“Eh Dut, nanti mau masuk apa? IPA atau IPS?”-Anita menanyakan pertanyaan yang sebenarnya sudah pernah disampaikan Pak Herry di kelas.

“IPS paling, IPA males ngitung2 Ta”-Gw menjawab dengan enteng, gw hanya berpikir akan lebih santai bila gw nanti masuk IPS.

“Kalo lo gimana Ta?”-Gw berbalik bertanya ke Anita yang sedang sibuk merapihkan kertas-kertas OSIS.

“IPA. Kalo lo sanggup mending ambil IPA sih Don. Nanti kalau mau kuliah bisa ambil jurusan apapun”-Ucap Anita.

“Begitu ye…Yaudah gw IPA aja deh.”-Gw menyetujui dengan cepat.

“Iiihh bener kata Siska, lo ga ada pendirian nye jadi cowo.”-Anita tiba-tiba marah dan mencubit perut gw.

“Aduhhhhh sakitttt Ta”-Gw mengerang kesakitan.

Tak terasa gw sudah menginjak Semester 2 di kelas 1 ini, malah dua bulan lagi akan dilaksanakan Ujian Kenaikan Kelas. Gw masih sering jalan bareng, pulang bareng, dan belajar bareng dengan Tania. Menurut gw, kita sudah semakin akrab satu sama lain meskipun hubungan kita bukan hubungan yang lebih dari kata teman.

Untuk kami angkatan kelas 1, sebelum masuk minggu-minggu Ujian para Wali Kelas akan membagikan selembar formulir pemilihan jurusan. Kita harus memilih antara dua pilihan yaitu IPA atau IPS.

Awalnya gw berpikir untuk mengambil IPS mengikuti Boni dan yang lain, tapi akhirnya gw berpaling ke IPA setelah diceramahi oleh Anita.

Pembagian formulir pemilihan jurusan hanya sebatas formalitas doang di sekolah ini. Kenyataannya adalah pembagian jurusan sendiri bedasarkan kemampuan otak dan nilai akademik murid-murid, mereka yang memiliki otak encer otomatis masuk IPA sedangkan yang rada oon masuk IPS.

Perbedaan ini menjadikan nama IPA lebih bergengsi dibandingkan IPS. Selain anak-anak yang punya otak encer, kelas IPA juga biasanya dihuni oleh murid-murid yang aktif di organisasi/OSIS. Benar-benar bukan kelas sembarangan.

Gw sebagai Ketua Kelas 1-2 sudah rela setengah dari kami pindah ke IPS, anak-anak kelas ini oon semua. Belajar hanya dekat-dekat ujian dan kerjaan nongkrong di warnet terus sampai larut malam. Gw kadang-kadang sih.

Formulir pemilihan jurusan untuk anak kelas 1-2 sudah dibagikan Pak Herry minggu kemarin, dan hari ini gw disuruh untuk mengumpulkan formulir-formulir itu.

“Boni, lo beneran ambil IPS?”-Siska bertanya sambil memandangi formulir milik Boni.

“Iye”-Boni menjawab dengan singkat.

Sekilas gw memperhatikan tingkah Boni hari ini yang tidak seperti biasanya, dia hanya diam dan tidur-tiduran di belakang. Padahal di jam pelajaran kosong seperti ini dia sangat aktif ngobrol dan meramaikan suasana kelas. Mungkin dia sedang sakit pikir gw.

“Gak asik lo. Yuk IPA aja biar bareng lagi kita nanti kelas 2.”-Ucap Siska ke anak-anak kelas lain.

“Gw takut ga masuk deh Sis”-Tania mengeluh.

“Lo tiap hari belajar, pasti masuk koq Tan. Percaya dah ama gw”-celetuk Jani.

“Bilang aja lo suruh masuk IPA biar mau sekelas sama gw lagi kan Sis?”-Nathan membuka candaan.

“Najis. Pede amet lo”-Jawab Siska gusar.

“Don.. boleh minta formulir baru gak ya?”-Dinda menghampiri gw yang sedang mencatat nama-nama anak yang sudah mengumpulkan formulirnya.

“Hemmm, yg kosong udah dipake Rey kemarin. Coba gw minta Pak Herry deh Din.”-Gw membalas.

“Gak repot Don?”-Dinda bertanya.

“Gak koq Din…”-Gw menjawab dengan sedikit canggung.

Sudah lama sekali gw ngomong berdua dengan Dinda seperti saat ini, terakhir saat gw mengajarkan Fisika ke dia. Gw gak menyangka kesempatan untuk ngobrol dengan dia akan datang lagi.

“Gw temenin boleh Don, ke kantor guru kan?”-Dinda mengajak gw.

