- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#2843
PART 90
“Wi, bangun.”
Dengan mata tertutup gue mengangkat kelima jari gue, “Lima menit lagi.”
Belum lama gue melanjutkan tidur gue, orang itu datang lagi.
“Udah lima menit sih, bangun dong.”
Gue membuka mata perlahan, Emil duduk di pinggir tempat tidur gue dengan nampan berisikan sarapan.
“Morning,” ucap Emil tersenyum.
“Morning.” Gue mengusap mata berkali-kali, “Lo bawa apaan itu?”
“Sarapanlah, buruan bangun sih, cuci muka.”
“Ntarlah, orang gue juga enggak ada kuliah hari ini.”
Emil menaruh nampan itu di meja sebelah tempat tidur, dia menarik selimut gue perlahan, tapi gue tahan.
“Gue enggak pake celana.”
Emil melempar bantal ke muka gue, “Mesum!”
“Lo sendiri yang main buka-buka. Jadi?”
“Jadi?” ucap Emil menirukan.
“Jadi ini ada apaan sampe lo bawain sarapan kayak gini? Enggak biasanya lo sampe kayak gini, kan?”
“Oh…, iya.”
“Iya apaan?”
“Aku mau minta maaf waktu kamu marah di mobil itu, aku enggak bermaksud ngomong jelek di belakang siapapun.”
Gue tarik Emil dengan tangan kiri dan gue bungkam mulutnya dengan tangan kanan.
“Udah gue lupain, enggak perlu lo pikirin segitunya.”
Mata Emil mulai berkaca-kaca kayak orang mau nangis.
“Gue juga minta maaf waktu itu udah bentak lo juga. Biarin yang udah ya udah, jalanin aja yang ada sekarang.”
Emil masih memandang gue dengan pandangan yang sama, pandangan dia seolah-olah berkata, “Wi, cium aku.”
Gue dekatkan muka gue ke Emil. Perlahan tapi pasti hidung gue menyentuh hidung dia….
PLAK!
Gue ditampar.
“Lo kenapa sih?!”
“Kamu yang kenapa!” Emil beranjak dari pelukan gue, “Suka banget kalo ada kesempatan!”
“Yaelah, Mil. Padahal tadi momennya lagi bagus banget.”
“Tadinya!” kata Emil keluar dari kamar gue.
“Oi, Mil, ini gue enggak disuapin apa gimana? Tapi gapapa deng, makasih sarapannya.”
Emil balik lagi ke kamar gue, dia berjalan mengambil nampan berisi makanan itu lagi.
“Lhoh... lhooh…. Kok diambil lagi?! bukannya itu sarapan buat gue?”
“Emang yang bilang ini sarapanmu siapa?”
“Terus tadi bawain sarapan sambil bangunin minta maaf? Palsu?”
“Palsu apanya? Orang ini sarapanku sendiri. Lagian aku bangunin cuma disuruh sama koh Wahyu, mumpung ketemu aja aku sekalian minta maaf. Kamunya aja yang kepedean.”
“TUTUP PINTUNYA DARI LUAR! KUNCI KALO PERLU! BIARIN GUE MATI KELAPERAN DI KAMAR!”
Bangun dari tempat tidur, gue langsung turun dari lantai atas dan duduk di kursi teras merokok sebatang. Koh Wahyu minta tolong buat nemuin klien yang mau ketemuan di indomaret deket kosan.
Sewaktu gue telepon, koh Wahyu bilang, ‘Kamu bawa hape yang di atas meja kamarmu ke indomaret, harga pas enggak ada nego-nego.’
‘Tapi aku belum mandi.’
‘Udah cepetan sana, orang juga ketemu sama laki pake acara mandi segala.’
Klien cowok?! Ganggu banget ngajakin ketemua pagi-pagi! Biar kapok, gue kentutin itu hape. Gue gesek-gesek di sofa yang biasa ditidurin mas Roni juga.
