- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#2842
PART 89
Malem ini gue sama koh Wahyu diajakin mas Roni buat nongkrong. Kita bertiga berencana cari warung kopi yang buka sampe pagi dan tempatnya enak buat nongkrong.
“Jadi dimana?” tanya gue.
“Udah jalan aja dulu,” mas Roni masih memainkan hape.
“Woe, bensin… bensin…,” kata koh Wahyu mengingatkan.
“Ini udah jalan setengah jam muter-muter di jalan, mas. Makin malem makin banyak gondes nanti.”
“Yaudah, kalian pilih aja. Kalo bisa yang gaul.”
“Enggak harus warung kopi, kan?” tanya gue.”
“Bebas, asal nyediain kopi aja.”
“Tau ‘Bang Kopi Kota’ enggak, Wi?” tanya koh Wahyu.
“Tau! Situ aja, Koh!”
“GASS!” kata koh Wahyu dan mas Roni menyetujui.
Jadilah akhirnya kita bertiga ngopi di Bang Kopi Kota. Gue tau tempat ini dari Arya, dia sempat kerja disini. Dan dari referensi dia, gue paham kenapa cuma sedikit mahasiswa yang nongkrong di tempat ini, kafe ini setetes kopi harganya selangit. Dan sekarang, gue akhirnya bisa nongkrong di tempat ini, karena mas Roni yang bakal bayarin.
Koh Wahyu menyenggol gue, “Kamu sering ke tempat ini?”
“Mana pernah,” jawab gue pelan. “Kata temenku disini harganya selangit.”
“Iya, karena itu aku ajak mas Roni kesini,” bisik koh Wahyu.
“Kalian ngapain? Ayok, masuk!” ajak mas Roni.
Tebak, gimana ekspresi muka mas Roni begitu melihat menu. Tebak juga kata pertama yang keluar dari mulut dia. Dan tebak juga apa yang dia lakukan selanjutnya.
Kayak abis melihat hantu, mas Roni langsung memeriksa dompetnya, “Bujug!”
Gue sama Koh Wahyu cuma nyengir doang.
“Ini kopi apaan?! Masa harganya segini?” mas Roni menatap gue tajam.
“Mana aku tau, aku baru sekali kesini,” jawab gue jujur.
“Kopi apaan, Yu?” mas Roni kini menatap koh Wahyu tajam.
“Dawi yang bawa kita kesini, bukan aku.”
“Lhoh, kok jadi aku? Kan yang bilang ‘gas’ kalian.”
“Mas, sendiri yang bilang gas, aku cuma ngikutin.”
“Lhoh, kok jadi aku?!”
Kita bertiga saling berpandangan, mencoba mencari cara biar bisa keluar dari sini tanpa dipermalukan.
“Mas Roni pura-pura dapet telepon darura aja, jadi kita ikutan keluar seolah harus cepet-cepet pergi,” usul gue pelan.
“Yaudah buruan telepon!” perintah mas Roni.
“Hapeku lowbet, enggak mau nyala,” ucap gue.
Koh Wahyu memeriksa kantongannya, “Hapeku ketinggalan deh kayaknya.”
“Yaudah gini, sementara nunggu telepon random masuk, kita pesen dulu aja yang paling murah,” usul mas Roni.”
“Ide bagus!” kata koh Wahyu.
Kita bertiga buru-buru mencari minuman dari daftar minuman yang harganya paling murah.
“Ketemu!” ucap gue spontan.
“Iya, ini ada yang harganya dua belas ribuan,” kata koh Wahyu.
“Nah itu, apa tuh yang murah?” tanya mas Roni.
“Air putih gelas,” kata gue dan koh Wayu serentak.
“Air putih gelas?! Yang bener aja dua belas ribu?”
Gue sama koh Wahyu cuma manggut-manggut.
“Kalian tau? aku cuma bercanda, haha.” Mas Roni melemparkan buku menu, “Pesen! Yang mahal juga sekalian kalo perlu!”
“Bangke, kena dikerjain orangtua,” ucap gue pelan.
“Kadang, orangtua ini aktingnya bagus banget. Lagian juga kita kebawa suasana,” bisik koh Wahyu.
Akhirnya kita bertiga jadi nongkrong di Bang Kopi Kota. Gue memesan dua gelas kopi yang namanya asing buat gue, sementara mas Roni sama Koh Wahyu malah memesan bir dingin.
“Kalo beli kayak gituan mah di indomaret juga ada,” sindir gue.
“Enggak yakin kopi begituan rasanya enak, males coba-coba,” kata koh Wahyu.
Mas Roni menghisap rokonya, “Tampilannya sih menarik, tapi rasanya belum tentu, Wi.”
