- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#11
Chapter 3.1 : Reuni Kecil dan Keputusan
Persahabatan tak lekang oleh waktu. Meskipun tak bertemu rentang waktu yang cukup lama, terpisah oleh ribuan jarak, sahabat tetaplah sahabat. Menjalani perbedaan, terkadang sering mempermasalahkan hal kecil adalah hal yang wajar.
Ada banyak orang sukses didunia ini yang meniti karir tak sendirian. Dibalik karirnya ada dorongan dari orang-orang disekitarnya. Orangtua, kekasih, lalu sahabat. Sahabat akan selalu memiliki tempat didalam hati seorang manusia, selalu ada cerita tentang persahabatan.
Hari ini, aku menerima kabar bahwa Ali akan kembali pulang ke Tulungagung, Setelah selama tiga tahun ia menetap di Gorontalo, Sulawesi Utara. Ia juga merupakan sahabat kami berempat sejak SMP. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya disalah satu sekolah ternama di Indonesia, MAN Insan Cendekia. Sekolah yang didirikan oleh bapak presiden ketiga Indonesia, B.J Habibie.
Kabar baiknya lagi, dia sekarang juga telah diterima di Institut Teknologi Bandung lewat jalur undangan. Mendengar hal itu, aku sangat senang sekaligus termotivasi. Ali memang jenius dari sejak awal aku mengenal dia. Tiga tahun kami belajar bersama, memahami karakter masing-masing. Dia begitu lihai memahami soal-soal matematika, pandai logaritma, seringkali ikut Olympiade. Sungguh itu pencapaian yang luar biasa, aku tak heran.
Aku sangat tidak sabar untuk bertemu dengannya. Tentunya Eru, Ardan, dan Kelis juga sepakat denganku. Entahlah, mungkin dia sekarang punya pemikiran yang berbeda dengan kami. Dengan kepribadian yang berbeda pula.
Aku masih sering berkunjung ke SMA-ku karena beberapa hal, meskipun telah dinyatakan lulus. Kadang bertemu dengan teman-temanku yang lain, mengurusi berkas-berkas yang nanti harus kubawa sewaktu ujian tulis nanti. Sekaligus mempersiapkan acara wisuda, sebagai momentum puncak selama tiga tahun belajar disekolah ini.
Seperti biasa, sebelum menuju sekolah aku mampir terlebih dahulu ke rumah Eru. Hari ini dia nebeng denganku. Aku tak mempermasalahkan hal itu. Dirumahnya ada sambungan wifi dengan koneksi internet yang lumayan cepat. Abangnya seorang teknisi komputer, jadi bukan hal yang mengherankan lagi.
Sekitar pukul delapan pagi aku tiba dirumahnya. Kuparkirkan motorku didepan pekarangan rumahnya, dibawah pohon rambutan didekat kursi tua panjang. Pintu rumah itu terbuka, aku langsung masuk tanpa perlu mengetuk pintu atau mengucap permisi. Sudah jadi kebiasaanku, berhubung sudah berkali-kali aku main kerumahnya. Langsung nyelonong masuk.
Kulihat dia masih terpaku dengan laptopnya, dengan kondisi masih seperti orang bangun tidur.
“Woi, cepetan mandi sono.” Aku sedikit berteriak keras sambil tertawa.
“Selow bro, ini masih seru-serunya. Gue lagi ada party.” Entah aku tak tahu menahu soal game yang ia mainkan. Masa bodoh. Aku sedang tak diburu waktu. Kukeluarkan smartphone-ku dari tasku, kemudian kusambungkan dengan wifi yang terpancar dirumahnya Eru.
Kukira itu hal yang cukup untuk membunuh kebosananku, sambil menunggu Eru bersiap-siap, mandi dan sejenisnya. Kutatap smartphone-ku sejenak, kulihat ada beberapa pesan masuk dari temanku. Tak terlalu penting.
Akhir-akhir ini, hubunganku dengan Dinda mulai membaik. Kami berdua seringkali chatting-an setiap malam. Pagi ini aku sempat juga membalas chat dia disalah satu media sosial. Mungkin bisa dibilang jika saat ini hubungan kita berdua itu hanya sebatas teman. Tak lebih. Walaupun, aku masih memiliki sedikit perasaan untuknya sejak kejadian malam itu.
Tak tahu mengapa, aku jadi sedikit melankolis seperti ini. Termenung menatap langit-langit ruangan. Kuabaikan semuanya, ragaku terdiam namun angan-anganku bergerak ke segala arah.