“Kamu… ngapain, Wi?” tanya Emil.
“Bersihin sofa.”
“Pake kardus hape?”
Enggak berhenti disitu, gue gesek-gesek juga diketek gue. Biar tau rasa itu klien. Emang enak ganggu orang tidur di hari libut.
Setelah kena tipuan sarapan palsu dari Emil, sebats di teras, dan ambil hape di meja kamar, jadilah gue berangkat ke Indomaret deket kosan jalan kaki.
Gue bener-bener baru bangun tidur, gue cuma cuci muka sekenanya sambil basahin ketek di wastafel dapur biar enggak bau-bau banget. Kalo dilihat sekilas ya mirip gembel, boxer micky mouse bolong kena rokok bagian depan kanan sama kaos yang kerahnya udah dipotong gara-gara rusak kepanasan sewaktu jemur. Tapi jangan salah, gembel yang satu ini ada barang mahal seharga lima juta di tangan kanannya.
Sesampainya di Indomaret, gue langsung nyelonong masuk mengambil sebotol kopi dingin terus duduk di depan sambil nunggu klien. Biar aman, hape gue taruh di pangkuan. Antisipasi kalo ada hal-hal yang enggak gue inginkan.
Sewaktu gue baru mau menaikkan kaki ke dudukan, datenglah seorang cewek cakep banget yang langsung duduk di kursi depan gue. Jelas aja gue langsung turunin kaki gue lagi.
Gue curi-curi pandang ke dia? Enggak. Gue pura-pura selfie padahal pake kamera belakang buat lihat dia? Enggak. Dia yang malah kayak gitu. Cewek itu nontonin gue seolah-olah lagi nontonin dugong minum kopi pake tangan.
“Dawi, ya?”
“Eh?!”
“Mas yang jual hape, kan?”
“Iya, ini jual hape. Kok mbak bisa tau?”
Dia menunjuk hape yang gue jepit pake paha bagian dalem.
“Oh, klien?! Sorry, baru sadar.”
Buru-buru gue ambil hape di paha gue terus gue kasih ke cewek itu.
Dengan pandangan was-was cewek itu sedikit menjauh, “Bisa ditaruh meja aja?”
“Oh … iya. Sorry, tapi ini anu dijamin … higenis kok!”
“Higenis?”
“Iya, higenis.” Gue mulai salah tingkah, “Enggak aku kentutin kok, enggak aku gesek-gesekin ke sofanya mas Roni, apalagi aku gesek-gesekin di ketek!”
Koh Wahyu kampret! Gimana ceritanya dia bisa bilang kalo gue bakalan ketemuan sama cowok kalo yang dateng cewek bening kayak gini?! Parah, asli parah. Tau cewek yang dateng enggak gue apa-apain itu kardus hape.
“Bisa minta dibukain aja enggak, mas?” pinta cewek itu. “Aku ambil hape sama kardusnya aja, plastik segelnya dibuang aja.”
“Dibuang?” tanya gue meyakinkan.
“Oh, kalo mas mau ambil ya gapapa.”
Setelah pengecekkan barang dan transaksi pembayaran selesai, barulah kita berdua ngobrol-ngobrol.
“Jadi kamu sekarang jualan hape, Wi?” tanya cewek itu.
“Oh, enggak, aku cuma bantu-bantu temen satu kosan.”
“Oh, mas Wahyu itu temen satu kosan?”
“Mas Wahyu? Oh, koh Wahyu, iya kita satu kosan. Sorry, kok mbak kayak familiar gitu, ya? terus kok kayaknya cepet banget ngerasa akrabnya?”
“Kamu enggak kenal aku, Wi?”
Gue menggeleng.
“Aku Arin, hampir setahun aku kenal kamu.”
Gue meniup-niup botol kopi yang hampir kosong sambil mencoba mengingat-ingat, “Sorry, gue lupa beneran.”