“Iya Din, yok lah samperin sebelum Pak Herry ngopi di warteg”-Gw mengiyakan.

Pak Herry memang punya kebiasaan kelayapan ke warteg Bang Fendy kalau dia sudah tidak ada jam mengajar lagi. Terlebih jam-jam siang sehabis istirahat, karena jadwal mengajar Pak Herry kebanyakan jam-jam pagi.

Kita pun sampai ke kantor guru, suasana saat itu sepi sekali karena masih jam belajar. Tersisa Pak Herry yang selonjoran di sofa tengah kantor guru sambil mengipas-ngipas badannya dengan koran.

“Ada apa kau kemari?”-Tanya Pak Herry yang sebenarnya sudah menyadari keberadaan kami di depan kantor guru.

“Anu, itu Pak saya minta formulir pilihan jurusan lagi pak.”-Gw menjawab dengan nada sopan.

“Ambil di meja saya. Kalau kau perlu banyak, fotokopi saja suruh anak yang lain”-Pak Herry membalas sambil menunjuk ke mejanya. Gw langsung berjalan ke meja Pak Herry.

“Harus hari ini ya pak dikumpul?”-Dinda bertanya ke Pak Herry.

“Iyalah non. Kenapa? Kau masih bingung?”-Pak Herry bertanya balik.

“Gak koq pak.”-Dinda menjawab dengan sopan.

“Ehhh Don, Saya tunggu ya nanti pulang sekolah”-Pak Herry berteriak dari sofa.

“Siappppp pak”-Gw menjawab dan menghampiri Dinda.

“Udah Don?”-Tanya Dinda.

“Udeh, yuk balik. Pak kita balik ke kelas dulu ya.”-Gw dan Dinda berpamitan ke Pak Herry.

Gw sebenarnya bingung, mengapa Dinda meminta formulir lagi. Karena yang gw tahu Dinda orangnya rapih dan rajin. Tidak mungkin orang yang selalu mengecek tas setiap bel pulang sekolah seperti dia ini bisa menghilangkan selembar formulir penting.

“Din.. boleh tanya?”-Gw bertanya agak gugup pas kita melewati lorong sekolah.

“Apa Don?”-Dinda bertanya.

“Nanti mau masuk mana?”-Gw melemparkan pertanyaan ke Dinda.

“Maunya IPA Don, tp gw ga kuat itung2an. Gw coba tulis IPA aja di formulir, kalau lu Don?”-Dinda bertanya ke gw.

“IPA Din. Soalnya kalau mau kuliah bisa ambil jurusan apapun”-Gw menjiplak perkataan Anita tadi di ruang OSIS biar terlihat pintar di depan Dinda.

“Iya kalau lo pasti bisa ya Don.”-Dinda membalas.

“Gak lah Din…”-Gw dengan ragu membantah.

Gw berharap akan sekelas lagi dengan dia di kelas IPA.

Sesampainya di kelas 1-2 tercinta, gw mengumpulkan kembali formulir anak-anak kelas. Benar dugaan gw, hampir setengah dari kelas ini memilih masuk ke IPS dengan alasan gak kuat melihat angka dan rumus.


Bel pulang sekolah pun berbunyi.. Sebelum gw dan Tania pulang, gw gak lupa menyerahkan semua formulir ke Pak Herry yang daritadi menunggu hasil pilihan anak-anak muridnya.

“Don, kamu beneran mau masuk IPA?”- Tania bertanya sewaktu kita berjalan keluar kantor guru.

“Iya, aku coba aja Tan. Kamu juga pilihnya IPA kan?"-Tanya gw.

“Emmm, iya. Kakak ku kan nyuruhnya IPA.”-Jawab Tania.

“Kamu bantu aku terus pokoknya ya nanti kalau kita beneran masuk IPA berdua”-Tania menyambungkan perkataannya.

“Iya Kak Tania. Tenang aje”-Gw mengiyakan permintaannya.


Sebenarnya tidak banyak yang bisa diceritakan saat memasuki minggu-minggu Ujian Kenaikan Kelas.

Gw hampir setiap hari menemani Tania belajar di kelas setelah pulang sekolah bersama teman-teman yang lain, kecuali Nathan, Boni, Rey, Tono, Gunawan, dan Hendro. Setelah bel pulang berbunyi mereka secepat kilat ngilang ke warnet, racun game online sudah menggerogoti jiwa dan raga mereka.