“Wooii, ngelamun aja lo. Ayo berangkat.” Suara Eru yang cukup menggelegar perlahan menyadarkan lamunanku.
“Ah ngganggu orang lagi ngelamun aja lo. Efek kelamaan nunggu lo nih.” Aku bergegas merapikan tasku, segera berdiri meninggalkan rumah sederhana itu.
Kuhidupkan motorku, Eru menata posisi duduknya dibelakangku. Segera kuputar balik motorku lalu melenggang cepat melewati jalanan yang berlubang. Motorku sedikit bergoyang, semilir angin berhembus sepoi. Pohon-pohon rindang dipinggir jalan seakan berdansa tertiup angina itu. Pun sawah-sawah yang terlihat kekuningan, alam yang sangat memesona.
“Eh Megg, tadi malem gue chatting-an sama Ali.” Eru membuka pembicaraan, aku masih fokus mengemudi.
“Serius lo Er? Ajak nongkrong bareng gih. Emangnya dia udah di Tulungagung?” Aku bertanya balik, kakiku sesekali menginjak pedal rem, menekan persneling untuk mengurangi kecepatan.
“Siap deh. Nanti gue kasih tau dia buat nongkrong ditempat biasa.” Eru berkata mantap.
Kurang lebih sekitar lima belas menit kami sampai disekolah. Motorku kuparkirkan didekat ruang guru. Lantas, kami berdua melangkah mendekati kursi-kursi didekat tangga aula. Disana cukup ramai, teman-temanku sibuk dengan urusannya masing-masing. Keluar masuk dari ruang tata usaha, membawa secarik kertas.
Dari awal niatku memang ingin mengambil secarik kertas tersebut. Pengganti ijazah sementara. Berkas itu nanti yang akan kubawa sebagai persyaratan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Aku dan Eru berjalan bersisian, sudah seperti sepasang kekasih, tapi kami bukan sepasang homo. Membayangkannya saja sungguh menjijikkan.
“Eh Megg, lo masuk duluan.” Tanpa ba-bi-bu aku melangkah duluan, mendorong pintu kaca ruangan itu. Lantas, menuju ke salah satu meja staf tata usaha.
Mengambil beberapa kertas berisi biodata untuk kami isi, kemudian kami berikan kepada staf tersebut Untuk diproses lebih lanjut.
“Bisa diambil besok ya, ijazah sementara.” Staf tata usaha itu berkata ramah. Menerima kertas tadi.
Kami mengangguk, mengucapkan sepatah kata terimakasih sebelum meninggalkan meja yang dipenuhi berkas-berkas penting tersebut. Hanya butuh beberapa detik kami telah berada diluar ruangan itu.
“Sekarang ngapain? Cuman gini aja, trus pulang.” Aku bertanya kepada Eru yang duduk disalah satu anak tangga aula sekolah.
“Kita nunggu Ardan sebentar Megg, kayaknya dia bakalan kesini deh. Habis ini kita ngopi bareng aja ke Panjoel.” Sambil menatap smartphone-nya Eru menjawab pertanyaanku.
Aku mengangguk, kemudian mencari tempat duduk yang pas untuk bersantai sejenak.
Tempat ini menyimpan banyak kenangan. Lorong-lorong sekolah yang setiap hari tak kurang dari delapan ratus hari kulewati. Bertemu kawan-kawan dikelas sosial, tertawa dan bercanda sepanjang hari. Kantin sekolah warna oranye sebagai markas paling tepat ketika jam kosong. Dan hal yang paling tak terlupakan, disini ada sepucuk hati yang tertinggal menjadi sebuah kenangan. Kenangan masa remaja.
Hampir setengah jam aku menunggu, Ardan akhirnya datang juga. Ia bergegas ke ruang tata usaha, sama seperti yang kami lakukan tadi. Mengurus berkas-berkas yang akan digunakan untuk ikut ujian nanti.
“Megg, Er. Kita berangkat ngopi yuk.” Setelah beberapa menit diruang tata usaha mengurus ijazah sementara, Ardan menyeru kami.
Tanpa basa-basi kami berdiri, melangkah menuju tempat dimana motorku tadi kuparkir. Beringsut menuju tempat nongkrong seperti biasa.