“Yaudah kalo emang lupa, lagian kita jarang ngobrol juga, jadi wajar kalo enggak inget.”
Cewek yang mengaku bernama Arin itu beranjak dari kursi Indomaret dan berpamitan. Gue hanya melemparkan senyum sambil melambaikan tangan kecil-kecilan. Semacam melambaikan tangan biasa tapi cuma di depan muka.
Balik dari Indomaret, gue mencoba mengingat-ingat siapa Arin yang tadi mengaku kenal sama gue.
Wajahnya familiar buat gue, dan sewaktu ngobrol juga kita saling nyambung. Bahkan gue juga merasa cepat akrab sama dia. Apa bener dia salah satu temen gue? Tapi temen apa?
Sesampainya di depan kosan, gue denger suara gaduh di dalem.
“Emil! Bawa hapenya kesini!” seru suara mbak Irma.
“Dia nendang lagi!” seru Sintya.
“Bentar-bentar, aku matiin TVnya dulu!”
Kejadian apa lagi sekarang?! Tiga cewek di kosan, sedangkan gue cowok sendiri. Koh Wahyu lagi di toko dan mas Roni lagi kerja. Sebagai cowok satu-satunya gue harus bisa diandalkan. Kalo di dalem kosan ada maling, gue harus bisa melindungi ketiganya. Kalo kepepet, gue harus meminimalisit korban.Tapi kalo kepepet banget, gue harus bisa menyelamatkan diri sendiri.
Gue langsung masuk mencari sumber suara gaduh, enggak lupa gue juga ambil sapu yang ada di teras.
“Mana? mana maling yang nendang-nendang?!” seru gue.
Di dalem, mbak Irma, Emil sama Sintya kaget nontonin gue.
“Apa sih, Wi? maling darimana coba?!” kata mereka serentak.
“Nah, barusan nendang-nendang apaan?” tanya gue.
“Dia nendang lagi! nendang lagi!” teriak Sintya histeris sambil memegangi perutnya.
“Wi, bangun.”
Dengan mata tertutup gue mengangkat kelima jari gue, “Lima menit lagi.”
Belum lama gue melanjutkan tidur gue, orang itu datang lagi.
“Udah lima menit sih, bangun dong.”
Gue membuka mata perlahan, Emil duduk di pinggir tempat tidur gue dengan nampan berisikan sarapan.
“Morning,” ucap Emil tersenyum.
“Morning.” Gue mengusap mata berkali-kali, “Lo bawa apaan itu?”
“Sarapanlah, buruan bangun sih, cuci muka.”
“Ntarlah, orang gue juga enggak ada kuliah hari ini.”
Emil menaruh nampan itu di meja sebelah tempat tidur, dia menarik selimut gue perlahan, tapi gue tahan.
“Gue enggak pake celana.”
Emil melempar bantal ke muka gue, “Mesum!”
“Lo sendiri yang main buka-buka. Jadi?”
“Jadi?” ucap Emil menirukan.
“Jadi ini ada apaan sampe lo bawain sarapan kayak gini? Enggak biasanya lo sampe kayak gini, kan?”
“Oh…, iya.”
“Iya apaan?”
“Aku mau minta maaf waktu kamu marah di mobil itu, aku enggak bermaksud ngomong jelek di belakang siapapun.”
Gue tarik Emil dengan tangan kiri dan gue bungkam mulutnya dengan tangan kanan.
“Udah gue lupain, enggak perlu lo pikirin segitunya.”
Mata Emil mulai berkaca-kaca kayak orang mau nangis.
“Gue juga minta maaf waktu itu udah bentak lo juga. Biarin yang udah ya udah, jalanin aja yang ada sekarang.”
Emil masih memandang gue dengan pandangan yang sama, pandangan dia seolah-olah berkata, “Wi, cium aku.”
Gue dekatkan muka gue ke Emil. Perlahan tapi pasti hidung gue menyentuh hidung dia….
PLAK!
Gue ditampar.