Siapa Hendro?
Hendro adalah anak kelas sebelah, anak kelas 1-1. Dia ini penampilannya sama seperti gw, dari segi badan pun hampir mengikuti. Kalau dilihat sekilas sih sepertinya dia lebih ringan 5 kilo dibandingkan gw. Gw dan rombongan Boni menjadi dekat dengan dia karena kami bermain game online yang sama, malah Hendro duluan yang mengajak bermain dan membuat satu Guild bareng.

Gw biasa berkunjung ke warnet setelah jam 5 sore karena harus menemani Nia belajar dan mengantarnya pulang dengan selamat.

“Kemanaaaa ajeeee lo Dut”-Hendro berteriak saat gw baru saja membuka pintu warnet.

“Udeeehhhh belajar mah ntar-ntar aje”-Rey nyeletuk dari deretan computer belakang.

Gw melihat teman-teman yang lain masih asik menatap monitor masing-masing, kecuali Boni.

Boni hanya diam dan melihat gw dari sejak membuka pintu warnet. Dia tidak ikut menyeletuk, padahal biasanya dia adalah juragan kompor.

“Ada yang mau gw omongin, ikut gw Don”-Boni menghampiri gw di depan meja operator.

“Ada ape Bon?”-Tanya gw.

Kami pun keluar dan berdiri di tempat parkiran motor. Tidak biasanya teman baik gw satu ini bersikap dingin begini dihadapan gw.

“Lo deket sama Tania?”-Boni langsung bertanya tanpa basa-basi.

“Gak, gw nemenin belajar doang Bon. Kenapa emangnya?”-Gw membalas dengan hati-hati.

“Kalo lo deket terus demen dia bilang aja”-Boni menyudutkan gw.

“Gw gak demen koq Bon, lo masih demen dia?”-Gw bertanya balik.

“Masih…”-Boni menjawab perlahan dan kemudian diam sejenak

“Gw gpp koq kalo lo ama dia, asal lo bilang dulu ke gw.”-Boni melanjutkan ucapannya.

“Gw gak demen koq Bon. Suer dah”-Gw hanya bisa berbohong, karena dipikir-pikir hubungan gw dan Tania hanya sebatas TTM (Teman Tapi Mesra) doang.

“Emang kenape?”-Tanya gw.

“Gw ga mau makan temen”-Jawab Boni.

Gw hanya bisa terdiam.

“Gw tanya sekali lagi.. Lo demen ga sama dia?”-Boni kembali bertanya.

“Gak..”-Gw kembali menjawab pertanyaannya.

“Ya udeh”-Boni menutup percakapan dan masuk lagi ke warnet meninggalkan gw.

Setelah malam itu hubungan gw dengan Boni menjadi renggang. Boni hanya memilih diam dan cuek saat bertemu dengan gw di hari-hari berikutnya. Gw tidak mau bertanya dan tidak peduli dengan sikapnya itu. Kita menjadi orang yang tidak saling kenal di kelas, di jalan, maupun di warnet.

Sampai suatu hari.. Selang beberapa bulan setelah gw menjadi anak kelas 2, Gw mendengar kebenaran dari Ferdi, salah satu teman angkatan gw yang menjadi anak IPS dan sekelas dengan Boni, dia juga sering main di warnet langganan.

Ferdi berkata bahwa Boni sebenarnya sudah lama tau gw sering jalan bareng dan pulang bareng Tania. Boni gak sengaja melihat gw mengantar Tania ke depan gang rumahnya. Sudah ada perasaan curiga di benak Boni saat itu, tapi dia memilih untuk tidak ambil pusing.

Bahkan dia lagi-lagi melihat gw jalan dengan Tania setelah gw berkata tidak suka Tania. Dia juga mengetahui gw selalu pulang bareng Tania setiap hari, tanpa bisa menegur apa-apa.

Sebenarnya Boni sudah tahu dan merelakan Tania sejak pertama kali dia melihatnya jalan bareng gw.

Di malam itu Boni hanya butuh kepastian dan kebenaran dari mulut gw sendiri, tapi yang dia dengar malah suatu kebohongan.

Setelah mengetahui kebenaran dari Ferdi, gw sungguh berharap Boni menonjok gw dengan keras mengeluarkan luapan kekesalannya sampai dia puas. Tapi gw terlalu takut.

Suatu hari gw menghampiri Boni sewaktu pulang sekolah dan mengajaknya pulang bareng walaupun saat itu kita sudah berbeda kelas, suatu kebiasaan yang sudah lama kita tinggalkan.

Boni sepertinya sudah melupakan dan memaafkan kebohongan gw di malam itu tanpa ada yang perlu dibahas. Kita kembali bercanda dan ngobrol tentang apapun sepanjang perjalanan pulang.

Saat itu gw merasakan kembali kehadiran teman baik yang sudah lama pergi. #NoHomo




Bersambung…