Diwarung pak Panjoel, kami duduk dibangku panjang dekat tiang penyangga bangunan. Kami berdua seperti biasa memesan dua gelas kopi hijau, tak lupa sebungkus rokok sebagai pelengkap. Berbeda dengan Ardan, ia bukanlah perokok dan tak terlalu menyukai kopi. Ia hanya memasan segelas susu soda dalam gelas besar.
“Eh Megg, elo sudah daftar SBMPTN apa belum?” Ardan bertanya kepadaku.
“Udah beberapa hari yang lalu, kemarin gue juga udah membayar biaya pendaftaran. Tinggal ngurus berkas-berkas ini buat persyaratan.” Aku menjawab serius.
“Ngomong-ngomong, lo ngambil jurusan apa?” Ia melanjutkan, bertanya kepadaku penasaran.
“Ada deh, haha.” Aku menyeringai, bergurau menjawab pertanyaan Ardan tadi. Mukanya sedikit menahan kekesalan.
“Gue ngambil pendidikan bahasa Jerman di Universitas Negeri Malang bro.” Tanpa sempat ia mencercaku, aku menjawab cepat. Kekesalannya teredam dengan cepat.
“Wihh serius lo?” Ia sedikit kaget mendengar jawabanku, memang terdengar sedikit gila. Serius, aku tak tahu satu katapun dari bahasa Jerman saat itu selain ich liebe dich. Namun, aku tertarik sekali mempelajari bahasa asing.
Teori-teori Adam Smith, Irving Fisher, Keynes, dengan berat hati kutinggalkan. Padahal aku dulu sangat menyukai pelajaran ekonomi serta teori-teori mereka. Ada satu hal yang kusadari, aku tak mungkin mengambil jurusan ekonomi yang notabene persaingannya sangat ketat dibandingkan jurusan lain. Aku terlalu takut. Hingga aku memutuskan untuk mengubah alur, ke arah yang lain.
Eru hanya diam saja, sedikit tertawa kecil. Dia sudah tau tempo hari. Tepat setelah aku mendaftar, aku langsung memberitahu dia. Sesekali ia menyeruput kopi didepannya yang telah diantarkan ke meja kami beberapa menit lalu.
“Eh bro, Ali nanti malem kayaknya setuju. Kita ngumpul seperti biasa di warung dekat perempatan nanti malam.” Eru menyahut, mengubah topik pembicaraan ke arah yang lain.
“Oke, nanti malem gue ikut.” Ardan menjawab duluan, aku mengangguk. Nanti malam adalah pertemuan pertama kami dengan Ali semenjak dua tahun yang lalu.
“Eh kasih tau Kelis juga, biar nanti malem rame.” Aku menyahut ringan. Jangan sampai ada yang tak datang.
“Sip.” Eru menjawab singkat nan mantap.
Kurang lebih hampir satu setengah jam kami duduk membicarakan banyak hal. Perkembangan tes kedinasannya Ardan. Rencana Eru selain mengikuti ujian SBMPTN. Ia menjelaskan bahwa tadi malam ia telah memutuskan untuk ikut ujian masuk Universitas Gadjah Mada, setelah berunding dengan abangnya. Keluarganya mendukung penuh. Aku dan Ardan demikian.
Percakapan telah usai, kami pulang. Kali ini Eru pulang dengan Ardan, berhubung rumah mereka cukup dekat. Aku mengemudi sendirian. Tak sabar untuk reuni kecil nanti malam.
***
Malam hari, selepas maghrib aku segera berangkat untuk bertemu di tempat yang sudah kami sepakati tadi siang. Dari kamarku, aku melangkah menuju ruang belakang. Mengambil motorku. Sialnya, saat itu motorku sedang ada kendala, entah kenapa distarter tidak bisa hidup.
Aku tak kehilangan akal, malam ini buatku malam yang vital. Aku terpaksa meminjam motor matik pamanku.
Untung, pamanku berkenan meminjamkan motornya kepadaku. Tak butuh waktu lama, aku segera berangkat. Mengendarai motor matik, pelan namun pasti. Aku tak terlalu biasa mengendarai motor matik ini.
Kerlap-kerlip lampu jalanan, semilir angin malam yang dingin menentramkan, mobil-mobil yang berlalu lalang dan terkadang suka seenaknya saja memainkan lampu dim. Aku tetap berkendara dengan santai. Sesekali terngiang wajah Dinda malam itu, wajah yang tak akan mudah kulupakan.
Adalah sepuluh menit lebih beberapa detik aku sampai ditempat yang dijanjikan. Yang lain belum ada yang datang, akulah yang sampai pertama kali. Kakiku melangkah menuju mas-mas warung, melewati beberapa orang yang tengah asik duduk lesehan.
