanya sebenernya enak, tapi lumayan bikin eneg. Kalian tau rasanya dipaksa buat minum jamu? Yah, sebelas duabelaslah rasanya. Bedanya kalo jamu bikin sehat, kalo ini bikin enggak sehat. Sama-sama ada kata sehatnya, tapi artinya lain.

Gue taruh lagi gelas gede itu di meja. Tenggorokan gue rasanya panas banget, baru pertama kali ini gue minum langsung banyak kayak gitu.

“Ronde kedua!” ucap mas Roni penuh semangat. “Ayo, curhat! Kita main sekalian kamu curhat!”
“Curhat … aku mau curhat apaan coba. Ngomongin apa nih?”
“Apa kek… bisa cinta-cintaan, politik, budaya, agama, gaya hidup , teori kimia atau apa kek. Orang mabok mah bebas kali, Wi.”
“Kalian pernah bayangin jadi anak yatim piatu di panti asuhannya ‘Stuart Little’ enggak? Gimana ya rasanya ada keluarga yang lebih milih tikus yang bisa ngomong daripada kita?” Gue meminum beer pake gelas kecil, “Kalian tau enggak kalo orang pertama yang dijatuhi hukum pasung itu orang yang bikin alat pasung gara-gara jualan alat pasung kemahalan. Kalia—”
“Kamu tuh ngomong apa sih, Wi?!” potong koh Wahyu.
“Lhah, katanya disuruh curhat?”
“Curhat mana ada ngomong kayak begituan?!”
“Tadi koh Wahyu sendiri yang bilang bebas. Ya… aku bingung mau cerita apaan. Dikira lagi ujian bahasa Indonesia, mengarang bebas.”

Setelah sebelas ronde, mas Roni kalah empat kali, koh Wahyu dua kali dan gue kalah lima kali, meja kembali sunyi senyap. Kita bertiga udah enggak kuat, bahkan rasanya mau ngefloor juga berat banget.

“Balik, yok?” ajak koh Wahyu.
Mas Roni melirik jam, “Baru juga jam setengah dua.”
“Masalahnya udah pada kayak gini, nanti yang bawa mobil siapa?”
“Ada Dawi, tenang aja.”
“Wi, kamu bawa mobil, ya?”
“Waduh, kalo masih sebotol gini enggak yakin bisa bawa mobil aku.”
Koh Wahyu mendorong minuman yang masih tiga-perempat ke depan mas Roni, “Abisin, Mas.”
“Tega, sama orangtua main perintah-perintah, durhaka.”
“Yang buka banyak juga siapa.” Koh Wahyu menuang minuman tadi ke gelas gue, “Nih, tinggal setengah, abisin sebotolnya.”

Balik dari dugem kita enggak langsung ke kos, kita beritga muter-muter Jogja biar agak sadaran dikit. Gue yang bawa mobil, koh Wahyu nemenin gue ngobrol, dan mas Roni di belakang nyanyi-nyanyi enggak jelas.

“Kalo mau muntah keluarin aja, mas. Ini mobilmu, bebas,” kata koh Wahyu.

TUK!

Kepala koh Wahyu dilempar kaleng susu sama mas Roni dari belakang.

“Mabok ye koe?”
“Wo… wong edan!” balas koh Wahyu.

Malem ini mobil kerasa rame banget meski cuma berisi bertiga. Suasananya meriah tapi bikin tenang. Jarang-jarang gue dapet feel kayak gini. Gara-gara mabok gue jadi tenang? Atau gara-gara ada mas Roni dan koh Wahyu? Entahlah.

“Sebelum nikah sama Sintya pernah pacaran berapa kali, Koh?” tanya gue.
“Enggak banyak, sih. Empat kali, Wi.”
“Aku sebelum sama Irma tujuh kali, Wi. Tapi Irma paling best!”
“Enggak nanya, mas! Terus mantan pertama sampe ketiga kemana itu, Koh?”
“Oh, aku paham. Kamu pasti mikirnya gini, pacar itu kamu jadiin acuan buat nikah, kan?”
“Iyalah, kalo enggak dibawa sampe nikah buat apa pacaran.”
“Ya, itu bagus. Artinya kamu serius dalam menjalin hubungan. Tapi kalo kayak gitu caranya, sewaktu dapet pacar yang kamu seriusin tapi dianya cuma mainin bisa-bisa kamu frustasi terus bunuh diri.”
“Aku enggak sebego itu kali, Koh.”
“Itu perumpamaan. Lihat aja kamu yang sekarang, patah hati dari Masayu larinya ke mabok. Itu baru tingkat pertama. Nanti kalo udah serius tingkat akhir bisa-bisa beneran bunuh diri.”

Koh Wahyu menyalakan tiga rokok sekaligus dan menyerahkan satu ke gue.

“Rokok enggak, mas?”
“Sini!”
“Maslah yang sini, nanti aku lempar malah kebakar jokmu.”

Mas Roni mendekat ke Koh Wahyu meraih rokoknya.