“Jadi, ada acara apaan nih? Kok tumben-tumbenan mau bayarin kita?” tanya koh Wahyu.
“Iya, biasa juga kita berdua yang patungan buat bayarin mas.”
Mas Roni meletakkan telunjuknya di bibir, “Sssssttt…! Ini pesta lepas lajang.”
Gue dan koh Wahyu saling berpandangan, “Pesta lepas lajang?”
“Aku udah beristri, mas.”
“Aku baru kemarin masuk dua puluh, mana siap lepas lajang.”
“Aku yang lepas lajang, kalian yang nemenin.”
Kita pesen makanan banyak banget, sampe kancing celana kita dilepas juga rasanya masih begah banget. Bahkan mas Roni juga membungkus makanan buat dibawa pulang.
“Ah, aku punya permintaan,” kata mas Roni.
“Apa, mas?” tanya gue menyalakan rokok.
“Bisa kita selfie dulu?”
“Selfie?! Buat apaan?” tanya gue lagi.
“Dasar jomblo, ya buat bukti ke mbak Irma, lah.” Koh Wahyu ikut menyalakan rokok, “Sekarang dia udah punya wali murid, jadi kalo ada apa-apa lapor aja ke walinya, haha.”
“Sembarangan kamu, Yu. Kalo ngomong suka bener aja, haha.”
Di kafe itu mas Roni cerita banyak soal pengalaman masa mudanya, masa dimana dia pertama kali ketemu mbak Irma, sampe akhirnya dia mantap buat menikahi mbak Irma sekarang. Begitu juga koh Wahyu, dia enggak kalah kenceng pamernya. Dia sering banget menyindir mas Roni sebagai newbie masalah percintaan, dan juga gue, anak bawang dalam percintaan.
“Delapan tahun pacaran baru dinikahin sekarang, ada ya yang kuat kayak gitu,” komentar gue.
“Nyatanya oom-oom di depanmu kayak gitu, Wi.”
“Daripada baru setahun udah diajakin kimpoi lari, premature,” balas mas Roni.
“Sembarangan aja, aku tuh nggak kimpoi lari.” Koh Wahyu menghembuskan asap pekat, “Cuma cari sensasi baru aja, masa iya kimpoi gitu-gitu doang.”
“Ngelesmu jauh amat, Koh, cari sensasi sampe ke seberang pulau.”
“Jadi rencana kapan akadnya, Mas?” tanya koh Wahyu.
“Aku sih maunya secepatnya, tapi Irma maunya diundur.”
“Kenapa diundur?” kata koh Wahyu lagi.
“Masayu masuk rumah sakit gitu, mana mungkin Irma bisa fokus buat akad.”
“Lagian kenapa nggak dilamar dari dulu-dulu?” tanya gue.
“Irmanya enggak mau.”
“Oh, aku paham. Jadi gara-gara mbak Irma capek nolakin lamaran mas Roni tiap tahun makanya sekarang lamaran mas diterima,” ucap koh Wahyu cekikikan.
Mas Roni mengambil sandal dan dilemparkan ke arah koh Wahyu tapi meleset.
“Irma belum siap gara-gara janjinya ke Masayu.”
“Janji?” ucap gue dan koh Wahyu bersamaan.
“Dia pernah janji ke Masayu, kalo Masayu belum ada yang beneran bisa jagain, kita berdua nggak bakalan nikah. Dan janji itu kebawa sampe sekarang. Malem sewaktu Irma nerima lamaranku, sama Masayu masuk rumah sakit itu cuma beda sepersekian detik, masuk akal nggak kalo janji itu yang bikin dia sakit?”
“Jadi mbak Irma mikirnya kalo mas nikah sama dia, Masayu bakalan sakit lagi, gitu?” tanya gue.
Mas Roni menggeleng, “Nggak taulah, Wi.”
“Makanya kalo bikin janji sama orang tuh hati-hati, Wi,” timpal koh Wahyu.
“Udaaahhh, jangan dibahas lagi. Yang penting malem ini kita seneng-seneng. Masalah Irma mau jagain Masayu itu urusan dia, aku udah lama nunggu Irma, dan sampe kapanpun bakalan aku tunggu.”
Gue sama koh Wahyu cuma manggut-manggut.
“Gimana kalo kita cari minuman yang seger-seger?” usul mas Roni.
Kita berdua manggut-manggut lagi, tapi kali ini dengan cepat.
Jadilah malem itu kita bertiga mabok di dalem mobil koh Wahyu. Jalanan sepi dari gondes, karena kitalah gondesnya.