“Mas kopi hijaunya satu ya.” Tanpa banyak bertanya, mas-mas itu segera membuatkan pesananku.
Aku kemudian mencari tempat duduk yang pas didepan warung. Menatap lampu-lampu yang bergantung remang, terkadang menatap jalanan yang ramai kendaraan lalu lalang. Aku melihat-lihat smartphone-ku, ada pesan masuk dari Eru. Memberitahukan bahwa dia masih berada di jalan. Begitu juga dengan Ardan dan Kelis.
Beberapa saat berlalu. Pesananku telah diantar ke mejaku. Aku duduk bersila diatas kursi yang bercat hijau itu. Kuambil rokokku dari saku jaket, lalu kunyalakan dengan korek api bensol yang kubawa dari rumah. Kuhisap pelan, asap-asap rokok mengepul lambat, perlahan membaur dengan udara di atmosfer.
Kutuangkan segelas kopi hijau tadi ke sebuah lepek. Kemudian kudiamkan beberapa saat untuk membuat cethe. Kuseruput pelan air kopi yang berada dilepek tersebut.
Eru dan yang lainnya telah sampai. Ia menyapaku ringan, berlalu menuju tempat mas-mas warung untuk memesan. Disusul Ardan dan juga Kelis. Tak butuh waktu lama, mereka kemudian duduk berhadapan denganku. Ardan membawa beberapa makanan kecil seperti pentol, bakwan, dan tahu goreng with sebutir cabe. Kelis mengeluarkan rokoknya, dan Eru masih menatap smartphone-nya, mencoba menghubungi Ali yang belum datang. Padahal, dialah tamu istimewa malam itu.
“Ali jadi datang nggak?” Semua bertanya penasaran kepada Eru.
“Udah ditunggu aja, dia kelihatannya masih ada sedikit urusan.” Eru merespon santai.
Sambil menunggu kedatangan Ali, kami berbincang-bincang ringan. Sesekali mengenang masa lalu, masa-masa ketika kami masih berada di SMP. Kadangkala mereka menyinggung tentang masalah asmaraku. Aku setengah tersipu, setengah kesal, namun juga setengah melayang. Apalagi mereka menyebut-nyebut nama Dinda. Ah, sudahlah. Tak hubungan apa-apa lagi dengan Dinda. Semua usai dalam satu malam.
Kelis seperti biasa lebih senang menjadi pendengar setia Bukan perkara ia tak ingin bercerita, melainkan sungkan dengan kami bertiga yang lebih sering mendominasi pembicaraan. Namun ketika gilirannya bercerita tiba, akan memakan waktu lama untuk menghentikan ceramahnya yang terkadang sedikit ngawur. Ekspresi wajahnya yang terkadang sedikit konyol, berlagak berwibawa, membuat semua yang ada disitu tertawa terpingkal-pingkal.
Tak jarang pula, kami membahas hal-hal yang berbau sedikit dewasa. Contohnya film aksi, kesukaan remaja yang baru pubertas, hehe.
Hampir satu jam kami menunggu. Ada suara motor berhenti. Kulihat dari tempatku duduk, remang-remang, namun aku tahu sosok yang baru turun dari motor itu. Tamu istimewa itu akhirnya datang.
Aku tak pernah menyangka, Ali yang sekarang berbeda dengan sosok Ali yang dulu. Badannya lebih tegap, ia berkacamata, kulitnya masih tetap putih. Dulu, dia itu tak setinggi sekarang, malah lebih pendek dariku. Tak jarang pula kami dulu menjulukinya ‘adek kecil’. Sindiran yang terkesan menjadi ikon sekaligus perekat kebersamaan. Sekarang tingginya menyalipku.
“Masih inget nggak.” Ali sekarang sudah berdiri didepan kami, dengan gayanya yang lebih cool. Wajahnya dibuat-buat seperti ingin mengajak tawuran ala Takiya Genji di Crows Zero.
“Beda banget lo yang sekarang.” Semua berpikiran yang sama.
Kami mempersilahkannya duduk disalah satu bangku kosong didekat kami. Logat Jawanya yang dulu begitu khas perlahan mulai menghilang dari dirinya, tergantikan oleh logat dari Gorontalo. Efek tiga tahun belajar disana.
“Kabar lo gimana?” Eru menyahut, bertanya kabar kepada Ali.