“Serius dalam menjalin hubungan itu emang perlu, Wi. Tapi kalo buat kamu saat ini, mendingan jalanin dulu, jangan serius banget-banget. Kamu masih muda, Wi. Disekelilingmu masih banyak cewek-cewek yang mungkin jodohmu, jangan cepet-cepet ambil keputusan kalo pacarmu itu jodohmu, bisa-bisa kamu salah joodoh.”
“Salah jodoh?”
“Lihat kenyataan, Masayu pacar pertamamu, enggak jodoh sekarang. Apa kamu mau maksain biar dia jadi jodohmu?”
“Ya bisa aja ka—”
“Serius boleh, tapi tetep pake akal sehat,” potong mas Roni. “Kamu nek mikirnya mau serius sampe nikah bisa-bisa hamilin anak orang.”
“Yaelah, mas. Aku enggak kayak gitu kali.”
“Aku milikmu selamanya~, aku janji kita sampe nikah~,” mas Roni menirukan nada cabe. “Terus mereka ML dan hamil duluan. Apa bedanya sama yang kayak gitu? Mereka walaupun menye tapi siapa yang tau kalo mereka serius dalam berhubungan.”
“Bener tuh yang diomongin mas Roni, hati seseorang siapa yang tau.” Koh Wahyu menghembuskan asap tebal ke muka gue, “Tapi ya semuanya balik lagi di kamu, Wi. Mau jalanin hubungan serius-serius banget padahal jalan masih panjang atau, bawa hubungan santai tapi serius.”
“Santai tapi serius?”
“Pacaran aja dulu, jalanin dulu, mikir kalo dia itu jodohmu sama nikahnya nanti aja kalo udah siap. Bukannya sekali tembak sekali penghulu, premature itu namanya. Janganlah tutup hati buat orang baru, tapi kalo lagi pacaran tutup sebentar enggak masalah.”

Sekali tembak sekali penghulu? Apa iya gue serius sama Masayu itu salah? Tapi apa yang barusan di omongin koh Wahyu ada benernya juga, gimana kalo nanti gue salah jodoh?

“Mamanya Masayu udah bilang kalo kalian enggak jodoh, istilah kasarnya kamu enggak diterima jadi menantu.”
“Kan kalo aku seriusin bisa aja mamanya bisa restuin kita.”
“Ya, itu bisa jadi. Tapia pa mamamu juga? Yakin dia mau nerima menantu kayak Masayu?”
“Jangan sampe ada kejadian nikah lari kedua, Wi.”
“Sembarangan kalo ngomong, mas. Aku enggak nikah lari!”

Kita ngakak sejadi-jadinya di dalem mobil. Tapi di tengah ketawa kita, gue sadar akan satu hal yang mengubah hidup gue.
Sesampainya di kosan, semua kamar gelap kecuali ruang tamu. Masih terdengar suara TV walaupun lirih.

KLEK! KLEEEK!

Mas Roni membuka pintu, “Lhoh, Rin. Kamu belum tidur?”
“Belum mau tidur, mas,” jawab Arin lirih.
“Yaudah, aku masuk kamar duluan, ya?” kata mas Roni.
“Aku juga, deh. Jangan lupa kunci pintu, Wi.”

Mas Roni dan koh Wahyu meninggalkan gue dan Arin di ruang tamu.

“Kamu kenapa belum tidur?”
“Nunggun kamu, Wi.”
“Nungguin?” Gue duduk di sofa sebelah Arin.
“Iya, ada yang mau aku omongin.”
“Aku juga sebenernya mau ngomong berdua sama kamu, Rin.”
“Yaudah kamu duluan,” Arin mempersilahkan gue.
“Enggak, kamu duluan aja.”
“Kamu dulu.”
“Kamu duluan, Wi.”
“Gitu aja terus sampe kiamat!” seru mas Roni dari kamar.
“Apa sih, mas!” balas gue.

Arin menatap gue lurus, dia menunggu gue untuk mengajukan pertanyaan.

“Yaudah, aku dulu.” Gue atur posisi duduk gue senyaman mungkin, “Jadi gini, ah… mamamu kapan di rumah?”
“Tadi udah di rumah kok.” Arin ikut-ikutan meniru posisi duduk gue, “Abis dari dokter tadi sore kan mampir rumah buat ambil baju, nah tadi sekalian pada ketemu mama.”
“Boleh aku ketemu?”
“Ketemu siapa?”
“Mamamu.”
“Boleh kok.” Muka Arin mendadak excited dan nada suaranya meninggi, “Kamu mau ketemu mama?!”
"Sssttt...!" Gue letakkan telunjuk gue ke mulut Arin, "Jangan kenceng-kenceng!"
Arin menutup hidungnya, "Bau! kamu abis minum?!"
Gue mengangguk pelan, "I... ya...."
"Mau satu ronde enggak?"
"Ronde? wedang?"
"ML oon!"
"Hayuuuuuuu!" kata gue penuh semangat. "Mau, Rin! Mauuuu!"
"Emil tidur di kamarmu, kita pake kamar dia aja, gimana?"

Enggak pake lama gue langsung gendong depan arin menaiki tangga. Begitu gue turunkan Arin buat buka pintu, dia menoyor gue kenceng banget. Gue yang sempat oleng beberapa saat ditinggal masuk kamar duluan. Pas gue mau menyusul masuk, pintunya ditutup rapat-rapat sama Arin.

"Lhoh, Rin? kok ditutup? buka doooooong."
"Katanya jangan ambil keperjakaan, begitu mabok ditawarin gitu aja langsung kebelet!"

Bukannya dapet enak, gue malah jadi tidur di sofa.
phntm.7
JabLai cOY
JabLai cOY dan phntm.7 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.