“Lo kenapa sih?!”
“Kamu yang kenapa!” Emil beranjak dari pelukan gue, “Suka banget kalo ada kesempatan!”
“Yaelah, Mil. Padahal tadi momennya lagi bagus banget.”
“Tadinya!” kata Emil keluar dari kamar gue.
“Oi, Mil, ini gue enggak disuapin apa gimana? Tapi gapapa deng, makasih sarapannya.”
Emil balik lagi ke kamar gue, dia berjalan mengambil nampan berisi makanan itu lagi.
“Lhoh... lhooh…. Kok diambil lagi?! bukannya itu sarapan buat gue?”
“Emang yang bilang ini sarapanmu siapa?”
“Terus tadi bawain sarapan sambil bangunin minta maaf? Palsu?”
“Palsu apanya? Orang ini sarapanku sendiri. Lagian aku bangunin cuma disuruh sama koh Wahyu, mumpung ketemu aja aku sekalian minta maaf. Kamunya aja yang kepedean.”
“TUTUP PINTUNYA DARI LUAR! KUNCI KALO PERLU! BIARIN GUE MATI KELAPERAN DI KAMAR!”
Bangun dari tempat tidur, gue langsung turun dari lantai atas dan duduk di kursi teras merokok sebatang. Koh Wahyu minta tolong buat nemuin klien yang mau ketemuan di indomaret deket kosan.
Sewaktu gue telepon, koh Wahyu bilang, ‘Kamu bawa hape yang di atas meja kamarmu ke indomaret, harga pas enggak ada nego-nego.’
‘Tapi aku belum mandi.’
‘Udah cepetan sana, orang juga ketemu sama laki pake acara mandi segala.’
Klien cowok?! Ganggu banget ngajakin ketemua pagi-pagi! Biar kapok, gue kentutin itu hape. Gue gesek-gesek di sofa yang biasa ditidurin mas Roni juga.
“Kamu… ngapain, Wi?” tanya Emil.
“Bersihin sofa.”
“Pake kardus hape?”
Enggak berhenti disitu, gue gesek-gesek juga diketek gue. Biar tau rasa itu klien. Emang enak ganggu orang tidur di hari libut.
Setelah kena tipuan sarapan palsu dari Emil, sebats di teras, dan ambil hape di meja kamar, jadilah gue berangkat ke Indomaret deket kosan jalan kaki.
Gue bener-bener baru bangun tidur, gue cuma cuci muka sekenanya sambil basahin ketek di wastafel dapur biar enggak bau-bau banget. Kalo dilihat sekilas ya mirip gembel, boxer micky mouse bolong kena rokok bagian depan kanan sama kaos yang kerahnya udah dipotong gara-gara rusak kepanasan sewaktu jemur. Tapi jangan salah, gembel yang satu ini ada barang mahal seharga lima juta di tangan kanannya.
Sesampainya di Indomaret, gue langsung nyelonong masuk mengambil sebotol kopi dingin terus duduk di depan sambil nunggu klien. Biar aman, hape gue taruh di pangkuan. Antisipasi kalo ada hal-hal yang enggak gue inginkan.
Sewaktu gue baru mau menaikkan kaki ke dudukan, datenglah seorang cewek cakep banget yang langsung duduk di kursi depan gue. Jelas aja gue langsung turunin kaki gue lagi.
Gue curi-curi pandang ke dia? Enggak. Gue pura-pura selfie padahal pake kamera belakang buat lihat dia? Enggak. Dia yang malah kayak gitu. Cewek itu nontonin gue seolah-olah lagi nontonin dugong minum kopi pake tangan.
“Dawi, ya?”
“Eh?!”
“Mas yang jual hape, kan?”
“Iya, ini jual hape. Kok mbak bisa tau?”
Dia menunjuk hape yang gue jepit pake paha bagian dalem.
“Oh, klien?! Sorry, baru sadar.”