“Baik kok. Cuman ini doang ya, yang lain kok nggak ikut kumpul?” Ali menanyakan perihal teman-temanku yang lain.
Eru menjelaskan bahwa hanya kami bereempat yang senantiasa nongkrong. Teman-teman yang lain seperti Ubed dan Fatih, tak terlalu suka nongkrong ditempat seperti ini. Mereka punya idealisme masing-masing. Mereka sepertinya sudah tak sepaham, tak sepemikiran, makanya jarang sekali kami berkumpul bersama. Namun disuatu kesempatan kami semua masih berkomunikasi dengan baik.
“Oh gitu, eh setelah ini mau kuliah dimana?” Pertanyaan itu membuat suasana seketika hening. Tak ada satupun dari kami yang telah mendapatkan tempat baru, kami masih luntang-luntung. Berusaha mengejar universitas yang kami impikan. Kami semua bercerita kepada Ali. Aku dengan pilihanku, Eru dengan pilihannya, begitupun Ardan dengan sekolah kedinasannya. Kelis hanya diam, sedikit membuka suara.
“Wah, lo enak Al sekarang udah dapet universitas. Kita-kita turut seneng denger lo keterima di ITB. Harusnya malam ini lo yang traktir kita-kita, hahaha.” Aku mencoba menggoda Ali. Dia hanya tertawa, tentu saja aku tak berniat dia yang mentraktir malam ini.
Internet diwarkop itu cukup lelet. Gadget kami, masing-masing ditumpuk diatas meja. Kami tahu, tanpa gadget pun kami masih bisa menikmati waktu. Waktu untuk bercanda dengan sesama teman, untuk bertukar pikiran. Gadget itu sekedar alat, meski tak jarang pula manusia diperalat oleh gadget itu sendiri.
“Alhamdulillah, gue seneng banget bisa diterima disana. Ibu gue juga bangga.” Dengan logat khas Gorontalo dia menjawab.
Reuni malam itu, meski sederhana namun cukup berkesan.
“Sejak kapan elo ngerokok Megg?” Ali bertanya heran menatapku yang sedang asik mengepul-ngepulkan asap ke udara.
“Udah dari dulu sih Al, mungkin karena kita jarang ngumpul aja. Jadinya lo nggak tahu.” Aku menjawab santai, memang udah dua tahun ini aku sering merokok. Bukan masalah gaya hidup, tapi faktor lingkungan yang membuatku hobi merokok. Kakekku, pamanku, bapakku pun adalah perokok, sadar atau tidak aku pun mengikuti mereka.
Aku tak mempermasalahkan jika ada orang yang berpikir negatif ketika seorang remaja merokok. Satu hal yang kusepakati dengan Eru, merokok itu bukan masalah serius bagi kami. Ini masih dalam batas wajar, tak melanggar norma agama. Bagi kami, yang terpenting kami tidak melanggar batas-batas agama, seperti minuman keras atau apalah. Kami tak sudi mencoba hal itu.
Quote:
Ali hanya manggut-manggut seolah ia paham dengan yang terjadi. Ia masih setengah menatap sinis kearahku. Aku memakluminya. Mungkin karena suasana disana yang bercorak santri, pergaulan juga diatur ketat. Berbeda dengan kami disini. Dengan pemikiran kami disini.
Hampir satu jam kami berbicara dengan Ali, memang benar dia sekarang berbeda. Perlahan, ia mulai kehilangan dirinya yang dulu, berubah menjadi sosok lain. Orangnya sedikit kaku jika diajak bercanda, pembawaannya terkesan selalu serius. Tapi tak apalah, perbedaan bukan jadi alasan untuk dijadikan konflik dalam persahabatan. Kami menolerir hal itu.
Malam semakin larut, reuni kecil itu kami akhiri. Waku telah menunjukkan hampir sepuluh tepat. Sebelum pulang, kami saling berjabatan tangan. Tradisi yang senantiasa kami lakukan ketika bertemu atau hendak berpisah, kecuali jika kami lupa.
Jalanan mulai lengang. Lampu jalan remang, kendaraan hanya satu dua yang melintas. Suasana sedikit mencekam, aku tetap memacu motorku pelan. Sesampai dirumah, aku bergegas merebahkan tubuhku keatas kasur. Sambil memeluk guling, kupejamkan mataku. Menuju alam mimpi, sedikit berharap bahwa Dinda akan hadir dalam mimpi tidurku nanti.
fransjabrik dan coxi98 memberi reputasi
2