Malem ini gue sama koh Wahyu diajakin mas Roni buat nongkrong. Kita bertiga berencana cari warung kopi yang buka sampe pagi dan tempatnya enak buat nongkrong.
“Jadi dimana?” tanya gue.
“Udah jalan aja dulu,” mas Roni masih memainkan hape.
“Woe, bensin… bensin…,” kata koh Wahyu mengingatkan.
“Ini udah jalan setengah jam muter-muter di jalan, mas. Makin malem makin banyak gondes nanti.”
“Yaudah, kalian pilih aja. Kalo bisa yang gaul.”
“Enggak harus warung kopi, kan?” tanya gue.”
“Bebas, asal nyediain kopi aja.”
“Tau ‘Bang Kopi Kota’ enggak, Wi?” tanya koh Wahyu.
“Tau! Situ aja, Koh!”
“GASS!” kata koh Wahyu dan mas Roni menyetujui.
Jadilah akhirnya kita bertiga ngopi di Bang Kopi Kota. Gue tau tempat ini dari Arya, dia sempat kerja disini. Dan dari referensi dia, gue paham kenapa cuma sedikit mahasiswa yang nongkrong di tempat ini, kafe ini setetes kopi harganya selangit. Dan sekarang, gue akhirnya bisa nongkrong di tempat ini, karena mas Roni yang bakal bayarin.
Koh Wahyu menyenggol gue, “Kamu sering ke tempat ini?”
“Mana pernah,” jawab gue pelan. “Kata temenku disini harganya selangit.”
“Iya, karena itu aku ajak mas Roni kesini,” bisik koh Wahyu.
“Kalian ngapain? Ayok, masuk!” ajak mas Roni.
Tebak, gimana ekspresi muka mas Roni begitu melihat menu. Tebak juga kata pertama yang keluar dari mulut dia. Dan tebak juga apa yang dia lakukan selanjutnya.
Kayak abis melihat hantu, mas Roni langsung memeriksa dompetnya, “Bujug!”
Gue sama Koh Wahyu cuma nyengir doang.
“Ini kopi apaan?! Masa harganya segini?” mas Roni menatap gue tajam.
“Mana aku tau, aku baru sekali kesini,” jawab gue jujur.
“Kopi apaan, Yu?” mas Roni kini menatap koh Wahyu tajam.
“Dawi yang bawa kita kesini, bukan aku.”
“Lhoh, kok jadi aku? Kan yang bilang ‘gas’ kalian.”
“Mas, sendiri yang bilang gas, aku cuma ngikutin.”
“Lhoh, kok jadi aku?!”
Kita bertiga saling berpandangan, mencoba mencari cara biar bisa keluar dari sini tanpa dipermalukan.
“Mas Roni pura-pura dapet telepon darura aja, jadi kita ikutan keluar seolah harus cepet-cepet pergi,” usul gue pelan.
“Yaudah buruan telepon!” perintah mas Roni.
“Hapeku lowbet, enggak mau nyala,” ucap gue.
Koh Wahyu memeriksa kantongannya, “Hapeku ketinggalan deh kayaknya.”
“Yaudah gini, sementara nunggu telepon random masuk, kita pesen dulu aja yang paling murah,” usul mas Roni.”
“Ide bagus!” kata koh Wahyu.
Kita bertiga buru-buru mencari minuman dari daftar minuman yang harganya paling murah.
“Ketemu!” ucap gue spontan.
“Iya, ini ada yang harganya dua belas ribuan,” kata koh Wahyu.
“Nah itu, apa tuh yang murah?” tanya mas Roni.
“Air putih gelas,” kata gue dan koh Wayu serentak.
“Air putih gelas?! Yang bener aja dua belas ribu?”
Gue sama koh Wahyu cuma manggut-manggut.
“Kalian tau? aku cuma bercanda, haha.” Mas Roni melemparkan buku menu, “Pesen! Yang mahal juga sekalian kalo perlu!”
“Bangke, kena dikerjain orangtua,” ucap gue pelan.
“Kadang, orangtua ini aktingnya bagus banget. Lagian juga kita kebawa suasana,” bisik koh Wahyu.
Akhirnya kita bertiga jadi nongkrong di Bang Kopi Kota. Gue memesan dua gelas kopi yang namanya asing buat gue, sementara mas Roni sama Koh Wahyu malah memesan bir dingin.
“Kalo beli kayak gituan mah di indomaret juga ada,” sindir gue.
“Enggak yakin kopi begituan rasanya enak, males coba-coba,” kata koh Wahyu.
Mas Roni menghisap rokonya, “Tampilannya sih menarik, tapi rasanya belum tentu, Wi.”