Buru-buru gue ambil hape di paha gue terus gue kasih ke cewek itu.
Dengan pandangan was-was cewek itu sedikit menjauh, “Bisa ditaruh meja aja?”
“Oh … iya. Sorry, tapi ini anu dijamin … higenis kok!”
“Higenis?”
“Iya, higenis.” Gue mulai salah tingkah, “Enggak aku kentutin kok, enggak aku gesek-gesekin ke sofanya mas Roni, apalagi aku gesek-gesekin di ketek!”
Koh Wahyu kampret! Gimana ceritanya dia bisa bilang kalo gue bakalan ketemuan sama cowok kalo yang dateng cewek bening kayak gini?! Parah, asli parah. Tau cewek yang dateng enggak gue apa-apain itu kardus hape.
“Bisa minta dibukain aja enggak, mas?” pinta cewek itu. “Aku ambil hape sama kardusnya aja, plastik segelnya dibuang aja.”
“Dibuang?” tanya gue meyakinkan.
“Oh, kalo mas mau ambil ya gapapa.”
Setelah pengecekkan barang dan transaksi pembayaran selesai, barulah kita berdua ngobrol-ngobrol.
“Jadi kamu sekarang jualan hape, Wi?” tanya cewek itu.
“Oh, enggak, aku cuma bantu-bantu temen satu kosan.”
“Oh, mas Wahyu itu temen satu kosan?”
“Mas Wahyu? Oh, koh Wahyu, iya kita satu kosan. Sorry, kok mbak kayak familiar gitu, ya? terus kok kayaknya cepet banget ngerasa akrabnya?”
“Kamu enggak kenal aku, Wi?”
Gue menggeleng.
“Aku Arin, hampir setahun aku kenal kamu.”
Gue meniup-niup botol kopi yang hampir kosong sambil mencoba mengingat-ingat, “Sorry, gue lupa beneran.”
“Yaudah kalo emang lupa, lagian kita jarang ngobrol juga, jadi wajar kalo enggak inget.”
Cewek yang mengaku bernama Arin itu beranjak dari kursi Indomaret dan berpamitan. Gue hanya melemparkan senyum sambil melambaikan tangan kecil-kecilan. Semacam melambaikan tangan biasa tapi cuma di depan muka.
Balik dari Indomaret, gue mencoba mengingat-ingat siapa Arin yang tadi mengaku kenal sama gue.
Wajahnya familiar buat gue, dan sewaktu ngobrol juga kita saling nyambung. Bahkan gue juga merasa cepat akrab sama dia. Apa bener dia salah satu temen gue? Tapi temen apa?
Sesampainya di depan kosan, gue denger suara gaduh di dalem.
“Emil! Bawa hapenya kesini!” seru suara mbak Irma.
“Dia nendang lagi!” seru Sintya.
“Bentar-bentar, aku matiin TVnya dulu!”
Kejadian apa lagi sekarang?! Tiga cewek di kosan, sedangkan gue cowok sendiri. Koh Wahyu lagi di toko dan mas Roni lagi kerja. Sebagai cowok satu-satunya gue harus bisa diandalkan. Kalo di dalem kosan ada maling, gue harus bisa melindungi ketiganya. Kalo kepepet, gue harus meminimalisit korban.Tapi kalo kepepet banget, gue harus bisa menyelamatkan diri sendiri.
Gue langsung masuk mencari sumber suara gaduh, enggak lupa gue juga ambil sapu yang ada di teras.
“Mana? mana maling yang nendang-nendang?!” seru gue.
Di dalem, mbak Irma, Emil sama Sintya kaget nontonin gue.
“Apa sih, Wi? maling darimana coba?!” kata mereka serentak.
“Nah, barusan nendang-nendang apaan?” tanya gue.
“Dia nendang lagi! nendang lagi!” teriak Sintya histeris sambil memegangi perutnya.
Diubah oleh dasadharma10 06-12-2016 12:15
0


