Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Yaudah, gue mati aja

Cover By: kakeksegalatahu


Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.





Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue



emoticon-Bettyemoticon-Betty emoticon-Betty



----------




SECOND STORY VOTE:
A. #teambefore
B. #teamafter
C. #teamfuture

PREDIKSI KASKUSER = EMIL



----------



PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.



----------


Spoiler for QandA:


WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+



NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY


Spoiler for Ilustrasi:


Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.


Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
JabLai cOYAvatar border
mazyudyudAvatar border
xue.shanAvatar border
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#2867
PART 92

Beneran alesan gue cuma gara-gara males jalan kaki ke kosan? Enggaklah, gue enggak serendah itu. Gue enggak tega Emil kesana sendiri. Selain udah malem, ya kalo disana enggak ada orang yang demen iseng sama cewek cakep sendirian, kalo ada, Emil bisa apa.

Selama di perjalanan ke Bukit Bintang, Emil nyanyi enggak berhenti-berhenti. Kalo sekiranya dia enggak hafal lagunya, dia pasti langsung ganti saluran. Gue jadi keinget Inah, dia kalo di dalem mobil juga enggak bisa diem. Selain inget Inah, gue juga jadi keinget Masayu, di dalem mobil, berdua, bukit bintang, juga radio.

Kalo aja dulu gue enggak macem-macem deket sama Grace, mungkin nggak ya Masayu nggak bakalan kayak gini? Gue sama Masayu mungkin masih pacaran sampe detik ini, bukan pacaran palsu kayak gini.

Kalo enggak gitu, gimana kalo gue dulu lebih milih nerima Grace? Apa hubungan gue bakalan bisa gue pertahanin lama? Kayaknya sih dia beneran suka sama gue, tapi apa iya gue beneran suka sama dia? Apa cuma sebatas kagum sebentar? Gue sering gagal paham kalo mikirin tentang perasaan gue ke cewek. Mungkin, ini normal buat semua cowok, atau mungkin, cuma gue yang gagal paham kayak gini.

“Yah, gerimis, Wi.”
“Eh? Iya, gerimis. Kamu mau makan?”
“Enggak ah, masih kenyang makan tadi sore.”
“Jagung bakar aja kali, ya?” usul gue.
“Boleh tuh. Tapi hujan gini, masa iya makan hujan-hujanan?”
“Kita beli terus makan disini aja, jadi enggak perlu hujan-hujanan.”
“Yaudah gih, yuk.”
“Kamu disini aja, biar aku yang beli.”

Gue turun dari mobil hujan-hujanan. Enggak terlalu lebat sih, tapi kalo berdiri lima menit di luar ya bisa-bisa basah kuyup.

Dari mobil gue langsung samperin penjual jagung bakar.

“Mas, jagung bakarnya dua. Jangan gosong-gosong kalo bisa.”
“Siap. Pedes enggak, mas?”
“Pedes? Eh, bentar ya, mas. Lupa nanya pedes enggakny—”
“Pedes, mas. Yang pedes banget,” kata Emil yang tiba-tiba disebelah gue.
“Kok kamu keluar? Kan udah aku bilang tunggu di dalem aja.”
“Enggak bilang terima kasih dibawain payung malah marah-marah.”

Gue baru sadar kalo Emil memayungi gue.

Gue ambil payung dari tangan dia, “Makasih ya udah di payungin.”
“Kembali. Lagian kamu kenapa langsung lari, kan ada payung di mobil.”
“Mana aku tau kalo ada payung.”

Setelah jagung bakar kita jadi, gue langsung membayar dan mengajak Emil buat balik ke mobil.

“Yuk, balik.”

Emil menahan jaket gue.

“Kenapa? Kalo disini kelamaan dingin, Mil.”
Emil menggeleng, “Kuncinya ketinggalan di dalem.”
“Hah? Serius? Terus baliknya gimana?”
“Udah, sih. Disini dulu aja.”

Jadilah kita berdua makan jagung bakar di bawah payung sambil hujan-hujan.
Di dalem pikiran gue cuma ada dua hal masalah kunci mobil, Emil beneran lupa mencabut kunci mobil? Apa dia cuma bohongin gue biar dia bisa hujan-hujanan? Enggak, ini Emil, dia pasti bohongin gue.

“Wi, dingin sih.”
“Makanya ayo masuk.”
Emil menggeleng, “Bukan itu.”
“Terus?”
“Jaket, mas. Kasihin jaketnya,” sahut penjual jagung bakar.
“Oh, jaket.”