“Jadi, ada acara apaan nih? Kok tumben-tumbenan mau bayarin kita?” tanya koh Wahyu.
“Iya, biasa juga kita berdua yang patungan buat bayarin mas.”
Mas Roni meletakkan telunjuknya di bibir, “Sssssttt…! Ini pesta lepas lajang.”
Gue dan koh Wahyu saling berpandangan, “Pesta lepas lajang?”
“Aku udah beristri, mas.”
“Aku baru kemarin masuk dua puluh, mana siap lepas lajang.”
“Aku yang lepas lajang, kalian yang nemenin.”
Kita pesen makanan banyak banget, sampe kancing celana kita dilepas juga rasanya masih begah banget. Bahkan mas Roni juga membungkus makanan buat dibawa pulang.
“Ah, aku punya permintaan,” kata mas Roni.
“Apa, mas?” tanya gue menyalakan rokok.
“Bisa kita selfie dulu?”
“Selfie?! Buat apaan?” tanya gue lagi.
“Dasar jomblo, ya buat bukti ke mbak Irma, lah.” Koh Wahyu ikut menyalakan rokok, “Sekarang dia udah punya wali murid, jadi kalo ada apa-apa lapor aja ke walinya, haha.”
“Sembarangan kamu, Yu. Kalo ngomong suka bener aja, haha.”
Di kafe itu mas Roni cerita banyak soal pengalaman masa mudanya, masa dimana dia pertama kali ketemu mbak Irma, sampe akhirnya dia mantap buat menikahi mbak Irma sekarang. Begitu juga koh Wahyu, dia enggak kalah kenceng pamernya. Dia sering banget menyindir mas Roni sebagai newbie masalah percintaan, dan juga gue, anak bawang dalam percintaan.
“Delapan tahun pacaran baru dinikahin sekarang, ada ya yang kuat kayak gitu,” komentar gue.
“Nyatanya oom-oom di depanmu kayak gitu, Wi.”
“Daripada baru setahun udah diajakin kimpoi lari, premature,” balas mas Roni.
“Sembarangan aja, aku tuh nggak kimpoi lari.” Koh Wahyu menghembuskan asap pekat, “Cuma cari sensasi baru aja, masa iya kimpoi gitu-gitu doang.”
“Ngelesmu jauh amat, Koh, cari sensasi sampe ke seberang pulau.”
“Jadi rencana kapan akadnya, Mas?” tanya koh Wahyu.
“Aku sih maunya secepatnya, tapi Irma maunya diundur.”
“Kenapa diundur?” kata koh Wahyu lagi.
“Masayu masuk rumah sakit gitu, mana mungkin Irma bisa fokus buat akad.”
“Lagian kenapa nggak dilamar dari dulu-dulu?” tanya gue.
“Irmanya enggak mau.”
“Oh, aku paham. Jadi gara-gara mbak Irma capek nolakin lamaran mas Roni tiap tahun makanya sekarang lamaran mas diterima,” ucap koh Wahyu cekikikan.
Mas Roni mengambil sandal dan dilemparkan ke arah koh Wahyu tapi meleset.
“Irma belum siap gara-gara janjinya ke Masayu.”
“Janji?” ucap gue dan koh Wahyu bersamaan.
“Dia pernah janji ke Masayu, kalo Masayu belum ada yang beneran bisa jagain, kita berdua nggak bakalan nikah. Dan janji itu kebawa sampe sekarang. Malem sewaktu Irma nerima lamaranku, sama Masayu masuk rumah sakit itu cuma beda sepersekian detik, masuk akal nggak kalo janji itu yang bikin dia sakit?”
“Jadi mbak Irma mikirnya kalo mas nikah sama dia, Masayu bakalan sakit lagi, gitu?” tanya gue.
Mas Roni menggeleng, “Nggak taulah, Wi.”
“Makanya kalo bikin janji sama orang tuh hati-hati, Wi,” timpal koh Wahyu.
“Udaaahhh, jangan dibahas lagi. Yang penting malem ini kita seneng-seneng. Masalah Irma mau jagain Masayu itu urusan dia, aku udah lama nunggu Irma, dan sampe kapanpun bakalan aku tunggu.”
Gue sama koh Wahyu cuma manggut-manggut.
“Gimana kalo kita cari minuman yang seger-seger?” usul mas Roni.
Kita berdua manggut-manggut lagi, tapi kali ini dengan cepat.
Jadilah malem itu kita bertiga mabok di dalem mobil koh Wahyu. Jalanan sepi dari gondes, karena kitalah gondesnya.
Diubah oleh dasadharma10 06-12-2016 12:14
0