Gue segera mebuka jaket dan melingkarkannya di pundak Emil.

“Makasih ya, mas,” seru Emil ke penjual jagung bakar.
“Makanya jangan kode-kode kayak gitu, malu kan akunya kalo ketahuan enggak peka.”
“Bener juga, ya? Kalo cowok enggak peka emang ceweknya yang harus usaha lebih, bukan cowoknya.”

Ya, gue akuin kalo gue emang kurang peka. Gue bukan enggak peka, tapi cuma sedikit kurang peka. Tapi kalo cewek mengaku lebih peka, harusnya Emil tau kalo gue yang gantian kedinginan hujan-hujan kayak gini.

“Wi, masuk, yuk?”
“Gimana caranya? Orang kuncinya ketinggalan di dalem.”
Emil mengeluarkan Sesuatu dari dalam saku celananya, “Nih.”
“Oh… pinter, ya. Cuma bilang ketinggalan di dalem, jadi kalo gitu enggak salah kalo yang sebenernya ketinggalan di dalem saku.”
“Kan aku enggak bilang ketinggalan di dalem mobil,” kata Emil sambil ketawa.
“Iya deh, aku yang salah, tadi harusnya nanya ketinggalan dimana. Yaudah yuk masuk.”
“Yuk.”

Kita berdua lari-larian meski bawa payung, Emil emang orangnya rada sengklek, kalo kayak gini kan malah basah lagi.
Jarum kecil menunjukkan angka dua belas, kalo dihitung mungkin ada kali kita hujan-hujanan satu jam. Ya, emang sih masih pake payung, tapi kita masih kehujanan juga.

Baru kita jalan sampe bawah fly over janti, hape gue bunyi. Nomor tidak dikenal telepon hape gue.

“Mil, angkatin dong. Gue lagi nyetir gini, takut nabrak.”
“Nomor tidak dikenal, Wi. Bisa jadi MLM.”
“MLM tengah malem gini? Kurang kerjaan amat.”
“Ya kan itu emang itu kerjaannya.”

Gue tutup telepon itu, gue enggak mau malem-malem diganggu MLM.

Baru sebentar gue tutup telepon itu, nomor tidak dikenal telepon lagi. Lagi, lagi, dan lagi.

“Angkat aja gimana, Wi?”
“Janganlah, males ladenin orang begituan.”
“Tapi kan bisa jadi orang kosan, Wi. Mungkin khawatir apa mau nitip apaan gitu.”
“Iya juga, sih. Tapi bisa jadi juga MLM, Mil.”
“Aku deh yang ladenin kalo MLM.”

Emil mengangkat telepon itu, ‘Halo?’
“MLM beneran, Mil?”
“Cewek, Wi.”
“Siapa? Sintya? Apa mbak Irma?”
“Bukan suara Mama, bukan suara Sintya juga, sih.”
“MLM kali, ya?”
“Bukan juga kayaknya.”

Bukan orang kosan, bukan orang MLM juga, terus siapa? Orang yang kira-kira tau nomor gue tapi gue enggak tau nomor dia, apa mungkin Grace?!

“Katanya Arin, Wi.”
“Arin?!”

Kok malah Arin?! Dia tau nomor gue darimana coba?

“Iya, Wi. Katanya dia temen kampusmu.”
“Arin kenapa telepon? Ini udah tengah malem, hampir jam satu malem malah. Coba loud speaker, Mil.”

Emil menekan tombol loud speaker dan mendekatkan hape ke gue.

‘Wi? bantuin aku, Wi.’
‘Bantuin apa, Rin? Kenapa?’
‘Aku mau dipake rame-rame.’
‘Dipake rame-rame? Apa sih?!’
‘Tolongin aku pokoknya!’
‘Oke-oke, lo dimana?’
‘Boshee.’

Nah lo, baru ngeh gue apa yang dia maksud sama kata ‘dipake.’

“Mil, kita langsung balik aja, ya? lo denger sendiri, kan?”
“Langsung aja kalo gitu, kalo balik ke kosan buat nurunin aku kelamaan.”
“Serius?”
“Iyalah, aku juga cewek, aku tau perasaan dia.”
“Makasih, Mil.”
Diubah oleh dasadharma10 06-12-2016 12:35
JabLai cOY
JabLai cOY memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.